WAHABI: “Apa dalil yang Anda
gunakan dalam Tahlilan, sehingga komposisi bacaannya beragam atau campuran, ada
dzikir, ayat-ayat al-Qur’an, sholawat dan lain-lain?”
ASWAJA: “Mengapa Anda menanyakan
dalil? Apa pentingnya dalil bagi Anda, sedang Anda tidak mau Tahlilan?”
WAHABI: “Kalau Tahlilan tidak ada
dalilnya berarti bid’ah donk. Jangan Anda lakukan!”
WAHABI: “Ada dalilnya kok, kalo
Anda tidak bisa mendatangkan dalil ritual Tahlilan, berarti Anda membuat
tandingan syariat bagi Allah. Kan hanya Allah yang berhak membuat syariat.
Apakah Anda berhak membuat ritual ibadah baru dalam syariat? Perbuatan Anda itu
termasuk dalam larangan ayat dan hadits berikut:
Allah ta’ala berfirman:
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ
بِهِ اللَّهُ
“Apakah mereka memiliki sekutu-sekutu yang
membuat syariat agama untuk mereka, syariat yang tidak diizinkan oleh Allah?”
[QS. Asy-Syura: 21]
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا
لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa
mengamalkan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami, maka amalan
tersebut tertolak” [HR. Muslim]
Bukankah Rasulullah
tidak pernah memerintahkan ritual Tahlilan seperti yang Anda lakukan sekarang?
Kalo tidak diperintahkan, berarti amalan itu diterima atau ditolak?
WAHABI: Anda pernah
belajar ilmu Ushul Fiqih kan?
ASWAJA: Pernah,
memang kenapa?
WAHABI: Saya yakin
Anda pernah mendengar kaidah ushul fiqh ini [الأصل في العبادة التوقيف ] artinya hukum asal dalam hal ibadah adalah tauqif (harus
berlandaskan dalil).Tapi kenapa Anda membuat kaidah ushul fiqh sendiri,
seolah-olah Anda mengganti kaidah tersebut dengan kaidah [الأصل في العبادة مباح ] bahwa hukum asal dalam hal ibadah
adalah boleh, hingga ada dalil yang melarangnya. Logika Anda terbalik, seharusnya
saya yang meminta dalil kepada Anda. Tapi justru Anda yang meminta dalil yang
melarang, seolah-olah membuat-buat ibadah itu boleh hingga ada dalil yang
melarang”
ASWAJA: “Kalau Anda
tidak setuju dengan komposisi bacaan dalam Tahlilan, sekarang saya tanya kepada
Anda, bacaan dalam sholat itu satu macam atau campuran?”
WAHABI: “Ya, campuran
dan lengkap.”
ASWAJA: “Berarti
bacaan campuran itu ada contohnya dalam agama, yaitu sholat. Kalau begitu
mengapa Anda masih tidak mau Tahlilan?”
WAHABI: “Kalau sholat
kan memang ada tuntunan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Kalau
campuran dalam Tahlilan kan tidak ada tuntunan?”
ASWAJA: “Itu artinya,
agama tidak menafikan dan tidak melarang dzikir dengan komposisi campuran
seperti Tahlilan, dan dicontohkan dengan sholat.”
WAHABI: “Oke lah,
saya akan mengikuti pola berpikir Anda. Saya balik bertanya, apakah saya boleh
membaca secara campur doa istiftah, doa tasyahud dan doa ruku’ ketika ruku’?
ASWAJA: “Tidak boleh”
WAHABI: “Kenapa Anda
melarang? Adakah dalil yang melarang doa campuran ketika ruku’?
ASWAJA: “Tidak ada”
WAHABI: “Kalo tidak
ada dalil yang melarang, berarti Anda melarang amal shaleh yang tidak dilarang
dalam agama, menurut kaidah yang Anda pakai sendiri.”
ASWAJA: “Oh iya, tapi
tunggu dulu, saya memiliki dalil dzikir campuran, coba perhatikan hadits ini:
عَنْ أَنَسٍ رضي
الله عنه عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ : إِنَّ للهِ سَيَّارَةً مِنَ
الْمَلاَئِكَةِ يَطْلُبُوْنَ حِلَقَ الذِّكْرِ فَإِذَا أَتَوْا عَلَيْهِمْ
وَحَفُّوْا بِهِمْ ثُمَّ بَعَثُوْا رَائِدَهُمْ إِلىَ السَّمَاءِ إِلَى رَبِّ
الْعِزَّةِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى فَيَقُوْلُوْنَ : رَبَّنَا أَتَيْنَا عَلىَ
عِبَادٍ مِنْ عِبَادِكَ يُعَظِّمُوْنَ آَلاَءَكَ وَيَتْلُوْنَ كِتَابَكَ
وَيُصَلُّوْنَ عَلىَ نَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلم وَيَسْأَلُوْنَكَ
لآَخِرَتِهِمْ وَدُنْيَاهُمْ فَيَقُوْلُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى : غَشُّوْهُمْ
رَحْمَتِيْ فَيَقُوْلُوْنَ : يَا رَبِّ إِنَّ فِيْهِمْ فُلاَناً الْخَطَّاءَ
إِنَّمَا اعْتَنَقَهُمْ اِعْتِنَاقًا فَيَقُوْلُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى : غَشُّوْهُمْ
رَحْمَتِيْ فَهُمُ الْجُلَسَاءُ لاَ يَشْقَى بِهِمْ جَلِيْسُهُمْ . (رواه البزار
قال الحافظ الهيثمي في مجمع الزوائد: إسناده حسن، والحديث صحيح أو حسن عند الحافظ
ابن حجر، كما ذكره في فتح الباري 11/212)
“Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah memiliki para
malaikat yang selalu mengadakan perjalanan mencari majelis-majelis dzikir.
Apabila para malaikat itu mendatangi orang-orang yang sedang berdzikir dan
mengelilingi mereka, maka mereka mengutus pemimpin mereka ke langit menuju
Tuhan Maha Agung – Yang Maha Suci dan Maha Luhur. Para malaikat itu berkata:
“Wahai Tuhan kami, kami telah mendatangi hamba-hamba-Mu yang mengagungkan
nikmat-nikmat-Mu, membaca kitab-Mu, bershalawat kepada nabi-Mu Muhammad
shallallahu ‘alaihi wasallam dan memohon kepada-Mu akhirat dan dunia mereka.”
Lalu Allah menjawab:
“Naungi mereka dengan rahmat-Ku.” Lalu para malaikat itu berkata: “Di antara
mereka terdapat si fulan yang banyak dosanya, ia hanya kebetulan lewat lalu
mendatangi mereka.” Lalu Allah – Yang Maha Suci dan Maha Luhur – menjawab:
“Naungi mereka dengan rahmat-Ku, mereka adalah kaum yang tidak akan sengsara
orang yang ikut duduk bersama mereka.” (HR. al-Bazzar. Al-Hafizh al-Haitsami
berkata dalam Majma’ al-Zawaid [16769, juz 10, hal. 77]: “Sanad hadits ini
hasan.” Menurut al-Hafizh Ibnu Hajar, hadits ini shahih atau hasan).
Hadits di atas
menjadi dalil keutamaan dzikir berjamaah, dan isi bacaannya juga campuran, ada
dzikir, ayat-ayat al-Qur’an dan sholawat.”
WAHABI: “Tapi tidak
disebutkan di hadits, kalo dzikir tersebut dibaca secara berjama’ah dengan
suara keras. Anda mengambil kesimpulan sendiri di luar konteks hadits. Dalam
hadits hanya disebutkan para malaikat mendatangi hamba-hamba Allah yang
mengagungkan kalimat-Nya, hamba yang membaca kitab-Nya, hamba yang bershalawat
kepada nabi-Nya dan hamba yang memohon kebaikan dunia akhirat kepada-Nya.
Lafazh mana yang menunjukkan ritual berjama’ah? Anda ini mengada-ada…
Dalam kitab
Al-Madkhal, Al-Imam Ibnul Hajj Al-Maliki rahimahullah berkata:
إنه لم يختلف قول
مالك - رحمه الله - في القراءة جماعةً والذِّكْر جماعةً؛ أنها من البِدَع المكروهة
"Tidak ada
perselisihan dalam pendapat Malik rahimahullah dalam masalah bacaan Qur'an
secara berjamaah dan dzikir berjama'ah bahwa hal itu termasuk bid'ah yang
dibenci". Demikian pula dinukil dari Ibnu Rusyd rahimahullah dengan
redaksi yang sama dalam Al-Bayan wat Tafshil
Dalam kitab Syarh
Al-Khalil, Al-Imam Al-Khurasyi Al-Maliki rahimahullah berkata:
وكره مالكٌ اجتماع
القرَّاء، يقرؤون في سورةٍ واحدة، وقال: لم يكن من عمل الناس. ورآها بدعةً
"Malik membenci
perkumpulan orang-orang untuk membaca Al-Qur'an dimana mereka membaca satu
surat. Malik berkata: "Amalan itu
bukan amalan manusia (ahlul madinah)". Ia menganggapnya sebagai
bid'ah"
Sebagian ulama
menafsirkan majelis dzikir yang disebutkan keutamaannya dalam hadits-hadits
shahih adalah majelis ilmu
'Atha bin Abi Rabah
rahimahullah berkata:
مجالس الذِّكْر هي
مجالس الحلال والحرام؛ أي: مجالس العلم
"Majelis dzikir
adalah majelis (yang menjelaskan tentang) halal dan haram yaitu majelis
ilmu" Dinukilkan oleh Abu Nu'aim dalam Hilyatul Auliya'
Dalam kitab Al-Hawadits
wal Bida', Al-Imam Ath-Thurthusi rahimahullah berkata:
هذه الآثار تقتضي
جواز الاجتماع لقراءة القرآن الكريم على معنى الدرس له، والتعلُّم والمذاكرة، وذلك
يكون بأن يقرأ المتعلم على المعلم، أو يقرأ المُعَلِّم على المُتَعَلِّم، أو
يتساويا في العلم؛ فيقرأ أحدهما على الآخر على وجه المذاكرة والمدارسة، هكذا يكون
التعليم والتعلُّم، دون القراءة معاً
"Atsar-atsar ini
menunjukkan kebolehan berkumpul untuk membaca Al-Qur'an dalam artian memberikan
pengajaran, mempelajari ilmu dan mudzakarah. Hal itu dilakukan ketika seorang
penuntut ilmu membaca di hadapan pengajarnya atau pengajar membaca di hadapan
penuntut ilmu atau keduanya sama-sama mempelajari suatu cabang ilmu. Salah
satunya membacakan untuk yang lain udalam rangka mudzakarah dan mudarasah.
Demikianlah sistem pengajaran dan pembelajaran (yang dimaksud dalam hadits),
bukan dengan cara membaca (dzikir) bersama-sama"
ASWAJA: “Memang sih,
di hadits secara tekstual tidak disebutkan dzikir berjama'ah. Tapi kan bisa
buat dalil amalan kami.”
WAHABI: “Anda perlu
tahu, ketika berdalil menggunakan hadits, ada 4 point yang harus dipenuhi. Kalo
tidak memenuhi salah satu dari 4 point tersebut, maka pendalilan Anda tidak
tepat. Pertama, haditsnya shahih. Kedua, sisi pendalilannya jelas, tidak
ngambang. Ketiga, hadits tersebut tsabit, tidak mansukh. Keempat, hadits
tersebut rajih, artinya tidak bertentangan dengan dalil-dalil lain yang lebih
kuat. Kalo saya lihat, sisi pendalilan Anda terlalu ngambang, sehingga belum
memenuhi syarat berdalil dengan hadits”
WAHABI: “Lagipula
lafadz “dzikir” dalam Al-Qur’an dan hadits tidak mesti bermakna majelis dzikir
seperti yang Anda maksud. Saya akan berikan beberapa contoh. Allah ta’ala
berfirman:
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا
إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ
تَعْلَمُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila
kalian diseru untuk shalat pada hari Jum’at, maka bersegeralah kepada
dzikrullah dan tinggalkan jual-beli. Hal itu lebih baik bagi kalian jika kalian
mengetahui” [QS. Al-Jumu’ah: 9]
Para fuqaha dan ahli
tafsir menyatakan bahwa yang dimaksud dzikrullah dalam ayat adalah khutbah
Jum’at. Apakah Anda akan menganjurkan jamaah shalat Jum’at untuk membuat
majelis dzikir saat khatib berkhutbah?
ASWAJA: “Ya..ya..”
WAHABI: “Contoh
kedua, Allah ta’ala berfirman:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ
الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Maka bertanyalah kepada ahli dzikir jika
kalian tidak mengetahui” [QS. An-Nahl:43]
Para ulama telah
ijma’ bahwa yang dimaksud dengan ahli dzikir dalam ayat adalah ahli ilmu
(ulama), bukan orang yang aktif di majelis dzikir. Insya Allah jelas ya?
ASWAJA:
”Alhamdulillah jelas… Tapi itu kan interpretasi Anda sendiri. Apakah ulama
sunni juga memahami demikian, ketika menafsirkan hadits yang saya sebutkan”
WAHABI: “Kalo Anda
ingin penjelasan dari ulama, baiklah akan saya sebutkan beberapa perkataan
ulama berkenaan dengan masalah ini insya Allah.
Dalam kitab Ad-Durr
Ats-Tsamin Wal Maurid Al-Mu’in hal. 173 dan 212, Asy-Syaikh Muhammad bin Ahmad
Mayyarah Al-Maliki rahimahullah berkata:
كره مالك وجماعة من
العلماء لأئمة المساجد والجماعات الدعاء عقيب الصلوات المكتوبة جهراً للحاضرين
“Malik dan sekelompok ulama membenci para imam
masjid dan jamaah shalat berdoa setelah shalat fardhu dengan suara keras (jahr)
untuk orang-orang yang hadir”
Dalam kitab Al-Umm,
1/111 Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata:
واختار للإمام
والمأموم أن يذكرا الله بعد الانصراف من الصلاة، ويخفيان الذكر
“Aku memilih bagi imam dan makmum untuk
berdzikir dengan suara pelan (sirr) setelah selesai shalat fardhu…”
Imam Asy-Syafi’i
membolehkan imam mengeraskan bacaan dzikir, jika tujuannya untuk pengajaran.
Jika bukan untuk tujuan pengajaran, beliau tidak menyukainya.
Dalam kitab Al-Majmu’
Syarh Al-Muhadzab, 3/365-369 Al-Hafizh An-Nawawi rahimahullah berkata:
اتفق الشافعي
والأصحاب رحمهم الله تعالى على أنه يُستحب
ذكر الله تعالى بعد السلام، ويُستحب ذلك
للإمام والمأموم والمنفرد والرجل والمرأة والمسافر وغيره... وأما ما اعتاده الناس
أو كثير منهم من تخصيص دعاء الإمام بصلاتي الصبح والعصر، فلا أصل له
“Asy-Syafi’i dan para sahabatnya
rahimahumullah bersepakat bahwa disunahkan berdzikir setelah salam. Disunahkan
bagi imam, makmum, munfarid, laki-laki, perempuan, musafir dan selainnya…
Adapun apa yang menjadi kebiasaan manusia atau kebanyakan mereka dengan
mengkhususkan doa imam saat shalat Subuh dan Ashar, maka hal itu tidak ada
dalilnya..”
Dalam Majmu’
Al-Fatawa, 22/515 Ibnu Taimiyyah Al-Hambali rahimahullah berkata:
وأما دعاء الإمام
والمأمومين جميعاً عقيب الصلاة فلم ينقل هذا أحد عن النبي صلى الله عليه وسلم.
“Adapun doa imam dan makmum yang dilakukan
bersama-sama setelah shalat fardhu, hal itu tidak dinukilkan dari seorang pun
dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam”
Anda lihat bukan,
Imam Asy-Syafi’i lebih menyukai berdzikir dengan suara pelan, sedangkan Imam
An-Nawawi menyatakan mengkhususkan doa bagi imam setelah shalat Fardhu tidak
ada dalilnya!! Kalo Imam Asy-Syafi’i dan Imam An-Nawawi hidup di zaman kita,
saya khawatir beliau akan dituduh Wahabi…”
WAHABI: “Ini sedikit
contoh tentang pembahasan dzikir berjama’ah setelah shalat fardhu di kalangan
ulama empat madzhab. Mohon maaf, saya belum bisa menyebutkan perkataan ulama
empat madzhab dalam masalah ritual tahlil. Entah karena keterbatasan ilmu saya
atau karena memang ritual tersebut belum dikenal di kalangan ulama empat
madzhab, karena itu termasuk perkara baru yang diada-adakan oleh orang
belakangan.
WAHABI: “Kembali ke
pembahasan hadits, majelis dzikir yang termaktub dalam hadits yang Anda bawakan
bisa bermakna majelis dzikir atau bisa juga bermakna majelis ilmu, sehingga
memiliki dua kemungkinan penafsiran. Dalam kaidah ushul fiqh disebutkan[إذا جاء الإحتمال بطل الإستدلال] artinya jika terdapat berbagai
kemungkinan penafsiran dalam suatu dalil, maka istidlal menggunakan dalil
tersebut tidak sah. Sehingga saya memandang sisi pendalilan Anda tidak kuat”
ASWAJA: “Menurut
Anda, Syaikh Ibnu Taimiyah itu bagaimana?”
WAHABI: “Beliau
adalah Syaikhul Islam dari madzhab Hambali, sebagaimana Asy-Syaikh Zakariyya
Al-Anshari (Guru Al-Hafizh Ibnu Hajar) adalah Syaikhul Islam dari Madzhab
Syafi’i. Pendapat Ibnu Taimiyyah belum tentu kami ikuti. Jika pendapat beliau
mencocoki kebenaran, saya akan mengikutinya. Kalo pendapat beliau menyelisihi
kebenaran, tentu akan saya tinggalkan. Banyak contoh perkataan Ibnu Taimiyyah
yang tidak kami ikuti, tapi menyebutkan pembahasan tersebut, terlalu panjang
untuk dijabarkan di sini”
ASWAJA: “Syaikh Ibnu
Taimiyah justru menganjurkan Tahlilan dalam fatwanya. Beliau berkata:
وَسُئِلَ: عَنْ
رَجُلٍ يُنْكِرُ عَلَى أَهْلِ الذِّكْرِ يَقُولُ لَهُمْ : هَذَا الذِّكْرُ
بِدْعَةٌ وَجَهْرُكُمْ فِي الذِّكْرِ بِدْعَةٌ وَهُمْ يَفْتَتِحُونَ بِالْقُرْآنِ
وَيَخْتَتِمُونَ ثُمَّ يَدْعُونَ لِلْمُسْلِمِينَ الْأَحْيَاءِ وَالْأَمْوَاتِ
وَيَجْمَعُونَ التَّسْبِيحَ وَالتَّحْمِيدَ وَالتَّهْلِيلَ وَالتَّكْبِيرَ
وَالْحَوْقَلَةَ وَيُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم؟” فَأَجَابَ :
الِاجْتِمَاعُ لِذِكْرِ اللهِ وَاسْتِمَاعِ كِتَابِهِ وَالدُّعَاءِ عَمَلٌ صَالِحٌ
وَهُوَ مِنْ أَفْضَلِ الْقُرُبَاتِ وَالْعِبَادَاتِ فِي الْأَوْقَاتِ فَفِي
الصَّحِيحِ عَنْ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أَنَّهُ قَالَ : ( إنَّ للهِ
مَلَائِكَةً سَيَّاحِينَ فِي الْأَرْضِ فَإِذَا مَرُّوا بِقَوْمِ يَذْكُرُونَ
اللهَ تَنَادَوْا هَلُمُّوا إلَى حَاجَتِكُمْ ) وَذَكَرَ الْحَدِيثَ وَفِيهِ (
وَجَدْنَاهُمْ يُسَبِّحُونَك وَيَحْمَدُونَك )… وَأَمَّا مُحَافَظَةُ الْإِنْسَانِ
عَلَى أَوْرَادٍ لَهُ مِنْ الصَّلَاةِ أَوْ الْقِرَاءَةِ أَوْ الذِّكْرِ أَوْ
الدُّعَاءِ طَرَفَيْ النَّهَارِ وَزُلَفًا مِنْ اللَّيْلِ وَغَيْرُ ذَلِكَ :
فَهَذَا سُنَّةُ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِ
اللهِ قَدِيمًا وَحَدِيثًا. (مجموع فتاوى ابن تيمية، ٢٢/٥٢٠).
“Ibnu Taimiyah ditanya, tentang seseorang yang
memprotes ahli dzikir (berjamaah) dengan berkata kepada mereka, “Dzikir kalian
ini bid’ah, mengeraskan suara yang kalian lakukan juga bid’ah”. Mereka memulai
dan menutup dzikirnya dengan al-Qur’an, lalu mendoakan kaum Muslimin yang masih
hidup maupun yang sudah meninggal. Mereka mengumpulkan antara tasbih, tahmid,
tahlil, takbir, hauqalah (laa haula wa laa quwwata illaa billaah) dan shalawat
kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.?” Lalu Ibn Taimiyah menjawab:
“Berjamaah dalam berdzikir, mendengarkan al-Qur’an dan berdoa adalah amal
shaleh, termasuk qurbah dan ibadah yang paling utama dalam setiap waktu.
Dalam Shahih
al-Bukhari, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah
memiliki banyak Malaikat yang selalu bepergian di muka bumi. Apabila mereka
bertemu dengan sekumpulan orang yang berdzikir kepada Allah, maka mereka
memanggil, “Silahkan sampaikan hajat kalian”, lanjutan hadits tersebut terdapat
redaksi, “Kami menemukan mereka bertasbih dan bertahmid kepada-Mu”… Adapun
memelihara rutinitas aurad (bacaan-bacaan wirid) seperti shalat, membaca al-Qur’an,
berdzikir atau berdoa, setiap pagi dan sore serta pada sebagian waktu malam dan
lain-lain, hal ini merupakan tradisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
dan hamba-hamba Allah yang saleh, zaman dulu dan sekarang.” (Majmu’ Fatawa Ibn
Taimiyah, juz 22, hal. 520).
Pernyataan Syaikh
Ibnu Taimiyah di atas memberikan kesimpulan bahwa dzikir berjamaah dengan
komposisi bacaan yang beragam antara ayat al-Qur’an, tasbih, tahmid, tahlil,
shalawat dan lain-lain seperti yang terdapat dalam tradisi tahlilan adalah amal
shaleh dan termasuk qurbah dan ibadah yang paling utama dalam setiap waktu.
WAHABI: “Maaf Pak,
nukilan dari Ibnu Taimiyyah yang Anda bawakan kurang lengkap. Berikut redaksi
perkataan Ibnu Taimiyyah selanjutnya yang belum Anda sebutkan,
لكن ينبغي أن يكون
هذا أحيانا في بعض الأوقات والأمكنة فلا يجعل سنة راتبة يحافظ عليها إلا ما سنَّ
رسول الله- صلى الله عليه وسلم- المداومة عليه في الجماعات من الصلوات الخمس في
الجمعات ومن الجمعات والأعياد ونحو ذلك
“Namun semestinya hal itu dilakukan
kadang-kadang saja di sebagian waktu dan tempat. Janganlah ia menjadikannya
seperti sunah rawatib yang selalu dijaga, kecuali ibadah yang dilakukan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam secara terus menerus dengan berjama’ah,
misalkan shalat lima waktu, shalat Jum’at, shalat Ied dan yang semisalnya…”
Dari sisi lain, perlu
dibedakan antara berkumpul untuk berdzikir dan majelis dzikir jama’ah, keduanya
tidak sama. Kaum muslimin yang duduk mendengarkan khutbah jum’ah bisa disebut
berkumpul untuk berdzikir (mengingat Allah), jamaah shalat yang duduk berdzikir
dengan suara pelan setelah shalat fardhu juga bisa disebut berkumpul untuk
berdzikir. Para penuntut ilmu yang duduk mendengarkan kajian tafsir Al-Quran
juga bisa disebut berkumpul untuk berdzikir. Kaum muslimin yang mengaminkan doa
imam saat khutbah Jum’at juga bisa disebut berkumpul untuk berdzikir. Jadi,
berkumpul untuk berdzikir dan berdoa itu tidak selalu bid’ah.
Kami hanya
mengingkari model dzikir berjama’ah seperti yang biasa Anda lakukan, semoga
Anda tidak salah faham ya. Dalam fatwa yang Anda nukil, Ibnu Taimiyyah tidak
melarang berkumpul untuk berdzikir atau berkumpul untuk mendengarkan Al-Qur’an,
dan seterusnya. Beliau benar, itu memang sunah yang baik. Tapi jangan lupa,
beliau melarang merutinkannya seperti rangkaian ibadah shalat Jum’at yang di
dalamnya terdapat doa berjama’ah, karena butuh dalil khusus mengenai hal itu.”
Ibnu Taimiyyah
rahimahullah juga menyatakan:
والاجتماع على
القراءة والذِّكْر والدعاء حَسَنٌ, إذا لم يتخذ سُنَّةً راتبةً، ولا اقترن ببدعة
"Berkumpul untuk
membaca Al-Qur'an, berdzikir dan berdoa adalah suatu yang baik, selama tidak
dijadikan sebagai sunah rawatib (sunah yang dilakukan terus-menerus), tidak
pula diiringi dengan amalan bid'ah"
WAHABI: “Lain kali,
Anda kalo menukil perkataan ulama yang lengkap ya, biar teman-teman kami yang
belum banyak membaca tidak salah paham. Semestinya Anda juga harus jujur dalam
menukil, tidak boleh menukil perkataan ulama yang sesuai dengan selera
kelompoknya saja.”
ASWAJA: “Insya Allah
insya Allah, terima kasih atas kritik dan saran dari Anda”
WAHABI: “Semoga Allah
memberikan hidayah pada saya dan Anda untuk dapat beribadah sesuai dengan
petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.."
Ditulis oleh
Abul-Harits di Madinah, 16 Muharram 1437
Posted by Abul-Harits
at 5:06 PM
2 comments:
setiawanOct 30, 2015,
8:28:00 AM
Alhamdulillah,
syubhat dari Pak Idrus Ramli terjawab.
Barakallahu fikum...
Abul-HaritsOct 30,
2015, 10:45:00 AM
Saya telah
menambahkan sedikit perkataan ulama dalam artikel di atas sebagai revisi,
semoga menambah manfaat bagi kaum muslimin yang membacanya. Wafikum
barakallah...