Perang Jamal, Bagaimana Kronologis
Peperangan Tersebut, Siapa Dalang Terjadinya Peperangan? Ternyata Pendiri Syiah Berada Dibalik
semua ini
Januari 3,
2013Ti
PERANG JAMAL
a. Latar Belakang terjadinya perang jamal
Setelah Ali bin Abu Thalib dibai’at, Thalhah dan Azzubeir meminta ijin
kepadanya untuk pergi ke Makkah. Ali pun menginjinkan mereka. Mereka kemudian
bertemu dengan Ummul Mukminin Aisyah disana. Saat itu Aisyah sudah mendengar
kabara bahwa Utsman terbunuh. Maka, mereka semua berkumpul di Makkah, hendak
menuntut balas atas terbunuhnya Utsman.
Tidak lama kemudian, Ya’la bin Munyah dari Bashrah dan Abdullah bin Amir
dari Kuffah datang ke Makkah. Mereka semua berkumpul di Makkah juga untuk
menuntut balas atas terbunuhnya Utsman. Mereka lalu keluar dari Makkah diikuti
oleh orang-orang di belakang mereka, pergi menuju ke Bashrah hendak mencarai
pembunuh Utsman. Semua itu mereka lakukan karena mereka memandang bahwa merekak
telah lalai dalam menjaga Utsman. Ketika itu, Ali berada di Madinah, semenetara
Utsman bin Hunaif adalah gubernur Basharah yang diangakat oleh Ali bin Abu
Thalib.
Sesampainya mereka di Bashrah, Ali menugaskan Utsman bin Hunaif untuk
menanyakan tujuan mereka datang ke Bashrah. Mereka menjawab: “Kami menginginkan
pembunuh Utsman.” Utsman bin Hunaif berkata: “Tunggulah hingga Ali datang. Ia
melarang untuk masuk ke Bashrah.
Ketika itulah, Jabalah keluar menemui mereka. Jabalah ini adalah salah
seorang yang terlibat dalam pembunuhan Utsman. Ia menyerang mereka dengan
jumlah pasukan 700 personil. Namun mereka dapat mengalahkannya dan membunuh
personil yang bersamanya. Sementara banyak juga penduduk Bashrah yang bergabung
dengan pasukan Thalhah, Azzubair, dan Aisyah ini.
Ali kemudian keluar dari Madinah, bergerak menuju Kufah. Ini terjadi
setelah ia mendengar kabar bahwa telah terjadi peperangan antara Utsman bin
Hunaif, gubernur tunjukan Ali untuk Bashrah, dengan Thalhah, Azzubeir, dan
Aisyah, serta orang-orang yang bersama mereka. Ali keluar setelah menyiapkan
pasukan yang berjumlah 10.000 orang untuk menyerang Thalhah dan Azzubeir.
Disini kita melihat secara jelas bahwa Ali bin Abu Thaliblah yang keluar
mendatatangi mereka (Thalhah,Azzubeir, dan Aisyah), bukan mereka yang keluar menuju
Ali. Mereka juga tidak bermaksud memerangi Ali sebagaimana yang diklaim oleh
sebagian kelompok dan orang-orang yang terpengaruh oleh isapan jempol terkait
peperangan ini. Jikalau mereka ingin memberontak terhadap Alai, tentunya mereka
akan langsung pergi menuju ke Madinah, bukan ke Bashrah.
Dengan demikian, jelaslah bahwa Thalhah, Azzubeir, dan Aisyah, serta
orang-orang yang ikut bersama mereka tidak pernah membatalkan dan menolak
kekhaliahan Ali. Mereka juga tidak mencela, tidak menyebutkan kejelekan, tidak
membai’at orang selain Ali, dan tidak pergi menuju Bashrah untuk menyerang Ali.
Karena, ketika itu Ali memang tidak berada di Bashrah.
Oleh karena itu, Al-Ahnaf bin Qais berkata: “Aku bertemu Thalah dan
Azzubeir setelah terjadi pengepungan terhadap Utsman, lantas bertanya: “Apa
yang kalian berdua perintahkan kepadaku? Karena, aku melihat Utsman telah
terbunuh.’ Mereka berdua menjawab: ‘Ikutilah Ali.’ Aku kemudian bertemu dengan
Aisyah di Makkah setelah terjadi pembunuhan terhadap Utsman, lalu bertanya:
“Apa yang engkau perintahkan?’ Dia menjawab: ‘Ikutilah Ali.” 1
b. Perundingan jelang meletusnya peperangan
Ali mengirimkan Almiqdad bin Alaswad dan Alqa’qa bin Amr untuk berunding
dengan Thalhah dan Azzubeir. Pihak Almiqdad dan Alqa’qa sepakat dengan pihak
Thalhah dan Azzubeir untuk tidak berperang. Masing-masing pihak menjelaskan
sudut pandang mereka. Thalhah dan Azzubeir berpendapat bahwa tidak boleh
membiarkan pembunuh Utsman begitu saja, sedangkan pihak Ali berpendapat bawa
menyelidiki siapa pembunuh Utsman untuk saat sekarang bukan hal paling
mendesak. Namun, hal ini bisa ditunda sampai keadaan stabil. Jadi, mereka
sepakat untuk mengqishash para pembunuh Utsman. Adapun yang mereka
perselisihkan adlah waktu untuk merealisasikan hal tersebut.
Setelah kesepakatan itu, dua pasukan pun bisa tidur dengan tenang, sedangkan para pengikut Abdullah bin Saba –
mereka para pembunuh Utsman – terjaga dan melewati malam yang buruk, karena
akhirnya kaum Muslimin sepakat untuk tidak saling berperang. Demikianlah keadaan
yang disebutkan oleh para sejarawan yang mencatat peperangan ini, seperti
Athabari,2 Ibnu Katsir,3Ibnu Atsir,4 Ibnu
Hazm,5 dan yang lainnya
Ketika itu para pengikut Abdullah bin Saba sepakat
akan melakukan apa pun agar kesepakatan tersebut dibatalkan. Menjelang waktu
subuh, ketika orang-orang sedang terlelap, sekelompok orang dari mereka
menyerang pasukan Thalhah dan Azzubeir, lalu membunuh beberapa orang diantara
pasukan mereka. Setelah itu, mereka melarikan diri. Pasukan Thalhah mengira
bahwa pasukan Ali telah mengkhianati mereka. Pagi harinya, mereka menyerang
pasukan Ali. Melihat hal itu, pasukan Ali mengira bahwa pasukan Thalhah dan
Azzubeir telah berkhianat. Serang-menyerang antara kedua pasukan ini pun
berlangsung sampai tengah hari. Selanjutnya, perang pun berkecamuk dengan
heabatnya.
c. Upaya Menghentikan Peperangan
Para pembesar pasukan dari kedua belah pihak telah berupaya menghentikan
peperangan, namun mereka tidak berhasil. Ketika itu Thalhah berkata: “Wahai
manusia, apakah kalian mendengar!” Namun mereka tidak mendengarkan seruannya.
Lalu, dia berkata: “Buruk! Buruk sekali jilatan neraka! Buruk sekali
kerakusan!”6
Ali juga berupaya melerai mereka, namun mereka tidak menggubrisnya. Aisyah
kemudian mengirimkan Ka’ab bin Sur dengan membawa mushaf untuk menghentikan
perang, namun para pengikut Abdullah bin Saba membidiknya dengan anak panah
sampai menewaskannya.
Demikianlah yang terjadi, apabila peperangan telah berkecamuk maka tidak
ada seorangpun yang dapat menghentikannya. Semoga Allah melindungi kita dari
fitnah seperti itu. Imam Albukhari menyebutkan beberapa bait syair milik
Imru-ul Qais:
Perang pertama-tama tampak seperti gadis rupawan
berjalan berhias ‘tuk menarik setiap orang bodoh
hingga jika telah menyala dan apainya berkobar-kobar
gadis itu jadi wanita tua yang tak berdaya tarik
rambutnya beruban, raut mukanya aneh dan menua
dengan bau yang tak sedap dihirup bila dicium7
Syaikhul islam Ibnu Taimiyah berkata: “Apabila fitnah sudah terjadi,
orang-orang pintar tidak akan mampu melerai orang-orang bodoh. Demikianlah yang
terjadi pada para pembesar sahabat. Mereka tidak dapat memadamkan fitnah
peperangan dan mencegah para pelakunya. Memang seperti inilah fitnah, sebagaimana yang
Allah firmankan:
وَاتَّقُوا فِتْنَةً لَا تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْكُمْ
خَاصَّةً ۖ وَاعْلَمُوا أَنَّ
اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ﴿٢٥﴾
Dan peliharalah
dirimu dari siksaan yang tidak hanya menimpa orang-orang yang zalim saja di
antara kamu. Ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya. (QS. Alanfaal:25)8
Perang jamal terjadi
pada tahun 36 h atau pada awal kekhilafahan Ali. Perang ini mulai berkecamuk
setelah zhuhur dan berakhir sebelum matahari terbenam pada hari itu.
Dalam peperangan
ini, Ali disertai 10.000 personil pasukan, sementara Pasukan Jamal (berunta)
berjumlah 5.000 – 6.000 prajurit. Bendera Ali dipegang oleh Muhammmad bin Ali
bin Abu Thalib, sementara bendera Pasukan Jamal dipegang oleh Abdullah bin
Azzubeir.
Pada perang ini
banyak sekali kaum muslimin yang tewas terbunuh. Inilah fitnah yang kita
berharap kepada Allah agara menyelamatkan pedang-pedang kita darinya. Kita
memohon kepada Allah agar meridhai dan memberi ampunan kepada mereka (kaum
Muslimin yang iktu dalam perang ini).
d. Terbunuhnya
Thalhah dan Azzubeir
Thalhah, Azzubeir,
dan Muhammad bin Thalhah tewas terbunuh. Mengenai Azzubeir,
ia sebenarnya tidak ikut serta dalam perang ini. Begitu juga dengan Thalhah.
Karena ada sebuah riwayat menyebutkan bahwasanya ketika Azzubeir datang pada
perang ini, ia bertemu Ali bin Abu Thalib, lantas Ali berkata kepadanya:
“Apakah engkau ingat bahwa Rasulullah pernah bersabda: ‘Engkau akan memerangi
Ali sedangkan engkau dalam posisi mendzaliminya.’ “Maka, pada hari itu Azzubeir
kembali dan tidak ikut berperang9
Jadi yang benar adlah Azzubeir tidak ikut perang. Tetapi apakah dialog yang
disebutkan dalam riwayat itu memang terjadi antara ia dan Ali? Wallahu a’lam.
Karena , riwayat ini tidak memiliki sanad yang kuat. Namun, begitulah yang
masyhur dalam buku-buku sejarah. Ada lagi riwayat yang lebih masyhur, yakni
Azzubeir tidak ikut dalam perang ini, namun ia dibunuh secara diam-diam oleh
seorang yang bernama Ibnu Jurmuz.
Sementara itu, Thalhah terbunuh karena terkena anak panah nyasar. Namun,
yang masyhur, orang yang membidiknya adalah Marwan bin Alhakam. Bidikan Marwan
mengenai kakinya, tepat pada bekas luka lamanya. Ketika itu ia sedang berusaha
melerai para prajurit yang berperang.
Seusai perang, banyak prajurit yang terbunuh. Khususnya, mereka yang
menjaga unta yang dikendarai oleh Aisyah, karena Aisyah merupakan simbol bagi
mereka, bahkan mereka mati-matian dalam melindunginya. Karena itu, dengan tumbangnya unta Aisyah, perang pun berhenti dan selesai.
Kemenangan berada di pihak Ali bin Abu Thalib, walaupun sebenarnya tidak ada
pihak yang menang. Justru, Islam dan kaum Muslimin memperoleh kerugian dalam
perang ini.
e. Pasca Terjadinya Peperangan
Pasca Perang Jamal, Ali berjalan di antara para korban yang tewas, lalu
menemukan mayat Thalhah bin Ubaidillah. Setelah mendudukannya dan mengusap debu
dari wajahnya, Ali berkata: “Wahai Abu Muhammad, alangkah berat perasaan ini
melihatmu meninggal tergeletak di atas tanah di bawah bintang-bintang langit.”
Ia pun kemudian menangis seraya berkata: “Aduhai, seandainya aku mati dua puluh
tahun silam sebelum peristiwa ini.10
Setelah itu, Ali melihat mayat Muhammad bin Thalhah (yaitu anak dari
Thalhah), lalu ia menangis lagi. Muhammad bin Thalhah adalah orang yang
dijuluki dengan Assajjad (orang yang banyak sujud) karena dia banyak beribadah.
Seluruh Sahabat yang mengikuti perang ini, tanpa terkecuali, menyesali apa
yang telah terjadi.
Ibnu Jurmuz menemui Ali sambil membawa pedang milik Azzubeir, lalu berkata:
“Aku telah membunuh Azzubeir, aku telah membunuh Azzubeir.” Mendengar hal itu,
Ali berkata: “Pedang ini telah begitu lama menghilangkan duka dan kesusahan
Rasulullah. Berikanlah berita gembira kepada orang yang telah membunuh Ibnu
Shafiyyah (yaitu Azzubeir) bahwa ia akan masuk Neraka.” Setelah itu Ali tidak
mengijinkan Ibnu Jurmuz untuk menemuinya.11
Pasca Perang Jamal, Ali menemui Ummul Mukminin Aisyah, kemudian
mengantarkannya pulang ke Madinah dengan penuh kemuliaan dan kehormatan. Sebab,
dahulu Nabi pernah memerintahkan kepada Ali agar memuliakan dan menghormati
Aisyah.
Diriwayatkan dari Ali; dia berkata bahwasanya Rasulullah bersabda
kepadanya: “Akan terjadi suatu masalah antara kau dan Aisyah.” Ali berkata:
“Wahai Rasulullah, kalau begitu, tentu aku akan menjadi orang yang paling
celaka.” Rasulullah berkata: “Tidak demikian adanya, tapi jika itu terjadi,
maka kembalikanlah dia (Aisyah) ke tempatnya yang aman.”12Maka Ali pun melaksanakan apa yang telah
diperintahkan oleh Rasulullah kepadanya.
f. Mengapa Ali menunda qishash bagi pembunuh Utsman?
Ali meninjau masalah ini dari segi maslahat dan mafsadatnya, dan ia melihat
bahwa yang maslahat adalah menunda qishash, tapi bukan meninggalkannya sama
sekali. Inilah yang menjadi alasan ditundanya qishash. Hal ini sebagaimana yang
dilakukan Nabi pada peristiwa ifki, yaitu ketika sebagian orang menggosipkan
Aisyah telah selingkuh.
Diantara mereka yang masyhur menggosipkan Aisyah saat itu adalah: Hassan
bin Tsabbit, Hammah binti Jahsy, dan Misthah bin Utsatsah. Sementara yang
menjadi penyulutnya adalah Abdullah bin Ubay bin Salul. Ketika itu, Nabi naik
ke atas mimbar, kemudian bersabda: “Siapa yang membelaku terhadap seseorang
yang menyakitiku dengan menyakiti keluargaku?” Yang beliau maksud dengan orang
itu adalah Abdullah bin Ubay bin Salul. Maka, Sa’ad bin Mu’adz pun berdiri dan
berkata: “Aku yang akan membelamu, wahai Rasulullah! Apabila orang itu berasal
dari kami, orang-orang Aus, maka kami akan membunuhnya. Apabila orang itu
berasal dari saudara kami, orang-orang Khazraj, maka perintahkanlah pada kami
untuk membunuhnya.
Sa’ad bin Ubadah kemudian berdiri dan membantah perkataan Sa’ad bin Mu’adz.
Setelah itu, Usaid bin Hudhair berdiri dan membantah perkataan Sa’ad bin
Ubadah. Nabi pun menenangkan mereka.13
Nabi tahu betul bahwa ini merupakan masalah besar. Sebelum kedatangan nabi
ke Madinah, suku Aus dan Khazraj sepakat menjadikan Abdullah bin Ubay bin Salul
sebagai pemimpin mereka. Maka dari itu, orang ini mempunyai kedudukan yang
tinggi dalam pandangan mereka. Dialah yang kembali bersama sepertiga pasukan
pada saat Perang Uhud. Dalam hal ini, Nabi tidak menghukum Abdullah bin Ubay
bin Salul. Mengapa demikian? Karena, maslahat. Menurut pandangan beliau,
menghukum Abdullah bin Ubay bin Salul ketika itu akan menimbulkan kerusakan
yang lebih besar daripada apabila beliau membiarkannya.
Demikian juga dengan Ali. Ia berpandangan bahwa menunda qishash akan
menimbulkan kerusakan yang lebih kecil daripada mempercepatnya. Selain itu,
pada masa-masa tersebut, Ali memang tidak mampu untuk mengqishsash para
pembunuh Utsman, karena orang-orangnya belum diketahui, walaupun memang ada
otak terjadinya fitnah ini dan mereka mempunyai kabilah-kabilah yang akan
membela mereka. Sedangkan keamanan belum pulih, dan fitnah saat itu masih
terjadi. Siapa yang berani menjamin bahwa mereka tidak akan membunuh Ali?
Bahkan, bila Ali mengqishashnya ketika itu, bisa dipastikan mereka akan
membunuhnya setelah itu.
Oleh karena itu, ketika tampuk kekhalifahan dipegang oleh Mu’awiyah, ia pun
tidak membunuh para pembunuh Utsman, mengapa? Karena, pada akhirnya
berkesimpulan sama seperti Ali. Ketika itu Ali melihat realita. Sementara
Mu’awiyah berkesimpulan berdasarkan analisanya saja. Tapi setelah memegang
tampuk kepemimpinan, Mu’awiyah melihat kondisi secara riil (di lapangan).
Benar, Mu’awiyah telah mengirimkan orang untuk mengqishash sebagian di antara
pembunuh Utsman, tetapi sebagiannya masih hidup sampai jaman Alhajjaj. Barulah
pada masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan mereka diqishash semuanya.
Intinya, Ali belum bisa membunuh mereka bukan karena lemah, tetapi karena
mengkhawatirkan keadaan umat ketika itu.
Dinukil dari buku terjemahan yang berjudul “inilah faktanya” Meluruskan
sejarah umat islam sejak wafat nabi hingga terbunuhnya husein
foot note:
Fathul baari
(XIII/38). Ibnu Hajar, penulisnya, berkata: “Ath thabari meriwayatkan kisah ini
dengan sanad shahih.”
Taariikh Aththabari
(III/517).
Albidaayah wan
Nihaayah (VII/509)
Alkaamil fit
Taariikh (III/120).
Alfishal fil Milal
wal Ahwaa wan Nihal (IV/293).
Taariikh Khalifah
bin Khayyath (hlm. 182)
Shahiihul Bukhari,
Kitab “Alfitnah”, Bab “AlFitnatul Latii Tamuuju Kamaujil Bahr”,sebelum hadits
nomor 7096.
Mukhtashar Minhaajis
Sunnah ( hlm. 281)
Almushannaf karya
Ibnu Abi Syaibah (XV/283, no. 19674). Dalam sanad riwayat ini ada perawi yang
majhul (tidak dikenal identitasnya). Riwayat ini juga disebutkan oleh al hafidz
Ibnu Hajar dalam al-Mathaalibul ‘Aliyah (no. 4412)
Mukhtashar Taariikh
Dimasyq karya Ibnu ‘Asakir (XI/207) dan Usdul Ghaabah (III/88). AlBushriri
berkata: “Para perawinya tsiqah”, dan dia mengutipnya dari Ibnu Hajar dalam
alMathaalibul ‘Aaliyah (IV/302) dengan sedikit perbedaan redaksi.
Ath-Thabaqaatul
Kubraa karya Ibnu Sa’ad (III/105) dengan sanad hasan.
HR. Ahmad dalam
musnadnya (VI/393). Alhafidz Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Baari (XIII/60) :
“Sanad hadits ini hasan.”
Muttafaq Alaih :
Shahihul Bukhari, Kitab “Al Maghaazi”, Bab “Haditsul Ifki” (no. 414); dan
Shahiih Muslim, Kitab “Attaubah”, Bab “Haditsul Ifki wa Qabuul Taubatil
Qaadzif” (no. 2770).