Oleh : Syekh Mamduh
Farhan Al Buhairi
Syubhat: Kalian ahlussunnah mengekalim bahwa kalian memiliki
empat sumber rujukan dalam pensyariatan. Yaitu al-Qur`an, as-sunnah, Qiyas, dan
ijtihad. Sekalipun demikian, kami tidak menemukan bahwa dalam pemilihan kalian
terhadap kekhalifahan Abu Bakar, kalian tidak mengambil sumber-sumber itu?
Jawab:
pertama, saya ingin meluruskan ucapan Anda, bahwa sumber pensyariatan yang
empat itu adalah al-Qur`an, as-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Adapun ijtihad maka itu
diperselisihkan dan bukanlah termasuk dalil-dalil yang disepakati.
Demikian
pula wajib bagi Anda untuk mengetahui bahwa yang wajib dipegang erat oleh kaum
muslimin adalah al-Qur`an dan sunnah, keduanya adalah dua wahyu yang diturunkan
dari langit. Imam as-Syafi’i Rahimahullah berkata, ‘Setiap ucapan, dalam segala
keadaannya, tidaklah mewajibkan sesuatu kecuali dengan (penguat) al-Qur`an,
atau sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dan selain keduanya maka
mengikuti keduanya.’ (Jima’ul ‘Ilmi (11))
Kemudian,
para ulama beristinbath dari kedua sumber ini dengan sebuah landasan lain yang
diatasnyalah hukum-hukum itu memungkinkan untuk dibangun. Para ulama menyebut
nama sumber syariat itu adalah Ijma’ dan qiyas.
Seluruh
sumber-sumber hukum yang empat itu telah diambil ibrahnya saat pemilihian Abu
Bakar Radhiallahu ‘Anhu sebagai seorang khalifah bagi kaum muslimin di Tsaqifah
Bani Sa’idah.
Al-Qur`an
yang mulia telah memuji Abu Bakar Radhiallahu ‘Anhu, dan dalam sunnahpun
terdapat nash yang menunjukkan kekhilafahan Abu Bakar Radhiallahu ‘Anhu.
Dalil-dalil
sunnah telah datang lebih dulu dalam menetapkan kekhilafahan Abu Bakar, dan
tidak adanya nash akan kekhilafahan selainnya. Dengan ini pula kitab-kitab
Syi’ah berbicara selain kitab-kitab sunnah. Yang saya maksud adalah bahwa Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak memberikan nash atas Ali Radhiallahu ‘Anhu
sebagaimana nash atas Abu Bakar Radhiallahu ‘Anhu.
Dan
Ijma’, telah terjadi, seluruh kaum muslimin telah membaiat Abu Bakar dengan
Ijma’ (sepakat bulat). Dan diantara mereka yang membaiat Abu Bakar Radhiallahu
‘Anhu adalah Ali Radhiallahu ‘Anhu dan seluruh Ahlul bait.
Adapun
qiyas, maka sesungguhnya yang mengqiyaskan permasalahan ini adalah Ali bin Abi
Thalib Radhiallahu ‘Anhu yang dia berkata,
فَرَضِينَا
لِدُنْيَانَا مَنْ رَضِيَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
لِدِينِنَا
“Maka kami ridha untuk dunia kami terhadap orang yang
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ridha untuk agama kami.”
Ini
adalah sebuah qiyas yang nyata atas sesuatu yang lebih jelas.
Jika
urusan agama lebih agung, maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah
mengedepankan Abu Bakar Radhiallahu ‘Anhu dalam shalat yang itu merupaka tiang
agama, sementara dunia itu mengikuti agama. Maka para sahabat mengedepankan Abu
Bakar Radhiallahu ‘Anhu dalam urusan dunia mereka, yaitu kekhilafahan.
Dengan
inilah, menjadi terkumpullah seluruh dalil dari al-Qur`an, sunnah, Ijma’ dan
qiyas atas kekhilafahan Abu Bakar Radhiallahu ‘Anhu, dan tidak seperti yang
Anda klaim bahwa kekhilafahan itu tidak diambil dengan jelas. Kami memohon
hidayah kepada Allah bagi kami dan Anda.
Setelah Rasulullah wafat, benih-benih
perpecahan mulai tampak yang ditandai dengan perbedaan dalam menentukan
pengganti Nabi sebagai pemimpin masyarakat. Puncak perpecahan itu terjadi pada
akhir kepemimpinan Khulafa’ al-Rasyidun dengan terjadinya perepcahan di bidang
politik yang berujung pada Perang Jamal dan Shiffin. (Prof.
Dr. Ahmad M Sewang, Wakil Rektor Bidang Akademik dan Pengembangan Kelembagaan
UIN Alauddin Makassar).
Tanggapan Ust. Muh. Said
Abd. Shamad, Lc
Allah SWT memuji rasulullah sebagai pribadi yang
memiliki akhlak yang amat luhur, yang menjadi rahmat dan karunia Allah bagi
kaum mukminin, sehingga mereka keluar dari alam jahiliah ke alam yang beradab.
“Sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (QS. Al-Qalam:
4). Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang beriman, ketika Dia
mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang
memabcakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan jiwa mereka, dan
mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah. Dan sesungguhnya dahulu
mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata. (QS. Ali Imran: 164).
Karena kelebihan rasul SAW, maka para sahabat
yang dididik lasngsung oleh beliau juga memiliki akhlak dan kepribadian yang
luar biasa, dalam bidang akidah, ibadah, dan akhlak serta semangat ijtihad yang
tinggi, sehingga mereka dijanji oleh Allah ta’ala sebagai golongan yang harus
diteladani agar diridhai oleh Allah, mendapatkan surga dan kemenangan yang
besar, “Dan orang-orang yang terdahulu lagi pertama-tama (masuk Islam) yaitu
orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan
baik Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah, dan Allah
menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai,
mereka kekal padanya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar. (QS.
At-Taubah: 100).
Di antara karekter yang berhasil ditanamkan oleh
Nabi SAW dalam diri mereka adalah ukhuwah islamiyah (persaudaraan) dalam bentuk
persatuan, tolong-menolong, kasih sayang, cinta mencintai, bahkan sampai kepada
sifat itsar atau mendahulukan saudara seiman daripada diri
sendiri.
“Muhammad utusan Allah dan orang-orang
bersamanya adalah keras terhadap orang-orang kafir dan berkasih sayang sesama
mereka...” (QS. Al-Fathir: 29); “Mereka mencintai orang-orang yang berhijrah
kepada mereka, dan mereka tiada menaruh keinginan tersebut terhadap apa yang
diberikan kepada mereka (yang berhijrah), dan (bahkan) mereka lebih
mengutamakan mereka yang berhijrah daripada mereka sendiri, meskipun mereka
sendiri butuh”. (QS. Al-Hasyr: 9). “Dan Dia (Allah) yang mempersatukan hati
mereka (orang-orang yang beriman). walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan)
yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan
tetapi Allah telah mempersatukan mereka. Sesungguhnya Dia Maha gagah lagi Maha
Bijaksana”. (QS. Al-Anfal: 63).
Begitulah contoh-contoh di antara sekian banyak
dalil yang membantah pendapat Prof Ahmad Sewang di atas, dan pendapat kaum
Syiah yang mengatakan Nabi SAW telah mewasiatkan kepemimpinan umat (Imamah)
kapada Ahli Baitnya (keluarga)nya, yaitu Ali ra dan keturunannya, dan dengan
demikian (menurut Syiah) Abu Bakar, Umar, Utsman dan seluruh sahabat yang ridha
atas kepemimpinan ketiganya adalah pengkhianat wasiat rasul SAW. Begitu kuatnya
keyakinan ini pada orang Syiah sehingga mereka menjadikannya sebagai rukun
agama, rukun iman dan rukun Islam. Salah satu rukun iman Syiah adalah imamah,
kepercayaan kepada imam mereka yang dua belas. Siapa yang tidak percaya
imam-imam tersebut, lalu mati, mati jahiliah, mati di luar Islam, (Jalaluddin
Rakhmat (ed.) dalam Emilia Renita, 40 Masalah Syiah). Dan salah satu rukun
Islam Syiah adalah ‘wilayah’, yaitu mengikrarkan bahwa sesudah nabi SAW wafat,
maka kepemimpinan itu harus beralih secara langsung tanpa perantara kepada Ali
ra. Itulah sebabnya, maka adzan orang-orang Syiah ditambah “Wa Asyhadu anna
Aliyyan waliyullah”, sebagimana penuturan KH. Bukhari Maksum, ketua MUI Sampang
pada kejaksaan Sampang, bahwa orang Syiah Sampang memiliki tiga kalimat
syahadat, dengan tambahan, “Wa asyhadu anna Aliyyan waliyullah. Dan saya
bersaksi bahwa Ali adalah wali Allah”.
Tidak ada benih-benih perpecahan pada pemilihan
Abu Bakar sepeninggal Rasulullah, tetapi yang ada ialah riak-riak kecil yang
terjadi karena ijtihad pribadi atau kelompok yang dengan mudah dapat tertangani
dan distabilkan setelah dalil-dalil agama jelas kepada mereka. Dalam Shahih
Bukhari disebutkan, “Anshar berkumpul untuk memilih Saad bin Ubadah di Tsaqifah
Bani Sa’adah, dan mereka berkata, “Kami memilih amir dan kalian (kaum
Muhajirin) memilih amir (sendiri). Maka Abu Bakar, Umar, dan Abu Ubaidah
mendatangi mereka. Lalu Umar ingin bicara namun didiamkan oleh Abu Bakr ra.
Bagaimana mungkin benih perpecahan itu mulai
tampak karena perbedaan dalam menentukan pengganti Nabi SAW sebagai pemimpin
masyarakat dan umat? padahal ayat-ayat di atas menegaskan bahwa mereka (para
sabahat) telah dipersatukan hati mereka oleh Allah, telah dikeluarkan dari
kesesatan yang nyata, telah diridhai oleh Allah, berkasih sayang di antara
mereka. Bahkan mengikuti mereka dijadikan sebagai penentu bagi siapa saja yang
ingin diridahi Allah. Lebih keliru lagi kalau dikatakan perpecahan itu mencapai
puncaknya yang berujung pada Perang Jamal dan Shiffin.
Tidak ada perpecahan dalam pemilihan Abu Bakar
sebagai khalifah pasca Rasulullah wafat, yang ada ialah perbedaan pendapat yang
disebabkan ijtihad pribadi atau kelompok yang tidak dipertajam bahkan setelah
disampaikan dalil kuat dengan segera mereka ruju’ pada kebenaran sesuai firman
Allah, “Sesungguhnya jawaban orang-orang beriman, apabila mereka diajak kepada
[hukum] Allah dan rasul-Nya agar menjadi hukum di antara mereka ialah ucapan,
‘Kami dengar dan kami patuh’ dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS.
An-Nur: 51).
Pembaiatan Abu Bakar ra
Setelah tersiar berita duka wafatnya Rasulullah
SAW, kaum Anshar, penduduk asli Madinah segera mengadakan pertemuan untuk
memilih pemimpin dari kalangan mereka sendiri, yaitu Saad bin Ubadah. Abu
Bakar, Umar, dan Abu Ubaidah bin Jarrah segera mendatangi mereka. Lalu Abu
Bakar mengemukakan alasan dan berkatan, “Wahai kaum Anshar, sesungguhnya anda
sekalian adalah orang-orang yang memiliki keutamaan, namun orang-orang Arab
tidak mengenal alasan kepemimpinan kecuali harus dipegang oleh orang-orang
Quraisy karena merekalah yang paling mulia di antara orang-orang Arab negeri dan
keturunannya. Maka saya telah ridha, salah seorang di antara dua orang ini
untuk kami pilih dan kami baiat, lalu Abu Bakar memegang tangan Umar dan tangan
Abu Ubaidah ra, kemudian berdiri seseorang dan berkata, ‘Kami punya amir dan
kamu punya amir tersendiri wahai orang-orang Quraisy. Maka terjadilah kegaduhan
dan hiruk-pikuk. Umar berkata kepada Abu Bakar ulurkan tanganmu, saya
membaiatmu.’ Maka Abu Bakar memberikan tangannya lalu dibaiat oleh Umar, lalu
orang-orang Quraisy dan kemudian orang-orang Anshar menyusul membaiat Abu Bakr.
(Difa’ ‘An Al-Aal wa Al-Washaab, Jam’iyyah
Al-Aal Wa Al-Ashab, Bahrain, 2010, h. 422).
Umar
mengkhawatirkan perbedaan pendapat ini berlarut-larut, maka ia bertanya kepada
kaum Anshar, “Saya minta kamu menjawab karena Allah, apakah kamu tahu bahwa
Rasulullah SAW telah menyuruh Abu Bakar mengimami (shalatnya) manusia? Mereka
menjawab, “Demi Allah, benar.” Umar kembali bertanya, “Siapa di antara kamu
yang senang hati melengserkan Abu Bakar dari kedudukan yang telah ditetapkan Nabi
SAW untuknya? Mereka menjawab, “Kami semua tidak mau demikian, kami mohon ampun
kepada Allah.”
Ali ra
berkata, “Sesungguhnya Rasulullah SAW telah sakit beberapa hari tetapi mengajak
untuk salat dan berkata, “Suruh Abu Bakar menjadi imam bagi manusia. Maka
tatkala Rasulullah wafat, saya perhatikan ternyata salat menjadi bendera Islam
dan tonggak agama, maka kami ridha untuk diatur dunia kami oleh orang yang Nabi
SAW telah ridha kepadanya untuk memimpin agama kami sehingga kami membaiat Abu
Bakar.” Said bin Zaid berkata, “Abu Bakar dibaiat ada hari wafatnya Rasulullah.
Mereka (para sahabat) tidak senang tinggal beberapa hari tanpa berada dalam
jamaah (yang dipimpin khalifah).”
Dari penjelasan di atas, nyatalah bahwa tidak
ada sama sekali bibit-bibit perpecahan pasca wafatnya Rasulullah. Dan isu perpecahan itu berasal dari
orang-orang yang ingin merusak Islam. Karena kalau demikian berarti para
sahabat itu saling berebut kekuasaan, Nabi SAW tidak mampu mendidik mereka, dan
Allah telah ‘salah’ memuji sahabat dalam Al-Qur’an, yang ternyata sahabat itu
kepribadiannya tidak terpuji. Tentu tidak demikian.
Ada
pun perpecahan dibidang politik pada zaman kepemimpinan Khalifa Ali ra dengan
pengikut Aisyah, Zubair, Muawiayah ra. Maka itu adalah akibat perbedaan ijtihad
di kalangan sesama Ahlussunnah dalam menangani masalah pembunuh Khalifah Ustman
ra. Aisyah, Zubair, serta Muawiah dan para pengikutnya meminta supaya Ali ra
sebagai Khalifah segera menghukum para pembunuh Ustman ra. Sedang Ali dan
pengikutnya berpendapat dan bersikap menunda mengeksekusi para pembunuh Utsman
ra karena jumlah mereka cukup banyak, sementara pemerintahannya masih belum
stabil. Wallahu A’lam.
H.
Muh. Said Abd. Shamad, Ketua Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam (LPPI),
Indonesia Timur.(lppimakassar.com)
Artikel terkait :
Ahlul-Bait Tidak Mengakui Wasiat Estafet Imamah dari
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam – ‘Aliy – Al-Hasan – Al-Husain – ‘Aliy bin
Al-Husain – Muhammad bin ‘Aliy
Aliy bin Abi Thaalib
radliyallaahu ‘anhu Mengakui ‘Umar bin Al-Khaththaab sebagai Pemimpin bagi Kaum
Mukminiin (Amiirul-Mukminiin)
Keutamaan Abu Bakr Dan Umar Di Atas Ali Radhiallahu 'Anhum
Aliy bin Abi Thaalib : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam Tidak
Pernah Berwasiat tentang Kepemimpinan Kepada Dirinya
Keutamaan Abu Bakr dan ‘Umar yang Disebutkan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam di Depan ‘Aliy radliyallaahu ‘anhum
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam Tidak Berwasiat tentang
Kepemimpinan kepada ‘Ali radliyallaahu ‘anhu [ 2 ]
Aliy bin Abi Thaalib Berbaiat kepada Abu Bakr radliyallaahu ‘anhumaa [ 2 ]
Ali Khalifah Setelah Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam ( klaim kaum
syi'ah ) ?????
Keutamaan Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu yang Lain
‘Ali bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu Mempunyai Ilmu yang Lebih Tinggi
daripada Semua Shahabat [ ?????? ]
Demi Allah, Jika Abu Bakar Tidak Jadi Khalifah, Allah Tidak Akan Disembah
Lagi !
Ahlul-Bait Menyepakati Keputusan Abu Bakr Ash-Shiddiiq
radliyallaahu ‘anhu dalam Masalah Tanah Fadak