Pemimpin
yang shaleh adalah idaman bagi orang-orang yang beriman. Ketika seorang
pemimpin memiliki kecakapan dalam tata negara, ditambah memiliki keshalehan,
maka itu adalah karunia yang sangat besar yang Allah berikan bagi penduduk
suatu negeri. Dan karunia itu kian bertambah, apabila sang pemimpin adalah
orang yang memiliki perhatian terhadap agama, penegakan syariat, dan dakwah
tauhid.
Kerajaan
Arab Saudi adalah sedikit dari negeri yang diberikan Allah karunia besar
tersebut. Raja-raja mereka begitu memiliki perhatian yang besar terhadap Islam
dan kaum muslimin. Mereka membangun percetakan Alquran kemudian menyebarkannya
ke berbagai negeri kaum muslimin, membantu pembangunan fasilitas pribadatan dan
fasilitas publik, dll. Tidak heran, rakyatnya pun meneladani prilaku pemimpin
mereka. Karenanya, sering kita dengar orang-orang di negeri kita mengajukan
permintaan bantuan dana ke orang-orang Arab Saudi untuk kepentingan dakwah,
karena mereka dikenal loyal dalam hal ini.
Setelah
sebelumnya membahas tentang keahlian Raja Salman bin Abdul Aziz dalam dunia
kepemimpinan dan diplomasi, berikut ini adalah sedikit kisah sisi relijius raja
Arab Saudi yang baru tersebut.
Raja
Salman dan Kecintaannya Kepada Alquran
Sebagaimana tradisi
kerajaan-kerajaan Islam sedari dulu, anak-anak raja dan para pangeran
disekolahkan di sekolah khusus kerajaan, demikian juga dengan Raja Salman bin
Abdul Aziz. Ia pertama kali menimba ilmu di Madrasah Umara (Princes’ School) di Riyadh. Di sana ia mempelajari
ilmu agama dan sains modern.
Di Madrasah Umara, Raja Salman bin
Abdul Aziz berhasil menghafalkan 30 juz Alquran saat usianya masih 10 tahun.
Saat itu, kepala sekolah Madrasah Umara adalah Syaikh Abdullah al-Khayyath,
imam dan khotib Masjid al-Haram sekarang. Oleh karena itu, sama seperti
pimpinan-pimpinan Arab Saudi lainnya, Raja Salman menaruh perhatian yang sangat
besar dalam memotivasi anak-anak Arab Saudi untuk menghafalkan kitabullah.
Wujud perhatian beliau terhadap
Alquran adalah dengan adanya Musabaqoh al-Amir Salman bin Abdul Aziz li Hifzhi-l Quran yang telah diselenggarakan sebanyak 17
kali di Riyadh. Musabaqoh Alquran ini berada dibawah bimbingan Kementrian
Urusan Islam, Wakaf, Dakwah, dan Irsyad (Menteri Agama) Arab Saudi. Sehingga
diadakan merata di setiap wilayah kerajaan dengan dukungan gubernur
masing-masing wilayah.
Menurut Menteri Urusan Islam,
Wakaf, Dakwah, dan Irsyad (Menteri Agama) Arab Saudi, Syaikh Shaleh bin Abdul
Aziz bin Muhammad Alu asy-Syaikh, lomba ini bertujuan: (1) Perhatian besar
Kerajaan Arab Saudi terhadap Alquran al-Karim baik menghafalkannya, membacanya
dengan tajwid yang benar, dan tafsirnya, (2) Sebagai penyemangat bagi
putra-putri Arab Saudi untuk menerima Kitabullah baik dalam menghafal,
memahami, mengamalkan, dan menadabburinya, (3) Membangkitkan semangat agar
berlomba-lomba dalam menghafalkan Alquran dan menjaganya, dan (4) Berkontribusi
mempererat hubungan umat dengan sumber kemulian mereka di dunia dan akhirat.
Komitmen
Terhadap Alquran dan Sunnah dengan Pemahaman Salaf ash-Shaleh
Dalam beberapa kali kesempatan,
sebelum menjadi raja, Salman bin Abdul Aziz sering menyatakan bahwa Kerajaan
Arab Saudi berdiri dengan asas syariat Islam dalam undang-undang dan sikap
politiknya. Kerajaan ini juga senantiasa menolong agama Allah, berkhidmat untuk
dua tanah suci, dan kaum muslimin secara umum.
Beliau mengatakan bahwa dari awal
beridirnya, kerajaan ini telah berbaiat untuk berpegang teguh dengan pemahaman
agama Islam yang benar secara manhaj (teori) dan praktiknya. Baik dalam hukum,
asas politik, dan sosial kemasyarakatan. Hal ini telah dibuktikan dalam kurun
perjalanan panjang sejarah kerajaan.
Dalam sebuah risalahnya kepada Dr.
Muhammad al-Hasyimi dan Dr. Abdurrahman al-Furaih, sebagai kelanjutan
penjelasannya dalam kuliah umum di Universitas Islam Madinah tahun 2008, Raja
Salman mengatakan, “Kerajaan Arab Saudi berdiri dengan asas al-Kitab dan
as-sunnah bukan berdasar hukum-hukum kabilah atau ideologi-ideologi buatan
manusia. Kerajaan ini berdiri dengan berasaskan akidah Islam sejak lebih dari
270 tahun lalu, ketika al-Imam Muhammad bin Suud dan Syaikh Muhammad bin
Abdullah Wahab –rahimahumallahu- menyebarkan
Islam dan menegakkan agama Allah ‘Azza wa Jalla…
…Oleh karena berpegang pada asas
inilah, musuh-musuh negeri ini senantiasa menyerangnya sejak dari awal
berdirinya hingga hari ini. Mereka menggunakan istilah-istilah yang menjelekkan
dakwah asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab yang menyerukan kepada Islam sesuai
dengan Alquran dan as-sunnah. Muncullah istilah wahabi untuk mendistorsi
sejarah kerajaan ini. Lalu mereka kaitkan istilah tersebut dengan sebuah sekte
(Khawarij pen.) yang muncul di Afrika Utara yang dibawa oleh Abdul Wahab bin
Rustum pada abad ke-2 H atau abad ke-8 M. Kelompok ini dikenal menyimpang
secara akidah dan keluar dari tuntunan sunnah Nabi kita al-Mushtofa‘alaihi ash-shalatu wa salam. Dan Dr. Muhammad bin
Sa’d asy-Syuwa’ir telah menjelaskan kekeliruan penisbatan sejarah istilah ini
secara historis dalam bukunyaTash-hih Khata-i
Tarikhi Haula al-Wahabiyah.
Pada tahun 1365 H/1946 di Mina, Raja
Abdul Aziz telah menjelaskan kepada para pimpinan jamaah haji tentang prinsip
dasar kerajaan. Raja Abdul Aziz mengatakan, “Orang-orang menyebut kami adalah
wahabi, padahal sebenarnya kami adalah salafi yang menjaga agama kami dan
mengikuti Kitabullah dan sunnah Rasulullah”. Itulah asas Kerajaan Arab Saudi
sejak pertama kali berdiri. Yang jadi pertanyaan, bisakah orang-orang yang
membaca karya-karya asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab menemukan sesuatu yang
tidak sesuai dengan Kitabullah dan sunnah Nabi-Nya al-Mushthafa shallallahu ‘alaihi wa
sallam? Agar tuduhan yang dilemparkan ini memang terbukti.
Meluruskan
Istilah Wahabi
Saat menjadi Gubernur Riyadh, Raja
Salman bin Abdul Aziz menantang orang-orang yang menggelari Kerajaan Arab Saudi
dengan sebutan wahabi. Beliau mengatakan, “Musuh-musuh dakwah (Islam)
menggelari dakwah asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dengan sebutan wahabi,
padahal kami tidak mengenal yang demikian”.
Dalam sebuah press conference,
Salman bin Abdul Aziz –sewaktu masih menjabat Gubernur Riyadh- berbicara di
hadapan para wartawan, “Saya berbicara kepada kalian hari ini, di sebuah daerah
yang menjadi tempat munculnya dakwah yang dipimpin oleh al-Imam Muhammad bin
Suud dan asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab (Propinsi Dir’iyah). Apa yang
mereka serukan adalah dakwah Islam yang tidak ada penyimpangan maupun
ketidak-jelasan di dalamnya”. Kemudian beliau menambahkan, “Saya tantang
(orang-orang yang menuduh dakwah ini menyimpang pen.) untuk menemukan satu
huruf saja dari buku-buku karya asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab atau dalam
risalahnya, yang menyelisihi Kitabullah atau sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam!”
Beliau menjelaskan, “Muncul dan
berdirinya Kerajaan Arab Saudi dibangun oleh al-Imam Muhammad bin Suud dan
dakwah asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab. Dakwahnya adalah dakwah yang bersih
(dari kesesatan), yang bersumber kepada Kitabullah dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Tidak ada selain dari kedua hal itu”.
Pandangannya
Terhadap Demokrasi
Pada tahun 2010, Raja Salman
pernah diwawancarai oleh Karen Elliot House, penulis buku On Saudi Arabia: Its
People, Religion, Fault Lines. Raja mengatakan, “Jika Amerika bisa
bersatu karena demokrasi, Arab Saudi pada dasarnya bersatu karena keluarga
kerajaan”.
Sebagaimana telah disinggung dalam
tulisan Raja Salman Pemersatu Arab Saudi, pengaruh
kabilah kerajaan begitu diterima suku-suku atau kabilah-kabilah yang ada di
Arab Saudi. Kerajaan berhasil menjadi wadah bagi setiap kabilah untuk
bersama-sama mewujudkan pemerintahan yang islami.
Dalam Associated Press,
House mengatakan bahwa Raja Salman juga mengatakan, “Kita tidak bisa memiliki
demokrasi di Arab Saudi, jika kita melakukannya maka setiap kesukuan akan
membentuk partai dan kemudian Arab Saudi akan bernasib seperti Irak yang
kacau”.
Apa
yang disampaikan oleh Raja Salman menunjukkan kepandaiannya dalam memberikan
statement. Ia berbicara sesuai dengan tingkat pemahaman lawan bicaranya.
Dilansir
Al Jazeera pada tahun 2007, Raja Salman menyampaikan statementnya di Kedutaan
Amerika di Riyadh dengan mengatakan, “Kecepatan tingkat pembangunan tergantung
pada faktor-faktor sosial dan budaya,… atas dasar alasan sosial –kecuali alasan
agama- reformasi tidak bisa dipaksakan oleh (pemerintah Saudi) jika tidak, akan
muncul reaksi negatif,… perubahan harus diperkenalkan dengan cara yang mengena
dan tepat waktu. Demokrasi tidak boleh dipaksakan di Arab Saudi, karena negara
ini terdiri dari suku-suku dan daerah. Jika demokrasi diberlakukan,
masing-masing suku dan daerah akan memiliki partai politik”.
Pidato
Pertama Sebagai Raja Arab Saudi
Di antara kalimat yang disampaikan
oleh Raja Salman bin Abdul Aziz dalam pidato pertamanya:
Raja Salman mengawali pidatonya
dengan pujian kepada Alllah dan shalawat kepada Rasul-Nya, kemudian ucapan bela
sungkawa kepada anggota kerajaan dan seluruh rakyat Arab Saudi atas
meninggalnya Raja Abdullah. Ia mengatakan:
“Segala puji bagi Allah, yang telah
berfirman, “Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Dzat
Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan”. (QS. Ar-Rahman: 26-27).
Shalawat dan salam kepada
Rasulullah Muhammad, kepada keluarga dan juga sahabatnya… kemudian baru beliau
sampaikan ucapan belasungkawa atas wafatnya Raja Abdullah bin Abdul Aziz rahimahullah.
Raja Salman memuji pendahulunya tersebut atas dedikasi yang ia berikan dalam
hidupnya kepada agama, negara, rakyat, dan dunia Islam secara umum.
Beliau menyampaikan, “Kami akan
melanjutkan –dengan rahmat dan pertolongan dari Allah- meniti jalan yang benar
dan tidak akan pernah menyimpang darinya, yaitu melanjutkan konstitusi kami
berdasarkan Alquran dan sunnah Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam”.
“Kami akan melanjutkan kebijakan
negara ini, negara yang telah Allah utamakan dengan memilihnya sebagai tempat
risalah (Nabi-Nya) dan kiblat (kaum muslimin), untuk meningkat persatuan dan
mempertahankan negara. Dengan bimbingan dari Allah berdasarkan syariat Islam
sebagai agama damai, kasih sayang, dan moderat”. Kata Raja Salman.
Ia melanjutkan, “Saya memohon
kepada Allah agar senantiasa membimbing saya dalam melayani rakyat, mewujudkan
harapan mereka, menjaga keamanan dan stabilitas negara kita, serta
melindunginya dari kejahatan. Sesungguhnya Allah mampu melakukan yang demikian,
dan tidak ada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan-Nya”.
Penutup
Dari
apa yang penulis sampaikan, kita sadar bahwa kepemimpinan yang sama persis
dengan khalifah rasyid hanya akan terjadi di akhir zaman kelak, di masa Imam
Mahdi. Usaha-usaha dan komitmen yang dilakukan pemerintah Arab Saudi sekarang
untuk berpegang kepada Alquran dan sunnah sudah sangat kita apresiasi. Tidak
ada negara di dunia ini, yang menerapkan syariat Islam lebih dari apa yang mereka
lakukan. Sampai salah seorang polisi syariah di Arab Saudi pun tidak merasa
betah dan jengah ketika berada di salah satu negeri Teluk luar Arab Saudi,
karena ia menyaksikan pemandangan mall dan pasar-pasar yang masih penuh saat
memasuki waktu shalat. Itu perbandingan negeri Teluk di luar Arab Saudi,
bagaimana dengan selain negara-negara Arab di luar Teluk yang lebih bebas?
Bagaimana lagi dengan selain negara-negara Arab, seperti di negara kita?
Semoga
Allah tetap menjaga kerajaan ini dan meningkatkan peranannya untuk Islam dan
kaum muslimin. Dan semoga Allah memperbaiki negara kita, memberi taufik kepada
pemimpin-pemimpin dan rakyat-rakyatnya.
Oleh Nurfitri Hadi (@nfhadi07)
Artikel www.KisahMuslim.com