Rabu,
7 Oktober 2015 - 07:46 WIB
Dalam
Islam tidak dikenal adanya dua pemimpin (kenegaraan,red) di satu wilayah pada
waktu bersamaan
Jika
memang Nabi menunjuk Ali sebagai penggantinya pada peristiwa Ghadir, tidak
masuk akal tiga bulan kemudian, saat Nabi wafat, semua Sahabat lupa
Oleh: Alwi
Alatas
IDUL GHADIR yang dirayakan oleh Syiah itu mengacu pada
peristiwa Ghadir Khum yang terjadi saat Nabi Shalallahu
‘Alaihi Wasalam dan para Sahabat pulang haji dari Makkah ke Madinah pada
pertengahan Dzulhijjah tahun terakhir kenabian.
Ketika
itu Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasalam dan para sahabat berhenti di sebuah tempat
bernama Khum (Ghadir Khum). Di situ Nabi berkhutbah dan antara lain mengatakan,
“Barangsiapa yang menganggap saya sebagaimawla-nya,
maka Ali adalah mawla-nya.”
Kalangan
Syiah menganggap peristiwa tersebut sebagai penunjukkan Nabi Shalallahu ‘Alaihi
Wasalam kepada Ali sebagai penggantinya kelak sebagai pemimpin sepeningalnya
(setelah wafat,red). Karena itulah, kalangan Syiah merayakannya setiap tahun
dan menganggap para sahabat telah khianat terhadap pengangkatan Ali sebagai
khalifah. Sebab, selepas wafatnya Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasalam mereka
memilih Abu Bakar sebagai khalifah.
Pandangan
Syiah ini memiliki beberapa masalah mendasar dan karenanya tidak bisa diterima
oleh kalangan Ahlus Sunnah.
Pertama, kata ‘mawla’ dalam bahasa Arab memang antara lain
bermakna ‘pemimpin’. Tapi itu bukan satu-satunya arti kata tersebut. Kata mawla
juga bisa berarti ‘sahabat’ atau ‘kekasih’. Jadi, kata tersebut tidak hanya
memiliki satu arti seperti ‘pemimpin’
Kedua, jika saat itu Nabi Shalallahu ‘Alaihi
Wasalam memang bermaksud menunjuk Ali sebagai pemimpin, tentu beliau akan
menggunakan kata yang lebih tegas dan jelas, seperti ‘khalifah’,
‘amir’, atau ‘imam’. Tetapi Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasalam tidak menggunakan
kata-kata tersebut, melainkan menggunakan kata ‘mawla’.
Ini yang terdapat di dalam riwayat-riwayat yang sahih.
Mungkin
ada versi riwayat lain, tetapi kita mesti ingat tidak semua riwayat yang ada
bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya, terlebih yang berasal dari kalangan
Syiah.
Jika
khutbah Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasalam ketika itu adalah berkenaan
kepemimpinan dan merupakan hal yang sangat penting sebagaimana yang diinginkan
Syiah, sehingga mereka menjadikannya sebagai hari raya, tentu Nabi Shalallahu
‘Alaihi Wasalam akan memilih kata-kata yang lebih tegas dan tidak menimbulkan
interpretasi.
Ketiga, jika yang dimaksud oleh Nabi Shalallahu
‘Alaihi Wasalam dengan kata ‘mawla’ adalah pemimpin, dalam arti pemimpin
tertinggi yang harus ditaati. Maka, berarti sejak saat itu ada dua pemimpin
yang di tengah umat yang harus ditaati. Padahal, peristiwa tersebut berlaku
sekitar tiga bulan sebelum Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasalam wafat.
Jadi,
selama masa-masa itu, siapa yang sejatinya harus ditaati oleh umat? Nabi
Shalallahu ‘Alaihi Wasalam atau Ali bin Abi Thalib.
Dalam
Islam tidak dikenal adanya dua pemimpin (kenegaraan,red) di satu wilayah pada
waktu bersamaan. Dalam khutbahnya itu, Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasalam tidak
mengatakan “Siapa yang mengganggap saya sebagai mawla,
maka Ali adalah mawla-nya SETELAH SAYA WAFAT.”
Kalimat
Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasalam itu bersifat umum, tidak mengacu pada proses
suksesi kepemimpinan atau konteks waktu tertentu. Karena itu, memaknainya
sebagai pemimpin (kenegaraan,red) dan yang semakna dengan itu akan menimbulkan
problem dan ketidaksesuaian.*
Keempat, jarak antara peristiwa Ghadir Khumdengan wafatnya Nabi Shalallahu
‘Alaihi Wasalam hanya sekitar tiga bulan, sebuah rentang waktu yang singkat,
dan ada banyak yang menyaksikan serta mendengarkan kata-kata Nabi Shalallahu
‘Alaihi Wasalam itu.
Jika
memang Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasalam bermaksud menunjuk Ali sebagai
penggantinya pada peristiwa Ghadir, maka tidak masuk akal jika tiga bulan
kemudian, saat Nabi wafat, semua Sahabat lupa dengan penunjukkan Nabi
Shalallahu ‘Alaihi Wasalam itu. Dan tidak masuk akal juga jika semua sahabat
berkhianat dan membatalkan kepemimpinan Ali, padahal Nabi Shalallahu ‘Alaihi
Wasalam baru saja mengangkatnya tiga bulan sebelumnya.
Ketika
membaca kitab-kitab sejarah bahwa pada awalnya memang sempat ada perbedaan
pendapat tentang siapa yang akan menggantikan Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasalam
selepas wafatnya. Ada sekumpulan Anshar yang hendak memilih pemimpin sendiri,
ada sekumpulan muhajirin yang kemudian memilih Abu Bakar (ini yang terjadi di
Tsaqifah Bani Saidah), dan ada pula sekumpulan sahabat yang condong kepada Ali
bin Abi Thalib.
Dalam
buku-buku sejarah kita dapati bahwa para sahabat yang berpihak kepada Ali bin
Abi Thalib biasanya berhujjah pada keutamaan beliau dan kedekatan nasab beliau
pada Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasalam (tentu saja tanpa menolak keutamaan Abu
Bakar as-Siddiq), dan mereka tidak bersandar pada peristiwa Ghadir Khum.
Hal ini
menunjukkan bahwa para sahabat sendiri tidak memahami kata-kata Nabi di Ghadir
Khum sebagai
pengangkatan pemimpin. Tetapi mereka memahaminya sebagai sesuatu yang lain.
Jika
mereka semua memahaminya sebagai penetapan Ali bin Abi Thlaib sebagai pemimpin,
adalah aneh jika peristiwa Ghadir terpingirkan saja dari wacana kepemimpinan
pada proses suksesi selepas Nabi wafat. Dan juga tidak masuk akal jika mereka
diam karena takut kepada Abu Bakar dan Umar bin Khathab. Sebab, mereka berdua
tidak memiliki tentara untuk memaksakan diri sebagai pemimpin.
Kalau
begitu apa makna mawla yang lebih tepat dalam hadits di atas.
Menurut hemat penulis lebih tepat adalah dimaknai sebagai ‘sahabat’ atau
‘kekasih’.
Berikutnya,
apa keperluan Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasalam menyampaikan kata-kata tersebut
di hadapan para sahabat dan di tahun terakhir masa hidupnya?
Tampaknya
Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasalam hendak mengingatkan kepada ummatnya untuk
senantiasa menjaga hubungan dan tidak saling menyakiti anggota keluarganya.
Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasalam tentu mengetahui bahwa pada satu masa akan ada
orang-orang yang tidak suka kepada Ali dan keluarganya, terutama karena fitnah
dan konflik politik yang terjadi di dunia Islam, ataupun karena alasan lainnya.
Tampaknya
kepada mereka yang memiliki sikap semacam ini, selain kepada kaum Muslimin
secara umum, Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasalam mengingatkan untuk tidak bersikap
buruk terhadap Ali dan keluarganya. Karena siapa yang menganggap Nabi
Shalallahu ‘Alaihi Wasalam sebagaimawla-nya,
maka Ali juga adalah mawla-nya.*
Pemerhati
sejarah Islam, penulis buku “Shalahuddin Al-Ayyubi dan Perang Salib III”