Ekonomi
terancam hancur, Rusia melonggarkan sanksi terhadap Turki
January 16, 2016
Ketika
mencoba untuk menghukum ekonomi Turki dengan memberlakukan sanksi, pemerintah
Rusia akhirnya menyerah setelah ekonominya berada di ambang
kehancuran.
Setelah menghadapi kesulitan di berbagai
sektor mulai dari tekstil sampai otomotif, dari makanan sampai konstruksi
karena sanksi terhadap Turki, pemerintah Rusia berencana untuk meringankan
sanksi terhadap perusahaan Turki.
Harian Bisnis Rusia, Kommersant, melaporkan
pada hari Jumat mengutip seorang pejabat Federal yang mengatakan Moskow sedang
mempersiapkan untuk memungkinkan beberapa perusahaan Turki beroperasi lagi di
Rusia.
Putin memberlakukan sanksi terhadap Turki
setelah jet tempur F-16 Turki menembak jatuh sebuah pesawat militer Rusia
karena melanggar wilayah udara Turki dekat perbatasan Suriah pada November
2015.
Sanksi meliputi pelarangan produk makanan
Turki, tekstil, pariwisata, otomotif dan perusahaan konstruksi.
Tapi setelah memberlakukan sanksi tersebut,
ekonomi Rusia, yang sebelumnya telah menghadapi situasi terburuk dalam sepuluh
tahun, memaksa Moskow untuk menyerah.
Banyak perusahaan-perusahaan Rusia yang
bergerak di bidang otomotif, tekstil dan sektor lain mulai menghentikan
produksi karena kekurangan bahan baku dari Turki.
Menurut kantor berita yang dikelola negara
TASS, pemerintah federal Rusia akan meringankan sanksi terhadap
perusahaan-perusahaan konstruksi yang dimiliki oleh warga Turki di Rusia.
“Perusahaan kontraktor besar mungkin
diperbolehkan untuk beroperasi di Federasi Rusia asalkan mereka mendirikan
usaha patungan dengan mitra Rusia dan memiliki tidak kurang dari 75% plus satu
saham,” TASS melaporkan mengutip seorang pejabat pemerintah yang berbicara
kepada Kommersant.
Meskipun laporan menunjukkan bahwa pelonggaran
sanksi anti-Turki berkepentingan hanya pada kontrak proyek-proyek konstruksi
untuk Piala Dunia FIFA 2018, yang akan diadakan di Rusia, tetapi ahli
mengatakan sanksi akan kembali sebagai bumerang bagi perekonomian Rusia
dan memaksa Putin untuk menyerah.
TASS mengatakan pelonggaran sanksi akan bisa
dilakukan setelah konsep dekrit yang dikeluarkan oleh Kementerian
Pembangunan Ekonomi Rusia ditandatangani, yang menguraikan aturan untuk
membuat kontrak dengan pemasok subkontrak Turki di Rusia, yang
sebelumnya dilarang.
Pada hari Kamis kementerian menerbitkan
rancangan keputusan, yang mengatakan sanksi tidak akan
menghalangi perusahaan Turki memenuhi kontrak yang dapat menyebabkan
default pada kewajiban internal atau eksternal.
Awal pekan ini seorang pejabat Rusia
mengatakan banyak perusahaan besar, termasuk bank ritel terbesar, Sberbank,
mengharapkan pemerintah untuk memungkinkan mereka bertransaksi
kembali dengan Turki.
Sebulan lalu, perusahaan otomotif Rusia telah
mengajukan aplikasi mirip dengan Kremlin setelah menghentikan produksi karena
kurangnya komponen otomotif dari Turki.
Selain itu, dalam akhir tahun 2015, pihak
berwenang Rusia membuat sebuah daftar perusahaan yang memenuhi syarat untuk
mempekerjakan warga Turki, di antaranya ada perusahaan besar yaitu Turkish
developers Enka, Renaissance Construction, Ant Yapı.
Yeni Şafak
Angka Kemiskinan di Rusia Meningkat
Kamis, 4 Rabiul Akhir 1437 H / 14 Januari 2016 06:30
WIB
Jumlah warga Rusia yang hidup dalam kemiskinan telah
meningkat menjadi hampir 22 juta, menurut data terbaru.
Hampir satu dari tujuh warga Rusia kini
hidup dalam kemiskinan, menurut data resmi yang diterbitkan hari Rabu. Dalam
enam bulan pertama tahun 2015, jumlah warga Rusia yang hidup di bawah penghasilan
minimum 10.017 rubel ($ 147) per bulan naik menjadi 21.700.000 orang –
meningkat hampir 15 persen dari periode yang sama tahun lalu, menurut data
dari statistik lembaga negara Rosstat, dikutip oleh Moskow Times.
Laporan Moskow Times, menambahkan bahwa
tingkat kemiskinan yang sebenarnya kemungkinan akan jauh lebih tinggi dari
angka resmi. Survei bulan Agustus yang dilakukan oleh VTsIOM, layanan polling
yang dikelola negara menemukan bahwa angka rata-rata yang disebut sebagai upah
layak minimum adalah 22.700 rubel ($ 334).
Kenaikan kemiskinan telah dipicu oleh
inflasi spiral, yang mencapai angka tertinggi selama 13 tahun terakhir
pada bulan Maret dan harga barang konsumsi naik hampir 17 persen dari
tahun lalu. PDB negara itu juga jatuh 4,6 persen pada kuartal kedua tahun ini,
ini adalah kejatuhan terbesar sejak 2009.
Menurut sebuah jajak pendapat yang
diterbitkan awal bulan ini oleh Levada Center, sebuah organisasi penelitian
non-pemerintah Rusia, ekonomi merupakan perhatian utama bagi kebanyakan warga
Rusia, dibanding konflik yang sedang berlangsung di Ukraina timur. Jajak
pendapat juga menemukan bahwa 78 persen responden khawatir tentang
inflasi, 42 persen tentang peningkatan kemiskinan dan 36 persen tentang
pengangguran, dibandingkan dengan hanya 22 persen yang mengatakan kekhawatiran
tentang konflik Ukraina.
Rusia sedang menghadapi krisis
kenaikan harga dan penyusutan upah riil. Sebuah laporan bulan Maret dari
bank investasi Rusia VTB Capital memperkirakan bahwa porsi belanja bahan
kebutuhan pokok dari 50 persen naik menjadi 55 persen dari seluruh
pendapatan rumah tangga pada akhir tahun ini, naik 40 persen dari tahun lalu.
Sanksi Moskow pada makanan impor Barat,
dikombinasikan dengan ekonomi lemah, telah menyebabkan harga beberapa
bahan pokok meroket. Harga kubis telah meningkat lebih dari 60 persen
sejak awal 2015 saja, menurut laporan dari perusahaan intelijen AS yang
berbasis di Stratfor. Demikian pula, harga rata-rata kentang telah meningkat
sebesar 36 persen dan harga daging sapi sudah naik sebesar 10 persen.
Meskipun memperluas impor makanan dari
negara Amerika Latin, Rusia akan segera menghadapi kekurangan makanan, yang
bisa memicu kerusuhan sosial, laporan Stratfor
memperingatkan.(ts/midleeastupdate)
Krisis ekonomi Rusia membuat
warga Rusia bergantung pada makanan gratis
January 18, 2016
Dampak
dari krisis ekonomi sekarang terlihat dalam kehidupan sehari-hari di Rusia.
Banyak warga Rusia sekarang hidup di bawah garis kemiskinan. Jumlah orang yang
mencari bantuan meningkat. DW Philipp Anft melaporkan dari Moskow.
Di sebuah gereja di pusat Moskow
di daerah perbelanjaan terkenal di Tverskaya Street, tampak di depan
pintu gereja, lebih dari seratus orang menunggu makanan gratis.
Orang-orang dengan
mantel usang, wajah lelah dan troli penuh barang-barang di belakangnya: Satu
yang dapat dilihat adalah banyak dari mereka yang kehilangan tempat
tinggal. Dengan suhu yang sangat dingin, termometer menunjukkan minus 15
derajat Celcius.
Salah satu orang yang menunggu adalah
Ilya. Dia berusia pertengahan 50-an dan mengenakan jaket merah dan topi hitam.
Dia baru saja kehilangan pekerjaannya. “Saya tukang penempel kertas di dinding
kamar, sekarang saya menganggur,” katanya. “Aku tidak punya pilihan lain
selain untuk datang ke sini. Untungnya, ada inisiatif seperti ini
yang memberikan kita makanan gratis.” Ilya adalah anggota kelompok yang
membutuhkan bantuan : orang-orang yang telah jatuh dari sistem sebagai
akibat dari krisis ekonomi di Rusia.
Harga Makanan sangat mahal
Ekonomi Rusia tidak berjalan lancar.
Harga minyak internasional yang rendah sangat berdampak buruk bagi
keuangan negara, yang merupakan komoditas ekspor utama. Ekspor minyak dan
gas merupakan salah satu sumber pendapatan utama. Sanksi perdagangan yang
diberlakukan Barat sebagai respon terhadap pencaplokan Krimea, dan
kontra-sanksi Rusia yang diberlakukan Moskow, semakin memperburuk situasi.
Baru-baru ini, Menteri Keuangan Rusia,
Anton Siluanov, mengumumkan pemotongan 10 persen belanja pemerintah secara
keseluruhan. Presiden Rusia Vladimir Putin telah berulang kali menyatakan bahwa
krisis ekonomi telah berakhir, tetapi menurut survei terbaru, lebih dari
setengah warga Rusia berpendapat situasi semakin memburuk. Inflasi semakin
tinggi; nilai tukar rubel terhadap dolar dan euro telah mengalami penurunan
tajam.
Harga bahan makanan khususnya telah menjadi
jauh lebih mahal. Kantor statistik di Moskow telah mencatat kenaikan harga
hampir 13 persen dibandingkan dengan akhir 2014 untuk biaya belanja rumah
tangga Rusia. Harga beberapa produk, seperti ikan kaleng, acar mentimun dan
mayones, bahkan sudah naik 30 persen. Belanja tersier, seperti mobil baru
atau liburan ke luar negeri, semakin berkurang.
Situasi keseluruhan telah memburuk
Ketika gereja kecil di pusat kota Moskow
membuka pintu untuk memberi makan orang miskin, banyak
warga berdesak-desakan dan semua orang ingin menjadi yang pertama.
Natalia Markova yang mengatur distribusi
makanan untuk organisasi Moskow “Drusya na ulitse,” yang berarti “teman di
jalan”, menyatakan menemukan bahwa situasi keseluruhan telah memburuk dan
sebagai akibatnya jumlah warga yang membutuhkan bantuan semakin meningkat.
“Tahun ini, kami memiliki lebih banyak tamu dari biasanya,” kata Markova. “Ada
banyak orang yang memiliki sebuah apartemen dan pekerjaan tetapi
pendapatannya begitu sedikit dan kita harus membantu mereka dengan
makanan.”
Salah satunya adalah Denis, yang berusia
pertengahan 20-an. Dia dulu tinggal di jalanan, katanya, tapi sekarang
kondisinya lebih baik. Dia bekerja sebagai kurir dan sekarang mampu
membayar sewa untuk sebuah ruangan. Tapi sewanya tinggi. Dia mengatakan, “Saya
bisa makan hanya ketika ada cukup uang. Kadang-kadang dua kali sehari,
kadang-kadang hanya sekali.” Tanpa bantuan organisasi tersebut, katanya, hidup
akan lebih sulit.
Silahkan salahkan semua orang – kecuali Putin
Jika Anda meminta orang Rusia untuk
menyebutkan penyebab penderitaan mereka, Anda mendapatkan banyak jawaban.
Beberapa mengatakan itu adalah perbuatan tokoh bayangan dalam pemerintahan,
sementara yang lain menyalahkan dunia bisnis yang tidak berperasaan. Karina,
misalnya, mengatakan administrasi publik yang harus disalahkan, karena telah
melupakan orang miskin dan hampir tak ada yang peduli
dengan orang-orang yang tidak punya uang. Tapi ada satu orang,
yang tidak bisa disalahkan: Vladimir Putin! “Dia adalah presiden yang
baik,” kata Karina, “Tapi dia tidak bisa mengurus semuanya.”
News Republic
Rusia Umumkan Pemotongan Anggaran Baru
Kamis, 14 Januari 2016
Moskow, (Analisa). Pemerintah Rusia akan memangkas
anggaran belanjanya hingga 10% tahun ini akibat harga dari salah satu
komoditas ekspor utama mereka anjlok hingga mencapai level terendah, ujar
menteri keuangan Rusia pada Rabu (13/1).
"Kami telah menyepakati bahwa kementerian dan badan-badan
pemerintahan akan mengajukan proposal kepada kementerian keuangan untuk
pengoptimalan anggaran belanja hingga 10%," ujar Menteri Keuangan Rusia,
Anton Siluanov, dalam sebuah konferensi ekonomi di Moskow.
"Kami harus mengambil langkah yang dipikirkan dengan matang demi
menyelaraskan anggaran yang baru ini dengan situasi yang ada sekarang,"
tambahnya.
"Dengan keadaan yang sulit seperti saat ini, kami harus berhemat,
mengeluarkan kebijakan mengetatkan anggaran, demi mengurangi potensi level
defisit yang besar atau volume utang yang besar," ungkap Siluanov.
Anggaran 2016 Rusia dirancang dengan perkiraan harga minyak 50 dolar per
barel dan defisit mencapai 3%, dan Presiden Vladimir Putin memerintahkan agar
tidak melewati angka defisit ini.
Harga minyak mentah pada perdagangan Selasa lalu anjlok hingga dibawah 30
dolar per barel untuk pertama kali dalam 12 tahun terakhir.
Menutur Siluanov, harga minyak harus mencapai 82 dolar per barel demi menyeimbangkan
anggaran Rusia tahun ini.
Selain itu Siluanov juga memperingatkan akan ada kemungkinan kenaikan
harga minyak dalam waktu dekat, berlawanan dengan perkiraan menteri ekonomi
Rusia, Alexei Ulyukayev, yang mengatakan harga minyak dunia akan tetap berada
di level rendah hingga waktu yang cukup lama. Sementara defisit anggaran Rusia
tahun lalu mencapai 2,6%, tahun ini diperkirakan akan semakin sulit lagi.
Pemerintah Rusia terpaksa menggunakan cadangan mereka dengan cukup
besar dan menghapuskan dukungan nilai tukar mata uang mereka, yang juga
mengalami penurunan nilai tukar.
Ekonomi Rusia juga mengalami gangguan akibat sanksi yang diberikan
negara-negara barat akibat campur tangan mereka di Ukraina dan juga langkah
yang dilakukan Rusia sebagai langkah tandingan termasuk diantaranya melakukan
embargo pada beberapa impor produk pangan utama.
Memangkas anggaran telah memberikan dampak yang cukup besar bagi
kementerian dalam negeri, dimana mereka telah mengumumkan pemberhentian
sekitar 10% karyawan mereka.
Apabila pemerintah gagal melaksanakan langkah penghematan, akan terjadi
krisis seperti 1998-1999, dimana masyarakat terpaksa harus membayar inflasi
akibat kegagalan kami melakukan penyesuaian dengan situasi baru yang terjadi,
ujar Siluanov memperingatkan.
Laju inflasi tahunan Rusia mencapai 15,5% dan harga produk pangan
mengalami kenaikan lebih dari 19% secara rata-rata, dimana harga buah dan
sayuran menjadi 29,5% lebih mahal, ujar layanan statistik Rusia pekan
ini. (AFP/jo)
Harga Minyak Merosot, Perekonomian Rusia Kembali
Terpukul
13 Jan 2016 10:31
Moskow – Turunnya harga minyak telah menyebabkan merosotnya
ekonomi pemerintah Rusia.
Merosotnya harga minyak ini telah mengguncang perekonomian
yang mewakili setengah anggaran pendapatan negara, dan termasuk juga memukul
pasar saham di Rusia, Selasa (12/01).
Menurut harian bisnis Vedomosti, untuk menangani hal ini
pemerintah dikabarkan sedang menyiapkan pemotongan belanja negara hingga
sepuluh persen.
Sebelumnya harga minyak bernilai $ 50 per barel, tapi
sekarang menurun menjadi sekitar $ 30 per barel. Melihat hal itu, para
pejabat mencari berbagai cara untuk menyelamatkan defisit anggaran, agar
tidak melewati nilai 3 persen yang telah dicanangkan untuk tahun 2016.
Dalam menghadapi hal ini kementerian keuangan sampai
harus menyimpan dana cadangan sebesar 10 persen, serta memotong sedikit
demi sedikit anggaran belanja negara.
Selain karena merosotnya harga minyak, keuangan Rusia juga
menurun akibat sanksi dari negara-negara Barat atas krisis Ukraina yang
masih berlanjut.
Bahkan, indeks RTS Rusia dalam mata uang dolar jatuh lagi
menjadi 1,3 persen pada hari Selasa, setelah menurun 5 persen pada Senin.
Selain itu, mata uang Rusia, Rubel juga turun di bawah 77
dolar dan menjadi sekitar 83,5 euro pada Selasa sejak merosotnya mata uang
pada Desember lalu.
Tentara Rusia sendiri telah mengambil bagian dalam
peperangan di Suriah. Kini serangan jet tempur Rusia kembali menelan warga
sipil di sebuah sekolah di Aleppo.
Bahkan Jaringan HAM Suriah mengatakan, sejak awal kampanye
perang Rusia di Suriah, pasukan Moskow telah menewaskan 583 orang, termasuk 570
warga sipil.
Harga minyak semakin
melemah, nilai Rubel Rusia babak belur
People walk at a street passing an
exchange booth in Moscow, Russia, Monday, Jan. 18, 2016. The Russian ruble,
battered by weak oil prices, on Monday dropped to new low and broke an all-time
record against the euro. (AP Photo/Ivan Sekretarev)
January 19, 2016
Rubel Rusia, babak belur disebabkan harga minyak
yang semakin melemah, dimana pada hari Senin turun ke level terendah dan
memecahkan rekor sepanjang masa terhadap euro.
Mata uang nasional Rusia turun 1,8 persen pada 79 rubel terhadap dolar pukul 05:00 waktu Moskow (1400 GMT), ini adalah tingkat terendah di bursa valuta asing sejak Desember 2014.
Rubel jatuh ke angka terendah terhadap euro karena Bank Sentral menetapkan nilai tukar resmi di angka 85 rubel terhadap euro pada hari Senin.
Minyak, andalan ekonomi Rusia, baru-baru harganya ini anjlok di bawah $ 30 per barel, harga terendah selama 13-tahun terakhir. Rubel juga di bawah tekanan dari sanksi ekonomi yang dikenakan Barat pada Rusia untuk keterlibatannya dalam krisis Ukraina.
Rusia mengalami defisit anggaran sebesar 3 persen dari PDB tahun ini, dan pemerintah sedang berencana untuk memotong 10 persen dari anggaran federal yang dirancang dengan harga minyak US $ 50 per barel.
Semua kementerian Rusia diharapkan menyajikan laporan usulan pemotongan anggaran mereka pada akhir bulan dengan asumsi akan mampu memotong 500 miliar rubel ($ 6.300.000.000) beban pemerintah, kata Menteri Keuangan Anton Siluanov.
Perdana Menteri Dmitry Medvedev, dalam komentar yang disiarkan televisi pada hari Senin, mengatakan, pemerintah menemukan harga minyak yang “sulit untuk diprediksi” dan bahwa Rusia harus menggunakan momen ini untuk diversifikasi ekonomi terlepas dari minyak dan melakukannya secepat mungkin.
Mata uang nasional Rusia turun 1,8 persen pada 79 rubel terhadap dolar pukul 05:00 waktu Moskow (1400 GMT), ini adalah tingkat terendah di bursa valuta asing sejak Desember 2014.
Rubel jatuh ke angka terendah terhadap euro karena Bank Sentral menetapkan nilai tukar resmi di angka 85 rubel terhadap euro pada hari Senin.
Minyak, andalan ekonomi Rusia, baru-baru harganya ini anjlok di bawah $ 30 per barel, harga terendah selama 13-tahun terakhir. Rubel juga di bawah tekanan dari sanksi ekonomi yang dikenakan Barat pada Rusia untuk keterlibatannya dalam krisis Ukraina.
Rusia mengalami defisit anggaran sebesar 3 persen dari PDB tahun ini, dan pemerintah sedang berencana untuk memotong 10 persen dari anggaran federal yang dirancang dengan harga minyak US $ 50 per barel.
Semua kementerian Rusia diharapkan menyajikan laporan usulan pemotongan anggaran mereka pada akhir bulan dengan asumsi akan mampu memotong 500 miliar rubel ($ 6.300.000.000) beban pemerintah, kata Menteri Keuangan Anton Siluanov.
Perdana Menteri Dmitry Medvedev, dalam komentar yang disiarkan televisi pada hari Senin, mengatakan, pemerintah menemukan harga minyak yang “sulit untuk diprediksi” dan bahwa Rusia harus menggunakan momen ini untuk diversifikasi ekonomi terlepas dari minyak dan melakukannya secepat mungkin.
Daily Sabah
http://www.middleeastupdate.net/harga-minyak-semakin-melemah-nilai-rubel-rusia-babak-belur/Rubel Melemah, Masyarakat Rusia Pilih Tak Berlibur ke Luar Negeri
Sabtu, 09 Januari 2016 00:00
Jumlah masyarakat Rusia yang bepergian ke luar negeri
pada libur musim dingin menurun, demikian hal tersebut dilaporkan media Rusia RT. Alasan
mengapa banyak masyarakat Rusia pergi ke Sankt Peterburg, wilayah Moskow, dan
Sochi sederhana — mata uang rubel yang lemah dan pemesanan yang murah untuk
tiket domestik.
“Satu setengah bulan yang lalu, harga tiket meningkat
sangat tinggi, bahkan untuk wilayah yang dianggap mudah dicapai, telah menjadi
semakin mahal. Ini pun berlaku pada Eropa Tengah dan Timur, begitu pula dengan
kawasan yang terpencil,” kata Natalya Rosenbylum, mitra Hospitality Income Consulting kepada gazeta.ru.
Menurut Cushman & Wakefield, sebuah perusahaan
yang bergerak di bidang properti, turis Rusia biasa menjadi lima besar
penggunaan uang untuk perjalanan luar negeri.
RT mencatat, negara-negara pada zona
Euro atau mereka yang menerima dolar akan terkena dampak negatif dari hilangnya
turis Rusia. Menurut Cushman & Wakefield, mungkin banyak dari destinasi
wisata yang dapat mengganti turis Rusia yang hilang dengan turis dari
negara lain. Namun demikian, keuntungan tidak akan sama besar.
Negara-negara dengan kehilangan terbesar diperkirakan seperti Italia, Prancis,
Austria, dan Republik Ceko.
Masyarakat Rusia sedang mencari tujuan alternatif, dan
banyak pelancong memilih bekas negara Soviet yang tidak tepengaruh oleh
fluktuasi mata uang.
“Georgia dan Armenia telah menjadi tren pada 2015.
Negara-negara ini menawarkan beragam kegiatan. Di Georgia, memungkinkan untuk
dapat liburan musim panas di pinggir laut, pergi ke resor olahraga musim
dingin, wisata kuliner, atau sekadar berjalan-jalan,” kata Rosenblyum,
sebagaimana yang dikutip RT.
Alasan lain bagi sebagian masyarakat Rusia menghidari
Eropa adalah karena krisis pengungsi. “Banyak resor yang diisi oleh
tenda-tenda pengungsi, seperti pesisir Ital dan Yunani, dan setiap turis
merespon untuk keamanannya sendiri,” kata Profesor Galina Dekhtyar dari Akademi
Kepresidenan Rusia untuk Ekonomi Nasional dan Administrasi Publik (RANHiGS).
Ini 5 Mata Uang Paling Jeblok Tahun 2015
Berikut daftar 5 mata uang dengan kinerja paling jeblok pada
tahun 2015 lalu.
5. Rubel Rusia
2015 tahun yang amat buruk bagi Rusia, karena mata uang Rubel melemah 17
persen. Selain itu, pendapatan negara dari minyak jatuh dan ekonomi Rusia masuk
ke dalam periode resesi yang dalam.
Presiden Vladimir Putin menyatakan krisis ekonomi Rusia telah usai, namun indikator ekonomi menunjukkan sebaliknya, yakni pertumbuhan ekonomi, produksi industri, dan penjualan ritel tetap menurun. Namun, kondisi rubel di 2015 lebih baik ketimbang 2014, di mana pelemahan mencapai 41 persen terhadap dollar AS.
Presiden Vladimir Putin menyatakan krisis ekonomi Rusia telah usai, namun indikator ekonomi menunjukkan sebaliknya, yakni pertumbuhan ekonomi, produksi industri, dan penjualan ritel tetap menurun. Namun, kondisi rubel di 2015 lebih baik ketimbang 2014, di mana pelemahan mencapai 41 persen terhadap dollar AS.