Inilah Latarbelakang Pidato Rasulullah Dalam Peristiwa Ghadir
yang Dikaburkan Kelompok Syiah
Pakar Sirah, Asep Sobari, Lc, mengatakan
bahwa istilah ritual Idul Ghadir yang diklaim kaum Syiah sebagai hari besar ini
belum lama muncul di Indonesia. Namun menurutnya, banyak orang tersesat dengan
informasi sesungguhnya.
“Tapi sayang masih banyak masyarakat
kita yang belum tahu bahkan tidak peduli dengan persoalan tersebut,” kata
Sobari kepada hidayatullah.com di
Kalibata Jakarta, Senin (19/10/2015) siang.
Idul Ghadir, kata Sobari, bagi kelompok
Syiah adalah kepastian Rasulullah mengangkat Ali sebagai pengganti tanpa adanya
Abu Bakar, Umar dan Usman. Artinya bahwa itu juga sama saja sebuah penolakan
terhadap Abu Bakar, Umar dan Usman sebagai khalifah sepeninggal Rasulullah.
Kelompok Syiah mengklaim, Rasulullah
secara terbuka di hadapan orang yang ada diGhadir Khum mengumumkan
kalau penggantinya adalah Ali melalui sebuah pidatonya‘Man kuntu maulahu fa Ali maulahu’.
Dalam cerita Syiah, semua orang yang di Ghadir Khum saat
itu menjadi saksi pengangkatan Ali.
“Itu klaimnya kelompok Syiah. Dan secara
logika tidak masuk akal, sebab nggakmungkin
kalau semua orang berkhianat ketika akhirnya Abu Bakar yang dipilih sebagai
pengganti Rasulullah,” kata Sobari.
Sobari menegaskan bagi umat Islam,
perayaan Idul Ghadir sebagaimana yang diklaim Syiah itu tidak ada, yang benar
adalah peristiwa Ghadir Khum dan
pidato Rasulullah tetapi muatannya tidak seperti apa yang diklaim kelompok
Syiah dalam ritual Idul Ghadir.
“Bagi saya, semua Syiah yang merayakan
Idul Ghadir adalah Rafidhah. Dan itu sangat jelas karena bagi Syiah ritual itu
sangat penting,” ujarnya.
Sobari pun memaparkan sejarah terjadinya
peristiwa Ghadir, di mana itu terjadi setelah Rasulullah meninggalkan haji wada’, artinya
sudah berada di luar wilayah Makkah.
Kalau kelompok Syiah mengkalim
pengangkatan Ali, pertanyaannya kenapa tidak dilakukan di Arafah karena itu
lebih ber-nash ketimbang di Ghadir Khum sebab
di Arafah orang-orang pada berkumpul.
“Sementara kepentingan Rasulullah ketika
berpidato di Ghadir itu bukan soal struktur politik atau kekuasaan bahwa
pengganti setelah beliau adalah Ali,” imbuh Sobari.
Dalam pidato Rasulullah yang teksnya ‘Man kuntu maulahu fa Ali maulahu’ menurut
para ulama ahli bahasa, maula di
sini maknanya kepada wala’ bukan
kepada wilayah kekuasaan. Jadi ada beda muatan. Kalau wala’ lebih
kepada aspek yang emosional dan mengandung arti cinta, dukungan, dan loyalitas.
Artinya Rasulullah mengkaitkan Ali dalam pidatonya itu karena adanya aspek
emosional dan merupakan sebuah penegasan.
“Bukan bicara soal wilayah yang berarti
kekuasaan,” tegasnya.
Kemudian yang menjadi pertanyaan di sini
penegasan untuk apa? Ternyata menurut sejarah ada hal yang melatarbelakangi
masalah terkait dengan pengunaan kata maula tersebut. Dan sejalan dengan
latar-belakang masalah bahwa ketika sebelum hajiwada’, Rasulullah
meminta Ali untuk menjadi pengurus wilayah di Yaman.
Tetapi, lanjutnya, sebagian penduduk
Yaman ada yang tidak menyukai Ali sehingga berupaya ingin menjatuhkannya, dan
berita itu sampai kepada Rasulullah. Dari situ Rasulullah membela Ali bahwa apa
yang dilakukan Ali itu tidak pernah keluar dari koridor yang diinginkan oleh
Rasulullah, dan Rasulullah mendukung sepenuhnya bahwa Ali orang yang benar dan
jauh dari tuduhan penduduk Yaman tersebut.
“Dari kejadian itu, Rasulullah
mengingatkan melalui pidatonya di Ghadir dengan mengatakan ‘Jika kalian cinta
kepadaku maka kalian harus cinta kepada Ali’,” jelas Sobari.
Sobari menegaskan, latar-belakang ini
tentu penting sekali diketahui umat Islam karena kelompok Syiah mencoba
menghilangkannya seakan-akan yang ada ritual Idul Ghadir adalah sebuah program
memisahkan peristiwa Ghadir dari latar-belakang masalahnya yang sesungguhnya
yaitu mengklaim peristiwa Ghadir merupakan momen pengangkatan Ali sebagai
pengganti Rasulullah.
“Intinya memang Syiah ingin mengaburkan
sejarah dan banyak di antara kita yang memang nggak banyak
paham sejarah ini,” tandas Sobari.*
Rep: Ibnu Sumari
Editor: Cholis Akbar
Nubuwat Rasulullah tentang Syiah
Rabu,
14 Ramadhan 1436 H / 1 Juli 2015 16:43
Rasulullah shallalhu alaihi wa sallam telah memperkirakan akan datangnya suatu
kaum yang menamakan dirinya kaum Muslimin dan mengklaim diri sebagai keluarga
Nabi atau Ahlul Bait, namun pada hakekatnya merupakan musuh paling kejam
terhadap umat Islam. Inilah nubuwat atau info kenabian yang tiada siapapun yang
mengetahuinya melainkan dia seorang nabi.
Telah
dinubuwatkan oleh Rasulullah shallalhu alaihi wa sallam sebagaimana
yang telah diriwayatkan oleh Imam Ath-Thabrani dalam kitab Al Mu’jam Al Kabir No. 12998 :
Dari Ibnu Abbas ujarnya, saya pernah berada di sisi nabi shallalhu
alaihi wa sallam bersamaan dengan Ali. Saat itu Nabi bersabda kepada Ali :
“Wahai Ali, nanti akan muncul di tengah umatku suatu kaum yang berlebihan dalam
mencintai kita ahlul baiit, mereka dikenal dengan nama Syiah Rafidhah. Karena
itu bunuhlah mereka sebab mereka adalah kaum musyrik.”
Hal itu
tercantum pada halaman 91 buku Fakta Syiah bukan Islam karya Ustadz Abu Muhammad Jibriel
Abdurrahman.
Selanjutnya
selain dari nubuwat Rasulullah shallalhu alaihi wa sallam ini, khalifah Ali bin Ali Thalib sendiri berkata
: di belakang kami kelak akan muncul suatu kaum yang mengaku cinta kepada kamu.
Mereka suka berdusta dengan nama kamu, mereka sebenarnya keluar dari Islam.
Ciri mereka yaitu gemar memaki Abu Bakar dan Umar.
Ammar
bin Yasir berkata kepada seorang laki-laki yang mencerca Aisyah ketika berada
di sisi Ammar bin Yasir: “Pergilah kamu wahai orang yang celaka, apakah engkau
senang menyakiti kekasih Rasulullah shallalhu alaihi wa sallam.” (HR
At-Tarmidzi, hadits hasan)
Semua
golongan syiah senang sekali mencela Aisyah Radhiallahu’Anhu.
Demikianlah
sebenarnya sikap Rasulullah shallalhu alaihi wa sallam, Ali bin Thalib, dan Ammar bin Yasir yang
oleh Syiah dipandang sebagai tokoh-tokoh mereka, tetapi ternyata menyuruh kita
untuk memerangi Syiah karena mereka musyrik atau keluar dari Islam.
Buku
terbitan Arrahmah Publishing, Maret 2015 ini terdiri dari beberapa bagian,
yakni Mukadimah, Mengenali Syiah,
Sejarah munculnya gerakan Syiah, Syiah bukan Islam: Penyimpangan sesat Syiah, dan Catatan penting tentang Syiah
di Indonesia.
Pemesanan:
(azmuttaqin/arrahmah.com)
Ibnu Katsir: Tradisi
Syiah pada Hari Asyura Hanya Pamer
“Setiap muslim memang sepantasnya merasa sedih
atas musibah terhadap Husein ra. Bagaimana tidak? Ia adalah salah satu pemimpin
umat Islam, ulama sahabat, serta putra dari putri Rasulullah saw. Ibunya
merupakan putri beliau yang paling utama. Dia adalah ahli ibadah, pemberani,
dan dermawan.”
Itulah ungkapan Ibnu
Katsir menyesalkan pembunuhan Husein. Tetapi, lanjutnya, menampakkan kesedihan
dan kegundahan yang boleh jadi sebagian besarnya adalah dibuat-buat dan untuk
pamer yang dilakukan oleh Syiah bukanlah perbuatan baik. Padahal, bapaknya
lebih utama daripada dirinya.
Itulah sebabnya Ibnu
Katsir mempertanyakan ketulusan cinta kaum Syiah kepada ahli bait. “Mengapa
mereka tidak menjadikan hari pembunuhan Ali sebagai hari ratapan seperti yang
mereka lakukan terhadap hari pembunuhan Husein? Bapaknya dibunuh pada hari Jum’at
ketika mengimami shalat Subuh, tanggal 17 Ramadhan 40 Hijriah,” ungkapnya di
dalam kitab sejarah fenomenal beliau, Al-Bidayah wan Nihayah.
Di sisi lain, kata
Ibnu Katsir, Utsman lebih baik daripada Ali, menurut Ahli Sunnah wal Jamaah.
Dia dibunuh dalam keadaan terkepung di rumahnya pada hari-hari Tasyrik
Dzulhijjah 36 H. Ia dibunuh dengan urat nadi dipotong. Tetapi, manusia tidak
menjadikan hari kematiannya sebagai hari ratapan. Demikian juga Umar bin
Al-Khaththab yang lebih baik daripada Utsman dan Ali. Dia dibunuh dalam keadaan
sedang berdiri di mihrab pada waktu melaksanakan shalat Subuh, saat membaca
Al-Qur’an. Kaum muslimin pun tidak menjadikan hari pembunuhannya sebagai hari
ratapan. Demikian juga Abu Bakar Ash-Shiddiq yang lebih utama daripada Umar.
Manusia tidak menjadikan hari kematiannya sebagai hari ratapan.
Rasulullah saw yang
menjadi pemimpin anak cucu Adam di dunia dan di akhirat, Allah memanggilnya
kembali kepada-Nya seperti para nabi lain sebelumnya. Manusia tidak menjadikan
hari kematiannya sebagai hari ratapan, seperti yang dilakukan oleh orang-orang
yang bodoh pada hari kematian Husein.
Tidak ada seorang
pun yang hidup pada hari terbunuhnya Husein yang menyebutkan kejadian-kejadian
aneh yang diyakini Syiah. Gerhana matahari, langit memerah dan lain-lain tidak
terjadi pada waktu itu. Ucapan terbaik ketika mengingat musibah ini[1] dan musibah semacamnya adalah yang
diriwayatkan oleh Husein bin Ali dari kakeknya saw:
مَنْ أُصِيبَ بِمُصِيبَةٍ، فَذَكَرَ مُصِيبَتَهُ، فَأَحْدَثَ اسْتِرْجَاعًا،
وَإِنْ تَقَادَمَ عَهْدُهَا، كَتَبَ اللَّهُ لَهُ مِنَ الْأَجْرِ مِثْلَهُ يَوْمَ
أُصِيبَ
“Barang siapa tertimpa musibah kemudian
teringat kejadian tersebut lalu mengucapkan istirja’ (ucapan Innâ lillâhi wa
innâ ilaihi râji’ûn), meskipun kejadiannya telah berlalu, maka Allah tetap akan
menulis pahalanya seperti pahalanya saat tertimpa musibah.”[2]
Hadits ini
diriwayatkan dari Husein, oleh putrinya, Fathimah yang menyaksikan pembunuhan
terhadapnya. Dia mengetahui bahwa musibah yang dialami oleh Husein itu akan
senantiasa diingat walaupun sudah lama berlalu. Di antara kebaikan Islam adalah
membuatnya menceritakan sunnah ini dari Rasulullah saw. Yaitu setiap kali dia
ingat terhadap musibah ini, dia mengucapkan kata istirja’ itu, sehingga
seseorang itu mendapatkan pahala seperti ketika kaum muslimin mengalaminya
untuk pertama kalinya. Adapun orang yang melakukan hal-hal yang dilarang oleh
Rasulullah saw ketika musibah itu baru saja terjadi, sedangkan musibah itu
sudah lama berlalu, siksaannya lebih besar. Misalnya menampar-nampar pipi,
merobek-robek baju, dan menyerukan seruan jahiliah.[3]
——————–
[1] Al-Bidâyah wan Nihâyah, XI/579
[2] Ibnu Mâjah, hadits no : 1600; pada sanadnya
ada kelemahan; Dla’îf Sunan Ibni Mâjah, hadits no : 349
[3] Al-Fatâwâ, IV/312
* Disadur dari
Ensiklopedi Sejarah Dr Ali Ash-Shalabi oleh Agus Abdullah. Semoga Allah
memberikan pahala jariyah kepada beliau.