“Iran
‘pahlawan’ dunia Islam?” demikian barangkali pertanyaan yang disampaikan
sebagian masyarakat Iran. Betapa tidak, negeri Persia yang tampil begitu
“islami” itu ternyata menimbun segunung kisah kelam yang ditutupi
pemerintahnya.
Revolusi Iran memang revolusi sosial, bukan militer. Tetapi
perlu kita ketahui bahwa, pasca revolusi banyak terjadi pertumpahan darah dan
masalah kemanusiaan. Korbannya bukan hanya masyarakat Sunni, tapi kebanyakannya
justru dari kalangan syiah sendiri.
Pasca
revolusi, Khomeini menerapkan konsep wilayatul faqih (pemerintahan mulah) di Iran. Tidak semua “Grand
Ayatullah” -ulama besar syiah- setuju dengan penerapan konsep ini. Beberapa
Ayatullah lainnya bahkan mengalami konflik denggan Khomeini karena perbedaan
pandangan politik ataupun keagamaan. Banyak di antara mereka kemudian yang
ditangkap, dikenai tahanan rumah, mengalami penyiksaan, atau dimarjinalkan.
Berikut Arrahmah paparkan beberapa tokoh Grand Ayatullah yang menjadi
korban kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Pemerintahan Revolusi Iran di
negerinya sendiri
Ayatullah Mohammad Kazem
Shariatmadari
Mohammad Kazem lebih senior daripada Khomeini. Sebelum dieksekusi rezim Shah
Iran, ia sempat membantu Khomeini dengan mengakuinya sebagai Grand Ayatullah.
Pada masa Revolusi Iran ia berbeda
pandangan dengan Khomeini, di antaranya dalam hal wilayatul faqih. Ia kemudian
ditangkap pada tahun 1982 dengan tuduhan terlibat rencana pembunuhan Khomeini.
Karenanya, Mohammad Kazem disiksa di
penjara, dan dipaksa mengakui perbuatannya di TV. Ia dikenai tahanan rumah
sampai matinya pada tahun 1986.
Ayatullah
Mohammad Taher Shubayr al-Khaqani
Mohammad Taher merupakan Grand Ayatullah dari wilayah Ahwaz yang penduduknya
mayoritas Arab. Ia juga menolak penerapan wilayatul faqih oleh Khomeini dan
menginginkan otonomi Ahwaz.
Rumahnya kemudian diserang oleh Pengawal
Revolusi. Al-Khaqani ditangkap, dikirim ke Qom, dan dikenai tahanan rumah
(house arrest) di sana.
Tak ada orang yang bisa menemuinya semasa menjadi tahanan rumah. Ia
meninggal dalam keadaan misterius pada tahun 1986. Demikian menurut Said Amir Arjomand, editor The Rule of Law, Islam and
Constitutional Politics in Egypt and Iran, pada
halaman 81.
Sayyid Hassan Tabataba’i-Qomi
dan lainnya
Sayyid Hassan merupakan Grand Ayatullah dari wilayah Masyhad. Ia banyak
mengkritik penerapan wilayatul faqih oleh Khomeini.
Berdasarkan Arjomand, halaman 81-82, pada tahun 1984, ia
ditangkap dan dikenai tahanan rumah. Ia tetap berada dalam status tahanan rumah sampai
wafatnya pada tahun 1997.
Selain tiga Grand Ayatullah di atas,
terdapat banyak tahanan rumah lain yang menjadi bukti kejahatan Iran. Sayyed
Mohammad Sadeq Ruhani adalah salah satunya. Ia ditahan sejak tahun 1985 sampai
1997.
Bahkan, menurut laporan organisasi Muslim Inggris Real Islam, Sayyed Mohammad Husayni al-Shirazi diduga mati dibunuh
rezim Ahamad Dinejad pada 2001. Banyak pengikutnya yang ditahan dan disiksa.
Beberapa tahun kemudian, anaknya juga dikabarkan mati dalam keadaan
mencurigakan.
Penyiksaan
tahanan perempuan
Selain menyiksa dan membunuh para tahanan rumah dari kalangan Grand Ayatullah,
rezim revolusi Iran juga menahan dan menyiksa kaum perempuan. Demikian tulis Alireza Jafazadeh dalam bukunya, The Iran Threat: President
Ahmadinejad and the Coming Nuclear Crisis,
halaman 17.
Alireza
mengatakan bahwa demi menghentikan kekejaman rezim Ahmadinejad, ia memilih hijrah
ke New York untuk bekerjasama dengan kelompok-kelompok HAM yang bersimpati
kepada Mujahidin E Khalq dan
kepada mereka yang berusaha mengadukan kekejaman itu ke Majelis Umum PBB.
Kejahatan itu sebelumnya telah diterima dan diperhatikan Komisi HAM PBB dan
akhirnya diperkarakan pada Desember 1985.
Alireza dan rekan-rekannya berupaya mengadakan konferensi pers di markas besar
PBB untuk para wanita tahanan politik. Mereka dilaporkan telah melarikan diri
dari penjara Iran dalam keadaan penuh luka bekas penyiksaan di sekujur
tubuhnya. Robbana.
Alhamdulillah, para korban yang terluka dapat dipertemukan dengan banyak
elemen misi PBB. Kisah-kisah
tragis mereka membuat para delegasi negara bagian dan media tercengang ngeri.
Bagi Alireza, saat itu resolusi melawan rezim kejam Iran berhasil satu langkah.
Pasca Revolusi Iran, kalangan Grand Ayatullah banyak yang dijadikan tahanan
rumah oleh Khomeini. Rezim keji itu juga menahan dan menyiksa kaum perempuan.
Demikian tulis Alireza Jafazadeh dalam bukunya, The Iran Threat: President Ahmadinejad and the Coming
Nuclear Crisis, hal
17.
Alireza mengatakan bahwa demi menghentikan
kekejaman rezim Ahmadinejad, ia memilih hijrah ke New York untuk bekerjasama
dengan kelompok-kelompok HAM yang bersimpati kepada Mujahidin E Khalq dan kepada
mereka yang berusaha mengadukan kekejaman itu ke Majelis Umum PBB. Kejahatan
itu sebelumnya telah diterima dan diperhatikan Komisi HAM PBB dan akhirnya
diperkarakan pada Desember 1985.
Alireza dan rekan-rekannya berupaya mengadakan konferensi pers di markas besar
PBB untuk para wanita tahanan politik. Mereka dilaporkan telah melarikan diri
dari penjara Iran dalam keadaan penuh luka bekas penyiksaan di sekujur
tubuhnya. Robbana.
Alhamdulillah, para korban yang terluka dapat
dipertemukan dengan banyak elemen misi PBB. Kisah-kisah tragis mereka membuat
para delegasi negara bagian dan media tercengang ngeri. Bagi Alireza, saat itu
resolusi melawan rezim kejam Iran berhasil satu langkah.
Penyerangan
dan penutupan semua universitas
Atas perintah pemimpin tertinggi konstitusi Iran, para anggota Kantor
Konsolidasi Penyatuan (OCU) –Ahamadinejad sebagai salah satu anggotanya-
menyerang universitas-universitas. Mereka mengumpulkan semua profesor dan
mahasiswa yang tak sepakat dengan ide Khomeini. Orang-orang tak berdosa itu
kemudian dipukuli dengan mengatasnamakan Revolusi kebudayaan Iran (sebagian
menyebutnya Revolusi mental Iran, red.).
Banyak dari target OCU ditangkap, ditawan, dan dieksekusi. Newsweek melaporkan pada 5 Mei 1980 bahwa, sebanyak 50 mahasiswa dibunuh saat
kaum fundamentalis menyerang kampus-kampus universitas di Teheran dan
provinsi-provinsi lainnya.
Pertumpahan darah itu rupanya menjadi fase baru kekerasan dari Revolusi (bukan)
Islam Iran. Selanjutnya, guna menyapu pergerakan mahasiswa selama periode itu,
Khomeini menutup semua universitas di Iran selama tiga tahun. Subhanallah.
Ahmadinejad sendiri, menurut berbagai sumber, termasuk salah seorang agen
Iran yang mendulang reputasi sebagai “orang jahat terkenal” di penjara Evin di
utara Tehran. Media Mesir Al-Ahram
Weekly bahkan
melansir, Ahmadinejad “membangun reputasi sebagai penginterogasi ‘jahat’ yang
pupuler dan diyakini telah bekerja…di penjara Evin, dimana ribuan tahanan
politik disiksa dan dieksekusi pada tahun 1980-an.”
Seorang tahanan yang berhasi melarikan diri
mengatakan, bahwa Ahmadinejad selalu menggunakan penutup wajah saat melakukan
penyiksaan dalam interogasinya. “Setelah beberapa hari, saya dibawa ke Seksi 4.
Ketika itulah saya sendiri disiksa dan diinterogasi oleh dua orang bernama ‘Fakur’,
Kepala Seksi 4, dan ‘Golpa’ atau Mahmud Ahmadinejad.” Tahanan itu dapat
mengidentifikasi Golpa sebagai Ahmadinejad karena ia sempat melihat wajah
Ahmadinejad beberapa kali selama di penjara. “Setiap penutup mata saya yang
terbuat dari kabel turun, saya mendapati Ahmadinejad bersama para penyiksa.
Setiap penutup mata saya turun pula, kabel itu diikat lebih kuat lagi ke mata
saya dan meneruskan penyiksaan dengan mengikatkan kabel [ke seluruh tubuh
saya],” ujarnya.
Tragedi
pembantaian di penjara tahun 1988
Pada akhir Juli 1988, Republik (bukan) Islam Iran mulai melakukan interogasi,
penyiksaan, dan mengeksekusi ribuan tahanan politik di seluruh pelosok negeri
syiah itu. Pembantaian pun berlanjut. Secara terorganisir dan terjaga
kerahasiaannya, pembantaian itu secara efektif mengeliminasi semua tahanan
politik yang menjadi oposisi rezim Ayatullah Khomaeni. Meskipun jumlah korban
pembantaian tidak diketahui pasti, namun ribuan tahanan diperkirakan telah
disiksa dan dieksekusi hanya dalam waktu satu bulan saja.
Para korban juga termasuk tahanan yang telah habis masa penjaranya, namun
menolak mengubah keyakinan politiknya; orang-orang yang telah habis masa
tahanan rumahnya, mereka yang ditahan dalam jangka waktu lama tapi tanpa
peradilan; dan mantan tahanan terbebas yang pernah ditangkap sebelumnya.
Kebanayakan dari mereka pernah dipenjara saat remaja karena dituduh melakukan
tindakan ofensif ringan seperti membagikan pamflet [oposisi]. Adapun pandangan
politik para tawanan sangat beragam, mulai dari Mujahidin E Khalq (Mujahidin), sampai Partai Islam
Marksis yang telah melakukan upaya penggulingan Khomeini, guna mendukung Partai
Tudeh, sebuah partai Marksis sekuler yang hingga 1983 pernah mendukung rezim
keji.
Pembantaian dan penyiksaan tersebut bukan
pertama kalinya dilakukan Republik (bukan) Islam Iran. Hanya saja pembantaian
1988 sangat “istimewa” karena memperlihatkan langkah sistematik terorganisir,
yang dilakukan pada waktu sigkat dan tersebar di seluruh negeri, dengan metode
manasuka dalam menargetkan korban dengan jumlah masif. Lebih “gila” lagi, rezim
Khomeine melakukan semua penyiksaan dan eksekusi itu secara rahasia dan terus
menyangkal bahwa peristiwa keji itu benar adanya.
Eksekusi itu dimulai dengan sebuah fatwa
yang dikeluarkan Khomeini segera setelah Iran mengumumkan gencatan senjata
dalam perang Iran-Iraq yang berlangsung selama 8 tahun. Fatwa itu dibuat oleh
komisi yang terdiri atas 3 orang, yang menentukan siapa yang harus dieksekusi.
Komisi itu dikenal para tahanan dengan sebutan “Komisi Kematian”, yang bertugas
mempertanyakan keyakinan agama dan keyakinan politik tawanan. Dari jawaban
tawanan, lahirlah keputusan siapa yang layak dieksekusi atau disiksa. Proses
penanyaan berlangsung ringkas, dirahasiakan, dan tahanan dieksekusi dalam hari
yang sama atau segera setelah hari interogasi. Kebanyakan tahanan yang tidak
dieksekusi langsung disiksa secara keji.
Keluarga tahanan tidak diberi informasi
apapun tentang para tahanan. Kebanyakan tahanan ditimbun di kuburan masal tanpa
ada penanda nisan. Para keluarga korban yang menerima jenazah tahanan dilarang
melakukan pemakaman dan hingga saat ini dilarang berduka atas mendiang tahanan.
Lebih kejam lagi, rezim Khomeini bahkan baru-baru ini membuldoser kuburan masal
tahanan di Khavaran, Tehran.
Saksi
kebenaran pembantaian 1988
Serapat apapun rahasia pembantaian 1988 ditutup-tutupi, akhirnya terbuka juga.
Adalah Ayatullah Hussein Ali Montazeri, wakil Khomaeni sejak awal Revolusi
hingga 1988 membenarkan kejahatan kemanusiaan Iran.
Karena banyaknya kasus kemanusiaan selama
Revolusi Iran, Montazeri akhirnya mengundurkan diri. Sejak saat itu, ia
dikucilkan.
Menurut Montazeri, setidaknya ada 3800 orang dieksekusi secara rahasia pada
tahun 1988. Semuanya dieksekusi akibat fatwa sesat Khomeini. Innalillaahi wainna ilaihi raaji’uun.
Semoga masyarakat Indonesia dapat memahami
hakikat syiah, sebelum terlambat. Menurut penilaian rakyat Iran sendiri -baik
Sunni maupun syiah- mendukung syiah saat ini berarti telah membantu Khomeini
memperluas kekuasaan tiraninya mencengkram dunia.
Tentu kita tidak ingin pembantaian akibat Revolusi Iran terjadi pula di
negeri kita tercinta ini bukan? Allahu
yahfidz. (adibahasan/arrahmah.com)