Pengamat: Ritual Idul Ghadir Tak Dikenal
Umat Islam
Ahad,
4 Oktober 2015 - 08:47 WIB
Realitanya
penunjukan khalifah pada Abu Bakar as-Siddiq, sementara Ali bin Abi Thalib
berbaiat pada Abu Bakar.
Pengamat
dan peneliti gerakan Syiah Ahmad Farid Okbah mengatakan ritual Idul Ghadir
tidak pernah dikenal dalam Islam.
“Idul
Ghadir merupakan hari raya kelompok Syiah yang tidak dikenal oleh umat Islam.
Hari rayanya umat Islam itu ada dua. Idul Fitri dan Idul Adha. Kalau ada hari
raya lain seperti Idul Ghadir yang dilakukan oleh Syiah, merupakan karangan dan
penambahan dalam agama,” kata Farid kepada hidayatullah.com, Sabtu (3/10/2015) sore.
Farid
menambahkan ritual Idul Ghadir yang diklaim Syiah sebagai hari pengangkatan Ali
sebagai khalifah perlu diragukan. Sebab, kelompok Syiah menyebutkan adanya
deklarasi dan suksesi penunjukan Ali sebagai khalifah di daerah Ghadir Khum,
bukan di Arafah pada 18 Dzulhijjah.
“Padahal
kalau betul itu sebagai deklarasi dan suksesi penunjukan kepada Imam Ali,
harusnya di Arafah, ketika seluruh umat Islam berkumpul,” kata Farid.
Selain
itu, ada hal lain yang menurut salah satu penggagas Majelis Intelektual dan
Ulama Muda Indonesia (MIUMI) janggal adalah terkait dengan klaim Syiah yang
menyatakan bahwa dalam pidato Rasulullah suksesi penganti beliau sebagai
khalifah adalah Syaidina Ali bin Abu Thalib.
“Andaikan
pidato Rasulullah itu sebagai suksesi pengganti beliau, mengapa Ali tidak
mengumumkannya?” kata Farid.
Jadi,
lanjut Farid, kalau Ali tidak mengumumkan berarti dia tidak menjalankan wasiat
Rasulullah dan inilah yang aneh. Menurutnya tidak ada kaitannya dengan
penunjukan Ali sebagai khalifah. Justru realitanya penunjukan kepada Abu Bakar
as-Siddiq, sementara Ali bin Abi Thalib berbaiat kepada Abu Bakar as-Siddiq.
“Idul
Ghadir ini merupakan kedustaan Syiah yang tidak ada di dalam ajaran Islam,”
demikian tandasnya menyimpulkan.*
Rep: Ibnu Sumari
Editor: Cholis Akbar
Pemerhati Sirah: Perayaan Idhul Ghadir
Tak Dikenal dalam Islam
Selasa,
20 Oktober 2015 - 14:12 WIB
Ada
usaha mengangkat perayaan Idul Ghadir sebagai supaya menjadi popular di
kalangan masyarakat Indonesia
Pendiri
Sirah Community Indonesia (SCI) Asep Sobari, Lc menegaskan bahwa perayaan Idul
Ghadir bukanlah milik umat Islam bahkan tidak ada dalam sejarah, sebab yang
tercatat di dalam sejarah hanyalah peristiwa Ghadir Khum dan pidato Rasulullah.
“Kita
(umat Islam) itu harus sensitif, sebab Idul Ghadir itu istilah Syiah yang
menyeratkan,” kata Sobari kepada hidayatullah.com, di Kalibata, Jakarta, Senin (19/10/2015).
Sobari
menuturkan kalau mengkaji pespektif kelompok Syiah tentang Idul Ghadir,
tampaknya ada usaha mengangkat perayaan Idul Ghadir sebagai supaya menjadi
popular di kalangan masyarakat Indonesia.
“Di
kalangan Syiah sendiri perayaan Idul Ghadir memang sudah popular, termasuk
peringatan Asyura di mana keduanya jadi perayaan bagi mereka,” kata Alumnus
Universtias Islam Madinah ini.
Menurut
Sobari, kedua perayaan tersebut sangat berkaitan erat di kalangan kelompok
Syiah. Untuk peringatan Asyura, lanjutnya, lebih kepada doktrin bahwa Syiah ini
merupakan pembela ahlu bait. Maksudnya manivestasi cinta kepada keluarga Nabi
Shalallahu ‘Alaihi Wasalam yang ditunjukkan dengan bagaimana mereka seakan ikut
merasakan penderitaan di hari yang sama sebagaimana peristiwa yang menimpa
Husein.
“Nah,
ini sangat penting untuk dipahami, karena itu adalah esensi Syiah. Di mana,
mereka mengklaim sebagai pecinta dan pembela keluarga Nabi, dan harus
dibuktikan dalam momen Asyura itu,” ujar Sobari yang menggandrungi Sirah sejak
di bangku perkuliahan ini.
Di sisi
lain, imbuhnya, di saat yang sama mereka juga ingin memanivestasi cinta sekaligus
benci kepada musuh yang mereka anggap sebagai keluarga Nabi dan celakanya
orang-orang yang dianggap musuh oleh Syiah itu justru merupakan orang-orang
terbaik di sisi Nabi.
Menurut
Sobari, ajaran Syiah adalah ajaran cinta dan benci yang keduanya menyesatkan.
Cinta yang salah karena mereka telah mengklaim mencintai keluarga Nabi tetapi
sekaligus membenci keluarga Nabi (tidak mencintai secara utuh keluarga Nabi
atau memilah-milah orang-orang tertentu,red).
“Nah,
ini persoalannya. Dan itu yang mereka ajarakan dan wujudkan dalam sebuah
perayaan yang sangat besar pengaruhnya bagi mereka,” tandasnya.*
Rep: Ibnu Sumari
Editor: Cholis Akbar
Hadits Ghadir Khum dalam Pandangan Sunni
Senin,
31 Desember 2012 - 10:02 WIB
Kata
"maula" memiliki 23 makna menurut Ibnu Mandzur.
Oleh:
Zahrul Bawady M. Daud
Membahas
masalah imamah/khalifah (khususnya khulafaur rasyidin) serta pertentangan
antara Sunni dan Syiah, pada akarnya akan membawa kita kepada satu peristiwa
terkenal yang disebut dengan Ghadir Khum (غدير خم), sebuah lembah antara Makkah
dan Madinah. Peristiwa ini semakin populer karena landasan imamah yang dikenal
dalam konsep akidah Syiah ada di sini. Meski sebagian kalangan Sunni tidak
terlalu familiar dengan peristiwa tersebut, kecuali mereka yang memfokuskan
diri kepada hadits dan sejarah.
Keotentikan
Hadits
Dalam
literatur Islam hadits Ghadir Khum ini berbunyi من كنت مولاه فعلي مولاه.
Sementara hadits ini memiliki jalur periwayatan yang cukup banyak. Hadits ini
diriwayatkan di dalam Musnad Imam Ahmad 2/71 nomor 641. Di dalam Musnad Ahmad,
Hadits ini masuk kategori Shahih Lighairih, karena memiliki sanad yang shahih
dari jalur periwayatan lain yang mencapai 30 sahabat. Imam Dzahabi di dalam
Siyar A’lam Nubala menyebut matan hadits ini mutawatir (8/335)
Hadits
tersebut juga diriwayatkan di dalam Mustadrak Hakim 3/109-110 yang mengambil
jalur Imam Ahmad dari Zaid bin Arqam. Hadits ini malah disebut shahih atas
syarat Imam Bukhari dan Muslim.I mam Dzahabi di dalam Mukhtashar Istidrak
Dzahabi Ala Mustadrak Hakim menyebut bahwa hadits ini memiliki 12 jalur
periwayatan.Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Turmudzy dalam Sunan 10/214,
Nasai dalam Khashaish, hal. 96, Imam Bazzar dalam Musnad 3/189, Ibn Hibban
dalah Shahih Ibn Hiban nomor 2205 dan jalur periwayatan lain sebagaimana
tertera di dalam kitab-kitab hadits.
Maka
tidak ada keraguan tentang keotentikan hadits ini sebagaimana telah dijelaskan
oleh berbagai ulama lintas zaman. Walaupun sanad pada beberapa jalur
periwayatan dianggap memiliki cacat akan tetapi memiliki penopang melalui
riwayat lain.
Amat
penting bagi kita untuk melihat keotentikan hadits sebelum membahas
pemaknaannya. Karena distorsi hadits tidak hanya terjadi pada sanad (jalur
riwayat), akan tetapi matan. Adakalanya matan (subtansi) isinya benar, namun
itu ternyata bukan hadits nabi. Pembahasan ini tentu akan lebih banyak kita
dapati ketika kita membahas sebab dan sejarah hadits palsu di dalam Islam.
Pemahaman
Hadits Versi Syiah
Hadits
Ghadir Khum ini sangat populer di kalangan Syiah sebagai dalil keabsahan Ali
Radhiyallahu ‘Anhu sebagai khalifah sepeninggal Rasulullah Shallallahu Alaihi
Wasallam. Sampai sampai seorang ulama kontemporer, Abdul Hasan Umainy dari
Syiah mengarang sebuah kitab berjudul Al Ghadir fil Kitab wa Sunnah wal Adab
dalam enam jilid.
Di
Ghadir Khum ini menurut versi Syiah, nabi menyampaikan salah satu risalah wahyu
sesuai yang diamanahkan oleh Allah dalam Surah Al Maidah :67. Menurut kalangan
Syiah, ayat ini turun setelah nabi menyebutkan hadits di atas.
Lebih lanjut,
Al Majlisi dalam Bihar Anwar juga mengomentari hadits Ghadir dimana ketika itu
kaum muslimin berkumpul dan nabi bersabda, “Wahai manusia, bukankah aku lebih
utama bagi seorang mukmin daripadanya dirinya sendiri? Lalu mereka menjawab,
benar. Kemudian nabi melanjutkan, من كنت مولاه فعلي مولاه.
Dan
menurut mereka, setelah Allah menurunkan wahyu terakhir (Alyauma akmaltu
lakum..), maka rasul mengatakan Maha besar Allah yang telah menyempurnakan
agama dan memilih Ali sebagai pemimpin setelahku. (Ghadir… 1/11).
Thibrisy
di dalam A’lam Wara halaman 169-170 memberikan asbab wurud (sebab
turunnya)hadits ini yang tak lain dan tak bukan adalah imamah Imam Ali
sepeninggal nabi, karena tidak mungkin memberikan makna kenabian, maka yang
paling tepat adalah imam. Walaupun ada sebagian kalangan Syiah yang menganggap
Ali sederajat dengan Nabi.
Dalam
konsep Syiah, hadits Ghadir ini tak pelak menjadi pegangan utama mereka dalam
memberikan hak khilafah “wajib” kepada Imam Ali. Karena menurut mereka sangat
jelas sabda nabi yang mengatakan bahwa siapa yang menganggap aku sebagai maulah
(pemimpinnya-versi Syiah-), maka Imam Ali adalah pemimpinnya.
Kepemimpinan
Imam Ali sepeninggal nabi dan keturunannnya menurut Syiah tidak boleh diingkari
dan menjadi hak utama. Di dalam Abhal Madad Fi Syarah Ulama Baghdad:116
disebutkan wajibnya hak-hak tersebut ditunaikan dan menjadi akidah umat Islam.
Pemahaman
Sunni Pada Tafsir Ayat dan Hadits
Haris
Suhaimi di dalam Tautsiq Sunnah Baina Syiah wa Ahli Sunnah menyebutkan bahwa
pengakuan bahwa kedua ayat tersebut tersebut turun di Ghadir sangat
bertentangan dengan konteks ayat tersebut secara keseluruhan. Dalam pemahaman
ahli tafsir Terutama pada surat Al Maidah:67 dimana melihat kenyataan bahwa
ayat sebelumnya semua ditujukan untuk mencela ahlul kitab dan menjelaskan
keingkaran mereka. Al Thabariy mengatakan bahwa ayat ini turun untuk
memerintahkan nabi mendakwahi ahlul kitab yang disebutkan oleh ayat sebelumnya
(Jami’ Al Bayan 6/307 ).
Sedangkan
ayat “Al yauma akmaltu lakum…” itu turun di Arafah, ini juga diakui oleh
seorang yang dianggap muhaddits dalam kalangan Syiah, Syaikh Kulaini di dalam
Ushul Kafy. Demikian juga dikuatkan oleh Thabary yang mengatakan ayat ini turun
hari Jumat pada hari Arafah, tepatnya ketika haji Wada’. Walaupun demikian, ada
beberapa Ahli Tafsir mencoba menggabung beberapa periwayatan asbab nuzul hadits
ini, diantaranya Al Alusy di dalam Ruhul Ma’any.
Kembali
ke hadits Ghadir Khum. Kata “maulah” yang terkandung di dalam hadits tersebut
tidak kurang mengandung 23 makna menurut Ibnu Mandhur di dalam Lisanul Arab.
Dan kita harus melihat konteks hadits tersebut untuk memastikan makna mana yang
dimaksud .Setelah diteliti oleh ulama Sunni, makna yang paling tepat adalah
makna mahabbah (kecintaan). Karena setelah kata kata فعلىي مولاه disambung
dengan sabda nabi اللهم وال من والاه و عاد من عاداه (Sanyangilah orang yang
menyayanginya dan bencilah orang yang yang membencinya).
Ini
jika kita teliti melihat konteks hadits tersebut. Apabila kita maknakan secara
makna khalifah atau pemimpin, maka penggalan hadits ini setelahnya akan sangat
paradoks dan tidak berdasar.
Haidar
Ali dalam Tahqiq Haula Nushsush Imamah menjelaskan kelemahan makna pemimpin
dalam maksud hadits akibat hadits tersebut tidak diikat dengan kata kata بعدى
(setelahku). Katakanlah jika yang dimaksud di sini mungkin benar bermakna
pemimpin, maka ketika itu akan terdapat dua kepemimpinan, yaitu kepemimpinan
Nabi dan Imam Ali, dan tentu kita tidak ada yang sepakat dalam hal ini.
Di
dalam I’tiqad Ala Madzhab Ahlus Sunnah wa Al Jama’ah: 205 Imam Baihaqi
menuturkan sebuah riwayat. Ketika Hasan bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib
ditanyakan kepadanya, Bukankan Nabi Muhammad telah mengatakan من كنت مولاه فعلي
مولاه, lantas Imam Hasan menjawab, sekiranya yang dimaksud oleh Nabi adalah
pemimpin, maka Nabi akan menjelaskannya secara lebih terperinci, sebagaimana
dijelaskannya perkara wajibnya shalat, puasa dan zakat.
Salah
satu bukti nyata bahwa hadits Ghadir ini tidak mengandung makna khalifah adalah
ketika terjadi Musyawarah Bani Tsaqifah yang pada akhirnya membaiat Abu Bakar
sebagai Khulafaur Rasyidin pertama, tidak ada seorang pun sahabat yang
menggunakan dalil ini untuk mengangkat Imam Ali. Padahal peristiwa Ghadir Khum
dan wafatnya Nabi hanya sekitar 70 hari saja dalam catatan sejarah. Padahal,
sahabat ini sangat memahami hadits ini dengan baik, lagipun mereka tak akan
bersepakat di dalam kesesatan.
Efek
Perbedaan Tafsir
Perbedaan
tafsir dan pemaknaan baik dari Ayat maupun hadits membawa efek besar dalam
akidah di kemudian hari. Inilah sebabnya perpecahan itu terkadang tidak dapat
disatukan. Lazimnya perkataan Syaikh Ali Al Shabuni yang berkunjung ke
Indonesia beberapa waktu lalu.
Mulanya
dalam hemat penulis, pandangan Syiah melaknat bahkan mengkafirkan sahabat
hanyalah klaim sepihak dari anti-Syiah saja.Akan tetapi setelah adanya referensi
dan telaah yang sedikit mendalam, akhirnya kita temukan bahwa fenomena tersebut
tidak hanya asal tuduh, namun dibuktikan di dalam kitab-kitab karya ulama Syiah
sendiri.
Al
Bahrany di dalam Syihabun Tsaqib:172 yang dianggap muhadits Syiah bahkan menganggap
bahwa khalifah sebelum Imam Ali adalah pencuri. Lebih jauh, Nurullah Tustury di
dalam Shawarim Al Muhriqah:5 menyebut khalifah yang tiga (Abu Bakar, Umar dan
Usman) sebagai orang yang melahirkan permusuhan dan kedhaliman.
Di
dalam sebuah kitab yang amat terkenal, Syarah Ushul Kafy karya Maula Muhammad
Shalih 5/112 disebutkan bahwa “khalifah adalah hak ahlul bait, kemudian datang
sekelompok pencuri yang akal dan daging mereka berkembang dalam menyembah
patung.” Dalil -dalil penghinaan terhadap sahabat oleh Syiah juga dapat kita
temukan di banyak referensi Syiah, seperti Tanzih Anbiya oleh Syarih Murtadha,
Syafi, Al Arba’in, karya Muhammad Thahir Al Qamy yang menyebut propaganda Bani
Tsaqifah untuk merebut hak Imam Ali. Bahkan Muhammad Baqir Al Majlisi di dalam
Haqqul Yaqin:367 menyebut Abu Bakar dan Umar layaknya Fir’un dan Hamman.
Na’udzubillah.
Lebih
jauh, Jamil Hamud di dalam Fawaid Bahiyah Fi Syarh Akidah Imamiah menyebut
bahwa Imamiah adalah bagian dari ushuluddin, serta wajibnya menyerahkan kekhalifahan
kepada Imam Ali dan Ahl Bait jika ingin keselamatan iman.
Kita,
tidak menolak hadits Ghadir Khum, sebagaimana kita tidak menolak untuk
mencintai ahlul bait. Tetapi sebagai ummat Islam, kita harus menolak segala
penyimpangan dan distorsi sejarah yang berkembang.Wallahu A’lam.
*Alumni Dayah Bustanul Ulum Langsa, Santri Al Azhar Kairo
Perayaan Idul Ghadir Bisa Jadi Basis
Ekspansi Ideologi Syiah
Kamis,
1 Oktober 2015 - 16:55 WIB
Melalui
hari raya Syiah inilah dilembagakan doktrinisasi ideologi imamah yang berujung
pada ketaatan kepada Waly al-Faqih
Peneliti
Syiah Dr Abdul Chair Ramadhan mengatakan bahwa ritual perayaan Idhul Ghadir
merupakan basis ekspansi ideologi imamah Syiah Iran yang sesat dan menyesatkan.
Dalam
ritual tersebut, Chair mengatakan, jika mereka yakin bahwa Nabi Muhammad
Shalallahu Alaihi Wasalam menyampailan surah al-Maidah: 3 bukan di Arafah,
melainkan di Ghadir Khum pada 18 Dzulhijjah.
“Mereka
(orang-orang Syiah) itu yakin sekali bahwa sempurnanya Islam sangat terkait
dengan ditetapkannya Syaidina Ali bin Abi Thalib sebagai suksesor Nabi
Muhammad,” ujar Chair kepada hidayatullah.com, Kamis (01/10/2015) pagi.
Untuk
itu, lanjut Chair, Syiah ini menyatakan kewajiban untuk berwilayah kepada imam
Ali, sehingga al-Imamah masuk dalam rukun Iman dan al-Wilayah masuk dalam rukun Islam versi Syiah.
“Konsekuensi
hukumnya, siapa saja yang ingkar terhadap Idhul Ghadir berarti dihukumi
murtad!” ujarnya.
Chair
menyebutkan orang pertama yang dihukumi murtad oleh Syiah adalah Syaidina Abu
Bakar Siddiq dan Syaidina Umar bin Khathab. Karena Syiah mengganggap telah
terjadi penghianatan atas perintah dari Nabi Muhammad di Ghadir
khum dan Saqifah Bani
Saidah yang mengangkat Syaidina Abu Bakar adalah tindakan makar terhadap
perintah Nabi.
“18
Dzulhijjah, ternyata tanggal yang sama dengan terbunuhnya Syaidina Utsman bin
Affan pada masa kekhalifahannya,” imbuh Chair.
Jadi,
menurut anggota Komisi Hukum dan Perundang-undangan Majelis Ulama Indonesia
(MUI) Pusat ini, merayakan ritual Idhul Ghadir adalah sama dengan merayakan
terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan.
“Idhul
Ghadir sangat berbahaya bagi masa depan NKRI, karena melalui hari raya Syiah
inilah dilembagakan doktrinisasi ideologi imamah yang berujung pada ketaatan
kepada Waly al-Faqih (Rahbar) sekarang ini yaitu Ali
Khamenei,” demikian tandasnya mengingatkan.*
Rep: Ibnu Sumari
Editor: Cholis Akbar