Bagian kedua :
Pada edisi lalu, telah kita bahas tentang akidah Ahlusunah wal Jamaah dalam masalah melihat Allah di akhirat kelak berdasarkan dalil-dalil Alquran, hadis yang mutawatir, ijmak, dan akal, serta mungkinkah melihat Allah di dunia dan apakah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah melihat Allah. Nah, pada kesempatan kali ini, kita akan melanjutkan pembahasan ini pada beberapa poin berikut:
Melihat Allah di Akhirat Anugerah Teristimewa
(Bagian 2)
Pada edisi lalu, telah kita bahas tentang akidah Ahlusunah wal Jamaah dalam masalah melihat Allah di akhirat kelak berdasarkan dalil-dalil Alquran, hadis yang mutawatir, ijmak, dan akal, serta mungkinkah melihat Allah di dunia dan apakah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah melihat Allah. Nah, pada kesempatan kali ini, kita akan melanjutkan pembahasan ini pada beberapa poin berikut:
1. Kiat meraih anugerah
melihat Allah
2. Kelompok yang
menyimpang dalam masalah ini
3. Syubhat para
pengingkar dan jawabannya
4. Beberapa masalah
tentang melihat Allah
Semoga Allah memberikan
taufik kepada kita untuk menetapkan akidah kita di atas kebenaran dan mematikan
kita di atasnya.
Kiat Meraih Anugerah Melihat
Allah di Akhirat
Setiap mukmin pasti
mendambakan untuk bisa menggapai dan meraih kenikmatan Surga yang paling agung
ini, yaitu melihat Allah. Namun, tentu saja untuk meraihnya bukan hanya sekadar
dengan impian belaka atau isapan jempol, melainkan dengan usaha dan amal saleh.
Di antara kiat untuk meraihnya adalah sebagai berikut:
1. Iman dan ihsan
(merasa selalu diawasi oleh Allah)
Al-Hafiz Ibn Rajab al-Hanbali Rahimahullahu
Ta’ala berkata, “Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
لِّلَّذِينَ أَحْسَنُوا۟ ٱلْحُسْنَىٰ
وَزِيَادَةٌۭ ۖ
Bagi orang yang berbuat
ihsan, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya (kenikmatan melihat
Allah). (QS Yunus [10]: 26)
Telah sahih dalam Ṣaḥīḥ
Muslim dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menafsirkan ziyādah (tambahan)
dalam ayat ini dengan melihat wajah Allah di Surga. Hal ini sangat sesuai
sebagai ganjaran bagi orang-orang yang berbuat ihsan, karena ihsan adalah pada
saat seorang hamba mukmin beribadah kepada Rabbnya di dunia dengan penuh
pengawasan dan mendekat kepada-Nya, seakan-akan dia melihat-Nya dengan hatinya
di saat beribadah kepada-Nya. Maka ganjarannya adalah dengan melihat wajah
Allah dengan mata kepala di akhirat.
Sebaliknya, Allah telah
mengabarkan tentang balasan bagi orang-orang kafir di akhirat:
كَلَّآ إِنَّهُمْ عَن رَّبِّهِمْ يَوْمَئِذٍۢ
لَّمَحْجُوبُونَ ﴿١٥﴾
Sekali-kali tidak,
sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar terhalangi dari (melihat) Rabb
mereka. (QS al-Muṭaffifīn [83]: 15)
Allah menjadikan hal itu
balasan bagi keadaan mereka di dunia, di mana hati mereka penuh dengan titik
hitam yang menghalangi mereka mengenal dan mendekat kepada Allah di dunia.
Sehingga balasan mereka adalah terhalangi dari melihat-Nya di akhirat.”[1]
2. Menjaga salat
Subuh dan Asar
Salat adalah ibadah mulia dan
utama[2] yang bisa mengantarkan seorang hamba untuk meraih
kenikmatan melihat Allah. Hal ini secara jelas ditegaskan dalam hadits Nabi.
عَنْ جَرِيْرٍ a قَالَ: كُنَّا جُلُوْسًا عِنْدَ
النَّبِيِّ n إِذْ نَظَرَ إِلَى الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ قَالَ: إِنَّكُمْ
سَتَرَوْنَ رَبَّكُمْ كَمَا تَرَوْنَ هَذَا الْقَمَرَ لاَ تُضَامُّوْنَ فِيْ
رُؤْيَتِهِ فَإِنْ اسْتَطَعْتُمْ أَنْ لاَ تُغْلَبُوْا عَلَى صَلاَةٍ قَبْلَ
طُلُوْعِ الشَّمْسِ وَصَلاَةٍ قَبْلَ غُرُوْبِ الشَّمْسِ فَافْعَلُوْا
Dari Jarir Radhiallahu
‘Anhu berkata, “Ketika kami duduk-duduk bersama Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam, tiba-tiba beliau melihat ke arah bulan di malam purnama
seraya berkata, ’Sesungguhnya kalian akan melihat Rabb kalian sebagaimana
kalian melihat bulan ini[3]. Kalian tidak samar dalam melihatnya. Jika kalian mampu
untuk tidak meninggalkan salat sebelum terbitnya matahari (Subuh) dan salat
sebelum terbenamnya matahari (Asar), maka lakukanlah.” (HR al-Bukhari: 7434,
Muslim: 1432)
Dalam hadis ini terdapat
penjelasan gamblang tentang hubungan erat antara rukyah (melihat Allah) dengan
salat. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjelaskan bahwa melihat
Allah Subhanahu wa Ta’ala pada Hari Akhir bukanlah diraih dengan
sekadar angan-angan belaka, bahkan harus dengan kesungguhan dalam beramal. Oleh
karenanya, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengarahkan kepada
kiat-kiat agar seorang hamba menggapai nikmat melihat Allah Subhanahu wa
Ta’aladi akhirat dengan cara memperhatikan dan menjaga dua salat yang agung
yaitu salat Fajar (Subuh) dan salat Asar yang memiliki banyak keutamaan dan
berat bagi orang munafik.
Hadis ini juga memberikan
faedah berharga bagi kita bahwa akidah yang benar sangat memberikan pengaruh
positif terhadap ibadah dan akhlak seorang hamba. Semakin kuat dan bertambah
iman seorang hamba akan semakin bersemangat dalam menjalankan ketaatan.[4] Alangkah indahnya ucapan al-Imam Ibn Qayyim
al-JauziyyahRahimahullahu Ta’ala tatkala berucap, “Setiap ilmu dan amal
yang tidak menambahkan kuat keimanan dan keyakinan maka ilmunya tercampuri
(terkotori). Dan setiap iman yang tidak menimbulkan amal maka keimanannya
terkotori.”[5]
3. Doa
Doa adalah ibadah yang sangat
mulia dan utama. Doa menunjukkan kesungguhan dan keseriusan seorang hamba untuk
mendapatkan sesuatu yang diharapkannya. Oleh karenanya, Nabi Muhammad Shallallahu
‘Alaihi wa Sallammengajarkan kepada kita semua dengan doa meminta “nikmat
melihat Allah” sebagai bukti akan kerinduannya untuk melihat Allah.
وَأَسْأَلُكَ لَذَّةَ النَّظَرِ إِلَى وَجْهِكَ
وَالشَّوْقَ إِلَى لِقَائِكَ فِي غَيْرِ ضَرَّاءَ مُضِرَّةٍ وَلَا فِتْنَةٍ
مُضِلَّة
“Aku meminta kepada-Mu (ya
Allah) kenikmatan memandang wajah-Mu (di akhirat nanti) dan aku meminta
kepada-Mu kerinduan untuk bertemu dengan-Mu (sewaktu di dunia) tanpa ada mara
bahaya dan fitnah yang menyesatkan.”[6]
Doa ini diajarkan oleh
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallamdan beliau memunajatkan dalam
ibadah yang paling utama yaitu salat. Maka hendaknya seorang mukmin meneladani
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sehingga bisa menggapai
nikmat tertinggi di surga.
Kelompok yang Menyimpang
Dalam Masalah Ini
Ketahuilah bahwa akidah ini
telah diingkari oleh kelompok-kelompok yang menyimpang sejak dahulu hingga
sekarang. Inilah yang melatarbelakangi para ulama kita dahulu membantah secara
keras dan menulis tulisan-tulisan khusus seputar masalah ini, bahkan hampir
tidak dijumpai sebuah kitab akidah yang ditulis oleh ulama salaf kecuali
membahas masalah urgen ini. Syaikhul-Islam Ibn Taimiyyah Rahimahullahu
Ta’ala mengatakan, “Masalah ini termasuk masalah ideologi mendasar yang
sangat keras pengingkaran para imam dan ulama salaf terhadap orang yang
menyelisihinya, dan mereka menulis karya-karya yang banyak lagi masyhur.”[7]
Adapun yang menyimpang dalam
masalah ini adalah kelompok-kelompok sebagai berikut:
1. Jahmiyyah
2. Mu‘tazilah
3. Khawarij
4. Syi‘ah Imamiyyah
5. Asya‘irah
6. Maturidiyyah
Al-Allamah Ibn Abil-‘Izz Rahimahullahu
Ta’ala mengatakan, “Golongan yang menyelisihi dalam masalah ‘melihat Allah
di akhirat’ adalah Jahmiyyah[8], Mu‘tazilah, dan yang mengikuti mereka dari kalangan kaum
Khawarij dan Imamiyyah. Ucapan mereka batil dan tertolak dengan Alquran dan
Sunah. Sungguh para sahabat, tabiin, dan imam Islam yang dikenal dengan
keunggulan dalam agama, ahli hadis, dan seluruh ahli kalam yang dinisbahkan
kepada sunah dan jamaah, seluruhnya menetapkan rukyah (melihat Allah di
akhirat).”[9]
Dr. Muhammad ibn ‘Abdirrahman
al-Khumayyis berkata[10], “Sesungguhnya kelompok Asy‘ariyyah dan Maturidiyyah
berlagak menampakkan diri menetapkan ‘melihat Allah’, tetapi mereka memberikan
beberapa persyaratan yang menjadikan termasuk suatu hal yang mustahil. Oleh
karena itu, seorang yang cerdas di antara mereka mengatakan, ‘Tidak ada
perbedaan di antara kita dengan Mu‘tazilah dalam masalah rukyah (melihat Allah
di akhirat). Kita semua sama-sama menetapkan pandangan secara ilmu (hati) bukan
pandangan dengan mata kepala.’ Karenanya pula, mereka mengatakan bahwa orang
buta di Cina bisa melihat suatu tempat di Andalusia (Spanyol), padahal tidak
ragu lagi bahwa penglihatan di sini adalah penglihatan ilmiah (hati) dan bukan
penglihatan dengan mata kepala.”[11]
Syubhat dan Jawaban
Akidah dan agama adalah
perkara yang paling mahal harganya, merupakan jalan yang jelas bercahaya dan
tidak pernah berbasa-basi membedakan antara manusia. Siapa pun yang menyimpang
ke kanan dan ke kiri akan tersesat jalan menuju jalan-jalan yang gelap gulita.
Oleh karena itu, tanamkan pada diri kita masing-masing perasaan cinta akan
kebenaran tanpa mengikat kepada individu (perorangan) dan kelompok tertentu.
Ingat, kebenaran di atas segalanya.
Ada beberapa syubhat yang
dihembuskan oleh para pengingkar akidah ini, kami akan menyebutkan sebagiannya
berikut jawabannya sehingga kita tidak terjebak oleh syubhat mereka:
1. Mereka berdalil
dengan firman Allah Ta‘āla:
لَّا تُدْرِكُهُ ٱلْأَبْصَـٰرُ وَهُوَ يُدْرِكُ
ٱلْأَبْصَـٰرَ ۖ وَهُوَ ٱللَّطِيفُ ٱلْخَبِيرُ ﴿١٠٣﴾
Dia tidak dapat dicapai
(diliputi) oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan
itu, dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui. (QS al-An‘ām [6]: 103)
Segi perdalilannya menurut
mereka ialah bahwa AllahSubhanahu wa Ta’ala meniadakan untuk diliputi
dengan mata, maka itu berarti bahwa tidak ada mata penglihatan yang bisa
melihat-Nya.[12]
Jawaban:
a. Ayat ini sama sekali
tidak mendukung akidah rusak mereka, bahkan seperti dikatakan oleh
Syaikhul-Islam bahwa tidak ada satu ayat pun yang dijadikan dalil oleh ahli
bidah kecuali dalam ayat tersebut terdapat dalil yang membantahnya.
b. Sebagian ulama
salaf menafsirkan ayat ini, “‘Dia (Allah) tidak dapat diliputi oleh
penglihatan mata’ maksudnya adalah di dunia ini, sedangkan di akhirat nanti
maka pandangan mata bisa melihat-Nya.”
c. Dalam ayat ini,
Allah hanya menafikan al-idrāk yang berartial-iḥāṭah (meliputi/melihat
secara keseluruhan), sedangkan melihat itu tidak sama dengan al-iḥāṭah (meliputi).
Bukankan manusia bisa melihat matahari di siang hari tetapi tidak bisa
meliputinya secara keseluruhan?!
d. Al-idrāk (meliputi/melihat
secara keseluruhan) artinya lebih khusus dari pada al-ru’yah (melihat),
maka dengan dinafikannya al-idrāk menunjukkan adanya al-ru’yah (melihat
Allah Ta‘āla), karena penafian sesuatu yang lebih khusus menunjukkan
adanya sesuatu yang lebih umum. Maka ini membuktikan bahwa ayat yang mereka
jadikan sandaran ini, pada hakikatnya justru merupakan dalil untuk menyanggah
kesesatan mereka dan bukan mendukungnya.[13]
2. Mereka berdalil
dengan firman Allah Ta‘āla:
وَلَمَّا جَآءَ مُوسَىٰ لِمِيقَـٰتِنَا
وَكَلَّمَهُۥ رَبُّهُۥ قَالَ رَبِّ أَرِنِىٓ أَنظُرْ إِلَيْكَ ۚ قَالَ لَن
تَرَىٰنِى وَلَـٰكِنِ ٱنظُرْ إِلَى ٱلْجَبَلِ فَإِنِ ٱسْتَقَرَّ مَكَانَهُۥ
فَسَوْفَ تَرَىٰنِى ۚ فَلَمَّا تَجَلَّىٰ رَبُّهُۥ لِلْجَبَلِ جَعَلَهُۥ دَكًّۭا
وَخَرَّ مُوسَىٰ صَعِقًۭا ۚ فَلَمَّآ أَفَاقَ قَالَ سُبْحَـٰنَكَ تُبْتُ إِلَيْكَ
وَأَنَا۠ أَوَّلُ ٱلْمُؤْمِنِينَ ﴿١٤٣﴾
Dan tatkala Musa datang untuk
(munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Rabb telah
berfirman (langsung kepadanya), berkatalah Musa: “Wahai Rabbku, tampakkanlah
(diri-Mu) kepadaku agar aku dapat melihat-Mu.” Allah berfirman: “Kamu
sekali-kali tak sanggup untuk melihat-Ku, tetapi lihatlah ke bukit itu, maka
jika ia tetap di tempatnya (seperti sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku.”
Tatkala Rabbnya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu
hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia
berkata: “Maha Suci Engkau, aku bertobat kepada Engkau dan aku orang
pertama-tama beriman” (QS al-A‘rāf [7]: 143)
Mereka mengatakan bahwa dalam
ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala menolak permintaan Nabi Musa ‘Alaihissalam untuk
melihat-Nya dengan menggunakan kata “lan” yang berarti penafian selama-lamanya,
ini menunjukkan bahwa Allah tidak akan mungkin bisa dilihat
selama-lamanya.[14]
Jawaban :
a. Ucapan mereka bahwa
kata “lan” berarti penafian selama-lamanya, adalah tidak benar.
Ibnu Malik, salah seorang
ulama ahli tata bahasa Arab, berkata dalam Al-Kafiyah asy-Syafiyah:
وَمَنْ رَأَى النَّفْيَ بِلَنْ مُؤَبَّدًا…
فَقَوْلُهُ ارْدُدْ وَسِوَاهُ فَاعْضُدَا
Barangsiapa yang beranggapan
bahwa (kata) “lan” berarti penafian selama-lamanya
Maka tolaklah pendapat ini
dan ambillah pendapat selainnya.
Demikian juga al-Imam Ibn
Hisyam Rahimahullahu Ta’ala, beliau mengatakan, “Lan tidak
menunjukkan penafian selama-lamanya, berbeda dengan pendapat yang mengatakan
seperti itu.”[15]
b. Makna yang benar
dari ayat ini adalah bahwa Allah Ta‘ālamenolak permintaan Nabi Musa ‘Alaihissalam tersebut
sewaktu di dunia, karena memang tidak ada seorang pun yang bisa melihat-Nya di
dunia. Adapun di akhirat nanti, Allah Ta‘ālaakan memudahkan hal itu bagi
orang-orang yang beriman.
c. Permintaan Nabi Musa ‘Alaihissalam dalam
ayat ini untuk melihat Allah Ta‘āla justru menunjukkan bahwa Allah Ta‘ālamungkin
untuk dilihat, karena tidak mungkin seorang hamba yang mulia dan saleh seperti
Nabi Musa ‘Alaihissalam meminta sesuatu yang mustahil terjadi dan
melampaui batas.
d. Seandainya
permintaan Nabi Musa ‘Alaihissalam adalah batil dan mungkar maka
Allah Ta‘āla akan mengingkarinya sebagaimana Allah Ta‘āla mengingkari
permintaan Nabi Nuh‘Alaihissalam.
e. Allah Ta‘āla menggantungkan
rukyah pada gunung. Dan itu adalah sesuatu yang sebenarnya mungkin saja bisa
terjadi.
f. Jika Allah
saja bisa menampakkan diri kepada benda mati seperti gunung, lantas apakah yang
mustahil untuk menampakkan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman di akhirat?![16]
Beberapa Masalah Seputar Ini
Untuk melengkapi pembahasan
ini, ada beberapa masalah yang perlu disampaikan di sini seputar masalah ini:
1. Klasifikasi
dalam menyikapi masalah
Manusia, dalam hal melihat
Allah Subhanahu wa Ta’ala, terbagi menjadi tiga:
Pertama: Golongan yang
mengatakan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak bisa dilihat secara
mutlak baik di dunia maupun di akhirat, seperti Jahmiyyah dan Mu‘tazilah.
Kedua: Golongan yang
mengatakan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala bisa dilihat di dunia,
seperti anggapan kaum ahli khurafat dan tasawuf.
Ketiga: Golongan yang
mengatakan bahwa Allah tidak bisa dilihat di dunia tetapi dilihat di akhirat.
Inilah pendapat yang benar berdasarkan dalil-dalil yang jelas. Dan inilah
akidah Ahlusunah wal Jamaah.
2. Macam-macam manusia
ketika melihat Allah di akhirat
Manusia kelak pada Hari
Kiamat terbagi menjadi tiga macam:
a. Orang-orang beriman.
Mereka akan melihat Allah di surga dan padang mahsyar.
b. Orang-orang kafir.
Mereka tidak melihat Allah sama sekali.
c. Orang-orang munafik.
Mereka akan melihat Allah dengan penglihatan hisab bukan penglihatan nikmat
kemudian setelah itu mereka terhijab (terhalang) dari melihat Allah sebagai
siksaan bagi mereka.[17]
3. Apakah wanita
juga melihat Allah seperti kaum pria?!
Al-Hafiz Ibn Kasir
menyebutkan perselisihan ulama dalam masalah ini menjadi tiga pendapat:
Pertama: Wanita tidak melihat
Allah karena wanita tinggal di tempat tinggal masing-masing.
Kedua: Wanita juga melihat
Allah berdasarkan keumuman dalil.
Ketiga: Wanita melihat Allah
hanya saat-saat perayaan. Namun, ini perlu dalil khusus.
Pendapat yang kuat adalah
pendapat yang kedua berdasarkan keumuman dalil.[18]
4. Apakah Jin
melihat Allah?
Al-Bulqini mengatakan bahwa
jin yang beriman akan melihat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan ini
sesuai dengan kepemurahan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Al-Saffarini
mengomentari, “Pendapat yang benar ialah bahwa setiap yang masuk Surga akan
melihat Allah.”[19]
Lantas, apakah jin masuk
Surga? Ada perinciannya:
a. Jin kafir, maka
mereka akan masuk Neraka berdasarkan dalil-dalil Alquran, hadis, dan ijmak
ulama. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلَوْ شِئْنَا لَءَاتَيْنَا كُلَّ نَفْسٍ
هُدَىٰهَا وَلَـٰكِنْ حَقَّ ٱلْقَوْلُ مِنِّى لَأَمْلَأَنَّ جَهَنَّمَ مِنَ
ٱلْجِنَّةِ وَٱلنَّاسِ أَجْمَعِينَ ﴿١٣﴾
Dan kalau Kami menghendaki
niscaya Kami akan berikan kepada tiap-tiap jiwa petunjuk. Akan tetapi, telah
tetaplah perkataan daripada-Ku: “Sesungguhnya akan Aku penuhi Neraka Jahanam
itu dengan jin dan manusia bersama-sama.” (QS al-Sajdah [32]: 13)
Dan para ulama bersepakat
tentang hal ini.[20]
b. Jin mukmin, apakah
mereka bisa masuk surga? Tentang hal itu, ada perselisihan di kalangan ulama.
Mayoritas mereka mengatakan bahwa jin mukmin akan masuk surga sebagaimana
manusia mukmin; ini pendapat al-Auza‘i, Ibn Abi Laila, Abu Yusuf, dan dinukil
dari Malik, al-Syafi‘i, dan Ahmad ibn Hanbal. Mereka berdalil dengan firman
Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَلِكُلٍّۢ دَرَجَـٰتٌۭ مِّمَّا عَمِلُوا۟ ۖ
وَلِيُوَفِّيَهُمْ أَعْمَـٰلَهُمْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ ﴿١٩﴾
Dan bagi masing-masing mereka
derajat menurut apa yang telah mereka kerjakan dan agar Allah mencukupkan bagi
mereka (balasan) pekerjaan-pekerjaan mereka sedang mereka tiada dirugikan. (QS
al-Aḥqāf: 19)
Sebagian ulama lainnya
berpendapat bahwa jin mukmin tidak masuk surga, lalu mereka berselisih apakah
akan menjadi tanah seperti hewan ataukah ganjaran mereka sekadar selamat dari
neraka.
Pendapat yang kuat adalah
pendapat pertama (masuk surga).[21]
Penutup
Demikianlah pembahasan yang
dapat kami hadirkan. Kita berdoa kepada Allah Ta‘āla agar menjadikan
kita semua termasuk di antara hamba-hamba-Nya yang dikaruniai kenikmatan
melihat wajah-Nya yang agung. Āmīn, āmīn, āmīn ya Rabbal-‘ālamīn.
[1] Jāmi‘ al-‘Ulūm wa al-Ḥikām 1/126
[2] Lihat kitab Ta‘ẓīm Qadri Ṣalāh karya
al-Imam Ibn Nashr al-Marwazi dan Ta‘ẓīm Ṣalāh karya al-Syaikh
‘Abdurrazzaq ibn ‘Abdil-Muhsin al-‘Abbad.
[3] Al-‘Allamah Ibn Abil-‘Izz
al-Hanafi berkata dalam Syarḥ al-‘Aqīdah al-Ṭaḥawiyyah 1/219,
“Penyerupaan ‘melihat Allah’ dengan ‘melihat matahari’ dan ‘(melihat) bulan’
bukanlah berarti menyerupakan zat Allah, tetapi yang diserupakan adalah
‘melihat’ dengan ‘melihat’, bukan zat yang dilihat. Dalam akidah ini terdapat
dalil tentang ketinggian Allah atas makhluk-Nya. Sebab, bagaimana mungkin
melihat tanpa berhadapan?! Barangsiapa mengatakan ‘Allah dilihat tanpa arah’,
maka hendaknya dia memeriksakan akalnya!”
[4] Tażkirah al-Mu‘tasi Syarḥ ‘Aqīdah
al-Hāfiẓ ‘Abdil-Gani hlm. 180–184 karya al-Syaikh ‘Abdurrazzaq ibn
‘Abdil-Muhsin al-‘Abbad. Lihat pula pada hlm. 21-22, padanya terdapat faedah
penting juga dalam masalah ini.
[5] Al-Fawā’id hlm. 86
[6] Diriwayatkan oleh al-Nasa’i: 1305,
al-Bazzar: 1393, Ibn Hibban: 1971 dan dinilai sahih oleh al-Albani dalam Ṣaḥīḥ
al-Jāmi‘ 1301.
[7] Majmū‘ al-Fatāwa 6/469
[8] Dalam Masā’il Isḥāq ibn
Ibrāhīm ibn Hani al-Naisaburi2/152/1850, beliau berkata, “Saya mendengar Abu
‘Abdillah (Ahmad ibn Hanbal) mengatakan, ‘Barangsiapa tidak beriman dengan
rukyah (melihat Allah di akhirat) maka dia Jahmi, dan Jahmi adalah kafir.’”
[9] Syarḥ al-‘Aqīdah al- Ṭaḥawiyyah 1/207
[10] I‘tiqād Ahl al-Sunnah Aṣḥāb al-Ḥadīṡ (hal.
73)
[11] Lihat Kitāb al-Tauḥīd hlm. 58 kar.
al-Maturidi, al-‘Aqā’id al-Nasafiyyah hlm. 73, dan Isyārat
al-Marām hlm. 202.
[12] Syarḥ al-Uṣūl al-Khamsah hlm. 232 kar.
al-Qadi ‘Abdul-Jabbar
[13] Lihat Ḥadi Arwāḥ hlm. 201 karya Ibn
Qayyim al-Jauziyyah.
[14] Lihat Tafsīr Fakhr al-Rāzi 14/233
dan al-Kasysyāf 2/115 kar. az-Zamakhsyari.
[15] Lihat Auḍah al-Masālik 4/148 dan Syarḥ
al-Kāfiyah al-Syāfiyah 2/105.
[16] Lihat al-Kawāsyif al-Jaliyyah hlm.
409 karya al-Syaikh ‘Abdul-‘Aziz Salman.
[17] Lihat Syarḥ al-‘Aqīdah al- Ṭaḥawiyyah 1/247
karya al-Syaikh Salih ibn ‘Abdil-‘Aziz alusy-Syaikh.
[18] Lihat al-Nihāyah 12/184.
[19] Lawā’ih al-Anwār al-Saniyyah 1/197
[20] Sebagaimana dinukil oleh Syaikhul-Islam Ibn
Taimiyyah dalam al-Nubuwwat hlm. 396, Ibn al-Qayyim dalam Ṭarīq
al-Hijratain hlm. 417, dan Ibn Muflih dalam al-Furū‘ 1/603.
[21] Sebagaimana ditegaskan oleh Syaikhul-Islam
dalam al-Nubuwwat hlm. 397, Ibn Katsir dalam Tafsīr-nya 7/287
dan Ibn Hajar al-Haitami dalam al-Fatāwa al-Ḥadīṡiyyah hlm. 70.
(Diringkas dari Fatḥ al-Mannān 1/144–150 karya Masyhur ibn Hasan dan Buḥūṡ
Nādirah hlm. 214 karya Fahd ibn ‘Abdillah al-Saq‘abi.)
Artikel terkait untuk pendalaman :
Melihat Allah di Akhirat Anugerah Teristimewa
(Bagian 2)
'Aqidah
Ahlus-Sunnah : Kaum Mukminin Kelak Akan Melihat Allah di Hari Kiamat/Akhirat
(Ru'yatullah) (Bagian 1)
http://lamurkha.blogspot.com/2015/05/aqidah-ahlus-sunnah-kaum-mukminin-kelak.html
( Bagian 1 ) Mengimani Sifat-sifat Allah :
Bingung Tentang ( Keberadaan ) Rabbnya ?
( Bagian 2 ) Mengimani Sifat-sifat Allah : Isu
tentang tajsim dan mujasimah
( Bagian 3 ) Mengimani Sifat-sifat Allah : Isu
Tentang Tasybih dan Musyabihah
( Bagian 4 ) Mengimani Sifat-sifat Allah :
'Aqidah Ulama Besar Ahlus Sunnah, 'Aqidah Jahmiyah dan 'Aqidah
"oknum" Aswaja
( Bagian 5 ) Mengimani Sifat-sifat Allah :
" Keberadaan Allah" Menurut Ustadz KH Muhammad Idrus Ramli (
Intelektual Aswaja )
( Bagian
6 ) Mengimani Sifat-sifat Allah : " Mengimani bahwa kalamullah itu
berhuruf dan bersuara " "