By:
Dr. Ragheb Sirjani
Banyak
dari kaum muslimin yang memberi peluang kepada perasaan (baca: simpati) mereka
untuk menghukumi berbagai perkara, tokoh, organisasi, dan negara. Mereka tidak
meneliti apa yang ada di balik itu semua, tidak membaca apa yang tertulis dalam
buku-buku, dan tidak menelusuri asal-usulnya. Hal ini menjerumuskan mereka
dalam berbagai kekeliruan dan salah persepsi yang berakibat fatal, yang baru
disadari setelah musibah dan bencana yang diakibatkannya terjadi… dan ketika
itu, penyesalan mungkin tiada berguna lagi.
Benang
merah panjang yang mengawali lahirnya Hizbullah Syi’ah telah dibahas dalam
‘Kisah Hizbullah bag. 1′. Di sana telah kami paparkan tentang Lebanon, dan kali
ini akan kami lanjutkan. Saya (penulis) percaya bahwa saya sedang menelusuri
jalan penuh duri. Usaha saya untuk memberikan gambaran yang benar bagi kaum
muslimin ini, pasti menghadapkan saya kepada gelombang penolakan dan kritikan
dari kaum muslimin yang bersimpati kepada tokoh mana saja yang dianggap sukses
di masa-masa yang sensitif dalam tarikh umat ini; meskipun tokoh tersebut
adalah pengikut Syi’ah yang bobrok, yang meyakini kebebasan berpendapat dalam
mengritik, mencela, menentang dan bahkan menjatuhkan para sahabat yang mulia.
Saya yakin bahwa saya akan menghadapi perlawanan buas dari pihak
Syi’ah sendiri, yang mendorong media-media massa Sunni agar menyerukan supaya
‘file ini’ ditutup dan jangan dibicarakan sama sekali, sembari memalingkan
mereka kepada Zionis Israel dan Amerika saja. Padahal di saat yang sama Syi’ah
terus melanjutkan skenario mereka dengan mantap. Kaum muslimin baru akan bangun
dari tidurnya, saat Syi’ah berhasil mendirikan sebuah Daulah besar, yang setara
dengan Daulah Buwaihiyyah tempo dulu, atau lebih besar lagi!!
Perpecahan Harakah AMAL Pasca Ash Shadr
Setibanya Musa Ash Shadr dari Qum (Iran) dan Najaf
(Irak), ia berusaha merekrut orang-orang Syi’ah Lebanon menjadi sebuah
eksistensi yang saling melengkapi, yang bisa diajak mendirikan sebuah daulah
(negara) di masa depan. Ia begitu perhatian dengan sisi religius dan
madzhabiyah kelompok ini, hingga pada tahun 1969, ia mendirikan Majelis Tinggi
Syi’ah. Ia juga perhatian dengan sisi militer mereka, hingga mendirikan Harakah
AMAL, yang merupakan singkata dari Afwaajul Muqaawamah Al Lubnaaniyyah
(Gelombang Perlawanan Lebanon). Ia juga menjalin hubungan erat dengan pihak
Nasrani Maronit, demikian pula dengan Amerika Serikat dan Suriah, di samping
tentunya dengan pihak-pihak yang mengirimkannya ke Lebanon, yang tokoh dari itu
semua adalah Khomeini, yang saat itu masih berada di Irak.
Abdul Amir Qublan
Musa Ash Shadr meninggalkan kekosongan besar, dan kaum
Syi’ah berusaha menertibkan kembali administrasi mereka, hingga jabatan Majelis
Tinggi Syi’ah akhirnya diambil alih oleh Abdul Amir Qublan, yang tadnya adalah
wakil Musa Ash Shadr.
erus
menjabat sebagai wakil ketua Majelis, padahal jabatan ketua sampai kini masing
vakum! Sedangkan tokoh-tokoh Syi’ah di Lebanon merujuk kepada salah seorang
syaikh mereka, yaitu Husein Fazhlullah, dan si saat yang sama kondisi sayap
militer Syi’ah yang terkenal sebagai Harakah AMAL makin ricuh, hingga
anggota-anggotanya terpecah menjadi dua kelompok:
Kelompok pertama, ialah Syi’ah Sekuler yang
ingin mengatur jalannya permainan tanpa merujuk ke kaidah-kaidah madzhab Itsna
Asyariyah. Mereka tidak ingin terikat dengan tokoh-tokoh rujukan agama di luar
Lebanon, alias ingin menempuh jalur nasionalisme. Kelompok ini dipimpin oleh
Nabieh Barrie, salah satu pemimpin Lebanon terkenal. Sedangkan kelompok
kedua, ialah mereka yang ingin melanjutkan khittah Musa
Ash Shadr, alias ingin mendirikan Negara bermadzhab Syi’ah yang
menetapkan seluruh keyakinan dan kesesatan kaum Syi’ah dengan kekuatan senjata,
sekaligus melebarkan kekuasaan mereka sekuat kemampuan. Kelompok ini bekerja
sama dengan tokoh-tokoh revolusi Iran yang merencanakan kudeta di Iran, akan
tetapi kelompok ini masih membutuhkan seorang pemimpin yang mengarahkan mereka.
Al Musawi, Nasrallah, dan Strategi Iran
Di masa-masa yang sulit tadi, ada dua orang yang datang
dari Najaf, Irak. Keduanya telah mendalami akidah Syi’ah di sana, dan keduanya
yang paling berpengaruh dalam mempertahankan eksistensi khittah
madzhabiyyah-nya Musa Ash Shadr. Kedua orang tersebut adalah: Abbas Al Musawi
dan Hasan Nasrallah.
Mereka berdua menyusup dengan cepat ke barisan Harakah
AMAL, dan dapat menduduki pusat-pusat kepemimpinan di sana, padahal umur Hasan
Nasrallah kala itu baru 18 tahun!
Pada tahun 1979, tercetuslah revolusi Iran dan Shah
berhasil digulingkan. Khomeini pun kembali dari Paris (setelah diusir dari Irak
tahun 1978) dan memegang tampuk kekuasaan di Teheran. Ia mulai ‘menertibkan
keadaan’ di sana, dan menyingkirkan pesaing-pesaingnya. Ia berbalik kepada
pihak-pihak yang dahulu mendukungnya dari ormas-ormas Iran lainnya. Khomeini
berhasil memantapkan dirinya dengan sempurna dan tidak bergerak ke kota suci
Qumm seperti yang diramalkan banyak orang, namun justeru menetap di ibukota
Teheran.
Setelah
pulihnya berbagai masalahnya di Iran, Khomeini mulaimemperhatikan Lebanon dan
Irak. Keduanya merupakan kantong-kantong yang memiliki massa Syiah cukup besar,
dan di saat yang sama, keduanya merupakan bagian dari skenario Syi’ah untuk
mendirikan Negara Syi’ah Raya di wilayah tersebut.
Kondisi di Irak saat itu masih sangat sulit. Saddam
Hussein konon menerapkan tangan besi dalam memerintah. Khomeini sendiri
merasakan hal tersebut, sebab ia pernah tinggal selama 14 tahun penuh di Irak,
yang berakhir dengan melarikan diri secara terpaksa ke Paris. Dari sini,
Khomeini tahu persis bahwa Organisasi Syi’ah di Irak tidak mampu menggulingkan
pemerintahan Saddam Hussein. Sebab itulah Khomeini memilih solusi militer, dan
segera memulai perang total terhadap pemerintah Irak pada tahun 1980, sebelum revolusi
genap berumur satu tahun! Ini semua karena ambisinya untuk menjatuhkan
pemerintahan Irak dan menyerahkan roda pemerintahan kepada Syi’ah, yang dengan
begitu, Irak akan tergabung dalam Negara Syi’ah Raya yang diimpikan Khoemini.
Adapun di Lebanon yang jauh, yang sarat dengan berbagai kelompok
dan sekte agama, di sana masih perlu persiapan dan sejumlah tokoh dengan
loyalitas penuh kepada Khomeini dan pemerintahannya. Sebab itulah, Khomeini
terus mengontak kedua orang tadi, yang notabene bermadzhab Syi’ah Itsna
Asyariyah, yang keduanya beriman dengan ajaran Wilayatul Faqieh[1], yang berhasil
menghantarkan Khomeini ke kursi pemerintahan. Kedua orang tersebut adalah Abbas
Al Musawi dan Hasan Nasrallah, dan dari sinilah Iran mulai memberi dukungan
langsung kepada mereka, meski kepemimpinan Harakah AMAL masih di tangan Nabieh
Barrie yang berpaham sekuler.
Pada
tahun 1981, diadakan muktamar Harakah AMAL yang keempat untuk memberikan solusi
atas perselisihan internal mereka, yang masing-masing selama ini berusaha
menguasai daerah selatan. Muktamar tersebut berakhir dengan tetap dipilihnya
Nabieh Barrie sebagai pemimpin Harakah AMAL, dan Abbas Al Musawi menjadi
wakilnya. Ini merupakan langkah penting untuk mengendalikan kondisi di selatan
Lebanon.
Invasi
Israel dan Sikap Syi’ah
Akan
tetapi pada tahun 1982, tepatnya tanggal 6 Juni tahun itu, terjadilah peristiwa
yang mengacaukan semua skenario mereka. Mereka semua dikejutkan oleh invasi
Zionis Israel atas seluruh Lebanon Selatan, bahkan Israel sempat mengepung
Beirut untuk mengusir Yasir Arafat beserta segenap pemimpin Fatah dan milisi-milisi
Palestina agar keluar dari selatan Lebanon. Jelaslah bahwa kesepakatan antara
militer Israel dan pihak Nasrani Maronit telah terjadi dalam rangka mengusir
orang-orang Palestina yang telah menjadi suatu kekuatan penekan dalam
masyarakat Lebanon. Terjadilah berbagai pembataian atas warga Palestina, dan
yang paling besar di antaranya adalah Pembantaian Shabra dan Shatila, yang
menewaskan 3000 orang Palestina, dan Zionis Israel –atas bantuan Nasrani
Maronit- pun berhasil mengusir orang-orang Palestina dari selatan Lebanon dan
Beirut.
Peristiwa
ini mulanya selaras dengan keinginan Syi’ah. Sebab mereka sejak dahulu menuntut
agar orang-orang Palestina dikeluarkan dari selatan Lebanon, sebagai langkah
awal pendirian negara mereka di sana. Akan tetapi pihak Zionis tidak lantas
kembali ke markas mereka setelah mengusir orang-orang Palestina, namun tetap
bercokol di Lebanon dan melakukan pendudukan militer atas seluruh wilayah
selatan.
Kejadian
ini mengkandaskan seluruh impian kaum Syi’ah untuk mendirikan negara mereka.
Lebih-lebih mengingat bahwa mereka kala itu masih terpecah menjadi kelompok
sekuler dan konservatif (agamis). Maka kelompok konservatif akhirnya memutuskan
untuk memisahkan diri dari Harakah AMAL, dan melanjutkan kontak mereka dengan
para pemimpin di Iran untuk mendapat dukungan mereka. Mereka lantas membentuk
sebuah lajnah yang terdiri dari 9 orang untuk berangkat ke Teheran dan berjumpa
dengan Khomeini. Mereka menyatakan keimanan mereka terhadap ajaran wilayatul
faqieh, yang konsekuensinya mengimani kekuasaan Khomeini sebagai ‘faqieh’ yang
dimaksud, yang akan mengurus masalah kaum Syi’ah di Lebanon. Khomeini
menyetujui lajnah tersebut dan mereka kembali lagi ke Lebanon untuk berpisah
total dengan Harakah AMAL, dan membentuk harakah baru yang dikenal saat itu
dengan nama Harakah AMAL al Islamiyyah, dibawah kepemimpinan Abbas Al Musawi.
Iran
memiliki campur tangan kuat dalam berdirinya harakah baru ini. Bahkan Iran
sempat mengirim 1500 orang dari tentara revolusinya ke Suriah, lalu dari Suriah
ke lembah Bikkaa di Lebanon. Mereka semua dikirim untuk melatih Harakah AMAL al
Islamiyyah secara militer,dan memberikan bantuan finansial dan militer yang
cukup kepada mereka. Dengan demikian, harakah yang baru ini telah mendapat
dukungan dari dua negara besar di kawasan tersebut, yaitu Iran dan Suriah, dan
di saat yang sama Suriah tetap mendukung Harakah AMAL yang nasionalis.
Berdirinya Hizbullah dan Penguasaan atas wilayah selatan
Perang saudara masih berkecamuk di Lebanon, dan kekuatan
Harakah AMAL al Islamiyyah terus bertambah hingga Abbas Al Musawi mengumumkan
berdirinya Hizbullah pada bulan Februari tahun 1985, sebagai ganti dari Harakah
AMAL al Islamiyyah. Selang tiga bulan kemudian, tepatnya bulan Mei 1985,
Harakah AMAL yang dipimpin oleh Nabieh Barrie melakukan pembantaian terhadap
warga Palestina yang menewaskan ratusan orang, dalam rangka membersihkan
sisa-sisa orang Palestina yang masih ada di selatan Lebanon dan Bikkaa. Dari
situ, mulailah terjadi perselisihan di antara harakah AMAL dan Hizbullah, yang
berakhir dengan perang besar di antara mereka, dan Hizbullah berhasil menumpas
Harakah AMAL tahun 1988. Hasilnya, 90% anggota Harakah AMAL beralih ke
Hizbullah yang dibawah kendali Iran, sesuai dengan aturan wilayatul faqieh dan
didukung dengan kekuatan Suriah. Bersamaan dengan itu, Harakah AMAL keluar dari
sayap militer, dan hanya menjadi gerakan politik saja.
Meski
medan telah dikuasai oleh Hizbullah semata, hanya saja ia mendapati bahwa
markaz kekuatan pusatnya –yang berada di selatan Lebanon- masih dikuasai oleh
Yahudi. Inilah yang mendorong Hizbullah untuk menguasai sebagian wilayah
di Beirut, agar memiliki markaz sebagai titik tolak setiap gerakan. Hizbullah
tidak bergerak ke Beirut timur tempat komunitas Nasrani, akan tetapi ke Beirut
barat, terutama bagian selatannya. Hizbullah mulai menduduki tempat-tempat
tersebut dengan kekuatan senjata, dan seluruh tempat itu adalah kantong-kantong
Ahlussunnah.
Hizbullah
kadang membangun fasilitas-fasilitasnya di tempat umum, dan kadang di tanah
milik Ahlussunnah, akan tetapi Pemerintah Lebanon hanya berpangku tangan
melihat itu semua, sampai wilayah selatan Beirut menjadi Syi’ah tulen, dan
dikuasai sepenuhnya oleh Hizbullah.
Pada tahun 1989, Khomeini
wafat, dan menyerahkan jabatan pimpinan revolusi kepada Ali Khamenei. Kondisi
Hizbullah sendiri tidak mengalami perubahan, sebab ia masih terikat dengan
aturan wilayatul faqieh yang baru, yaitu Ali Khamenei. Pada tahun yang sama, pihak-pihak
yang bertikai di Lebanon atas perantara Saudi bertemu di Thaif, untuk membikin
kesepakatan dalam rangka menghentikan perang saudara di Lebanon. Di tahun yang
sama pula, terjadi pembunuhan terhadap tokoh Sunni terbesar di Lebanon, yaitu
Syaikh Hasan Khalid rahimahullah, selaku mufti Lebanon dari kalangan Sunni
sejak tahun 1966. Ini dimaksudkan agar Ahlussunnah kehilangan kepemimpinan
mereka, dan di waktu yang sama, Hizbullah muncul sebagai markas Islam di
Lebanon.
Perang
Melawan Yahudi dan Berubah Sikap Terhadap Ahlussunnah
Hizbullah
mulai menyiapkan rencana untuk menggempur Yahudi demi membebaskan
wilayah-wilayah mereka yang diduduki, dan direncanakan sebagai tempat
berdirinya Negara Syi’ah Raya. Kucuran dana pun mengalir deras dari Iran untuk
tujuan tersebut, di samping bantuan dari Suriah. Hal ini mengkhawatirkan Israel
hingga mereka melakukan pembunuhan terhadap Abbas Al Musawi yang menjadi Sekjen
Hizbullah pada tahun 1992. Jabatan Sekjen akhirnya diambil alih oleh Hasan
Nasrallah.
Di
tahun yang sama, muncullah tokoh Sunni baru, dan Ahlussunnah Lebanon pun mulai
berkumpul di sekitarnya. Dialah Rafiq Al Hariri yang menjabat sebagai PM
Lebanon tahun 1992 hingga 1996. Ia mulai membangun kembali Lebanon, dan
mendapat dukungan dari banyak warga Lebanon.
Pada tahun 1996, Zionis Israel
melakukan agresi brutal atas Lebanon, yang dikenal dengan operasi ‘Grapes
of Wrath’ (Anggur
Kemarahan). Sejak itu, jiwa patriotisme warga Lebanon mulai berkobar untuk
melepaskan diri dari penjajahan Israel. Hizbullah pun mengumumkan pembentukan
pasukan-pasukan Lebanon untuk melawan musuh Zionis. Pasukan tersebut adalah
gabungan dari berbagai kelompok Lebanon yang bermacam-macam, akan tetapi
mayoritas anggotanya adalah dari Ahlussunnah yang mencapai 38%, sedangkan
Syi’ah 25%, lalu Druz 20% dan Nasrani 17%.
Serangan-serangan
pasukan Lebanon mengakibatkan ditarik mundurnya pasukan Zionis dari sebagian
besar wilayah selatan Lebanon pada tahun 2000, kecualidaerah pertanian Shebaa.
Hizbullah akhirnya menduduki seluruh wilayah tersebut, dan menolak keinginan
Tentara Nasional Lebanon untuk menyebarkan pasukannya di wilayah tersebut.
Bahkan Hizbullah mulai merampas fasilitas-fasilitas milik Ahlussunnah di wilayah selatan dan di pegunungan
Lebanon. Tidak sampai di situ, Hizbullah juga berani mengganggu sejumlah masjid,
seperti Masjid Nabi Yunus, dan tanah-tanah wakaf milik masjid tersebut yang
terdapat di daerah Al Jeyah.
Rafiq Al Hariri dan Gerakan Syi’ah
Di tahun yang sama dengan keluarnya Yahudi dari Lebanon,
Rafiq Al Hariri dilantik kembali menjadi PM Lebanon. Ini merupakan kesempatan
baginya untuk menampakkan diri dan keluarganya, dan menjadi simbol Sunni
terkenal yang menjadi pesaing kuat sesungguhnya bagi gerakan Syi’ah di Lebanon.
Kekuatan Hizbullah terus bertambah, dan ia masih mencari
kesempatan untuk mendirikan Negara Syi’ah Raya yang didukung oleh Iran dan
Suriah. Akan tetapi meningginya pamor Rafiq Al Hariri menjadikan masalahnya
sama kuat di mata rakyat Lebanon.
Pada
tahun 2004, Al Hariri mengundurkan diri dari jabatan PM akibat perselisihan
antara dia dengan orang-orang Suriah yang jumlahnya cukup banyak di tubuh
tentara Lebanon. Kemudian terjadilah kejutan berdarah pada 14 Februari 2005
dengan terbunuhnya Rafiq Al Hariri ketika berada dalam kendaraannya di Beirut,
di tengah tersebarnya berbagai agen intelijen internasional yang beroperasi di
Lebanon, seperti CIA, Perancis, Suriah, Iran dan Lebanon sendiri. Dengan
demikian, Ahlussunnah Lebanon kembali kehilangan salah satu tokoh besar mereka.
Lebanon goncang pasca terbunuhnya Rafiq Al Hariri, dan
jari-jari tuduhan internasional mengarah kepada Suriah. Lalu dari situ
masyarakat internasional menuntut agar Suriah menarik diri dari Lebanon. Maka
Hizbullah melakukan demonstrasi besar-besaran pada 8 Maret 2005 untuk
mempertahankan keberadaan Suriah di Lebanon. Hal ini mendapat respon balik dari
gerakan Al Mustaqbal (Future Movement), yang merupakan gerakan keluarga Al
Hariri di bawah pimpinan Sa’ad Al Hariri. Ia mendapat dukungan dari Democratic
Gathering Bloc pimpinan seorang Druz: Walid Jumblat, dan Hizbul Quwwah Al
Lubnaniyyah yang mewakili kaum Maronit pimpinan Sameer Ja’ja’. Ketiganya
melakukan demonstrasi besar pada tanggal 14 Maret 2005 dengan tuntutan
keluarnya Suriah dari Lebanon. Sebab itulah demonstrasi tersebut disebut
demonstrasi 14 Maret, dan berhasil mengeluarkan Suriah dari Lebanon di bulan
yang sama.
Dilema
Hizbullah dan Perang tahun 2006
Pasca keluarnya Suriah, Hizbullah menghadapi dilema di
Lebanon, lebih-lebih dengan makin kuatnya persaingan antar golongan pasca
terbunuhnya Al Hariri. Sebab itulah Hizbullah memilih untuk beraliansi secara
politik bersama kekuatan-kekuatan lain untuk ikut serta dalam pemilu parlemen
Lebanon bulan Mei 2005. Ia bergabung dengan ketiga kelompok lain yaitu: Gerakan
Al Mustaqbal yang Sunni, Gerakan Jumblat yang Druz –meski sangat memusuhi kedua
gerakan ini-, di samping juga bergabung dengan Gerakan politik Harakah AMAL.
Aliansi ini dikenal dengan aliansi kwartet, dan secara keseluruhan mereka
berhasil meraih 72 kursi di Parlemen dari total 128 kursi. Dengan demikian,
mereka menjadi mayoritas di parlemen, yang akhirnya menjadi bagian dari
pemerintah Lebanon yang dipimpin oleh Fuad Seniora.
Hizbullah
telah menekan dirinya sendiri, dan beraliansi dengan kelompok Sunni meski
mereka berseberangan. Ini semua demi menampakkan bahwa Hizbullah ikut serta
dalam kepentingan Nasional. Padahal Hasan Nasrallah sendiri tidak pernah hadir
dalam sidang-sidang parlemen maupun muktamar umum mereka. Ia hanya mengirim
utusannya dan bersikap kepada semua pihak sebagai atasan, sebagai persiapan
untuk menjadi pemimpin masa depan atas mereka semuanya
Bukti paling besar atas asumsi ini ialah terlibatnya
Hizbullah pada tanggal 12 Juli 2006 dalam melakukan operasi militer melawan
Zionis Israel. Hizbullah berhasil menawan dua tentara Israel dan menewaskan
delapan lainnya. Semua itu ia lakukan tanpa konsultasi sedikit pun dengan
negara yang ia menjadi bagian dalam pemerintahannya; dan juga tidak
berkonsultasi dengan faksi-faksi lain yang menjadi sekutunya dalam parlemen.
Padahal operasi militer inilah yang menyeret negara seluruhnya –dan bukan hanya
Hizbullah- dalam perang melawan Israel.Hizbullah
telah menekan dirinya sendiri, dan beraliansi dengan kelompok Sunni meski
mereka berseberangan. Ini semua demi menampakkan bahwa Hizbullah ikut serta
dalam kepentingan Nasional. Padahal Hasan Nasrallah sendiri tidak pernah hadir
dalam sidang-sidang parlemen maupun muktamar umum mereka. Ia hanya mengirim
utusannya dan bersikap kepada semua pihak sebagai atasan, sebagai persiapan
untuk menjadi pemimpin masa depan atas mereka semuanya.
Akhirnya meledaklah perang besar yang terkenal pada bulan
Juli 2006. Israel menggempur Lebanon terus-menerus selama 33 hari penuh,
dengan target menghancurkan bungker-bungker Hizbullah sekaligus Lebanon.
Hizbullah melakukan serangan balik kepada Israel dengan menembakkan
roket-roket, dan banyak korban yang tewas dari rakyat Lebanon dalam perang ini.
Pihak
Israel tidak berhasil menghentikan serangan roket Hizbullah, dan ini dianggap
sebagai ‘kemenangan besar’ untuk Hizbullah, sebab Yahudi telah menghentikan serangan
udara mereka tanpa berhasil melumpuhkan sistem kekuatan roket Hizbullah, maupun
membebaskan dua orang pasukannya yang ditawan Hizbullah.Akhirnya
meledaklah perang besar yang terkenal pada bulan Juli 2006. Israel menggempur
Lebanon terus-menerus selama 33 hari penuh, dengan target menghancurkan
bungker-bungker Hizbullah sekaligus Lebanon. Hizbullah melakukan serangan balik
kepada Israel dengan menembakkan roket-roket, dan banyak korban yang tewas dari
rakyat Lebanon dalam perang ini.
Perang
pun berakhir seiring dengan kehancuran besar yang dialami oleh rakyat Lebanon
atas negerinya. Kehancuran tersebut merata di setiap daerah di Lebanon. Di
samping itu, rakyat Lebanon merasakan eksistensi Syi’ah yang semakin kuat, yang
tercermin melalui Hizbullah yang tetap memegang senjata canggih produk
Iran-nya, dan didukung penuh oleh Suriah. Hal ini sengaja diciptakan agar semua
orang merasa bahwa negara mereka sedang mengarah ke seorang tokoh Syi’ah
tertentu, seiring dengan banyaknya simpati dari umat Islam secara umum atas
Hizbullah dalam melawan Israel.
Menurut
Anda, apakah yang terjadi di Lebanon setelah itu? Apakah langkah-langkah yang
ditempuh oleh Syi’ah dalam skenario mereka? Bagaimana visi Hasan Nasrallah
tentang masa depan Lebanon? Mengapa Hizbullah kalah dalam pemilu parlemen bulan
Juni 2009 padahal ia semakin kuat? Dan apakah yang seharusnya dilakukan oleh
segenap umat Islam dalam menyikapi ini semua?
Inilah
sederet pertanyaan yang perlu penjelasan dan perincian, dan inilah yang menjadi
topik artikel kita berikutnya insya Allah, semoga Allah memuliakan Islam dan
kaum muslimin…
[1] Yaitu
ajaran yang dicetuskan Khomeini untuk merubah sikap kaum syi’ah yang semula
tidak meyakini adanya perang sebelum munculnya Imam Mahdi mereka (yakni Imam
ke-12 yang diyakini masih ghaib sejak 12 abad lalu). Dengan wilayatul faqieh,
Khomeini mengatakan bahwa posisi Imam Mahdi untuk sementara diambil alih oleh
seorang faqieh (ahli agama) -yang dalam hal ini adalah dirinya-, untuk memimpin
kaum Syi’ah. Nah, dengan jabatan tersebut Khomeini bertindak layaknya Imam
Mahdi dan berhasil merubah kaum Syi’ah menjadi kaum radikal dan revolusioner
hingga mau berperang demi ambisi pribadinya.