Friday, October 30, 2015

Latarbelakang Pidato Rasulullah Dalam Peristiwa Ghadir yang Dikaburkan Kelompok Syiah. Ibnu Katsir: Tradisi Syiah pada Hari Asyura Hanya Pamer. Nubuwat Rasulullah tentang Syiah.

Inilah Latarbelakang Pidato Rasulullah Dalam Peristiwa Ghadir yang Dikaburkan Kelompok Syiah

Inilah Latarbelakang Pidato Rasulullah Dalam Peristiwa Ghadir yang Dikaburkan Kelompok Syiah

Pakar Sirah, Asep Sobari, Lc, mengatakan bahwa istilah ritual Idul Ghadir yang diklaim kaum Syiah sebagai hari besar ini belum lama muncul di Indonesia. Namun menurutnya, banyak orang tersesat dengan informasi sesungguhnya.
“Tapi sayang masih banyak masyarakat kita yang belum tahu bahkan tidak peduli dengan persoalan tersebut,” kata Sobari kepada hidayatullah.com di Kalibata Jakarta, Senin (19/10/2015) siang.
Idul Ghadir, kata Sobari, bagi kelompok Syiah adalah kepastian Rasulullah mengangkat Ali sebagai pengganti tanpa adanya Abu Bakar, Umar dan Usman. Artinya bahwa itu juga sama saja sebuah penolakan terhadap Abu Bakar, Umar dan Usman sebagai khalifah sepeninggal Rasulullah.
Kelompok Syiah mengklaim, Rasulullah secara terbuka di hadapan orang yang ada diGhadir Khum mengumumkan kalau penggantinya adalah Ali melalui sebuah pidatonya‘Man kuntu maulahu fa Ali maulahu’.  Dalam cerita Syiah,  semua orang yang di Ghadir Khum saat itu menjadi saksi pengangkatan Ali.
“Itu klaimnya kelompok Syiah. Dan secara logika tidak masuk akal, sebab nggakmungkin kalau semua orang berkhianat ketika akhirnya Abu Bakar yang dipilih sebagai pengganti Rasulullah,” kata Sobari.
Sobari menegaskan bagi umat Islam, perayaan Idul Ghadir sebagaimana yang diklaim Syiah itu tidak ada, yang benar adalah peristiwa Ghadir Khum dan pidato Rasulullah tetapi muatannya tidak seperti apa yang diklaim kelompok Syiah dalam ritual Idul Ghadir.
“Bagi saya, semua Syiah yang merayakan Idul Ghadir adalah Rafidhah. Dan itu sangat jelas karena bagi Syiah ritual itu sangat penting,” ujarnya.
Sobari pun memaparkan sejarah terjadinya peristiwa Ghadir, di mana itu terjadi setelah Rasulullah meninggalkan haji wada’, artinya sudah berada di luar wilayah Makkah.
Kalau kelompok Syiah mengkalim pengangkatan Ali, pertanyaannya kenapa tidak dilakukan di Arafah karena itu lebih ber-nash ketimbang di Ghadir Khum sebab di Arafah orang-orang pada berkumpul.
“Sementara kepentingan Rasulullah ketika berpidato di Ghadir itu bukan soal struktur politik atau kekuasaan bahwa pengganti setelah beliau adalah Ali,” imbuh Sobari.
Dalam pidato Rasulullah yang teksnya ‘Man kuntu maulahu fa Ali maulahu’ menurut para ulama ahli bahasa, maula di sini maknanya kepada wala’ bukan kepada wilayah kekuasaan. Jadi ada beda muatan. Kalau wala’ lebih kepada aspek yang emosional dan mengandung arti cinta, dukungan, dan loyalitas. Artinya Rasulullah mengkaitkan Ali dalam pidatonya itu karena adanya aspek emosional dan merupakan sebuah penegasan.
“Bukan bicara soal wilayah yang berarti kekuasaan,” tegasnya.
Kemudian yang menjadi pertanyaan di sini penegasan untuk apa? Ternyata menurut sejarah ada hal yang melatarbelakangi masalah terkait dengan pengunaan kata maula tersebut. Dan sejalan dengan latar-belakang masalah bahwa ketika sebelum hajiwada’, Rasulullah meminta Ali untuk menjadi pengurus wilayah di Yaman.
Tetapi, lanjutnya, sebagian penduduk Yaman ada yang tidak menyukai Ali sehingga berupaya ingin menjatuhkannya, dan berita itu sampai kepada Rasulullah. Dari situ Rasulullah membela Ali bahwa apa yang dilakukan Ali itu tidak pernah keluar dari koridor yang diinginkan oleh Rasulullah, dan Rasulullah mendukung sepenuhnya bahwa Ali orang yang benar dan jauh dari tuduhan penduduk Yaman tersebut.
“Dari kejadian itu, Rasulullah mengingatkan melalui pidatonya di Ghadir dengan mengatakan ‘Jika kalian cinta kepadaku maka kalian harus cinta kepada Ali’,” jelas Sobari.
Sobari menegaskan, latar-belakang ini tentu penting sekali diketahui umat Islam karena kelompok Syiah mencoba menghilangkannya seakan-akan yang ada ritual Idul Ghadir adalah sebuah program memisahkan peristiwa Ghadir dari latar-belakang masalahnya yang sesungguhnya yaitu mengklaim peristiwa Ghadir merupakan momen pengangkatan Ali sebagai pengganti Rasulullah.
“Intinya memang Syiah ingin mengaburkan sejarah dan banyak di antara kita yang memang nggak banyak paham sejarah ini,” tandas Sobari.*
Rep: Ibnu Sumari
Editor: Cholis Akbar

Nubuwat Rasulullah tentang Syiah

Rabu, 14 Ramadhan 1436 H / 1 Juli 2015 16:43
Rasulullah shallalhu alaihi wa sallam telah memperkirakan akan datangnya suatu kaum yang menamakan dirinya kaum Muslimin dan mengklaim diri sebagai keluarga Nabi atau Ahlul Bait, namun pada hakekatnya merupakan musuh paling kejam terhadap umat Islam. Inilah nubuwat atau info kenabian yang tiada siapapun yang mengetahuinya melainkan dia seorang nabi.
Telah dinubuwatkan oleh Rasulullah shallalhu alaihi wa sallam sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Imam Ath-Thabrani dalam kitab Al Mu’jam Al Kabir No. 12998 :
Dari Ibnu Abbas ujarnya, saya pernah berada di sisi nabi shallalhu alaihi wa sallam bersamaan dengan Ali. Saat itu Nabi bersabda kepada Ali : “Wahai Ali, nanti akan muncul di tengah umatku suatu kaum yang berlebihan dalam mencintai kita ahlul baiit, mereka dikenal dengan nama Syiah Rafidhah. Karena itu bunuhlah mereka sebab mereka adalah kaum musyrik.”
Hal itu tercantum pada halaman 91 buku Fakta Syiah bukan Islam karya Ustadz Abu Muhammad Jibriel Abdurrahman.
Selanjutnya selain dari nubuwat Rasulullah shallalhu alaihi wa sallam ini, khalifah Ali bin Ali Thalib sendiri berkata : di belakang kami kelak akan muncul suatu kaum yang mengaku cinta kepada kamu. Mereka suka berdusta dengan nama kamu, mereka sebenarnya keluar dari Islam. Ciri mereka yaitu gemar memaki Abu Bakar dan Umar.
Ammar bin Yasir berkata kepada seorang laki-laki yang mencerca Aisyah ketika berada di sisi Ammar bin Yasir: “Pergilah kamu wahai orang yang celaka, apakah engkau senang menyakiti kekasih Rasulullah shallalhu alaihi wa sallam.” (HR At-Tarmidzi, hadits hasan)
Semua golongan syiah senang sekali mencela Aisyah Radhiallahu’Anhu.
Demikianlah sebenarnya sikap Rasulullah shallalhu alaihi wa sallam, Ali bin Thalib, dan Ammar bin Yasir yang oleh Syiah dipandang sebagai tokoh-tokoh mereka, tetapi ternyata menyuruh kita untuk memerangi Syiah karena mereka musyrik atau keluar dari Islam.
Buku terbitan Arrahmah Publishing, Maret 2015 ini terdiri dari beberapa bagian, yakni Mukadimah, Mengenali Syiah, Sejarah munculnya gerakan Syiah, Syiah bukan Islam: Penyimpangan sesat Syiah, dan Catatan penting tentang Syiah di Indonesia.
Pemesanan: 

(azmuttaqin/arrahmah.com)

Ibnu Katsir: Tradisi Syiah pada Hari Asyura Hanya Pamer

Ibnu Katsir: Tradisi Syiah pada Hari Asyura Hanya Pamer
“Setiap muslim memang sepantasnya merasa sedih atas musibah terhadap Husein ra. Bagaimana tidak? Ia adalah salah satu pemimpin umat Islam, ulama sahabat, serta putra dari putri Rasulullah saw. Ibunya merupakan putri beliau yang paling utama. Dia adalah ahli ibadah, pemberani, dan dermawan.”
Itulah ungkapan Ibnu Katsir menyesalkan pembunuhan Husein. Tetapi, lanjutnya, menampakkan kesedihan dan kegundahan yang boleh jadi sebagian besarnya adalah dibuat-buat dan untuk pamer yang dilakukan oleh Syiah bukanlah perbuatan baik. Padahal, bapaknya lebih utama daripada dirinya.
Itulah sebabnya Ibnu Katsir mempertanyakan ketulusan cinta kaum Syiah kepada ahli bait. “Mengapa mereka tidak menjadikan hari pembunuhan Ali sebagai hari ratapan seperti yang mereka lakukan terhadap hari pembunuhan Husein? Bapaknya dibunuh pada hari Jum’at ketika mengimami shalat Subuh, tanggal 17 Ramadhan 40 Hijriah,” ungkapnya di dalam kitab sejarah fenomenal beliau, Al-Bidayah wan Nihayah.
Di sisi lain, kata Ibnu Katsir, Utsman lebih baik daripada Ali, menurut Ahli Sunnah wal Jamaah. Dia dibunuh dalam keadaan terkepung di rumahnya pada hari-hari Tasyrik Dzulhijjah 36 H. Ia dibunuh dengan urat nadi dipotong. Tetapi, manusia tidak menjadikan hari kematiannya sebagai hari ratapan. Demikian juga Umar bin Al-Khaththab yang lebih baik daripada Utsman dan Ali. Dia dibunuh dalam keadaan sedang berdiri di mihrab pada waktu melaksanakan shalat Subuh, saat membaca Al-Qur’an. Kaum muslimin pun tidak menjadikan hari pembunuhannya sebagai hari ratapan. Demikian juga Abu Bakar Ash-Shiddiq yang lebih utama daripada Umar. Manusia tidak menjadikan hari kematiannya sebagai hari ratapan.
Rasulullah saw yang menjadi pemimpin anak cucu Adam di dunia dan di akhirat, Allah memanggilnya kembali kepada-Nya seperti para nabi lain sebelumnya. Manusia tidak menjadikan hari kematiannya sebagai hari ratapan, seperti yang dilakukan oleh orang-orang yang bodoh pada hari kematian Husein.
Tidak ada seorang pun yang hidup pada hari terbunuhnya Husein yang menyebutkan kejadian-kejadian aneh yang diyakini Syiah. Gerhana matahari, langit memerah dan lain-lain tidak terjadi pada waktu itu. Ucapan terbaik ketika mengingat musibah ini[1]  dan musibah semacamnya adalah yang diriwayatkan oleh Husein bin Ali dari kakeknya saw:
مَنْ أُصِيبَ بِمُصِيبَةٍ، فَذَكَرَ مُصِيبَتَهُ، فَأَحْدَثَ اسْتِرْجَاعًا، وَإِنْ تَقَادَمَ عَهْدُهَا، كَتَبَ اللَّهُ لَهُ مِنَ الْأَجْرِ مِثْلَهُ يَوْمَ أُصِيبَ
 “Barang siapa tertimpa musibah kemudian teringat kejadian tersebut lalu mengucapkan istirja’ (ucapan Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji’ûn), meskipun kejadiannya telah berlalu, maka Allah tetap akan menulis pahalanya seperti pahalanya saat tertimpa musibah.”[2]
Hadits ini diriwayatkan dari Husein, oleh putrinya, Fathimah yang menyaksikan pembunuhan terhadapnya. Dia mengetahui bahwa musibah yang dialami oleh Husein itu akan senantiasa diingat walaupun sudah lama berlalu. Di antara kebaikan Islam adalah membuatnya menceritakan sunnah ini dari Rasulullah saw. Yaitu setiap kali dia ingat terhadap musibah ini, dia mengucapkan kata istirja’ itu, sehingga seseorang itu mendapatkan pahala seperti ketika kaum muslimin mengalaminya untuk pertama kalinya. Adapun orang yang melakukan hal-hal yang dilarang oleh Rasulullah saw ketika musibah itu baru saja terjadi, sedangkan musibah itu sudah lama berlalu, siksaannya lebih besar. Misalnya menampar-nampar pipi, merobek-robek baju, dan menyerukan seruan jahiliah.[3]
——————–
[1]  Al-Bidâyah wan Nihâyah, XI/579
[2]  Ibnu Mâjah, hadits no : 1600; pada sanadnya ada kelemahan; Dla’îf Sunan Ibni Mâjah, hadits no : 349
[3]  Al-Fatâwâ, IV/312
* Disadur dari Ensiklopedi Sejarah Dr Ali Ash-Shalabi oleh Agus Abdullah. Semoga Allah memberikan pahala jariyah kepada beliau.