jika engkau tidak
malu maka berbuatlah sesukamu
عن أبي مسعود البدري رضي الله
عنه، قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم إن مما أدرك الناس من كلام النبوة
الأولى : إذا لم تستحي ، فاصنع ما شئت. رواه البخاري .
Artinya: “Dari Abu Mas’ud radhiyallahu’anhu,
Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya perkataan yang
diwarisi oleh orang-orang dari perkataan nabi-nabi terdahulu adalah: ‘Jika
engkau tidak malu, perbuatlah sesukamu’.” (HR. Bukhari no. 3483)
Penjelasan:
Sabda beliau: “Sesungguhnya perkataan yang diwarisi
oleh orang-orang dari perkataan nabi-nabi terdahulu”
Menunjukkan bahwa ungkapan yang akan beliau sebutkan
setelahnya, diwarisi dari para nab-nabi terdahulu, dan bahwasanya orang-orang
senantiasa menyebarkan dan mewarisinya dari zaman ke zaman. Ini juga
menunjukkan bahwa kenabian pada masa dulu datang membawa ajaran yang terkandung
dalam ungkapan ini, lalu tersebar luas dikalangan manusia, hingga sampai pada
zaman generasi pertama umat ini (para sahabat).
Sabda beliau: ‘Jika engkau tidak malu, perbuatlah
sesukamu’
Makna ungkapan ini ada dalam dua pendapat:
Pendapat Pertama: Ungkapan “Perbuatlah sesukamu”
tidaklah bermaksud sebagai kata perintah, namun bermaksud sebagai celaan dan
larangan dari berbuat sesukanya. Ulama yang berpendapat seperti ini, berbeda
dalam dua pendapat lagi:
1.Ungkapan ini bermaksud “ancaman”, artinya “Apabila
engkau tidak lagi memiliki rasa malu, maka perbuatlah sesukamu, karena Allah
pasti akan membalas perbuatanmu tersebut dengan yang setimpal”. Ini sama persis
dengan firman Allah ta’ala:
اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ ۖ إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ
بَصِيرٌ
Artinya: “Perbuatlah apa yang kamu kehendaki;
Sesungguhnya Dia Maha melihat apa yang kamu kerjakan”. (QS Fushilat : 40)
Juga firman-Nya:
فَاعْبُدُوا مَا شِئْتُمْ مِنْ دُونِهِ
Artinya: “Maka sembahlah selain Dia sesukamu!” (QS
Az-Zumar: 15).
Ini merupakan pendapat yang dipilih oleh sekelompok
ulama, semisal Abu Al-‘Abbas Tsa’lab rahimahullah.
2.Ungkapan ini adalah suatu perintah, namun bermaksud
sebagai “kabar dan penjelasan”, artinya; “Barangsiapa yang tidak lagi memiliki
rasa malu, ia akan berbuat sesukanya, sebab yang menghalanginya untuk berbuat
keburukan adalah rasa malu, barangsiapa yang tidak lagi memiliki rasa malu,
pasti akan terjerumus dalam setiap amalan keji dan mungkar”.
Kedua ini merupakan pendapat yang dipilih oleh Abu
‘Ubaid Al-Qasim bin Sallaam, Ibnu Qutaibah, Muhammad bin Nashr Al-Marwazi, dan
selain mereka. Abu Daud juga meriwayatkan bahwa Imam Ahmad rahimahullah
berpendapat seperti pendapat ini.
Pendapat Kedua: Ungkapan ini merupakan perintah untuk
berbuat sesukanya sesuai makna kontekstual/lahir dari redaksi hadis ini,
artinya: “Apabila yang ingin anda lakukan adalah perbuatan yang tidak membuat
malu dari Allah, atau dari manusia (bukan maksiat), maka lakukanlah
sekehendakmu”.
Nabi shallallahu’alaihi wasallam telah menjadikan rasa
malu sebagai bagian dari keimanan, sebagaimana dalam Shahihain dari Ibnu Umar
radhiyallahu’anhu bahwa Nabi shallallahu’alaihi wasallam melewati seseorang
sedang mencela saudaranya yang pemalu, seraya berkata padanya: “Sungguh engkau
betul-betul pemalu, -atau ia berkata-: “Rasa malumu telah merugikan dirimu”.
Lantas Rasulullahpun menimpalinya: “Biarkan saja dia, sesungguhnya rasa malu
itu bagian dari keimanan”.
Juga dalam Shahihain dari sahabat ‘Imran bin Husahin,
dari Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
الحياء لا يأتي إلا بخير -وفي رواية لمسلم-: الحياء
خير كله
Artinya: “Rasa malu itu tidaklah mendatangkan kecuali
kebaikan” –dalam riwayat Muslim: “Rasa malu itu semuanya baik” .
Ketahuilah, bahwasanya rasa malu itu ada dua macam:
Pertama: Rasa malu yang bersumber dari tabiat dan
fitrah sejak lahir, tanpa ada usaha untuk menumbuhkannya dalam diri. Ini
merupakan diantara akhlak paling mulia yang dikaruniakan Allah kepada seorang
hamba.
Kedua: Rasa malu yang didapatkan lewat usaha dan
latihan, yang merupakan pengaruh positif dari mengenal Allah, keagungan-Nya,
serta dari mengenal kedekatan-Nya dari makhluk-Nya. Ini merupakan salah satu
bagian derajat keimanan yang paling tinggi, bahkan ia juga merupakan salah satu
bagian tertinggi dari derajat ihsan. Rasa malu dari Allah ta’ala ini, kadang
bersumber dari pengetahuan akan banyaknya nikmat dan karunia-Nya, dan dari
adanya perasaan lalai dan kurang dalam mensyukuri nikmat tersebut.
Apabila kedua sifat malu yang bersumber dari usaha dan
sifat tabiat ini hilang dari seorang hamba, maka tidak ada sesuatupun yang bisa
menghalanginya dari melakukan perbuatan buruk, sehingga seakan-akan ia tidak
lagi memiliki keimanan, Wallaahu a’lam.
Disadur dan diterjemahkan dari Kitab “Mukhtashar
Jaami’ Al-‘Uluum Wa Al-Hikam” (Ringkasan: Syaikh Muhammad Al-Muhanna,,, Diedit:
Syaikh Muhaddits Abdul’Aziz Al-Tharifi).
1.HR Bukhari (24) dan Muslim (36).
2.HR Bukhari (6117) dan Muslim (33).