Muslimkah Orang Tua
Nabi ?
[Menjawab
Dakwah Kaum Salafi Karya Prof. DR. Ali Jumuah BAB 12. Mengklaim Kedua Orang Tua
Rasulullah SAW Sebagai Ahli Neraka di Hari Kiamat ]
Sanggahan
terhadap Wartawan Republika [Kedua Orang Tua Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
di Neraka]
Sanggahan terhadap Wartawan Republika
[Kedua Orang Tua Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di Neraka]
Oleh Al-Ustadz Abdul Qodir Abu Fa’izah
-hafizhahullah-
(Pengasuh Ponpes Al-Ihsan Gowa, Sulsel)
Sebuah kenyataan yang sering luput dari
wawasan kita bahwa kedua orang tua Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- ternyata
meninggal dalam keadaan kafir dan kelak akan kekal di dalam
neraka!! Sebuah realita yang mungkin terasa pahit dan sulit diterima oleh
sebagian orang jahiltentang sunnah dan berita dari Rasulullah -Shallallahu
alaihi wa sallam-. Adapun orang yang beriman kepada beliau, maka mereka
membenarkan berita yang beliau sampaikan bahwa kedua orang tua beliau di
neraka.
Tulisan ini kami angkat, karena pernah
lewat di telinga kami bahwa sebagian orang tidak percaya jika kedua orang tua
Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- akan dimasukkan ke dalam neraka.
Pengingkaran mereka ini didasari oleh perasaan dan taklid buta.
Diantara mereka yang mengingkari
keberadaan orang tua Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- di neraka, seorang
Penulis dan Wartawan Republika, Nashih Nashrullah[1] saat ia menulis sebuah tulisan aneh dengan judul“Apakah Kedua
Orang Tua Rasulullah SAW akan Masuk Surga?”[2]
Si Wartawan ini membawakan khilaf dalam
perkara ini, lalu menguatkan salah satu dari keduanya bahwa kedua orang tua
Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- akan masuk surga. Semuanya tanpa
hujjah yang dapat dipertanggungjawabkan. Tak satu dalil pun yang ia bawakan
dapat menyokong dirinya. Ia
hanya menukil beberapa nama dan ucapan ulama yang masih mungkin untuk
diperdebatkan oleh setiap orang yang menanggapinya.[3]
Nashih Nashrullah berusaha menguatkan
pendapat itu dengan berbagai syubhat yang akan kami sanggah -insya Allah- di
akhir tulisan ini, sehingga anda mengetahui kelemahan hujjahnya!! Dalam
tulisannya, ia hanya berpegang dengan ucapan sebagian ulama, tanpa berpegang
dengan hujjah yang kuat dan gamblang!!!
Ulama dalam berijtihad, mungkin salah dan benar. Jika ia
salah karena menyelisihi dalil, maka kita tinggalkan ucapannya[4]. Jika
ia benar karena mencocoki kebenaran, maka kita terima karena dalil kebenaran
yang ia pegangi, bukan karena ia seorang ulama.
Inilah yang pernah
dikatakan oleh Al-Imam Malik bin Anas, Imam Darul Hijrah dalam sebuah ucapannya
yang patut diabadikan dengan tinta emas,
كُلُّ
أَحَدٍ يُؤْخَذُ مِنْ قَوْلِهِ وَيُتْرَكُ إِلاَّ صَاحِبَ هَذَا الْقَبْرِ
“Setiap orang boleh diambil ucapan dan
pendapatnya, dan juga boleh ditinggalkan, kecuali penghuni kubur ini”.[5] Maksud beliau adalah Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi
wasallam-.
Para pembaca yang budiman, jika kita
meneliti kitab-kitab hadits dan aqidah, maka pendapat yang benar dan dikuatkan
oleh dalil adalah pendapat yang menyatakan bahwa kedua orang Nabi -Shallallahu
alaihi wa sallam- adalah kafir dan akan masuk neraka.
Sebagai beban ilmiah di pundak kami, kini
kami akan turunkan sejumlah dalil yang mendasari pendapat yang kuat ini agar
para pembaca tak lagi ragu tentang kebenarannya setelah datangnya dalil dan
hujjah.
Dalil
Pertama
Dari Sahabat Anas -radhiyallahu anhu-
berkata,
أَنَّ
رَجُلاً قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيْنَ أَبِى؟ قَالَ: « فِى النَّارِ ».
فَلَمَّا قَفَّى دَعَاهُ فَقَالَ: « إِنَّ أَبِى وَأَبَاكَ فِى النَّارِ ».
“Seorang lelaki pernah berkata, “Wahai
Rasulullah, dimanakah bapakku?” Beliau menjawab, “Di neraka”. Tatkala orang itu
berbalik pergi, maka beliau memanggilnya seraya bersabda, “Sesungguhnya bapakku
dan bapakmu di neraka”. [HR. Muslim dalam Shohih-nya (no. 203)]
Ini merupakan dalil shohih yang amat
gamblang dalam menetapkan eksistensi (keberadaan) orang tua Nabi -Shallallahu
alaihi wa sallam- ketika di akhirat nanti. Tentunya beliau menyatakan demikian,
karena beliau mendapatkan wahyu dari Allah -Ta’ala-.
Seorang ulama Syafi’iyyah, Al-Imam
An-Nawawiy -rahimahullah- berkata,
فيه أن
من مات على الكفر فهو في النار ولا تنفعه قرابة المقربين وفيه أن من مات في الفترة
على ما كانت عليه العرب من عبادة الأوثان فهو من أهل النار وليس هذا مؤاخذة قبل
بلوغ الدعوة فان هؤلاء كانت قد بلغتهم دعوة ابراهيم وغيره من الأنبياء صلوات الله
تعالى وسلامه عليهم وقوله صلى الله عليه و سلم أن أبي وأباك في النار هو من حسن
العشرة للتسلية بالاشتراك في المصيبة
“Di dalam hadits ini (terdapat
keterangan) bahwa barangsiapa yang mati di atas kekafiran, maka ia di neraka
dan kekerabatan orang-orang dekat tak akan memberikannya manfaat. Di dalam
hadits ini (terdapat keterangan) bahwa yang mati di masa “fatroh” (vakum) di atas sesuatu yang dipijaki oleh
bangsa Arab berupa penyembahan berhala, maka ia termasuk penduduk neraka.
Ini bukanlah hukuman sebelum sampainya dakwah. Karena, mereka itu sungguh telah
dicapai dakwahnya Ibrahim dan selainnya dari kalangan para nabi –sholawatullahi
ta’ala wa salamuhu alaihim-. Sabda beliau -Shallallahu alaihi wa sallam-,
“Sesungguhnya bapakku dan bapakmu dalam neraka”, termasuk bentuk pergaulan yang
baik demi menghibur karena adanya kesamaan (antara bapak beliau dan bapak orang
itu) dalam sebuah musibah”. [Lihat Al-Minhaj Syarh Shohih Muslim Ibnil
Hajjaj (3/79)]
Disini kita mendapatkan sebuah faedah
bahwa tidak semua ahlul fatroh (orang yang berada di masa vakum), mendapatkan
udzur di sisi Allah -Azza wa Jalla-. Jika suatu kaum vakum dari seorang rasul,
dalam artian bahwa tak ada diantara mereka seorang rasul hidup bersama dengan
mereka, namun mereka masih mendapatkan syariat dan risalah mereka dari para
pengikut mereka, maka dalam kondisi seperti ini ahlul fatroh tak memiliki udzur
di sisi Allah -Azza wa Jalla-. Inilah kondisi kedua orang tua Nabi
-Shallallahu alaihi wa sallam-. Betul di zaman orang tua beliau tak ada
lagi rasul, tapi risalah dan syariat Ibrahim masih terwarisi dan dipertahankan
oleh kaum hunafa’. Dengan ini, hujjah telah sampai kepada mereka.
Ahlul fatroh yang kedua, mereka yang
betul-betul kosong dari rasul dan risalah mereka. Jadi, mereka tak pernah
mendengar, melihat, dan hidup bersama dengan seorang sebagaimana halnya risalah
dan syariat seorang rasul tak pernah sampai kepada mereka. Mereka ini –menurut
pendapat yang kuat- urusannya akan dikembalikan kepada Allah dan di akhirat
kelak mereka diuji dengan api. Jika mereka memasuki api yang Allah siapkan
sebagai ujian bagi mereka, maka mereka akan masuk surga. Sebab itu adalah tanda
bahwa andaikan sampai kepada mereka suatu agama, syariat dan kerasulan, maka
pasti mereka akan menaati dan mengikutinya.
Sebaliknya jika mereka diperintahkan
masuk ke dalam api tersebut, namun mereka enggan masuk, maka kelak mereka akan
masuk neraka. Karena dengan ujian itu, tampaklah bahwa andai ada agama atau
rasul yang datang kepada mereka, maka pasti mereka akan menolaknya.
Orang tua Nabi -Shallallahu alaihi wa
sallam- bukanlah ahlul fatroh jenis kedua ini, bahkan ia tergolong dalam jenis
pertama di atas!!
Jenis kedua inilah yang diisyaratkan oleh
firman Allah -Ta’ala-,
وَمَا
كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولاً [الإسراء/15]
“Dan Kami tidak akan menyiksa sebelum
Kami mengutus seorang rasul”. (QS. Al-Israa’ : 15)
Para pembaca yang budiman, jawaban
Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- kepada orang itu bahwa bapak beliau
dan bapak orang itu sama-sama dalam neraka, juga telah diisyaratkan dalam
hadits yang lain:
Dalil
Kedua :
Kini tiba saatnya kami bawakan hadits dan
dalil kedua yang semakna dengan hadits di atas, walaupun sebagian orang menyangkanya
bertentangan. Andaikan demikian, maka kita dahulukan hadits pertama berdasarkan
penjelasan dalam bantahan kami kepada Ust. Nashih di akhir tulisan ini, insya
Allah.
Dari Ibnu Umar -radhiyallahu anhuma-, ia
berkata,
جاء
أعرابي إلى النبي صلى الله عليه و سلم فقال يا رسول الله إن أبي كان يصل الرحم
وكان وكان . فأين هو ؟ قال ( في النار ) قال فكأنه وجد من ذلك . فقال يا رسول الله
فأين أبوك ؟ فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم ( حيثما مررت بقبر مشرك فبشره
بالنار ) قال فأسلم الأعرابي بعد . وقال لقد كلفني رسول الله صلى الله عليه و سلم
تعبا . ما مررت بقبر كافر إلا بشرته بالنار
“Seorang badui pernah datang kepada Nabi
-Shallallahu alaihi wa sallam- seraya berkata, “Sesungguhnya bapakku dahulu
menyambung kekerabatan, begini dan begini. Nah, dimanakah ia? Beliau bersabda,
“Di neraka”. Ia (Ibnu Umar) berkata, “Seakan-akan orang badui itu bersedih
karena hal itu. Kemudian orang itu bertanya lagi, “Wahai Rasulullah, dimanakah
bapakmu?” Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda, “Dimana pun
engkau melewati kubur seorang musyrik, maka kabarilah ia dengan neraka”. Ia
(Ibnu Umar berkata, “Lalu orang badui itu masuk Islam setelah itu seraya
berkata, “Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- sungguh telah membebaniku
dengan kepayahan; tidaklah aku melewati sebuah kubur orang kafir, kecuali aku
kabari dengan neraka”. [HR. Ibnu Majah dalam Sunan-nya (no. 1573).
Hadits ini dinilai shohih oleh Syaikh Al-Albaniy
dalam Ash-Shohihah (no. 18)]
Ini merupakan dalil yang amat gamblang
menerangkan bahwa kaum kafir yang meninggal di atas kekafiran dan
kesyirikannya, maka ia akan disiksa dalam neraka, walaupun ia tergolong kaum
yang vakum dari kenabian, sepanjang hujjah telah tegak diantara mereka!!
Al-Hafizh Ibnu Qoyyim
Al-Jawziyyah -rahimahullah- berkata,
“Di dalam hadits ini terdapat dalil bahwa
barangsiapa yang mati musyrik, maka ia di neraka, walaupun ia mati sebelum
diutusnya Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-. Karena, kaum musyrikin sungguh
telah mengubah Al-Hanifiyyah (Islam), agama Ibrahim, mereka menggantinya dengan
kesyirikan dan melakukannya, sedang mereka tak ada hujjah yang mengiringinya
dari Allah tentang hal itu.
Keburukan syirik dan ancaman atasnya
dengan neraka, senantiasa diketahui dari agama para rasul seluruhnya dari orang
yang paling diantara mereka sampai yang terakhir. Berita-berita hukuman Allah
bagi pelakunya telah tersebar di antara umat-umat dari suatu generasi ke
generasi lain. Allah memiliki hujjah yang dalam atas kaum musyrikin dalam
setiap waktu”. [Lihat Zaadul Ma'ad (3/599)]
Dari penjelasan Ibnul Qoyyim, nyatalah
bagi anda kebatilan sebagian orang yang menyangka bahwa ahlul fatroh yang vakum
dari kenabian adalah kaum yang tak akan disiksa, walaupun masih ada ajaran para
nabi!!
Kondisi Quraisy bukanlah seperti yang
digambarkan oleh sebagian orang bahwa mereka betul-betul kosong dari hujjah dan
risalah Islam yang pernah diajarkan oleh nabi sebelumnya. Andaikan tak ada
hujjah yang tersisa, maka manusia tak akan mengenal “Kaum Hanifiyyah” atau
“Hunafa’” yang masih mempertahankan ajaran Islam dari nabi mereka!!!
Syaikh Al-Albaniy -rahimahullah- berkata,
“Sesungguhnya orang-orang jahiliah yang
mati sebelum diutusnya beliau –alaihish sholatu was salam- akan disiksa dengan
sebab kesyirikan dan kekafiran mereka. Hal itu menunjukkan bahwa mereka
bukanlah termasuk ahlul fatroh yang belum pernah dicapai oleh dakwah seorang
nabi, berbeda dengan sesuatu yang disangka oleh sebagian orang
belakangan”. [Lihat As-Silsilah Ash-Shohihah (1/297)]
Dalil Ketiga:
Para pembaca yang budiman, dalil yang
menunjukkan bahwa kedua orang tua Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-
akan masuk neraka, sebuah hadits dari Abu Hurairah -radhiyallahu anhu-, ia
berkata,
أَتَى
رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَبْرَ أُمِّهِ فَبَكَى وَأَبْكَى مَنْ
حَوْلَهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « اسْتَأْذَنْتُ رَبِّى
تَعَالَى عَلَى أَنْ أَسْتَغْفِرَ لَهَا فَلَمْ يُؤْذَنْ لِى فَاسْتَأْذَنْتُ أَنْ
أَزُورَ قَبْرَهَا فَأُذِنَ لِى فَزُورُوا الْقُبُورَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ
بِالْمَوْتِ ».
“Rasulullah -Shallallahu alaihi wa
sallam- pernah mendatangi kubur ibunya. Beliau pun menangis dan membuat
orang-orang yang ada di sekitarnya juga menangis. Rasulullah -Shallallahu
alaihi wa sallam- bersabda, “Aku telah meminta izin kepada Tuhan-ku -Ta’ala-
agar aku memohonkan ampunan baginya. Namun aku tak diizinkan. Kemudian aku
meminta izin agar aku dapat menziarahi kuburnya, lalu Allah izinkan bagiku.
Jadi, ziarahilah kuburan, karena ia akan mengingatkan tentang
kematian”. [HR. Muslim dalam Shohih-nya (no. 976), Abu Dawud
dalamSunan-nya (3234), An-Nasa'iy dalam Sunan-nya (2034), Ibnu Majah
dalam Sunan-nya (1572) dan lainnya]
Dari Buraidah
-radhiyallahu anhu-, ia berkata,
(كنا مع النبي صلى الله عليه وسلم [ في سفر، وفي رواية:
في غزوة الفتح ].فنزل بنا ونحن معه قريب من ألف راكب، فصلى ركعتين، ثم أقبل علينا بوجهه
وعيناه تذرفان، فقام إليه عمر بن الخطاب، ففداه بالاب والام، يقول: يا رسول لله
مالك؟ قال: إني سألت ربي عز وجل في الاستغفار لامي، فلم يأذن لي، فدمعت عيناي رحمة
لها من النار، [ واستأذنت ربي في زيارتها فأذن لي ]، وإني كنت نهيتكم عن زيارة
القبور فزوروها، ولتزدكم زيارتها خيرا).
“Dahulu kami bersama Nabi -Shallallahu
alaihi wa sallam- (dalam suatu safar. Dalam riwayat lain, pada Perang
Penaklukan Kota Makkah). Kemudian beliau pun singgah bersama kami. Sedang kami
bersama beliau hampir seribu pengendara. Kemudian beliau sholat dua rakaat,
lalu menghadapkan wajahnya kepada kami, sedang kedua matanya bercucuran. Lalu
berdirilah Umar bin Al-Khoththob kepada beliau, seraya menebus beliau dengan
ayah dan ibunya. Umar berkata, “Wahai Rasulullah, kenapakah anda?” Beliau
bersabda, “Aku memohon kepada Tuhan-ku -Azza wa Jalla- untuk memohonkan ampunan
bagi ibuku. Namun Dia tak mengizinkan aku. Karenanya, kedua mataku bercucuran,
karena kasihan kepadanya terhadap neraka; dan aku meminta izin kepada Tuhan-ku
untuk menziarahinya. Lalu Dia mengizinkan aku. Sesungguhnya dahulu melarang
kalian dari ziarah kubur. Ziarahilah (sekarang) kuburan. Sungguh ziarah kubur
akan memberikan tambahan kebaikan kepada kalian”. [HR. Ahmad
dalam Al-Musnad (5/355, 357 dan 359), Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushonnaf (4/139),
Al-Hakim dalam Al-Mustadrok (1/376), Ibnu Hibban
dalam Shohih-nya (791) dan lainnya. Hadits ini dinilai shohih oleh Syaikh
Al-Albaniy dalam Ahkam Al-Jana'iz (hal. 188)]
Kematian orang tua Nabi -Shallallahu
alaihi wa sallam- di atas kekafiran menyebabkan ayah dan ibu beliau masuk ke
neraka. Mereka telah mati di atas kemusyrikan dan tidak mengikuti agama Islam
yang dibawa oleh para nabi dan rasul.
Seorang ulama Syafi’iyyah yang masyhur,
Al-Imam Abu Bakr Al-Baihaqiy -rahimahullah- berkata dalam menjelaskan
sebab keduanya masuk neraka, usai membawakan beberapa hadits di atas,
وكيف
لا يكون أبواه وجده بهذه الصفة في الآخرة وكانوا يعبدون الوثن حتى ماتوا ولم
يدينوا دين عيسى بن مريم عليه السلام وأمرهم لا يقدح في نسب رسول الله لأن أنكحة
الكفار صحيحة ألا تراهم يسلمون مع زوجاتهم فلا يلزمهم تجديد العقد ولا مفارقتهن
إذا كان مثله يجوز في الإسلام وبالله التوفيق
“Bagaimana tidak kedua orang tua beliau
dalam gambaran seperti ini di akhirat. Dahulu mereka (kaum Quraisy) menyembah
berhala dan tidak mengikuti agama Isa bin Maryam –alaihis salam-. Urusan mereka
(demikian halnya) tidaklah menodai nasab Rasulullah. Karena, pernikahan orang
kafir adalah sah. Tidakkah kalian melihat mereka masuk Islam bersama
istri-istri mereka. Mereka tidaklah diharuskan memperbaharui akad nikah dan
tidak pula menceraikan mereka, jika semisalnya boleh dalam Islam. Wa billahit
tawfiq”. [Lihat Dala'il An-Nubuwwah (1/192-193)]
Para pembaca yang budiman, terlarangnya
beliau mendoakan ampunan bagi ibunya, disebabkan ibu beliau kafir!! Andaikan
tak kafir, maka tak mungkin beliau akan dilarang memohonkan ampunan bagi sang
ibu yang telah melahirkannya.
Al-Imam Ahmad bin Abdil Halim Al-Harroniy
Ad-Dimasyqiy -rahimahullah- berkata tentang tata cara ziarah kubur,
sebelum membawakan hadits di atas,
وإنما
كانوا يزورونه إن كان مؤمنا للدعاء له والاستغفار كما يصلون على جنازته وإن كان
غير مسلم زاروه رقة عليه كما زار النبي صلى الله عليه وسلم قبر أمه فبكى وأبكى من
حوله
“Hanyalah mereka (para salaf) dahulu
menziarahi kubur –jika si mayit mukmin-, maka untuk mendoakan kebaikan dan
ampunan baginya, sebagaimana halnya mereka menyolati jenazahnya. Jika ia bukan
muslim, maka mereka (para salaf) menziarahinya, karena kasihan kepadanya,
sebagaimana halnya Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- menziarahi kubur ibunya.
Akhirnya, beliau menangis dan membuat orang-orang yang ada di sekitarnya jadi
menangis”. [Lihat Ar-Rodd ala Al-Akhna'iy (hal. 179), cet.
Al-Mathba'ah As-Salafiyyah, dengantahqiq Al-Mu'allimiy]
Jadi, seorang muslim terlarang keras
mendoakan ampunan bagi kaum kafir, walaupun mereka adalah orang tua dan kerabat
kita.
Allah -Subhanahu wa
Ta’ala- berfirman menjelaskan larangan itu,
مَا
كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آَمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ
وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ
أَصْحَابُ الْجَحِيمِ (113) وَمَا كَانَ اسْتِغْفَارُ إِبْرَاهِيمَ لِأَبِيهِ
إِلاَّ عَنْ مَوْعِدَةٍ وَعَدَهَا إِيَّاهُ فَلَمَّا تَبَيَّنَ لَهُ أَنَّهُ
عَدُوٌّ لِلَّهِ تَبَرَّأَ مِنْهُ إِنَّ إِبْرَاهِيمَ لأَوَّاهٌ حَلِيمٌ (114) [التوبة/113،
114]
“Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan
orang-orang yang beriman untuk memintakan ampunan (kepada Allah) bagi
orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya),
sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni
neraka Jahanam. Dan permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk
bapaknya tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada
bapaknya itu. Maka, tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah,
maka Ibrahim berlepas diri darinya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang
sangat lembut hatinya lagi Penyantun”. (QS. At-Taubah : 113-114)
Dalil Keempat
Sebagian ulama membawakan hadits lain
dalam menetapkan aqidah bahwa orang tua Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-
akan masuk ke neraka.[6] Dari Abu Rozin Al-Uqoiliy -radhiyallahu anhu-, ia
berkata,
قلت:
رسول الله أين أمي، قال: أمك في النار، قال: قلت فأين من مضى من أهلك، قال: أما
ترضى أن تكون أمك مع أمي
“Aku katakan, “Wahai Rasulullah,
dimanakah ibuku?” Beliau bersabda, “Ibumu di neraka”. Ia (Abu Rozin)
berkata, “Aku katakan, “Lalu diamanakah keluargamu yang telah lalu?” Beliau
bersabda, “Tidakkah engkau ridho jika ibumu bersama ibuku”. [HR. Ahmad
dalam Al-Musnad (4/11), Ath-Thoyalisiy
dalam Al-Musnad (1090), Ath-Thobroniy dalam Al-Kabir (417), Ibnu Abi
Ashim dalam As-Sunnah (638). Syaikh Al-Albaniy menyatakannya shohih
dalam Zhilal Al-Jannah (hal. 344)]
Inilah sejumlah dalil yang menguatkan
pendapat para ulama yang menyatakan bahwa kedua orang tua Nabi -Shallallahu
alaihi wa sallam- adalah kafir dan akan masuk neraka.
Dengan sejumlah dalil ini, maka runtuhlah
pendapat yang menyatakan bahwa kedua orang tua beliau adalah muslim dan akan
masuk surga!!
Catatan Khusus Buat Ust. Nashih
Nashrullah
Terakhir, kami akan utarakan beberapa
catatan khusus bagi tulisan Nashih
Nashrullah dalam Republika.co.idagar semakin jelas kekuatan pendapat
yang kami kuatkan sekaligus sebagai jawaban atas beberapa syubhat yang
dilontarkan oleh si Penulis tersebut.
Ust. Nashih berkata,
“Tetapi, di sisi lain ada satu fakta
bahwa kedua orang tua Nabi hidup pada masa kevakuman seorang nabi dan rasul.
Pasca meninggalnya Nabi Isa AS belum ada lagi sosok Rasul yang diutus untuk
berdakwah dan membimbing segenap umat. Karena itu, mereka yang berada pada
periode kekosongan risalah itu dinyatakan selamat dan tidak mendapat siksa.
“Dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul.” (QS
al-Isra’ [17]: 15)”.
Jawab: Kami telah jelaskan bahwa
ahlul fatroh (orang yang berada di masa vakum) ada dua jenis: ada yang diberi
udzur dan ada yang tidak.
Jika suatu kaum berada dalam kevakuman
dari seorang rasul, dalam artian bahwa tak ada diantara mereka seorang rasul
hidup bersama dengan mereka, namun mereka masih mendapatkan syariat dan risalah
mereka dari para pengikut mereka, maka dalam kondisi seperti ini ahlul fatroh
tak memiliki udzur di sisi Allah -Azza wa Jalla-. Inilah kondisi kedua orang
tua Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-. Betul di zaman orang tua beliau tak
lagi rasul, tapi risalah dan syariat Ibrahim masih terwarisi dan dipertahankan
oleh kaum hunafa’. Dengan ini, hujjah telah sampai kepada mereka.
Ust. Nashih berkata,
“Namun Lembaga Fatwa Mesir, Dar al-Ifta,
menyanggah keras pernyataan Syekh Abdullah bin Baz tersebut. Menurut lembaga
yang pernah dipimpin oleh Mufti Agung Syekh Ali Juma’h itu, pernyataan bahwa
kedua orang tua Rasul termasuk kufur dan akan menghuni neraka merupakan
bentuk arogansi dan ketidaksopanan”.
Jawab: Khilaf di kalangan ulama adalah
perkara yang sering terjadi, sehingga pernyataan kafirnya orang tua Nabi
-Shallallahu alaihi wa sallam- tak boleh kita nilai sebagai sikap arogansi dan
ketidaksopanan. Apalagi pendapat itu didasari oleh sejumlah dalil yang telah
kami utarakan di atas. Justru sikap arogansi itu –andaikan boleh menuduh- ada
pada orang yang menyatakan bahwa orang tua Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-
muslim dan masuk surga, tanpa disertai dalil yang menetapkannya!!
Ust. Nashih berkata,
“Justru fakta kuat mengatakan, kedua
orang Rasul akan selamat dan bukan termasuk penghuni neraka. Pendapat ini
menjadi kesepakatan mayoritas ulama. Tak sedikit ulama yang secara khusus
menulis risalah sederhana untuk menjawab kegamangan menyikapi topik ini”.
Jawab: Bagaimana mungkin pendapat yang
dikuatkan oleh Ust. Nashih menjadi ijma’ (kesepakatan) ulama, sementara
pendapat itu tak didasari oleh sebuah dalil yang kuat dan jelas. Ijma’ itu
dibangun di atas dalil dan hujjah. Yang menunjukkan bahwa perkara ini bukan
ijma’, adanya dua kubu ulama dalam hal ini sebagaimana yang kita lihat dalam
tulisan kami dan juga di awal tulisan Ust. Nashih.
Adapun adanya ulama yang menulis dan
mendukung pendapat yang dikuatkan oleh Ust. Nashih, maka itu bukan hujjah yang
dapat menguatkan pendapatnya. Hujjah itu ada pada Al-Kitab dan Sunnah.
Ust. Nashih berkata,
“Imam as-Suyuthi mengarang dua kitab
sekaligus untuk menguatkan fakta bahwa orang tua Muhammad SAW akan selamat.
Kedua kitab itu bertajuk Masalik al-Hunafa fi Najat Waliday al-Musthafa dan
at-Ta’dhim wa al-Minnah bi Anna Waliday al-Mushthafa fi al-Jannah. Selain kedua
kitab tersebut, ada deretan karya lain para ulama, seperti ad-Duraj al-Munifah
fi al-Aba’ as-Syarifah, Nasyr al-Alamain al-Munifain fi Ihya al-Abawain
as-Syarifain, al-Maqamah as-Sundusiyyah fi an-Nisbah al-Musthafawiyyah, dan
as-Subul al-Jaliyyah fi al-Aba’ al-Jaliyyah. Masih banyak kitab lain yang
membantah dugaan bahwa orang tua Rasul akan masuk neraka”.
Jawab: Banyaknya kitab tanpa hujjah,
tak ada nilainya jika tak ditopang dengan hujjah.
Ust. Nashih berkata,
“Dar al-Ifta memaparkan, mengacu ke
deretan kitab tersebut, kedua orang tua Rasul hidup pada masa fatrah atau
kekosongan risalah. Ketika itu, dakwah tidak sampai pada masyarakat Makkah.
Ulama ahlussunnahsepakat, mereka yang hidup pada periode kevakuman risalah itu
dinyatakan selamat. Ini merujuk pada ayat ke-15 surah al-Isra’ di atas”.
Jawab: Acuan yang
terbaik adalah Kitabullah dan Sunnah Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-.
Adapun pengakuan
Ust. Nashih bahwa dakwah belum sampai pada masyarakat Makkah, maka ini
adalah klaim batil. Dalam sejarah telah disebutkan bahwa kelompok
hunafa’ yang masih menjaga agama Islam yang dibawa oleh Ibrahim, hidup bersama
dengan masyarakat Quraisy. Ini menunjukkan bahwa hujjah telah sampai kepada
mereka. Demikian pula kaum hunafa’ yang mempertahankan Islam yang mereka warisi
dari Isa –alaihis salam- juga terdapat di Makkah, seperti Waroqoh bin Naufal.
Kesepakatan (ijma’)
yang disebutkan oleh si Wartawan ini, sekali lagi tak benar. Bagaimana bisa
masalah khilaf dikatakan ijma’?!
Ust. Nashih berkata,
“Tuduhan bahwa
keduanya termasuk kaum musyrik yang menyekutukan Allah dengan berhala, tidak
benar. Abdullah dan Aminah tetap konsisten dalam keautentikan agama Ibrahim,
yaitu tauhid. Fakta kesucian keyakinan kedua orang tua Rasul ini dikuatkan
antara lain oleh Imam al-Fakhr ar-Razi dalam kitab tafsirnya Asrar at-Tanzil
kala menafsirkan ayat ke 218-219 surah as-Syu’ara”.[7]
Jawab: Ini adalah ucapan perasaan, bukan
ucapan ilmiah!! Pendapat yang menyatakan bahwa kedua orang tua Rasulullah
-Shallallahu alaihi wa sallam- adalah musyrik bukanlah tuduhan. Sebab, kalau
tuduhan, maka berarti hanya dilandasi oleh asumsi!!! Padahal tidaklah
demikian!!!! Ulama yang menyatakan musyriknya kedua orang tua Rasulullah
-Shallallahu alaihi wa sallam- telah melandasi pendapatnya dengan sejumlah
hadits shohih lagi gamblang sebagaimana telah kami bawakan tadi.
Ust. Nashih berkata,
“Imam as-Suyuthi menambahkan, dalil lain
tentang fakta bahwa garis keturunan Rasul yang terdekat terjaga dari aktivitas
penyimpangan akidah. Ini seperti ditegaskan hadis bahwa Rasululllah dilahirkan
dari garis nasab yang istimewa dan terpilih yang konsisten terhadap tauhid”.
Jawab: Ucapan ini batil!! Sebab, ia akan
mengharuskan bahwa semua kakek Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- ke atas
adalah muslim, bukan musyrik. Syarat bahwa garis keturunan Rasul yang terdekat
terjaga dari aktivitas penyimpangan akidah. Andaikan terjaga, maka pasti
Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- tak perlu mendakwahi paman-pamannya
yang merupakan keluarga terdekat beliau. Tapi nyatanya, Nabi -Shallallahu
alaihi wa sallam- tetap menasihati mereka, bahkan memerangi mereka.
Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-
memang dipilih dari nasab yang mulia dan terhormat di kalangan bangsa Arab.
Namun hal itu tak mengharuskan bahwa kakek-kakek dan keluarga dekat beliau jauh
dari penyimpangan aqidah.
Ust. Nashih berkata,
“Imam as-Suyuthi
kembali menerangkan soal hadis Muslim pada paragraf pertama. Tambahan redaksional “Dan ayahku di neraka”
sangat kontroversial di kalangan pengkaji hadis. Para perawi tidak sepakat
tambahan tersebut. Sebut saja al-Bazzar, at-Thabrani, dan al-Baihaqi yang lebih
memilih tambahan redaksi “Jika engkau melintasi kuburan orang kafir maka
sampaikan berita neraka” dibanding, imbuhan bermasalah tersebut”.
Jawab: Syubhat ini kami
akan jawab dalam beberapa sisi:
1)
Jika suatu hadits telah shohih dan tak ada cacatnya, lalu ada yang sepaham
dengannya, maka hadits itu tak boleh dianggap kontroversial hanya karena ingin
menolaknya.
2)
Adapaun As-Suyuthiy menguatkan riwayat lain dari Ma’mar bin Rosyid Al-Azdiy
dibandingkan riwayat Hammad bin Salamah[8], maka ini adalah pendapat yang keliru dari
beliau. Sebab para ulama kita telah menjelaskan bahwa jika Hammad bin Salamah
meriwayat suatu hadits dari Tsabit Al-Bunaniy, maka ia adalah orang yang kuat
riwayatnya dari Al-Bunaniy.
Al-Imam Ahmad bin Hanbal -rahimahullah-
berkata,
حماد
بن سلمة أثبت في ثابت من معمر
“Hammad bin Salamah lebih kuat pada
Tsabit dibandingkan Ma’mar”. [Lihat Al-Jarh wa At-Ta'dil (3/141)
oleh Ibnu Abi Hatim, cet. Dar Ihya' At-Turots Al-Arobiy]
Diantara perkara yang menguatkan riwayat
Hammad dan melemahkan riwayat Ma’mar bahwa Muslim seringkali meriwayatkan
hadits Hammad dari Tsabit dalam golongan hadits-hadits ushul (pokok). Lain
halnya dengan Ma’mar, walaupun beliau adalah tsiqoh, hanya saja para ulama
hadits telah melemahkan secara khusus riwayat Ma’mar dari Tsabit Al-Bunaniy.
Sisi lain, Imam Muslim dalam Shohih-nya tidaklah meriwayatkan dari Ma’mar
dari Tsabit, kecuali sebuah riwayat saja dalam golongan hadits mutaba’at
(pendukung) dan diiringi oleh rawi lain yang bernama Ashim Al-Ahwal. Semua ini
adalah bukti bagi kita semua tentang kelemahan riwayat Ma’mar dari jalur
Tsabit.
Lantaran itu, Ibnu Ma’in -rahimahullah-
berkata,
معمر،
عن ثابت: ضعيف.
“Ma’mar dari Tsabit adalah
lemah”. [Lihat Mizan Al-I'tidal (4/154)]
Para pembaca yang budiman, dengan
keterangan ini, jelaslah bahwa perbandingan yang dilakukan oleh As-Suyuthiy
antara kedua rawi itu adalah perbandingan yang salah dan terbalik. Justru
riwayat Hammad bin Salamah adalah riwayat yang kuat, sedang riwayat Ma’mar dari
Tsabit adalah lemah lagi munkar!!
Ust. Nashih berkata,
“Ada banyak argumentasi yang membantah
dugaan bahwa kedua orang tua Rasul akan masuk neraka. Semestinya, tuduhan
tersebut tidak ditudingkan kepada ayahanda dan ibunda Rasul yang terhormat.
Karena, itu adalah bentuk arogansi terhadap Rasul”.
Jawab:
Argumentasi sebanyak apapun bila tak
ditopang oleh dalil, maka ia bagaikan buih yang tak bernilai di lautan.
Pernyataan bahwa kedua orang tua Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- akan
masuk neraka, bukanlah tudingan dan tuduhan. Bahkan ia adalah pernyataan dari
Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- sendiri berdasarkan wahyu dari Allah
-Azza wa Jalla-. Jadi, tak benar jika hal itu dianggap sebagai arogansi!!!
Justru pernyataan yang menyatakan bahwa kedua orang tua beliau akan masuk surga
adalah sikap arogan kepada Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-. Sebab, si
pengucapnya telah menyalahi sejumlah hadits yang menyatakan keberadaan orang
tua beliau di neraka!!
Ust. Nashih berkata,
“Qadi Abu Bakar Ibn al-Arabi pernah
ditanya soal topik serupa. Tokoh bermazhab Maliki ini pun menjawab, bila soal
itu direspons dengan jawaban bahwa keduanya masuk neraka maka terlaknatlah
orang yang menjawab demikian. Menganggap keduanya ahli neraka adalah bentuk
melukai perasaan Rasul. “Tak ada penganiayan lebih besar ketimbang menyebut
kedua orang tua Muhammad SAW penghuni neraka,” kata Ibn al-Arabi”.
Jawab:
Jika ucapan ini betul dari Ibnul Arabiy
Al-Malikiy -rahimahullah-, maka ucapan ini kita tolak karena menyelisihi hadits
Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-. Dalam pembahasan seperti ini, seseorang
tak boleh berpegang dengan ro’yu (pendapat semata) dan perasaannya. Intinya,
ada tidak dalilnya. Jika ada dalilnya, maka kita ambil pendapat yang didukung
oleh dalil.
Jika setiap orang menguatkan pendapat
dengan perasaan, maka hancurlah agama ini!!
Kemudian Ust. Nashih membawakan kisah
Umar bin Abdil Aziz -rahimahullah- yang marah saat mendengar ada
pegawainya yang menyatakan kafirnya kedua orang tua Nabi -Shallallahu alaihi wa
sallam-.
Kita katakan bahwa andaikan kisah ini
benar, maka kita berbaik sangka kepada beliau bahwa mungkin beliau belum pernah
mendengar hadits-hadits yang menyatakan kafirnya kedua orang tua Nabi
-Shallallahu alaihi wa sallam- sebagaimana hal ini juga mungkin dialami oleh
Ibnul Arabiy -rahimahumallah-.
Ust. Nashih berkata,
“Atas dasar inilah, seyogianya tidak
mudah menjustifikasi status kedua orang tua Rasul. Mantan Mufti Dar al-Ifta,
Syekh Muhammad Bakhit al-Muthi’I, mengimbau supaya umat berhati-hati. Tuduhan kekufuran Abdullah dan Aminah salah
besar dan pelakunya berdosa”.
Jawab : ini
adalah sikap yang menyelisihi petunjuk Rasulullah -Shallallahu alaihi wa
sallam-, dimana beliau telah menjelaskan kepada umatnya bahwa kedua orang tua
beliau adalah kafir dan akan masuk neraka!!
Ini bukanlah
justifikasi (putusan yang didasari hati nurani) semata, bahkan ia adalah wahyu
yang Allah sampaikan melalui lisan Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-.
Kesimpulan
Demikianlah diskusi
ringan dengan Ustadz Nashih Nashrullah, Wartawan Republika yang telah berbicara
panjang lebar, tanpa dasar hujjah dari Al-Qur’an dan Sunnah[9].
Sebagai kesimpulan
dan penutup, kami nukilkan kepada anda sebuah ucapan yang kokoh dari seorang
ahli hadits dari Negeri Syam, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albaniy
-rahimahullah- saat beliau membantah As-Suyuthiy dan lainnya, usai menguatkan
hadits di atas,
“Ketahuilah –wahai
saudaraku yang muslim- bahwa sebagian orang pada hari ini dan sebelum hari ini,
tak ada kesiapan pada mereka untuk menerima hadits-hadits yang shohih ini dan
mengadopsi sesuatu yang ada di dalamnya berupa hukum kafir bagi kedua orang tua
Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-. Bahkan sungguh diantara mereka ada
yang dianggap termasuk dai (yang mengajak) kepada Islam, betul-betul ia
mengingkari dengan pengingkaran yang keras terhadap penyebutan hadits-hadits
ini dan penunjukannya yang benar!!
Menurut keyakinanku,
pengingkaran ini dari mereka hanyalah tertuju kepada Nabi -Shallallahu alaihi
wa sallam- yang telah mengucapkannya, jika memang mereka membenarkannya. Ini
–sebagaimana telah tampak- adalah kekafiran yang nyata; atau paling minimal (pengingkaran
itu) tertuju kepada para imam yang telah meriwayatkan dan menyatakannya shohih.
Ini merupakan kefasikan atau kekafiran yang nyata. Karena terharuskan darinya
sikap yang membuat kaum muslimin terhadap agamanya. Sebab, tak ada jalan bagi
mereka untuk mengenal dan mengimani agamanya, kecuali dari jalur Nabi mereka
-Shallallahu alaihi wa sallam- sebagaimana hal ini tak samar bagi setiap muslim
yang mengenal agamanya.
Jika mereka tidak
membenarkannya, karena tidak cocoknya hadits-hadits ini terhadap perasaan dan
keinginan mereka -sedangkan manusia dalam perkara seperti itu berbeda dengan
perbedaan yang amat mencolok-[10], maka di dalam seperti itu ada pembuka pintu
besar sekali dalam menolak hadits-hadits shohih. Ini adalah perkara yang
disaksikan pada hari dari kebanyakan penulis-penulis yang kaum muslimin terkena
bala (ujian) akibat tulisan-tulisan mereka, seperti Al-Ghozaliy, Al-Huwaidiy,
Bulaiq, Ibnu Abdil Mannan dan semisalnya dari kalangan orang-orang yang tidak
memiliki timbangan dalam men-shohih-kan hadits-hadits dan melemahkannya,
kecuali hawa nafsu mereka.
Ketahuilah wahai
muslim –yang khawatir atas agamanya karena dirobohkan dengan pena-pena sebagian
orang yang menisbahkan diri kepadanya — bahwa hadits-hadits ini dan semisalnya
yang di dalamnya terdapat pengabaran tentang kafirnya beberapa person (pribadi)
dan keimanan mereka. Sesungguhnya hal itu termasuk perkara-perkara gaib yang
wajib diimani dan diterima dengan pasrah, berdasarkan firman Allah -Ta’ala-,
الم
(1) ذَلِكَ الْكِتَابُ لا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ (2) الَّذِينَ
يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ (3) [البقرة/1-3]
“Alif laam miin. Kitab (Al Quran) ini
tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa, (yaitu)
mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan
sebahagian rezki yang kami anugerahkan kepada mereka”. (QS. Al-Baqoroh :
1-3),
dan firman-Nya,
وَمَا
كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلاَ مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ
يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ …(36) [الأحزاب/36]
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang
mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya
Telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain)
tentang urusan mereka”. (QS. Al-Ahzab : 36)
Jadi, berpaling dari hadits-hadits itu
dan tidak beriman kepadanya, maka terharuskan darinya dua hal, tak ada yang
ketiganya. Yang paling manisnya adalah pahit: entah pendustaan kepada Nabi
-Shallallahu alaihi wa sallam- dan entah pendustaan terhadap rawi-rawinya yang
tsiqoh sebagaimana yang telah berlalu.
Ketika aku menulis ini, aku tahu bahwa
sebagian orang-orang yang mengingkari hadits-hadits ini atau menakwilnya dengan
takwil yang batil sebagaimana yang dilakukan oleh As-Suyuthiy –semoga Allah
memaafkan kami dan beliau- dalam sebagian risalah-risalahnya. Yang menyeret
mereka kepada hal itu hanyalah ghuluw (sikap berlebihan)nya mereka dalam
mengagungkan dan mencintai Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-. Akhirnya,
mereka mengingkari keberadaan kedua orang tua Nabi -Shallallahu alaihi wa
sallam- –sebagaimana yang dikabarkan oleh beliau sendiri tentang keduanya–,
sehingga seakan-akan mereka lebih sayang atas keduanya dibandingkan Nabi
-Shallallahu alaihi wa sallam-!!
Terkadang sebagian diantara tidak
berhati-hati untuk condong kepada sebuah hadits yang masyhur pada lisan
sebagian orang yang di dalamnya (dijelaskan) bahwa Nabi -Shallallahu alaihi wa
sallam- menghidupkan ibu beliau. Dalam suatu riwayat, “…kedua orang tua
beliau”. Itu adalah hadits palsu lagi batil di sisi para ulama, seperti
Ad-Daruquthniy, Al-Jauroqoiy, Ibnu Asakir, Adz-Dzahabiy, Al-Asqolaniy dan
selainnya sebagaimana hal ini telah dijelaskan pada tempatnya. Rujuklah –kalau
anda mau- “Kitab Al-Abathil wal Manakir” oleh Al-Jauroqoniy dengan ta’liq
(komentar) dari Doktor Abdur Rahman Al-Furyawa’iy (1/222-229).
Ibnul Jawziy berkata
dalam Al-Mawdhu’at (1/284), “Ini adalah hadits palsu, tanpa ragu.
Orang yang memalsukannya adalah kurang pemahaman lagi tak berilmu. Sebab,
andaikan ia punya ilmu, maka ia akan tahu bahwa barangsiapa yang mati kafir,
maka keimanannya tak akan berguna setelah ia dikembalikan (ke dunia). Bahkan
tidak pula andaikan ia beriman saat ia melihat (malaikat maut). Cukuplah yang
membantah hadits (palsu) ini, firman Allah -Ta’ala-,
فَيَمُتْ
وَهُوَ كَافِر [البقرة/217]
dan sabda Nabi -Shallallahu alaihi wa
sallam- dalam Kitab Shohih,
اسْتَأْذَنْتُ
رَبِّى أَنْ أَسْتَغْفِرَ لأُمِّى فَلَمْ يَأْذَنْ لِى
“Aku meminta izin kepada Robb-ku untuk
memohonkan ampunan bagi ibuku. Namun Dia tak memberiku izin”.[12]
Syaikh Abdur Rahman
Al-Yamaniy -rahimahullah- sungguh amat baik ucapan beliau mereka ini
dengan ungkapan yang terang lagi ringkas, dalam komentar beliau terhadap
Al-Fawa’id Al-Majmu’ah fil Ahadits Al-Mawdhu’ah, karya Asy-Syaukaniy dengan .
Beliau berkata (hal. 322), “Seringkali rasa cinta mengalahkan sebagian orang.
Akhirnya, ia pun melangkahi hujjah dan memeranginya. Barangsiapa yang diberi
taufiq, niscaya ia akan mengetahui bahwa hal itu menyalahi cinta yang syar’i.
Wallahul Musta’an”.
Aku katakan, “Diantara orang yang
dikalahkan oleh rasa cinta, As-Suyuthiy –semoga Allah memaafkannya-. Karena, ia
cenderung men-shohih-kan hadits tentang menghidupkan (ibu Nabi -Shallallahu
alaihi wa sallam-) yang batil di sisi para ulama besar sebagaimana yang telah
berlalu.
Sungguh ia (As-Suyuthiy) berusaha dalam
kitabnya Al-La’ali (1/265-268) untuk mengompromikan antara hadits ini dengan hadits
permintaan izin ini dan yang semakna dengannya bahwa ia (hadits tentang
permintaan izin Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-) adalah mansukh (terhapus
hukumnya). Padahal ia tahu dari ilmu ushul bahwa penghapusan hukum tak akan
terjadi dalam berita-berita, hanyalah dalam hukum-hukum. Demikian itu, karena
tak masuk akal kalau orang yang benar lagi dibenarkan (yakni, Nabi -Shallallahu
alaihi wa sallam-) mengabarkan tentang seseorang bahwa ia di neraka, lalu
beliau menghapusnya lagi dengan sabdanya, “Sesungguhnya ia di surga”,
sebagaimana hal ini telah jelas lagi dikenal di sisi para ulama.
Di antara kekalahan As-Suyuthiy dalam hal
itu, ia berpaling dari menyebutkan hadits Muslim dari Anas yang cocok dengan
hadits dalam judul dengan sikap berpaling secara mutlak dan ia tak
mengisyaratkan hadits itu sedikitpun. Bahkan ia sungguh telah digelincirkan
oleh pena dan bersikap ekstrim. Akhirnya, ia pun menghukumi hadits itu[13]. Akhirnya ia hukumi hadits itu lemah dalam keadaan ia bergantung
(berpegang) dengan komentar sebagian diantara mereka tentang riwayat Hammad bin
Salamah. Padahal ia tahu ia (Hammad) adalah termasuk diantara para imam kaum
muslimin dan orang tsiqoh diantara mereka dan bahwa riwayat Hammad dari Tsabit
adalah shohih. Bahkan Ibnul Madini, Ahmad dan lainnya berkata, “Murid-murid
Tsabit yang paling kuat adalah Hammad, lalu Sulaiman, lalu Hammad bin Zaid”.
Sedang ia (riwayat-riwayat itu) shohih.
Pelemahan As-Suyuthiy tersebut aku pernah
membacanya sejak dulu sekali dalam sebuah risalahnya tentang hadits
menghidupkan (ibu Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-), cetakan India. Tanganku
tak mampu menjangkaunya sekarang agar aku dapat menukil ucapannya dan meneliti
kesalahan-kesalahannya. Silakan dirujuk risalah itu bagi orang yang mau
mengecek.
Sungguh diantara pengaruh pelemahannya
terhadap hadits itu, aku perhatikan ia berpaling dari menyebutkan hadits itu
juga dalam sesuatu diantara kitab-kitabnya yang mencakup segala yang ada,
seperti Al-Jami’ Ash-Shoghier wa Ziyadatih dan Al-Jami’
Al-Kabir. Oleh karena itu, Kanzul Ummal kosong dari hadits itu.
Wallahul Musta’an walaa haula walaa quwwata illa billah.
Perhatikanlah perbedaan antara
As-Suyuthiy dengan Al-Hafizh Al-Baihaqiy yang telah mendahulukan keimanan dan
pembenaran atas perasaan dan hawa nafsu. Karena, Al-Baihaqiy tatkala
menyebutkan hadits,
خَرَجْتُ
مِنْ نِكَاحٍ غَيْرِ سِفَاحٍ
Beliau (Al-Baihaqiy) berkata setelahnya,
“Kedua orang tua beliau (Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-) adalah musyrik
berdasarkan (hadits) yang telah kami kabarkan”. Kemudian beliau membawakan
hadits Anas ini[15]dan hadits Abu Hurairah yang telah berlalu[16] tentang ziarahnya beliau ke kubur ibunya -Shallallahu alaihi
wa sallam-”. [Lihat Ash-Shohihah (6/180-182) karya Al-Albaniy]
Faedah Penting
Risalah yang paling bagus tentang
keberadaan orang tua Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- adalah risalah
yang ditulis oleh Syaikh Ibrahim Al-Halabiy -rahimahullah-, seorang imam dan
khothib di Masjid Jami’ As-Sulthon Muhammad Al-Fatih (wafat 945 H) dengan
judul Risalah fi Abawair Rasul Shollallahu alaihi wa sallam,
dengan tahqiq Ali Ridho Al-Madaniy, cet. Darul Ma’arij, 1429 H.
Di dalamnya, Penulis tersebut membantah
syubhat-syubhat orang-orang yang menyatakan bahwa orang tua Rasulullah
-Shallallahu alaihi wa sallam- akan masuk surga dan keduanya adalah muslim!!
Beliau menetapkan dengan hujjah yang kuat dan sulit dibantah bahwa kedua orang
tua Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- kafir dan akan masuk neraka!!
[1] Ia adalah seorang alumnus Al-Azhar Mesir asal Tuban yang
pernah nyantri di Denanyar Jombang dan lanjut di SPS UIN Syahid Jakarta.
Belakangan ia menjadi wartawan Republika, Jakarta. Orang ini punya beberapa
tulisan yang agak sedikit nyeleneh jika ditinjau dari sisi syar’iy.
[2] Lihat http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/fatwa/13/06/21/moq4id-apakah-kedua-orang-tua-rasulullah-saw-akan-masuk-surga
[3] Adapun tulisan ini, insya Allah kami landasi dengan dalil
yang kuat, dan jelas dari sejumlah hadits Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-.
Dengannya, anda akan melihat sisi kuat argumen ulama yang menyatakan kafirnya
kedua orang tua Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-.
[4] Meninggalkan ucapan mereka, bukan berarti kita merendahkan
mereka. Bahkan memuliakan mereka, karena kita tidaklah mengangkatnya pada
derajat rasul yang ma’shum.
[5] Lihat Jami’ Bayanil Ilmi wa
Fadhlih (2/91)oleh Ibnu Abdil Barr
[6] Hadits ini sedikit diperbincangkan oleh sebagian ulama.
Walaupun sebagian lagi –seperti Syaikh Al-Albaniy- memandang bahwa hadits ini
dapat dikuatkan oleh riwayat lain yang semakna dengannya.
[7] Jangan dipahami bahwa ayat yang diisyaratkan Ust. Nashih
merupakan dalil bagi pendapatnya. Sama sekali bukan!! Tak ada kaitannya. Ayat
itu hanya berbicara tentang sholatnya Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-.
[8] Jadi, As-Suyuthiy melemahkan riwayat Hammad bin Salamah. Ini
adalah pendapat lemah sebagaimana kami akan jelaskan, insya Allah.
[9] Itu tampak dari artikel yang ia tulis di situs Republika. Ia
menyajikan materi dan membuat kesimpulan tanpa membawakan sebuah hadits pun.
Padahal ia berbicara tentang agama. Andaikan ia bicara tentang dunia, yah mungkin
wajar kalau tak ada dalilnya.
[10] Yakni, dalam hal perasaan!! Sebab perasaan manusia bertingkat
dan beragam, sehingga perasaan tak boleh dijadikan tolok ukur dalam menetapkan
suatu perkara yang berkaitan dengan agama. Jika perasaan dituruti, maka
hancurlah agama ini!!
[11] Kelengkapan ayat ini, bunyinya,
يَسْأَلُونَكَ
عَنِ الشَّهْرِ الْحَرَامِ قِتَالٍ فِيهِ قُلْ قِتَالٌ فِيهِ كَبِيرٌ وَصَدٌّ عَنْ
سَبِيلِ اللَّهِ وَكُفْرٌ بِهِ وَالْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَإِخْرَاجُ أَهْلِهِ
مِنْهُ أَكْبَرُ عِنْدَ اللَّهِ وَالْفِتْنَةُ أَكْبَرُ مِنَ الْقَتْلِ وَلَا
يَزَالُونَ يُقَاتِلُونَكُمْ حَتَّى يَرُدُّوكُمْ عَنْ دِينِكُمْ إِنِ
اسْتَطَاعُواوَمَنْ يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ
فَأُولَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالْآَخِرَةِ وَأُولَئِكَ
أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ [البقرة/217]
“Mereka bertanya kepadamu tentang
berperang pada bulan Haram. Katakanlah, “Berperang dalam bulan itu adalah dosa
besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah,
(menghalangi masuk) Masjidilharam dan mengusir penduduknya dari sekitarnya,
lebih besar (dosanya) di sisi Allah. dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya)
daripada membunuh. Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka
(dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka
sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia
mati dalam kekafiran, maka mereka Itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di
akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya”. (QS.
Al-Baqoroh : 217)
[12] HR. Muslim dalam Shohih-nya (no. 976).
[13] [HR. Muslim dalam Shohih-nya (no. 203)]. Ini adalah
hadits pertama dalam tulisan kami. Haditsnya shohih dari Nabi -Shallallahu
alaihi wa sallam-.
[14] HR. Al-Baihaqiy dalam As-Sunan Al-Kubro (7/190).
[15] Maksudnya, dalil pertama dalam tulisan
kami ini.
[16] Maksudnya, dalil ketiga dalam tulisan
kami ini.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Akidah Kedua Orang Tua Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم
بسم الله
الرحمن الرحيم
Sebelumnya kami
tekankan bahwa tulisan ini tidak ada maksud buruk apapun. Tulisan ini
semata-mata kami tuliskan untuk menyampaikan kebenaran dan meluruskan salah
satu kekeliruan fatal yang tersebar dan diyakini oleh sebagian besar kaum
muslimin. Kekeliruan tersebut adalah keyakinan bahwa ayah dan ibu Nabi
Muhammad صلى الله
عليه وسلم keduanya adalah termasuk orang-orang yang
beriman kepada Allah subhanahu wa ta’ala (mukmin).
Ternyata keyakinan ini adalah tidaklah benar. Kedua orang tua Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم mereka hidup dan mati dalam keadaan musyrik, yaitu menyekutukan Allah di dalam peribadatan dengan sesuatu selain Allah (berhala). Mereka di masa hidupnya hingga matinya tetap menganut keyakinan dan ibadah syirik sebagaimana keumuman keadaan masyarakat Mekkah dan bangsa Arab di masa itu. Kenyataan dan keadaan seperti inilah yang membuat mereka kelak akan dimasukkan ke dalam neraka oleh Allah ‘azza wa jalla.
Pernyataan ini bukanlah datang dari akal pikiran, hawa nafsu, atau sekedar perkataan dusta yang tidak dilandasi dalil dan bukti yang kuat. Berikut ini akan kami sampaikan dalil-dalil shahih yang menunjukkan atas kekafiran ayah dan ibu Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم . Wallahul musta’an.
Dalil yang menunjukkan atas kafirnya Abdullah bin Abdil Muththalib, ayahanda Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم .
Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, dia berkata:
Ternyata keyakinan ini adalah tidaklah benar. Kedua orang tua Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم mereka hidup dan mati dalam keadaan musyrik, yaitu menyekutukan Allah di dalam peribadatan dengan sesuatu selain Allah (berhala). Mereka di masa hidupnya hingga matinya tetap menganut keyakinan dan ibadah syirik sebagaimana keumuman keadaan masyarakat Mekkah dan bangsa Arab di masa itu. Kenyataan dan keadaan seperti inilah yang membuat mereka kelak akan dimasukkan ke dalam neraka oleh Allah ‘azza wa jalla.
Pernyataan ini bukanlah datang dari akal pikiran, hawa nafsu, atau sekedar perkataan dusta yang tidak dilandasi dalil dan bukti yang kuat. Berikut ini akan kami sampaikan dalil-dalil shahih yang menunjukkan atas kekafiran ayah dan ibu Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم . Wallahul musta’an.
Dalil yang menunjukkan atas kafirnya Abdullah bin Abdil Muththalib, ayahanda Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم .
Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, dia berkata:
أَنّ
رَجُلاً قَالَ: يَا رَسُولَ اللّهِ، أَيْنَ أَبِي؟ قَالَ: فِي النّارِ. فَلَمّا
قَفّى دَعَاهُ فَقَالَ: إِنّ أَبِي وَأَبَاكَ فِي النّارِ
“Seorang lelaki bertanya: “Wahai Rasulullah,
di manakah ayahku berada?” Nabi menjawab: “Di dalam neraka.” Ketika orang itu
berpaling untuk pergi, Nabi memanggilnya. Lalu Nabi berkata: “Sesungguhnya
ayahku dan ayahmu berada di dalam neraka.” [HR Muslim (203)]
Hadits di atas dengan jelas menunjukkan bahwa ayahanda Rasulullah صلى الله عليه وسلم mendapatkan hukuman yang sama dengan ayah dari lelaki tersebut, yaitu sama-sama berada di dalam neraka. Sebab yang membuat ayah Nabi Muhammad masuk ke dalam neraka adalah karena dia mati dalam keadaan menganut kepercayaan syirik penyembahan berhala, sebagaimana yang akan dijelaskan oleh Imam An Nawawi setelah ini.
Imam An Nawawi rahimahullah di dalam kitab Syarh Shahih Muslim memberikan judul untuk hadits di atas:
Hadits di atas dengan jelas menunjukkan bahwa ayahanda Rasulullah صلى الله عليه وسلم mendapatkan hukuman yang sama dengan ayah dari lelaki tersebut, yaitu sama-sama berada di dalam neraka. Sebab yang membuat ayah Nabi Muhammad masuk ke dalam neraka adalah karena dia mati dalam keadaan menganut kepercayaan syirik penyembahan berhala, sebagaimana yang akan dijelaskan oleh Imam An Nawawi setelah ini.
Imam An Nawawi rahimahullah di dalam kitab Syarh Shahih Muslim memberikan judul untuk hadits di atas:
باب بيان
أن من مات على الكفر فهو في النار ولا تناله شفاعة ولا تنفعه قرابة المقربين
Artinya: “Bab: Keterangan bahwasanya barangsiapa yang mati di atas kekufuran maka dia akan masuk neraka. Dia tidak akan mendapatkan syafaat dan hubungan kekeluargaan tidak memberikan manfaat baginya.”
Imam An Nawawi memberikan penjelasan mengenai hadits di atas. Beliau berkata:
“Di dalam hadits ini terdapat keterangan bahwa barangsiapa yang mati di atas kekufuran maka dia akan masuk neraka dan tidak bermanfaat baginya hubungan kekeluargaan. Di dalam hadits ini juga terdapat keterangan bahwa barangsiapa yang mati pada masa fatrah (masa kekosongan/ ketiadaan nabi dan rasul) dalam keadaan dia menganut kepercayaan bangsa Arab yaitu penyembahan berhala, maka dia termasuk penghuni neraka.
Hal ini tidaklah bisa digugat dengan mengatakan bahwa hal ini terjadi sebelum sampainya dakwah (Islam) kepada mereka, karena sesungguhnya dakwah Nabi Ibrahim dan para nabi yang lain (yaitu dakwah tauhid) -shalawatullahi ta’ala wa salamuhu ‘alaihim- telah sampai kepada mereka.
Adapun perkataan Nabi صلى الله عليه وسلم : “Sesungguhnya ayahku dan ayahmu di dalam neraka.” Ini merupakan suatu budi pekerti yang baik, yaitu menghibur seseorang dengan mengatakan bahwa mereka sama-sama mendapatkan musibah yang sama.” Demikianlah penjelasan dari Imam An Nawawi rahimahullah ta’ala.
Dalil yang menunjukkan atas kafirnya Aminah bintu Wahb, ibunda Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم .
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, dia berkata:
زَارَ
النّبِيّ صلى الله عليه وسلم قَبْرَ أُمّهِ. فَبَكَىَ وَأَبْكَىَ مَنْ حَوْلَهُ.
فَقَالَ: اسْتَأْذَنْتُ رَبّي فِي أَنْ أَسْتَغْفِرَ لَهَا فَلَمْ يُؤْذَنْ لِي
وَاسْتَأْذَنْتُهُ فِي أَنْ أَزُورَ قَبْرَهَا فَأذِنَ لِي
“Nabi صلى الله عليه وسلم pergi berziarah ke
kubur ibundanya. Lalu beliau menangis sehingga membuat orang-orang yang
disekitarnya ikut menangis pula. Beliau berkata: “Saya telah meminta kepada
Rabbku agar saya diizinkan untuk memohon ampun baginya, namun Allah tidak
mengizinkanku. Saya meminta kepada-Nya agar saya diizinkan untuk menziarahi
kuburnya, dan Allah mengizinkanku.” [HR Muslim (976)]
Hadits di atas dengan jelas menerangkan bahwa ibunda Rasulullah صلى الله عليه وسلم mati dalam keadaan kafir. Buktinya adalah karena Rasulullah dilarang untuk memintakan ampun bagi ibundanya. Kalau seandainya dia seorang mukminah, maka tentunya beliau tidak akan dilarang untuk memintakan ampun untuk sang ibunda. Hal ini sebagaimana yang disebutkan oleh Allah ta’ala di dalam Al Qur`an:
Hadits di atas dengan jelas menerangkan bahwa ibunda Rasulullah صلى الله عليه وسلم mati dalam keadaan kafir. Buktinya adalah karena Rasulullah dilarang untuk memintakan ampun bagi ibundanya. Kalau seandainya dia seorang mukminah, maka tentunya beliau tidak akan dilarang untuk memintakan ampun untuk sang ibunda. Hal ini sebagaimana yang disebutkan oleh Allah ta’ala di dalam Al Qur`an:
مَا
كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ
وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ
أَصْحَابُ الْجَحِيمِ
“Tidaklah boleh bagi Nabi dan orang-orang yang
beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik walaupun
orang-orang musyrik itu adalah kerabatnya, sesudah jelas bagi mereka bahwasanya
orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka Jahanam.” [QS At Taubah:
113]
Inilah sebabnya mengapa Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم dilarang untuk memintakan ampun bagi ibundanya.
Imam An Nawawi memberikan penjelasan mengenai hadits di atas. Beliau berkata: “Di dalam hadits ini terdapat keterangan tentang larangan meminta ampun bagi orang-orang kafir.”
Beberapa Syubhat tentang Masalah Ini.
Ada beberapa syubhat yang biasa dilontarkan oleh orang-orang yang mengatakan bahwa kedua orang tua Nabi صلى الله عليه وسلم adalah orang mukmin dan tidak masuk ke dalam neraka. Kebanyakan syubhat mereka adalah berdasarkan perasaan dan akal semata, bukan berlandaskan dalil yang shahih dan ilmiah. Di antara syubhat tersebut adalah:
Syubhat Pertama:
Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم adalah manusia pilihan Allah yang diangkat menjadi khalil dan utusan Allah. Orang yang demikian, tentunya berasal dari keluarga yang terbaik pula, sehingga tidak mungkin Nabi Muhammad dilahirkan dari orang tua yang kafir dan dibesarkan di keluarga yang kafir pula.
Jawaban:
Tidak diragukan lagi bahwa para nabi dan rasul merupakan orang pilihan Allah dan manusia yang terbaik di masanya. Begitu pula keluarga beliau merupakan keluarga yang terpandang dan disegani di kalangan bangsa Arab. Namun kelebihan mereka ini adalah dalam hal sosial kemasyarakatan, bukan dalam hal keimanan dan ibadah kepada Allah. Buktinya ada sebagian dari anggota keluarga Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم yang menyembah berhala dan melakukan berbagai kesyirikan, seperti kakek beliau (Abdul Muththalib), sebagian paman beliau (Abu Thalib dan Abu Lahab), dan kedua orang tua beliau.
Bukti yang menunjukkan bahwa Abdul Muththalib dan Abu Thalib mati dalam kemusyrikan adalah sebuah hadits dari Al Musayyab bin Hazn radhiallahu, dia berkata:
Inilah sebabnya mengapa Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم dilarang untuk memintakan ampun bagi ibundanya.
Imam An Nawawi memberikan penjelasan mengenai hadits di atas. Beliau berkata: “Di dalam hadits ini terdapat keterangan tentang larangan meminta ampun bagi orang-orang kafir.”
Beberapa Syubhat tentang Masalah Ini.
Ada beberapa syubhat yang biasa dilontarkan oleh orang-orang yang mengatakan bahwa kedua orang tua Nabi صلى الله عليه وسلم adalah orang mukmin dan tidak masuk ke dalam neraka. Kebanyakan syubhat mereka adalah berdasarkan perasaan dan akal semata, bukan berlandaskan dalil yang shahih dan ilmiah. Di antara syubhat tersebut adalah:
Syubhat Pertama:
Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم adalah manusia pilihan Allah yang diangkat menjadi khalil dan utusan Allah. Orang yang demikian, tentunya berasal dari keluarga yang terbaik pula, sehingga tidak mungkin Nabi Muhammad dilahirkan dari orang tua yang kafir dan dibesarkan di keluarga yang kafir pula.
Jawaban:
Tidak diragukan lagi bahwa para nabi dan rasul merupakan orang pilihan Allah dan manusia yang terbaik di masanya. Begitu pula keluarga beliau merupakan keluarga yang terpandang dan disegani di kalangan bangsa Arab. Namun kelebihan mereka ini adalah dalam hal sosial kemasyarakatan, bukan dalam hal keimanan dan ibadah kepada Allah. Buktinya ada sebagian dari anggota keluarga Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم yang menyembah berhala dan melakukan berbagai kesyirikan, seperti kakek beliau (Abdul Muththalib), sebagian paman beliau (Abu Thalib dan Abu Lahab), dan kedua orang tua beliau.
Bukti yang menunjukkan bahwa Abdul Muththalib dan Abu Thalib mati dalam kemusyrikan adalah sebuah hadits dari Al Musayyab bin Hazn radhiallahu, dia berkata:
أَنَّهُ
لَمَّا حَضَرَتْ أَبَا طَالِبٍ الْوَفَاةُ جَاءَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَوَجَدَ عِنْدَهُ أَبَا جَهْلِ بْنَ هِشَامٍ وَعَبْدَ اللَّهِ
بْنَ أَبِي أُمَيَّةَ بْنِ الْمُغِيرَةِ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِأَبِي طَالِبٍ يَا عَمِّ قُلْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
كَلِمَةً أَشْهَدُ لَكَ بِهَا عِنْدَ اللَّهِ فَقَالَ أَبُو جَهْلٍ وَعَبْدُ
اللَّهِ بْنُ أَبِي أُمَيَّةَ يَا أَبَا طَالِبٍ أَتَرْغَبُ عَنْ مِلَّةِ عَبْدِ
الْمُطَّلِبِ فَلَمْ يَزَلْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَعْرِضُهَا عَلَيْهِ وَيَعُودَانِ بِتِلْكَ الْمَقَالَةِ حَتَّى قَالَ أَبُو
طَالِبٍ آخِرَ مَا كَلَّمَهُمْ هُوَ عَلَى مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ وَأَبَى
أَنْ يَقُولَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَا وَاللَّهِ لَأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ مَا لَمْ أُنْهَ
عَنْكَ
“Ketika Abu Thalib hampir meninggal, datanglah
Rasulullah صلى الله
عليه وسلم menjenguknya. Beliau mendapati di sana telah
hadir Abu Jahl bin Hisyam dan Abdullah bin Abi Umayyah ibnul Mughirah. Lalu
Rasulullah صلى الله
عليه وسلم berkata kepada Abu Thalib: “Wahai pamanku,
ucapkanlah “Laa ilaaha illallah” agar aku dapat bersaksi dengan kalimat
tersebut di hadapan Allah atas (keimanan) dirimu.” Abu Jahl dan Abdullah bin
Abi Umayyah berkata: “Wahai Abu Thalib, apakah engkau memusuhi agamanya Abdul
Muththalib?” Rasulullah صلى الله عليه وسلم berulangkali
mengulangi perkataan beliau, dan begitu pula mereka berdua terus mengulangi
perkataan mereka. Akhirnya perkataan terakhir yang diucapkan Abu Thalib adalah
dia tetap mengikuti agamanya Abdul Muththalib dan enggan untuk mengucapkan “Laa
ilaaha illallah”. Lalu Rasulullah صلى الله عليه وسلم berkata: “Demi
Allah, aku benar-benar akan memintakan ampun (kepada Allah) untukmu sebelum aku
dilarang untuk melakukannya.”
Setelah itu, turunlah ayat yang melarang beliau untuk memintakan ampun bagi pamannya. Ayat tersebut adalah:
Setelah itu, turunlah ayat yang melarang beliau untuk memintakan ampun bagi pamannya. Ayat tersebut adalah:
مَا
كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ
وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ
أَصْحَابُ الْجَحِيمِ
“Tidaklah boleh bagi Nabi dan orang-orang yang
beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik walaupun
orang-orang musyrik itu adalah kerabatnya, sesudah jelas bagi mereka bahwasanya
orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka Jahanam.” [QS At Taubah:
113]
Kisah di atas diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari (1360) dan Muslim (24) di dalam kedua kitab Shahih mereka.
Di dalam hadits yang lain dari Abbas bin Abdil Muththalib radhiallahu ‘anhu, dia berkata:
Kisah di atas diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari (1360) dan Muslim (24) di dalam kedua kitab Shahih mereka.
Di dalam hadits yang lain dari Abbas bin Abdil Muththalib radhiallahu ‘anhu, dia berkata:
يَا
رَسُولَ اللَّهِ هَلْ نَفَعْتَ أَبَا طَالِبٍ بِشَيْءٍ فَإِنَّهُ كَانَ يَحُوطُكَ
وَيَغْضَبُ لَكَ قَالَ نَعَمْ هُوَ فِي ضَحْضَاحٍ مِنْ نَارٍ لَوْلَا أَنَا
لَكَانَ فِي الدَّرَكِ الْأَسْفَلِ مِنْ النَّارِ
“Wahai Rasulullah, apakah ada suatu manfaat
yang anda berikan kepada Abu Thalib, karena sesungguhnya dia dahulu telah
melindungi anda dan membela anda?” Nabi menjawab: “Ya, ada.
Dia berada di tempat yang dangkal di dalam neraka. Kalau bukan karena (syafaat)
saya, pastilah dia berada di bagian yang paling bawah dari neraka.” [HR Al
Bukhari (6208) dan Muslim (209)]
Sedangkan dalil yang menunjukkan bahwa Abu Lahab adalah seorang kafir adalah firman Allah di dalam surat Al Lahab.
Syubhat Kedua:
Para nabi dan rasul adalah manusia yang paling beriman kepada Allah. Tentunya ini juga berlaku kepada keluarga mereka, karena tidak mungkin seorang nabi dan rasul itu memiliki keluarga yang ingkar kepada Allah. Demikian pula halnya Nabi kita Muhammad صلى الله عليه وسلم .
Jawaban:
Cara berpikir demikian tidaklah sepenuhnya benar. Buktinya, ada di antara para nabi dan Rasul yang keluarganya tidak mengikuti mereka dalam hal keimanan dan ketaatan kepada Allah.
Di antara contohnya adalah Nabi Nuh صلى الله عليه وسلم . Istri dan anak beliau hidup dan mati di dalam kekafiran. Silakan membaca surat At Tahrim ayat 10 dan surat Hud ayat 42, 43, dan 46.
Contoh lainnya adalah Nabi Ibrahim صلى الله عليه وسلم . Ayah beliau yang bernama Azar adalah seorang pembuat dan penyembah berhala dan mati di dalam kekafiran. Silakan membaca surat Maryam ayat 41-48, surat At Taubah ayat 114, dan surat Al An’am ayat 74.
Begitu pula halnya dengan Nabi Luth صلى الله عليه وسلم . Istri beliau adalah termasuk orang yang dibinasakan oleh Allah ‘azza wa jalla bersama kaum Sodom. Silakan membaca surat At Tahrim ayat 10, surat Al A’raf ayat 80-84, surat Hud ayat 81, surat Al Hijr ayat 58-60, surat Al Hijr ayat 170-173, surat An Naml ayat 57-58, surat Al ‘Ankabut ayat 32, dan surat Ash Shaffat ayat 133-136.
Kesimpulan dan pelajaran yang bisa kita ambil di sini adalah keimanan itu bukanlah suatu warisan dari leluhur dan orang tua, dan ia juga tidak dapat diwariskan kepada anak cucu dan keturunan. Keimanan itu semata-mata hidayah dari Allah subhanahu wa ta’ala yang diberikan kepada hamba-hamba-Nya yang Dia kehendaki.
Syubhat Ketiga:
Sejarah mencatat bahwa kakek Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم yang bernama Abdul Muththalib adalah penjaga Ka’bah, rumah Allah. Penjaga Ka’bah tentu bukanlah orang sembarangan. Ini menunjukkan bahwa kakek Nabi adalah seorang yang beriman kepada Allah.
Jawaban:
Kenyataan bahwa Abdul Muththalib merupakan penjaga Ka’bah adalah benar. Bahkan dia adalah termasuk orang-orang yang mengatur pelaksanaan haji dan yang memberikan makanan dan minuman kepada para haji.
Namun kenyataan ini tidak serta-merta menunjukkan bahwasanya dia adalah seorang yang beriman, karena pada kenyataannya bangsa Arab pada masa itu meskipun mereka sangat menghormati dan memuliakan Ka’bah namun mereka tetap menyekutukan Allah dengan menyembah berhala yang dipasang di sekitar Ka’bah.
Allah mengatakan bahwa pemuliaan mereka terhadap Baitullah dan orang-orang yang berhaji bukanlah jaminan atas keimanan mereka sepanjang mereka masih melakukan kesyirikan. Bahkan Allah menamakan mereka sebagai orang yang zhalim karena tidak mau beriman kepada Allah. Allah berfirman:
Sedangkan dalil yang menunjukkan bahwa Abu Lahab adalah seorang kafir adalah firman Allah di dalam surat Al Lahab.
Syubhat Kedua:
Para nabi dan rasul adalah manusia yang paling beriman kepada Allah. Tentunya ini juga berlaku kepada keluarga mereka, karena tidak mungkin seorang nabi dan rasul itu memiliki keluarga yang ingkar kepada Allah. Demikian pula halnya Nabi kita Muhammad صلى الله عليه وسلم .
Jawaban:
Cara berpikir demikian tidaklah sepenuhnya benar. Buktinya, ada di antara para nabi dan Rasul yang keluarganya tidak mengikuti mereka dalam hal keimanan dan ketaatan kepada Allah.
Di antara contohnya adalah Nabi Nuh صلى الله عليه وسلم . Istri dan anak beliau hidup dan mati di dalam kekafiran. Silakan membaca surat At Tahrim ayat 10 dan surat Hud ayat 42, 43, dan 46.
Contoh lainnya adalah Nabi Ibrahim صلى الله عليه وسلم . Ayah beliau yang bernama Azar adalah seorang pembuat dan penyembah berhala dan mati di dalam kekafiran. Silakan membaca surat Maryam ayat 41-48, surat At Taubah ayat 114, dan surat Al An’am ayat 74.
Begitu pula halnya dengan Nabi Luth صلى الله عليه وسلم . Istri beliau adalah termasuk orang yang dibinasakan oleh Allah ‘azza wa jalla bersama kaum Sodom. Silakan membaca surat At Tahrim ayat 10, surat Al A’raf ayat 80-84, surat Hud ayat 81, surat Al Hijr ayat 58-60, surat Al Hijr ayat 170-173, surat An Naml ayat 57-58, surat Al ‘Ankabut ayat 32, dan surat Ash Shaffat ayat 133-136.
Kesimpulan dan pelajaran yang bisa kita ambil di sini adalah keimanan itu bukanlah suatu warisan dari leluhur dan orang tua, dan ia juga tidak dapat diwariskan kepada anak cucu dan keturunan. Keimanan itu semata-mata hidayah dari Allah subhanahu wa ta’ala yang diberikan kepada hamba-hamba-Nya yang Dia kehendaki.
Syubhat Ketiga:
Sejarah mencatat bahwa kakek Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم yang bernama Abdul Muththalib adalah penjaga Ka’bah, rumah Allah. Penjaga Ka’bah tentu bukanlah orang sembarangan. Ini menunjukkan bahwa kakek Nabi adalah seorang yang beriman kepada Allah.
Jawaban:
Kenyataan bahwa Abdul Muththalib merupakan penjaga Ka’bah adalah benar. Bahkan dia adalah termasuk orang-orang yang mengatur pelaksanaan haji dan yang memberikan makanan dan minuman kepada para haji.
Namun kenyataan ini tidak serta-merta menunjukkan bahwasanya dia adalah seorang yang beriman, karena pada kenyataannya bangsa Arab pada masa itu meskipun mereka sangat menghormati dan memuliakan Ka’bah namun mereka tetap menyekutukan Allah dengan menyembah berhala yang dipasang di sekitar Ka’bah.
Allah mengatakan bahwa pemuliaan mereka terhadap Baitullah dan orang-orang yang berhaji bukanlah jaminan atas keimanan mereka sepanjang mereka masih melakukan kesyirikan. Bahkan Allah menamakan mereka sebagai orang yang zhalim karena tidak mau beriman kepada Allah. Allah berfirman:
أَجَعَلْتُمْ
سِقَايَةَ الْحَاجِّ وَعِمَارَةَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ كَمَنْ آمَنَ بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَجَاهَدَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ لَا يَسْتَوُونَ عِنْدَ
اللَّهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Apakah kalian menganggap (orang-orang) yang
memberi minuman kepada orang-orang yang berhaji dan mengurus Masjidil Haram
adalah sama dengan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari Akhirat serta
berjihad di jalan Allah? Mereka itu tidaklah sama di sisi Allah! Allah tidak
memberi petunjuk kepada kaum yang zalim.” [QS At Taubah: 19]
Silakan melihat kembali dalil tentang kafirnya Abdul Muththalib di jawaban syubhat yang pertama.
Syubhat Keempat:
Kedua orang tua Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم hidup di masa tidak adanya nabi dan rasul. Ketika mereka berdua meninggal, agama Islam belum lagi ada. Dengan ini berarti mereka termasuk ke dalam golongan orang-orang yang dimaafkan karena tidak/belum adanya dakwah tauhid yang sampai kepada mereka (ahlul fatrah). Contohnya adalah Waraqah bin Naufal yang hidup pada masa kekosongan nabi/rasul dan beliau dikatakan mati dalam keadaan beriman.
Jawaban:
Tidaklah benar apabila dikatakan pada masa itu di kalangan bangsa Arab bahwa tidak ada dakwah tauhid yang sampai kepada mereka. Justru mereka telah mengetahui tentang dakwah tauhid yang dibawa oleh Nabi Ibrahim ‘alaihish shalatu was salam kepada bangsa Arab melalui anak beliau nabi Ismail ‘alaihissalam. Nabi Ismail merupakan leluhur bangsa Arab.
Disebutkan oleh Imam An Nawawi rahimahullah di dalam kitab Syarh Shahih Muslim ketika menerangkan hadits Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, dia berkata:
Silakan melihat kembali dalil tentang kafirnya Abdul Muththalib di jawaban syubhat yang pertama.
Syubhat Keempat:
Kedua orang tua Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم hidup di masa tidak adanya nabi dan rasul. Ketika mereka berdua meninggal, agama Islam belum lagi ada. Dengan ini berarti mereka termasuk ke dalam golongan orang-orang yang dimaafkan karena tidak/belum adanya dakwah tauhid yang sampai kepada mereka (ahlul fatrah). Contohnya adalah Waraqah bin Naufal yang hidup pada masa kekosongan nabi/rasul dan beliau dikatakan mati dalam keadaan beriman.
Jawaban:
Tidaklah benar apabila dikatakan pada masa itu di kalangan bangsa Arab bahwa tidak ada dakwah tauhid yang sampai kepada mereka. Justru mereka telah mengetahui tentang dakwah tauhid yang dibawa oleh Nabi Ibrahim ‘alaihish shalatu was salam kepada bangsa Arab melalui anak beliau nabi Ismail ‘alaihissalam. Nabi Ismail merupakan leluhur bangsa Arab.
Disebutkan oleh Imam An Nawawi rahimahullah di dalam kitab Syarh Shahih Muslim ketika menerangkan hadits Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, dia berkata:
أَنّ
رَجُلاً قَالَ: يَا رَسُولَ اللّهِ، أَيْنَ أَبِي؟ قَالَ: فِي النّارِ. فَلَمّا
قَفّى دَعَاهُ فَقَالَ: إِنّ أَبِي وَأَبَاكَ فِي النّارِ
“Seorang lelaki bertanya: “Wahai Rasulullah,
di manakah ayahku berada?” Nabi menjawab: “Di dalam neraka.” Ketika orang itu
berpaling untuk pergi, Nabi memanggilnya. Lalu Nabi berkata: “Sesungguhnya
ayahku dan ayahmu berada di dalam neraka.” [HR Muslim (203)]
Beliau rahimahullah berkata: “Di dalam hadits ini juga terdapat keterangan bahwa barangsiapa yang mati pada masa fatrah (masa kekosongan/ ketiadaan nabi dan rasul) dalam keadaan menganut kepercayaan bangsa Arab yaitu penyembahan berhala, maka dia termasuk penghuni neraka. Hal ini tidaklah bisa digugat dengan mengatakan bahwa hal ini terjadi sebelum sampainya dakwah (Islam) kepada mereka, karena sesungguhnya dakwah Nabi Ibrahim dan para nabi yang lain (yaitu dakwah tauhid) -shalawatullahi ta’ala wa salamuhu ‘alaihim- telah sampai kepada mereka.”
Benar, mungkin saja ada sebagian individu bangsa Arab yang tidak pernah mendengar tentang dakwah para nabi. Urusan mereka akan diselesaikan oleh Allah kelak di hari Akhirat. Adapun bagi orang-orang yang telah jelas datang keterangan dari dalil-dalil naqli tentang kekafirannya, maka wajib bagi kita untuk mengikuti dalil tersebut.
Adapun Waraqah bin Naufal, memang benar beliau hidup pada masa tersebut di tengah bangsa Arab yang melakukan kesyirikan. Namun perlu diketahui bahwa beliau sama sekali tidak mengikuti kesyirikan yang dianut oleh mayoritas bangsa Arab pada masa itu. Beliau tetap berpegang teguh dengan ajaran Nasrani yang masih murni yang dibawa oleh Nabi Isa ‘alaihis salam. Bahkan beliau bertekad akan melindungi Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم dan beriman kepadanya apabila dia diberikan umur yang panjang hingga Nabi Muhammad diangkat menjadi rasul.
Mirip dengan kisahnya Waraqah bin Naufal adalah kisahnya Zaid bin ‘Amr bin Nufail yang tidak mau mengikuti kesyirikan yang dilakukan oleh bangsa Arab pada masa itu.
Syubhat Kelima:
Mengatakan bahwa kedua orang tua Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم sebagai orang kafir penghuni neraka merupakan bentuk kelancangan dan penghinaan yang luar biasa terhadap Nabi dan kedua orang tua beliau yang sangat beliau cintai.
Jawaban:
Di dalam Islam, kita dilarang untuk mengatakan seseorang adalah penghuni surga atau neraka dengan akal dan perasaan. Untuk memastikan seseorang itu adalah penghuni surga atau neraka, maka kita harus memiliki bukti dan dalil yang shahih yang menerangkan demikian.
Dalam hal ini, yang mengatakan bahwa kedua orang tua Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم adalah penghuni neraka bukanlah kita. Akan tetapi, yang menerangkan demikian adalah Nabi Muhammad sendiri di dalam hadits yang shahih sebagaimana yang telah kita sebutkan di atas. Oleh karena itu, wajib bagi kita untuk menerima perkataan beliau karena beliau tidak berbicara dengan menggunakan hawa nafsu. Apa yang beliau sampaikan merupakan wahyu dari Allah. Allah berfirman:
Beliau rahimahullah berkata: “Di dalam hadits ini juga terdapat keterangan bahwa barangsiapa yang mati pada masa fatrah (masa kekosongan/ ketiadaan nabi dan rasul) dalam keadaan menganut kepercayaan bangsa Arab yaitu penyembahan berhala, maka dia termasuk penghuni neraka. Hal ini tidaklah bisa digugat dengan mengatakan bahwa hal ini terjadi sebelum sampainya dakwah (Islam) kepada mereka, karena sesungguhnya dakwah Nabi Ibrahim dan para nabi yang lain (yaitu dakwah tauhid) -shalawatullahi ta’ala wa salamuhu ‘alaihim- telah sampai kepada mereka.”
Benar, mungkin saja ada sebagian individu bangsa Arab yang tidak pernah mendengar tentang dakwah para nabi. Urusan mereka akan diselesaikan oleh Allah kelak di hari Akhirat. Adapun bagi orang-orang yang telah jelas datang keterangan dari dalil-dalil naqli tentang kekafirannya, maka wajib bagi kita untuk mengikuti dalil tersebut.
Adapun Waraqah bin Naufal, memang benar beliau hidup pada masa tersebut di tengah bangsa Arab yang melakukan kesyirikan. Namun perlu diketahui bahwa beliau sama sekali tidak mengikuti kesyirikan yang dianut oleh mayoritas bangsa Arab pada masa itu. Beliau tetap berpegang teguh dengan ajaran Nasrani yang masih murni yang dibawa oleh Nabi Isa ‘alaihis salam. Bahkan beliau bertekad akan melindungi Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم dan beriman kepadanya apabila dia diberikan umur yang panjang hingga Nabi Muhammad diangkat menjadi rasul.
Mirip dengan kisahnya Waraqah bin Naufal adalah kisahnya Zaid bin ‘Amr bin Nufail yang tidak mau mengikuti kesyirikan yang dilakukan oleh bangsa Arab pada masa itu.
Syubhat Kelima:
Mengatakan bahwa kedua orang tua Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم sebagai orang kafir penghuni neraka merupakan bentuk kelancangan dan penghinaan yang luar biasa terhadap Nabi dan kedua orang tua beliau yang sangat beliau cintai.
Jawaban:
Di dalam Islam, kita dilarang untuk mengatakan seseorang adalah penghuni surga atau neraka dengan akal dan perasaan. Untuk memastikan seseorang itu adalah penghuni surga atau neraka, maka kita harus memiliki bukti dan dalil yang shahih yang menerangkan demikian.
Dalam hal ini, yang mengatakan bahwa kedua orang tua Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم adalah penghuni neraka bukanlah kita. Akan tetapi, yang menerangkan demikian adalah Nabi Muhammad sendiri di dalam hadits yang shahih sebagaimana yang telah kita sebutkan di atas. Oleh karena itu, wajib bagi kita untuk menerima perkataan beliau karena beliau tidak berbicara dengan menggunakan hawa nafsu. Apa yang beliau sampaikan merupakan wahyu dari Allah. Allah berfirman:
مَا
ضَلَّ صَاحِبُكُمْ وَمَا غَوَى (2) وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى (3) إِنْ هُوَ
إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى
“Sahabat kalian itu (Muhammad) tidaklah sesat
dan tidak pula keliru. Dia tidak berbicara menurut kemauan hawa nafsunya.
Ucapannya itu tiada lain merupakan wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” [QS
An Najm 2-4]
Justru sebaliknya, jika kita menolak pernyataan Rasulullah صلى الله عليه وسلم dalam hal ini, berarti sebenarnya kitalah yang telah melecehkan beliau karena tidak mau mengikuti kebenaran dan kenyataan yang beliau sampaikan kepada kita.
Syubhat Keenam:
Kedua orang tua Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم adalah orang yang paling beliau cintai di dalam hidupnya. Maka bagaimana mungkin kedua orang yang paling dicintainya masuk ke dalam neraka? Ini sungguh mustahil!
Jawaban:
Sudah merupakan fitrah bahwa seorang anak itu sangat mencintai kedua orang tuanya. Seorang anak itu tentunya menginginkan kebaikan kepada kedua orang tuanya. Terutama sekali adalah kebaikan yang berupa keimanan. Namun hidayah kepada Islam itu semata-mata merupakan pemberian dari Allah. Keimanan itu tidak bisa diwariskan atau dibagi-bagi. Allah ta'ala berfirman:
Justru sebaliknya, jika kita menolak pernyataan Rasulullah صلى الله عليه وسلم dalam hal ini, berarti sebenarnya kitalah yang telah melecehkan beliau karena tidak mau mengikuti kebenaran dan kenyataan yang beliau sampaikan kepada kita.
Syubhat Keenam:
Kedua orang tua Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم adalah orang yang paling beliau cintai di dalam hidupnya. Maka bagaimana mungkin kedua orang yang paling dicintainya masuk ke dalam neraka? Ini sungguh mustahil!
Jawaban:
Sudah merupakan fitrah bahwa seorang anak itu sangat mencintai kedua orang tuanya. Seorang anak itu tentunya menginginkan kebaikan kepada kedua orang tuanya. Terutama sekali adalah kebaikan yang berupa keimanan. Namun hidayah kepada Islam itu semata-mata merupakan pemberian dari Allah. Keimanan itu tidak bisa diwariskan atau dibagi-bagi. Allah ta'ala berfirman:
وَاللَّهُ
يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
“Allah memberikan hidayah bagi orang yang
dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.” [QS Al Baqarah: 213]
Di antara orang yang paling beliau cintai dan yang paling beliau harapkan keislamannya adalah paman beliau yang selalu membelanya, yaitu Abu Thalib. Senantiasa beliau mendakwahkan Islam kepada pamannya bahkan hingga di akhir hayat dengan harapan agar beliau mau masuk Islam. Namun kenyataannya Nabi tidak dapat menyelamatkan pamannya dari kesyirikan. Nabi tidak mampu untuk memberikan hidayah kepada pamannya yang sangat dicintainya itu.
Dalam hal ini Allah ta'ala berfirman:
Di antara orang yang paling beliau cintai dan yang paling beliau harapkan keislamannya adalah paman beliau yang selalu membelanya, yaitu Abu Thalib. Senantiasa beliau mendakwahkan Islam kepada pamannya bahkan hingga di akhir hayat dengan harapan agar beliau mau masuk Islam. Namun kenyataannya Nabi tidak dapat menyelamatkan pamannya dari kesyirikan. Nabi tidak mampu untuk memberikan hidayah kepada pamannya yang sangat dicintainya itu.
Dalam hal ini Allah ta'ala berfirman:
إِنَّكَ
لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ
“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi
petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada
orang yang dikehendaki-Nya.” [QS Al Qashash: 56]
وبالله
التوفيق
- See more at:
http://dakwahquransunnah.blogspot.com/2013/04/akidah-kedua-orang-tua-nabi-muhammad_6041.html
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Orang tua Rasulullah saw kafir dan masuk neraka? Fitnah yang keji!
Roqi Muqorrobin Imam Muslim
meriwayatkan dalam Shahihnya, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, berkata:
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menziarahi kubur ibunya, lalu beliau menangis
sehingga orang-orang yang ada di sekitar beliau-pun ikut menangis. Karenanya
beliau bersabda, “Aku telah meminta izin kepada Rabb-ku untuk saya beristighfar
(memintakan ampun) baginya, namun Dia tidak mengizinkan. Dan aku meminta izin
untuk menziarahi (mengunjungi) kuburnya, maka Dia mengizinkan untukku.
Karenanya, lakukan ziarah kubur, sebab hal itu bisa mengingatkan kepada
kematian.”
Dalam riwayat lain yang disebutkan dalam Tafsir Ibnu
Katsir, dari hadits Ibnu Mas’ud bahwa kisah ini menjadi sebab turunnya firman
Allah,
مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آَمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا
لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ
أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ
“Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang
beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun
orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat (nya), sesudah jelas bagi mereka,
bahwasanya orang-orang musyrik itu, adalah penghuni neraka Jahanam.” (QS.
Al-Taubah: 113) dan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mengutarakan bahwa
kesedihan ini merupakan naluri sayang seorang anak terhadap orang tuanya.
(Lihat: Al-Hakim dalam Mustadrak: 2/336 beliau mengatakan, “Shahih sesuai
syarat keduanya –Bukhari dan Muslim-; Al-Baihaqi dalam Dalail al-Nubuwah: 1/189)
Dan terdapat tambahan keterangan dalam al-Mu’jam
al-Kabir milik al-Thabrani rahimahullaah, bahwa Jibril ‘alaihis salam berkata
kepada beliau,
فَتَبَرَّأَ أَنْتَ مِنْ أُمِّكَ، كَمَا تَبَرَّأَ إِبْرَاهِيمُ مِنْ
أَبِيهِ
“Berlepas dirilah engkau dari ibumu sebagaimana
Ibrahim berlepas diri dari bapaknya.” (Lihat juga Tafsir Ibni Katsir dalam
menafsirkan QS. Al-Taubah: 113-114)
Maka sangat jelas status Aminah (ibunda Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam), meninggal di luar Islam dan berada di neraka.
Maka sangat jelas status Aminah (ibunda Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam), meninggal di luar Islam dan berada di neraka.
Sedangkan riwayat yang menunjukkan bahwa ayah beliau
(Abdullah) meninggal sebagai musyrik dan berada di neraka adalah hadits yang
diriwayatakan Muslim dari Anas: Ada seseorang bertanya kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam, “Di manakah bapakku?” Beliau menjawab, “Di
neraka.” Maka ketika ia berbalik, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
memanggilnya dan bersabda:
إِنَّ أَبِي وَأَبَاكَ فِي النَّارِ
“Sesungguhnya bapakku dan bapakmu berada di neraka.”
Hadits ini menunjukkan bahwa ayah beliau meninggal
sebagai orang kafir. Dan siapa yang meninggal di atas kekafiran maka dia di
neraka, hubungan kekerabatan tidak berguna dan tidak bisa menyelamatkannya.
(Lihat: Syarah Shahih Muslim, Imam al-Nawawi: no. 302)
——————————————————————————————————————————————————————————-
BAB I
PENDAHULUAN
Segala puji syukur hanya bagi Allah dan Shalawat
beserta Salam semoga dicurahkan kepada Bagina Rasulullah saw para keluarga dan
Sahabat seluruhnya serta para pengikutnya yang setia hingga hari akhir. Amin
Di atas adalah sekelebat tanya jawab saya dengan kawan
facebooker yang mempertanyakan tentang kekafiran orangtua Rasulullah saw dan
ihwal mereka masuk neraka.
Maka oleh sebab itu dengan segala keterbatasan penulis
mencoba mengurai benang
kusut yang sengaja dibuat oleh antek-antek Kafirin yang menyudutkan orangtua
Rasulullah saw dengan tujuan akhir adalah menistakan keluarga beliau.
BAB II
PEMBAHASAN
Berikut penulis akan mencoba mengurai hadits-hadits
yang dikutip oleh penanya satu persatu:
1. Hadits Riwayat Imam Bukhari:
حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ، أَخْبَرَنَا يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ،
قَالَ: حَدَّثَنِي أَبِي، عَنْ صَالِحٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، قَالَ: أَخْبَرَنِي
سَعِيدُ بْنُ المُسَيِّبِ، عَنْ أَبِيهِ أَنَّهُ أَخْبَرَهُ: أَنَّهُ لَمَّا
حَضَرَتْ أَبَا طَالِبٍ الوَفَاةُ جَاءَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ، فَوَجَدَ عِنْدَهُ أَبَا جَهْلِ بْنَ هِشَامٍ، وَعَبْدَ اللَّهِ بْنَ
أَبِي أُمَيَّةَ بْنِ المُغِيرَةِ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ لِأَبِي طَالِبٍ: ” يَا عَمِّ، قُلْ: لاَ إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ،
كَلِمَةً أَشْهَدُ لَكَ بِهَا عِنْدَ اللَّهِ ” فَقَالَ أَبُو جَهْلٍ، وَعَبْدُ
اللَّهِ بْنُ أَبِي أُمَيَّةَ: يَا أَبَا طَالِبٍ أَتَرْغَبُ عَنْ مِلَّةِ عَبْدِ
المُطَّلِبِ؟ فَلَمْ يَزَلْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَعْرِضُهَا عَلَيْهِ، وَيَعُودَانِ بِتِلْكَ المَقَالَةِ حَتَّى قَالَ أَبُو
طَالِبٍ آخِرَ مَا كَلَّمَهُمْ: هُوَ عَلَى مِلَّةِ عَبْدِ المُطَّلِبِ، وَأَبَى
أَنْ يَقُولَ: لاَ إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَمَا وَاللَّهِ لَأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ مَا لَمْ أُنْهَ
عَنْكَ» فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى فِيهِ: {مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ} [التوبة:
113] الآيَةَ
“Telah menceritakan kepada kami
Ishaq telah mengabarkan kepada kami Ya’qub bin Ibrahim berkata, telah
menceritakan apakku kepadaku dari Shalih dari Ibnu Syihab berkata, telah
mengabarkan kepada saya telah mengabarkan kepada saya Sa’id bin Al Musayyab
dari bapaknya bahwasanya dia mengabarkan kepadanya: “Ketika menjelang wafatnya
Abu Tholib, Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam mendatanginya dan ternyata
sudah ada Abu Jahal bin Hisyam dan ‘Abdullah bin Abu Umayyah bin Al Mughirah.
Maka Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam berkata, kepada Abu Tholib: “Wahai
pamanku katakanlah laa ilaaha illallah, suatu kalimat yang dengannya aku akan menjadi
saksi atasmu di sisi Allah”. Maka berkata, Abu Jahal dan ‘Abdullah bin Abu
Umayyah: “Wahai Abu Thalib, apakah kamu akan meninggalkan agama ‘Abdul
Muthalib?”. Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam terus menawarkan kalimat
syahadat kepada Abu Tholib dan bersamaan itu pula kedua orang itu mengulang
pertanyaannya yang berujung Abu Tholib pada akhir ucapannya tetap mengikuti
agama ‘Abdul Muthalib dan enggan untuk mengucapkan laa ilaaha illallah. Maka
berkatalah Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam: “Adapun aku akan tetap memintakan ampun buatmu selama
aku tidak dilarang”. Maka turunlah firman Allah subhanahu wata’ala tentang
peristiwa ini: (“Tidak patut bagi Nabi …”) dalam (QS AT-Taubah ayat 113).”[1]
2. Hadits riwayat Imam Muslim:
وحَدَّثَنِي حَرْمَلَةُ بْنُ يَحْيَى التُّجِيبِيُّ أَخْبَرَنَا
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ وَهْبٍ قَالَ أَخْبَرَنِي يُونُسُ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ
أَخْبَرَنِي سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ عَنْ أَبِيهِ قَالَ لَمَّا حَضَرَتْ أَبَا
طَالِبٍ الْوَفَاةُ جَاءَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَوَجَدَ عِنْدَهُ أَبَا جَهْلٍ وَعَبْدَ اللَّهِ بْنَ أَبِي أُمَيَّةَ بْنِ
الْمُغِيرَةِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا
عَمِّ قُلْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ كَلِمَةً أَشْهَدُ لَكَ بِهَا عِنْدَ
اللَّهِ فَقَالَ أَبُو جَهْلٍ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي أُمَيَّةَ يَا أَبَا
طَالِبٍ أَتَرْغَبُ عَنْ مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَلَمْ يَزَلْ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْرِضُهَا عَلَيْهِ وَيُعِيدُ لَهُ
تِلْكَ الْمَقَالَةَ حَتَّى قَالَ أَبُو طَالِبٍ آخِرَ مَا كَلَّمَهُمْ هُوَ عَلَى
مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ وَأَبَى أَنْ يَقُولَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَا وَاللَّهِ
لَأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ مَا لَمْ أُنْهَ عَنْكَ فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ
{مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ
وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ
أَصْحَابُ الْجَحِيمِ} وَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى فِي أَبِي طَالِبٍ فَقَالَ
لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ {إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ
أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ أَعْلَمُ
بِالْمُهْتَدِينَ} وحَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ وَعَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ
قَالَا أَخْبَرَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ وحَدَّثَنَا حَسَنٌ
الْحُلْوَانِيُّ وَعَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ قَالَا حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ وَهُوَ ابْنُ
إِبْرَاهِيمَ بْنِ سَعْدٍ قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ صَالِحٍ كِلَاهُمَا عَنْ
الزُّهْرِيِّ بِهَذَا الْإِسْنَادِ مِثْلَهُ غَيْرَ أَنَّ حَدِيثَ صَالِحٍ
انْتَهَى عِنْدَ قَوْلِهِ فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فِيهِ وَلَمْ يَذْكُرْ
الْآيَتَيْنِ وَقَالَ فِي حَدِيثِهِ وَيَعُودَانِ فِي تِلْكَ الْمَقَالَةِ وَفِي
حَدِيثِ مَعْمَرٍ مَكَانَ هَذِهِ الْكَلِمَةِ فَلَمْ يَزَالَا بِهِ
“Dan telah menceritakan
kepadaku Harmalah bin Yahya at-Tujibi telah mengabarkan kepadaku Abdullah bin
Wahb dia berkata, telah mengabarkan kepadaku Yunus dari Ibnu Syihab dia
berkata, telah mengabarkan kepadaku Said bin al-Musayyab dari bapaknya dia
berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menziarahi Abu Thalib di
saat-saat dirinya tengah menghadapi sakaratul maut. Beliau mendapati Abu Jahal
dan Abdullah bin Abu Umaiyyah bin al-Mughirah turut berada di sana. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Paman! Ucaplah Dua Kalimah Syahadat,
aku akan menjadi saksi kamu di hadapan Allah.” Lalu Abu Jahal dan Abdullah bin
Abu Umayyah mencelah, ‘Wahai Abu Thalib sanggupkah kamu meninggalkan agama
Abdul Muththalib? ‘ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak berputus asa
malah tetap mengajarnya mengucap Dua Kalimah Syahadat serta berkali-kali
mengulanginya. Sehingga Abu Thalib menjawab sebagai ucapan terakhir kepada
mereka, bahwa dia tetap bersama dengan agama Abdul MuThalib, dan enggan
mengucapkan Kalimah Syahadat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun
bersabda: “Demi Allah, aku akan mohonkan ampunan dari Allah untukmu, ” sehingga
Allah menurunkan ayat: ‘(Tidak dibenarkan bagi Nabi dan orang-orang yang
beriman meminta ampun bagi orang-orang yang syirik sekalipun orang itu kaum
kerabat sendiri setelah nyata bagi mereka bahwa orang-orang syirik itu adalah ahli
Neraka) ‘ (Qs. AtTaubah: 113). Lalu Allah menurunkan firman-Nya berkenaan
dengan peristiwa Abu Thalib: ‘(Sesungguhnya kamu wahai Muhammad tidak berkuasa
memberi hidayat petunjuk kepada siapa yang kamu kasihi supaya dia menerima
Islam tetapi Allah jualah yang berkuasa memberi petunjuk kepada orang yang
dikehendaki-Nya, dan Dia jualah yang lebih mengetahui siapakah orang-orang yang
(bersedia) untuk mendapat petunjuk memeluk Islam) ‘. (Qs. Al Qashash: 56). Dan
telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Ibrahim dan Abd bin Humaid keduanya
berkata, telah mengabarkan kepada kami Abdurrazzaq telah mengabarkan kepada
kami Ma’mar. (dalam riwayat lain disebutkan) Dan telah menceritakan kepada kami
Hasan al-Hulwani dan Abd bin Humaid keduanya berkata, telah menceritakan kepada
kami Ya’qub -yaitu Ibnu Ibrahim bin Sa’ad- dia berkata, telah menceritakan
kepada kami bapakku dari Shalih keduanya dari az-Zuhri dengan sanad ini
semisalnya. Hanya saja hadits Shalih selesai pada perkataannya, ‘lalu Allah
menurunkan firman-Nya tentangnya, ‘ dan dia tidak menyebutkan dua ayat
tersebut. Dan dia menyebutkan di dalam haditsnya, ‘Dan keduanya kembali
mengucapkan perkataan tersebut, pada hadits Ma’mar adalah sebagai pengganti
kalimat ini. Dan mereka berdua tetap berpedoman padanya.” (HR. Muslim).[2]
Dalam
Shahih Bukhari dan Shahih Muslim dan perawi-perawi lainnya. Asbab al-Nuzul
Hadits ini bukan lah karena wafatnya ibu Rasulullah, AKAN TETAPI BERKAITAN
TENTANG WAFATNYA PAMAN RASULULLAH ABU THALIB.
Jadi
Rasulullah menangis dan mendoakan ibunya adalah KEDUSTAAN BESAR, karena Nabi
Muhammad sudah Yatim Piatu sebelum menjadi Rasul.
Dan dalam kitab Mustadrak milik Imam al-Hakim[3] yang dikutip penanya di atas
tidaklah juga menyebut demikian. Jelas ini adalah perkara-perkara dusta yang
dibuat oleh orang yang tidak bertanggung jawab.
3. Hadits yang penanya kutip:
فَتَبَرَّأَ أَنْتَ مِنْ أُمِّكَ، كَمَا تَبَرَّأَ إِبْرَاهِيمُ مِنْ
أَبِيهِ
“Berlepas dirilah engkau dari
ibumu sebagaimana Ibrahim berlepas diri dari bapaknya.” (Lihat juga Tafsir Ibni
Katsir dalam menafsirkan QS. Al-Taubah: 113-114)
Hadits di atas adalah Hadits Riwayat Imam Thabraniy
yang merupakan hadits yang sangat panjang, baiklah penulis akan menuliskannya
sebagian saja:
فَدَعَوْتُ اللَّهَ أَنْ يَأْذَنَ لِي فِي شَفَاعَتِهَا يَوْمَ
الْقِيَامَةِ، فَأَبَى اللَّهُ أَنْ يَأْذَنَ لِي، فَرَحِمْتُهَا وَهِيَ أُمِّي،
فَبَكَيْتُ، ثُمَّ جَاءَنِي جِبْرِيلُ فَقَالَ: {وَمَا كَانَ اسْتِغْفَارُ
إِبْرَاهِيمَ لأبِيهِ إِلا عَنْ مَوْعِدَةٍ وَعَدَهَا إِيَّاهُ فَلَمَّا تَبَيَّنَ
لَهُ أَنَّهُ عَدُوٌّ لِلَّهِ تَبَرَّأَ مِنْهُ} فَتَبَرَّأْ أَنْتَ مِنْ أُمِّكَ،
كَمَا تَبَرَّأَ إِبْرَاهِيمُ مِنْ أَبِيهِ، فرحمْتُها وَهِيَ أُمِّي…..
“Aku berdoa kepada Allah agar
aku dapat memberikan Syafa’at kelak pada hari Kiamat, dan Allah pun menolak
untuk memberiku izin. Karena sayang kepadanya yaitu ibuku maka akupun menangis.
Kemudian datanglah Jibril dan berkata: “Dan permintaan ampun dari Ibrahim
(kepada Allah) untuk bapaknya, tidak lain hanyalah karena suatu janji yang
telah diikrarkannya kepada bapaknya itu. Maka tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa
bapaknya itu adalah musuh Allah, maka Ibrahim berlepas diri daripadanya.” Maka
berlepas dirilah Engkau dari Ibumu sebagaimana Ibrahim berlepas diri dari
Bapaknya” (kata Jibril). “Tapi aku menyayanginya yaitu ibuku.” (HR. Thabraniy).[4]
Ibnu Katsir menyebutkan dengan sangat jelas bahwa
Hadits di atas (فَتَبَرَّأَ أَنْتَ مِنْ أُمِّكَ، كَمَا تَبَرَّأَ إِبْرَاهِيمُ مِنْ
أَبِيهِ) adalah Hadits Gharib
(tidak dikenal/asing) yang haditsnya diriwayatkan menyendiri dan cenderung
hadits Munkar yang diriwayatkan oleh al-Khathiyb al-Baghdaadiy yang sanadnya
Majhul (tidak diketahui). Bahkan al-Hafizh Ibnu Dihyah mengatakan bahwa hadits
ini Maudhu’ (Palsu) yang menyalahi al-Qur’an dan Ijma’.[5]
3. Hadits yang penanya kutip:
إِنَّ أَبِي وَأَبَاكَ فِي النَّارِ
“Sesungguhnya bapakku dan
bapakmu berada di neraka.”
Adalah Hadits Riwayat Imam Muslim maka Matan aslinya
adalah berikut ini:
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، حَدَّثَنَا عَفَّانُ،
حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ، عَنْ ثَابِتٍ، عَنْ أَنَسٍ، أَنَّ رَجُلًا
قَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، أَيْنَ أَبِي؟ قَالَ: «فِي النَّارِ»، فَلَمَّا قَفَّى
دَعَاهُ، فَقَالَ: “«إِنَّ أَبِي وَأَبَاكَ فِي النَّارِ
“Telah menceritakan kepada kami
Abu Bakar bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami Affan telah
menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah dari Tsabit dari Anas bahwa seorang
laki-laki bertanya, “Wahai Rasulullah, di manakah bapakku?” Beliau menjawab,
“Dia di dalam neraka.” Ketika laki-laki tersebut berlalu pergi, maka beliau
memanggilnya seraya berkata: “Sesungguhnya bapakku dan bapakmu di dalam
neraka.” (HR. Muslim).[6]
Menurut
Imam Qurthubiy Sanad Hadits ini (yaitu Muhammad bin Ka’ab) adalah Dha’if
(Lemah).[7]Sedangkan menurut Imam Qurthubiy
bahwa berargumentasi dengan hadits ini sangat tidak bijaksana (karena
kedha’ifannya).[8]
BAB III
KESIMPULAN
Dari
hadits-hadits yang diuraikan di atas sangatlah jelas bahwa argumentasi orang
yang mengatakan orangtua Rasulullah adalah Kafir adalah lemah dan sudah
terbantahkan. Tidak bermaksud menyudutkan, akan tetapi kemungkinan orang yang
berpendapat demikian adalah dari golongan Wahabi dan/atau Salafi. ????????????? [ yang nulis syi’ah
rafidhah ]
Semua argumentasi
mereka adalah kering dari kebenaran, karena memakai hadits yang Gharib, dan
Dha’if meskipun diriwayatkan oleh Imam Muslim sekalipun. Karena Imam Muslim
sendiri mengatakan bahwa hadits dalam kitabnya tidak luput dari kesalahan.
Wallahu A’lam.
[1] Muhammad bin ‘Isma’iyl bin
‘Abu ‘Abd Allah al-Bukhoriy al-Ja’fiy, al-Jami’ al-Musnad al-Shahiyh
al-Mukhtashar Min Umuwr Rosuwl Allah saw Wa Ayyaamih (Shahih Bukhooriy),
Damascus: Dar el-Thuwq el-Najah, 1422 H, cet. I, vol. II, h. 95/vol. V, h.
52/vol. VI, h. 69.
[2] Muslim bin al-Hajjaaj Abuw
al-Hasan al-Qusyairiy al-Niysabuwriy, al-Musnad al-Shahih
al-Mukhtashar bi Naql al-’Adl ‘An al-’Adl Ilaa Rasuwl Allah saw (Shahih Muslim),
Beirut: Dar Ehya el-Turath el-’Arobiy, t.t., vol. I, h. 54.
[3] Abu ‘Abd Allah al-Haakim
Muhammad bin ‘Abd Allah bin Muhammad bin Hamdawayh bin Nu’aym bin al-Hakam
al-Dhabiy al-Thahmaaniy al-Naysabuwriy, al-Mustadrok ‘Ala al-Shahiyhayn,
Beirut: Dar el-Kutub el-’Ilmiyyah, 1990 M/1411 H, cet. I, vol. II, h. 365-366.
[4] Sulaiman bin Ahmad bin Ayyuwb
bin Muthiyr al-Lakhmiy al-Syaamiy al-Thabraniy, al-Mu’jam
al-Kabiyr, Riyadh: Dar el-Shamiy’iy, 1415 H/1994 M, cet. I,
vol. XI, h. 374.
[5] Abuw al-Fadaa’ Isma’iyl bin
‘Umar bin Katsiyr al-Qurosiy al-Bashoriy al-Damisyqiy, Tafsiyr al-Qur’an al-’Azhiym (Tafsir Ibnu Katsir),
Cairo: Dar el-Thaybah Li al-Nasyr wa al-Taqziy’, 1999 M/1420 H, vol. IV, h.
223.
[6] Muslim bin al-Hajjaaj Abuw
al-Hasan al-Qusyairiy al-Niysabuwriy, al-Musnad al-Shahih
al-Mukhtashar bi Naql al-’Adl ‘An al-’Adl Ilaa Rasuwl Allah saw (Shahih Muslim),
Beirut: Dar Ehya el-Turath el-’Arobiy, t.t., vol. I, h. 54.
[7] Abuw al-Fadaa’ Isma’iyl bin
‘Umar bin Katsiyr al-Qurosiy al-Bashoriy al-Diamsyqiy, Tafsiyr al-Qur’an al-’Azhiym (Tafsir Ibnu Katsir),
Cairo: Dar el-Thaybah Li al-Nasyr wa al-Taqziy’, 1999 M/1420 H, vol. I, h. 401.
[8] Muhammad bin Jariyr bin Yaziyd
bin Katsiyr bin Ghaalib al-Aamiliy al-Thabariy, Jaami’
al-Bayaan Fiy Ta’wiyl al-Qur’aan (Tafsir Thabariy), Beirut:
Mu’assasah el-Risaalah, 2000 M/1420 H, cet. I, vol. II, h. 559.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kedudukan Orang Tua Nabi: Kafir atau Muslim?
KAJIAN ILMIYAH TENTANG KEDUA
ORANG TUA NABI (menjawab syubhat Syi’ah 1)
1. Berkata Al Imam An
Nawawi ketika menjelaskan sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam: “Sesungguhnya
ayahku dan ayahmu di neraka.”
“Di dalam hadits ini
terdapat faidah bahwa siapa yang mati di atas kekafiran maka dia di neraka dan
tidak akan bermanfaat baginya kerabat dekat.”
2. Al Imam Al Baihaqi
berkata di dalam kitabnya “Dalailun Nubuwah” (1/192-193) setelah menyebutkan
sejumlah hadits yang menjelaskan bahwa kedua orang tua Nabi di neraka:
“Bagaimana mungkin keduanya tidak mendapatkan sifat yang demikian di akhirat,
sedang mereka menyembah patung-patung sampai mereka mati, dan tidak beragama
dengan apa yang dibawa oleh Nabi Isa alaihi salam, …………”
Dan beliau berkata juga didalam “As Sunanul Kubro” (7/190): “Kedua orang tua
beliau adalah Musyrik.” Kemudian beliau menyebutkan dalil-dalilnya.
Masih banyak lagi pernyataan para ulama yang senada, bahkan Al Imam ‘Ali Al
Qori menukilkan kesepakatan ulama atas perkara tersebut. Lalu bagaimana dengan
sangkaan kaum syi’ah yang menyatakan bahwa kedua orang Nabi shalallahu ‘alaihi
wasallam mukmin?
Memang di sana terdapat hadits-hadits yang menguatkan pendapat mereka itu,
akan tetapi sayang sungguh disayang, bahwa hadits-hadits tersebut sebagiannya
lemah, sebagiannya lagi palsu, baik ditinjau dari rangkaian para periwayat
haditsnya atau ditinjau dari kandungan haditsnya -yang insya Allah kita akan
bahas satu persatu hadits-hadits yang mereka jadikan sandaran tersebut-. Semoga
Allah memberikan kepada kita semua petunjuk untuk selalu berada di atas jalan
yang lurus ini, amin ya Rabbal ‘alamin.
Hujjah
mereka:
1. Bahwa kedua orang tua nabi memang mati dalam keadaan kafir akan tetapi
Allah akan menghidupkannya kembali untuk kemudian beriman kepada beliau
shalallahu ‘alaihi wasallam. Mereka berdalil dengan hadits yang diriwayatkan
Ibnu Syahin dari A’isyah radhiallahu ‘anha:
……. Beliau shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Aku pergi ke kubur ibuku,
kemudian aku memohon kepada Allah untuk menghidupkannya kembali agar dia
beriman kepadaku. Maka Allah Azza Wajalla mengabulkannya.”
Kedudukan
hadits:
Para ulama ahlul hadits sepakat bahwa hadits ini lemah.
Para ulama ahlul hadits sepakat bahwa hadits ini lemah.
1. Berkata Ibnu Katsir: “Sesungguhnya hadits tersebut adalah munkar dan
para perowinya tidak dikenal,” beliau juga berkata di dalam tafsirnya (1/167):
Dan hadits yang diriwayatkan berkaitan dengan hidupnya kedua orang tua Nabi
shalallahu ‘alaihi wasallam tidak terdapat di dalam kitab yang enam dan tidak
pula pada selainnya, dan sanadnya (rangkaian para perowinya) lemah. Wallahu
‘alam.
2. Berkata Al Imam As Suhaili di dalam “Ar Raudhul Anf” (1/194): “(hadits
tersebut diriwayatkan) dengan sanad yang di dalamnya terdapat para perowi yang
tidak dikenal.”
3. berkata Al Hafidz Ibnu Dihyah sebagaimana yang dinukil oleh Ibnu Katsir:
“Sesungguhnya hadits ini palsu, menyelisihi Al Qur’an dan kesepakatan, Allah
berfirman: “Dan tidak pula orang-orang yang mati dalam keadaan kafir.“ -Selesai
ucapan beliau-.
Maksudnya adalah: Bahwa taubat tidak akan diterima dari orang yang telah
mati dalam keadaan kafir. Walhasil, bahwa tidak ada satu haditspun yang sah
yang menjelaskan bahwa kedua orang tua nabi akan dihidupkan kembali.
Adapun mereka berhujjah bahwa Allah Maha mampu untuk menghidupkannya. Maka
tidak ada yang meragukan hal itu, akan tetapi pembicaraan kita adalah sebatas
keabsahan hadits di atas. Agar kita dapat beragama berlandaskan hujjah dari Al
Qur’an dengan penjelasan dari Nabi, dan tidak beragama dengan
kemungkinan-kemungkinan…
Masih banyak syubhat-syubhat kaum syi’ah yang lainnya, insya Allah akan
kita bongkar satu persatu….
Wallahu Ta’ala A’la wa ‘alam bish shawab.
* * *
KAJIAN
ILMIYAH TENTANG KEDUA ORANG TUA NABI (menjawab syubhat Syi’ah 2)
Mungkin bagi sebagian pembaca heran dengan tema yang kami sajikan dalam
kesempatan kali ini, masak sih orang tua nabi mati musyrik?! Tentunya yang
namanya mati musyrik pasti tempatnya di neraka.
Terasa berat kami untuk menjawabnya, akan tetapi inilah kenyataan yang
harus kami jelaskan, agar kaum muslimin paham dan tidak tertipu dengan
syubhat-syubhat yang dilontarkan oleh para pengusung paham sesat. Dengan slogan
“membela ahlu baitin nabi shalallahu ‘alaihi wasallam” segala carapun
dihalalkan, dari menafsirkan ayat seenak perutnya, memahami hadits dengan hawa
nafsu bahkan membuat hadits-hadits palsu atau dengan melontarkan syubhat-syubhat
dan memolesnya dengan kata-kata indah agar para awam tertipu. Bi’sa ma kaanu
yaf’aluun.
Akan tetapi, bagaimana sih sikap islam sebenarnya? Bukankah agama ini telah
sempurna? Nah bagi para pencari kebenaran yang hakiki berikut ini kami hadirkan
beberapa hadits yang berkaitan dengan pembahasan kita kali ini. Selamat membaca
dengan mata dan hati yang terbuka.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda di dalam beberapa haditsnya
yang shahih tentang keadaan kedua orang tua beliau sendiri, di antaranya
adalah:
2. Hadits yang diriwayatkan Al Imam Muslim di dalam “Shahihnya” (203), Abu
Daud “As Sunan” (4718), Ibnu Hibban “As Shahih” (578), Al Baihaqi “Sunanul
Kubro” (13856), Ahmad “Al Musnad” (7/13861), Abu ‘Awanah “Al Musnad” (289), Abu
Ya’la Al Mushili “Al Musnad” (3516), dari Anas bin Malik radhiallahu anhu:
“Bahwasanya seseorang bertanya: “Wahai Rasulullah! Di mana ayahku?” Beliau
menjawab: “Di neraka.” Ketika orang tersebut beranjak pergi, beliau
memanggilnya dan berkata: “Sesungguhnya ayahmu dan ayahku di neraka.”
2. Hadits yang diriwayatkan Al Bazzar di dalam “Al Musnad” (2/1089), At
Thabarani “Al Mu’jamul Kabir” (1/326), Ibnu Qudamah Al Maqdisi “Al Ahadits Al
Mukhtarah” (1005) dari Sa’ad bin Abi Waqqash:
“Bahwasanya seorang badui mendatangi Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam
kemudian bertanya: “Wahai Rasulullah! Di mana ayahku?” Beliau menjawab: “Di
neraka.” Kemudian dia bertanya lagi: “Di mana ayahmu?” Beliau menjawab: “Setiap
kali kamu melewati kuburan orang kafir maka berilah kabar gembira dia dengan
neraka.”
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah di dalam “As Sunan” (1/1573)
dari Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma dengan tambahan: “Wahai Rasulullah!
Dahulu ayahku penyambung silaturahmi dan dia… dan dia…(kemudian dia menyebutkan
beberapa kebaikannnya), di mana dia? (kemudian Rasulullah menjawab dengan
jawaban di atas…..”
Berkata Abu Bakr Al Haitsami di dalam kitabnya “Majmu’ Az Zawa’id” setelah
menyebutkan hadits di atas: “Para perowinya, perowi Shahih Bukhari.”
3. Hadits yang diriwayatkan Muslim di dalam “Shahihnya” “Kitabul Janaiz bab
Isti’dzanun Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam rabbahu ‘azza wajalla Fii Ziyaroti
Qabri Ummihi” (976), Ibnu Hibban “As Shahih” (3169, Ibnu Majah “As Sunan”
(1572) Al Baihaqi “Sunanul Kubro” (6949,6984,13857), Abu Bakr bin Abi Syaibah
“Al Mushannaf” (11807) dan Abu Ya’la “Al Musnad” (6193), dari Abu Hurairah
radhiallahu anhu:
“Aku meminta ijin kepada Rabbku (Allah) untuk memintakan ampunan untuk
ibuku, akan tetapi Dia tidak mengijinkanku, dan aku meminta ijin untuk
menziarahi kuburnya, maka Dia mengijinkanku.”
Di dalam riwayat lain disebutkan: “Bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wasallam menziarahi kuburan ibunya kemudian beliau menangis maka menangislah
para shahabat seluruhnya, beliau berkata:… (kemudian beliau menyebutkan lafadz
diatas) dan melanjutkan: “Hendaklah kalian berziarah kubur, karena ziarah kubur
akan mengingatkan kematian.”
Berkata Syamsul Haq Al ‘Adzim Abadi di dalam kitabnya “‘Aunul Ma’bud”
(9/Bab Fii Ziyarotil Qubur): “(perkataan nabi) “Akan tetapi Dia tidak
mengijinkanku” ini disebabkan dia (Aminah) mati dalam keadaan kafir, maka tidak
boleh memintakan ampun untuk orang kafir (yang sudah mati).”
Pernyataan
para ulama’:
1. Al Imam Al Baihaqi berkata di dalam kitab beliau “Dalailun Nubuwah”
(1/192-193) setelah menyebutkan sejumlah hadits-hadits yang menunjukan bahwa
kedua orang tua Nabi di neraka: “Bagaimana keduanya tidak mendapatkan sifat
yang demikian di akhirat, sedang mereka menyembah patung-patung sampai mereka
mati, dan mereka tidak beragama dengan agamanya Nabi Isa alaihis salam, …………”
Dan di dalam “As Sunanul Kubro” (7/190) beliau berkata: “Kedua orang tua
beliau adalah musyrik,” kemudian beliau menyebutkan dalil-dalilnya.
2. Al Imam Ath Thabari menyebutkan di dalam “Tafsirnya” ketika menjelaskan
firman Allah subhanahu wata’ala:
“Kamu tidak akan ditanya tentang para penghuni jahannam.” (Al Baqarah: 119)
Dan kedua orang tua beliau termasuk di antaranya. (Tafsir Ath Thabari
1/516)
3. Al-Imam An-Nawawi Asy-Syafi’i berkata ketika menjelaskan hadits
“Sesungguhnya ayahku dan ayahmu di neraka”. Hadits ini mengandung faidah bahwa
siapa saja yang mati dalam keadaan kafir, maka ia termasuk dari penduduk
neraka, tidak akan bermanfaat pembelaan orang yang membela, dan barang siapa
yang mati pada masa fathrah (kosongnya masa kenabian) dari para penyembah
berhala, maka dia termasuk dari penghuni neraka, ini bukan dikarenakan belum
sampai kepada mereka dakwah akan tetapi telah sampai kepada mereka da’wah
Ibrahim dan nabi-nabi setelahnya shalatullah wa salamullahu alaihim. (Syarhun
Nawawi:1/79)
4. Berkata Al ‘Adzim Abadi di dalam “Aunul Ma’bud” ketika menjelaskan
hadits, “Allah tidak mengijinkanku untuk memintakan ampunan untuk ibuku” :
“Karena ibunya adalah kafir, dan memintakan ampunan untuk orang kafir (yang
sudah mati) adalah dilarang… dan di dalam hadits ini terdapat faidah bolehnya
ziarah ke kuburan orang musyrikin dan larangan untuk memintakan ampunan untuk
orang kafir (yang sudah mati).”
5. Al Imam Al Qori’ menukilkan ijma’ para ulama’ salaf (yang terdahulu dari
kalangan shahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in) dan khalaf (setelah shahabat,
tabi’in dan tabi’ut tabi’in) bahwa kedua orang tua Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasallam termasuk dari penghuni neraka, dia berkata: “Telah bersepakat
para ulama’ salaf dan khalaf, imam yang empat (Imam Malik, Ahmad, Syafi’i, Abu
Hanifah) dan seluruh mujtahidiin bahwa kedua orang tua Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasallam akan masuk neraka……..
6. Al Imam Al Baidhawi ketika menafsirkan ayat ﻭﻻ ﺗﺴﺄﻝ
berkata: “Al Imam Nafi’ dan Ya’qub membacanya dengan huruf ta’ berharokat
fathah yang artinya: “Janganlah kamu bertanya tentang penghuni neraka”. Ini
adalah larangan terhadap beliau shalallahu ‘alaihi wasallam untuk bertanya
tentang keadaan kedua orang tua beliau.” (Tafsir Al Baidhawi, 1/185)
Masih banyak lagi hujjah-hujjah yang lainnya yang menunjukkan bahwa kedua
orang tua Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam mati kafir dan termasuk penghuni
neraka kekal di dalamnya. Akan tetapi kita cukupkan sampai di sini dulu.
Mungkin ada yang menyatakan: bahwa orang-orang yang mengatakan kedua orang
tua Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam di dalam neraka adalah orang-orang yang
tidak memiliki adab kepada beliau shalallahu ‘alaihi wasallam !!! Untuk syubhat
yang satu ini, insya Allah akan kita kupas pada pembahasan yang akan datang.
Wallahu a’lam.
Penutup
Di antara akhlak seorang mukmin dan mukminah adalah menerima terhadap
ketentuan Allah dan Rasul-Nya dengan sepenuhnya. Allah berfirman:
“Dan tidaklah pantas bagi seorang mukmin dan mukminah apabila Allah dan
Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan untuk memilih yang lain dari urusan
mereka. Barangsiapa yang menentang Allah dan Rasul-Nya maka sungguh dia telah
sesat dengan kesesatan yang nyata” (QS. Al Ahdzab: 36)
Dan di antara yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya adalah apa
yang telah kami sebutkan di atas berupa hadits-hadits shahih dengan penjelasan
para ulama’ bahwa kedua orang tua beliau mati musyrik. Inilah adab seorang
mukmin.
Wallahu Ta’ala A’la wa A’lam bish shawab.
[Di nukil dari kitab Adillah Mu’taqad Abi Hanifah Al A’zham fii Abawai Ar
Rasul ‘Alaihis Shalatu Wasallam, dengan penambahan yang tidak merubah makna]
Sumber:
1. http://haulasyiah.wordpress.com/2007/07/08/kedua-orang-tua-nabi-mati-musyrik-menjawab-syubuhat-syiah-1/
2. http://haulasyiah.wordpress.com/2007/07/12/kedua-orang-tua-nabi-mati-musyrik-menjawab-syubuhat-syiah-2/
1. http://haulasyiah.wordpress.com/2007/07/08/kedua-orang-tua-nabi-mati-musyrik-menjawab-syubuhat-syiah-1/
2. http://haulasyiah.wordpress.com/2007/07/12/kedua-orang-tua-nabi-mati-musyrik-menjawab-syubuhat-syiah-2/
Sanggahan terhadap
Pendapat yang Mengatakan Orangtua Nabi Saw Musyrik dan Berada di Neraka
Jumat, 06 September 20130 komentar
Dalil Kaum Yang Memvonis Orangtua Nabi
Musyrik ada 2:
1. Hadits Nabi Saw riwayat Imam Muslim:
حَدَّثَنَا
أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، حَدَّثَنَا عَفَّانُ، حَدَّثَنَا حَمَّادُ
بْنُ سَلَمَةَ، عَنْ ثَابِتٍ، عَنْ أَنَسٍ: أَنَّ رَجُلًا قَالَ: يَا
رَسُولَ اللَّهِ أَيْنَ أَبِي؟ قَالَ فِي النَّارِ، فَلَمَّا قَفَّى دَعَاهُ،
فَقَالَ: إِنَّ أَبِي وَأَبَاكَ فِي النَّارِ
Artinya: Menyampaikan kepada kami
Abu Bakar bin Abi Syaibah, menyampaikan kepada kami ‘Affan, menyampaikan kepada
kami Hammad bin Salamah, dari Tsabit, dari Anas: bahwasanya seorang
laki-laki berkata: Ya Rasulullah, dimanakah ayahku? Nabi Saw bersabda: Di dalam
neraka. Ketika orang itu pergi, Nabi memanggilnya kembali dan bersabda:
Sesungguhnya ayahku dan ayahmu berada di dalam neraka.
2. Hadits Nabi Saw riwayat Imam Muslim:
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ
وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ قَالَا حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدٍ عَنْ يَزِيدَ
بْنِ كَيْسَانَ عَنْ أَبِي حَازِمٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ زَارَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبْرَ أُمِّهِ فَبَكَى وَأَبْكَى مَنْ
حَوْلَهُ فَقَالَ اسْتَأْذَنْتُ رَبِّي فِي أَنْ أَسْتَغْفِرَ لَهَا فَلَمْ
يُؤْذَنْ لِي وَاسْتَأْذَنْتُهُ فِي أَنْ أَزُورَ قَبْرَهَا فَأُذِنَ لِي
فَزُورُوا الْقُبُورَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْمَوْتَ
Artinya: Telah menceritakan kepada
kami Abu Bakar bin Abu Syaibah dan Zuhair bin Harb keduanya berkata, telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Ubaid dari Yazid bin Kaisan dari Abu
Hazim dari Abu Hurairah ia berkata; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
menziarahi kubur ibunya, lalu beliau menangis sehingga orang yang berada di
sekelilingnya pun ikut menangis. Kemudian beliau bersabda: "Saya memohon
izin kepada Rabb-ku untuk memintakan ampunan baginya, namun tidak diperkenankan
oleh-Nya, dan saya meminta izin untuk menziarahi kuburnya lalu diperkenankan
oleh-Nya. Karena itu, berziarahlah kubur karena ia akan mengingatkan kalian
akan kematian."
A. Jawaban untuk dalil pertama:
a. Kritik Sanad
Dalam sanad HR Imam Muslim (1) di atas terdapat rawi yang
diperbincangkan para ulama keadaannya, yakni Hammad bin Salamah.
Mengenai Hammad bin Salamah ini, para ulama terbagi
menjadi dua kelompok dalam hal ini :
1. Para ulama ahli hadits yang men-tsiqah-kannya secara
muthlaq, di antaranya: Ibnu Mahdi, Ibnu Mu’in dan Al-Ajli dan Ibnu Hibban.
2. Para ulama ahli hadits yang membuat perinciannya,
antara lain: Yahya bin Sa’id al-Qaththan, Ali bin Al-Madini, Ahmad bin Hanbal,
An-Nasai, Adz-Dzhabai, Ya’qub bin Syaibah, Abu Hathim dan yang lainnya,
termasuk Imam Muslim sendiri.
Imam Muslim berkata mengenai Hammad :
وحماد يعدّ عندهم إذا حدّث عن غير ثابت؛ كحديثه
عن قتادة، وأيوب، ويونس، وداود بن أبي هند، والجريري، ويحيى بن سعيد، وعمرو بن
دينار، وأشباههم فإنه يخطىء في حديثهم كثيراً
“Dan Hammad dipermasalahkan menurut para
ulama besar ahli hadits jika meriwayatkannya dari selain Tsabit; seperti
periwayatannya dari Qatadah, Ayyub, Yunus, Dawud bin Abu Hindi, Aljariri, Yahya
bin Sa’id, Amr bin Dinar dan semisal mereka. Karena Hammad melakukan kesalahan
yang banyak dalam hadits periwayatan mereka.” (At-Tamyiz: 218)
Permasalahan: Para ulama ahli hadits
sepakat, bahwa ketika Hammad menginjak usia lanjut, hafalannya mengalami
gangguan. Bahkan dicurigai anak angkatnya melakukan penyisipan teks pada
hadits-hadits Hammad.
Imam al-Baihaqi berkata:
حماد ساء حفظه في آخر عمره، فالحفاظ لا يحتجون
بما يخالف فيه
“Hammad buruk hafalannya di akhir
usianya, maka para ulama hadits tidak menjadikan hujjah dengan hadits Hammad
yang terdapat kontradiksi di dalamnya.” (Syarh al-‘Ilal: 2/783)
Imam Abu Hathim berkata:
حماد ساء حفظه فى آخر عمره
“Hammad buruk hafalannya di usia
lanjutnya.” (Al-Jarh wa At-Ta’dil: 9/66)
Imam Az-Zaila’i berkata:
لما طعن فى السن ساء حفظه. فالاحتياط أن لا يُحتج
به فيما يخالف الثقات
“Ketika Hammad berusia lanjut, hafalannya
menjadi buruk, maka untuk lebih hati-hatinya hendaknya tidak menjadikannya
sebagai hujjah pada hadits-haditsnya yang menyelisihi periwayat-periwayat
tsiqah lainnya.” (Nashbu Ar-Rayah : 1/285)
Perbandingan dengan Riwayat Ma’mar
Jalur sanad Ma’mar dari Tsabit dari Anas,
yang bunyinya:
اِنَّ اَعْرَابِيًّا قَالَ لِرَسُوْلِ الله،
اَيْنَ اَبِي؟ قَالَ فِي النَّارِ. قَالَ فَأَيْنَ اَبُوْكَ؟ قَالَ حَيْثُمَا
مَرَرْتَ بِقَبْرِكَافِرٍ، فَبَشِّّرْهُ بِالنَّارِ
Artinya: Sesungguhnya seorang A’rabi
berkata kepada Rasulullah Saw: Di mana ayahku?Rasulullah
bersabda: Dia di neraka. A’rabi pun bertanya kembali: Di mana
ayahmu? Rasulullah pun menjawab: Sekiranya engkau melewati kuburan
orang kafir, maka berilah kabar gembira (padanya) dengan neraka.
Dalam sanad Ma’mar ini sama sekali tidak
disebutkan tentang ayah Nabi Saw. Di sisi lain sanad Ma’mar ini lebih kuat
(atsbat) daripada sanad Hammad. Para ahli hadits mencatat bahwa
Hammad bin Salamah ini daya ingatnya dipertanyakan (diragukan) dan sebagian
riwayatnya telah ditolak. Ini terbukti Imam Bukhari sama sekali tak mengambil
apa pun darinya, demikian pula Imam Muslim dalam Ushul(hadits-hadist yang
berhubungan dengan prinsip-prinsip syariat), kecuali melalui Tsabit. Dilihat
dari segi apa pun, Ma’mar tidak bercacat. Hal itu lebih dikuatkan lagi dengan
sikap Imam Bukhari dan Imam Muslim yang sama-sama mengambil hadits darinya.
Dengan demikian, riwayatnya jelas lebih dapat dipercaya.
b. Hadits Imam Muslim dari jalur Hammad
bin Salamah adalah Hadits Ahad
Para ulama Ahlussunnah wal Jama’ah
mengatakan bahwa hadits Muslim dari jalur Hammad tersebut merupakan hadits
Ahad yang matruk ad-zhahir. Hadits Ahad jika bertentangan
dengan nash Al-Quran, atau hadits mutawatir, atau kaidah-kaidah syariat yang
telah disepakati atau ijma’ yang kuat, maka zhahir hadits tersebut ditinggalkan
dan tidak boleh dibuat hujjah dalam hal aqidah.
Imam Nawawi berkata:
ومتى خالف خبر الاحاد نص القران او اجماعا وجب
ترك ظاهره
“Kapan saja hadits Ahad bertentangan
dengan nash ayat Quran atau ijma’, maka wajib ditinggalkan zhahirnya.” (Syarh Al-Muhadzdzab, juz
:4 hal : 342)
Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Atsqalani berkata:
قال الكرماني : ليعلم انما هو اي - خبر الاحاد –
في العمليات لا في الاعتقاد
“Imam al-Karamani berkata, “Ketahuilah
sesungguhnya hadits Ahad hanya boleh dibuat hujjah dalam hal amaliah bukan
dalam hal aqidah.” (Fath Al-Bari juz : 13 hal : 231)
Ibnu Taimiyyah berkata:
ان هذا من خبر الاحاد فكيف يثبت به اصل الدين
اللذي لا يصح لايمان الا به
“Sesungguhnya ini termasuk hadits ahad,
bagaimana (mungkin) pondasi agama yang merupakan standar keabsahan iman, bisa
menjadi tsubut/tetap dengannya.” (Minhaj As-Sunnah, juz 2 hal : 133)
Sementara hadits dengan kata-kata yang
serupa dengan riwayat Ma’mar muncul melalui jalur sanad yang lain.
Al-Bazzar, Thabrani, dan Baihaqi
mengutipnya dari Ibrahim bin Sa’ad dari Al-Zuhri dari Amir bin Sa’ad dari Sa’ad
bin Abi Waqqash. Sanad hadits ini shahih berdasarkan syarat Imam
Bukhari dan Muslim.
Imam Ibnu Majah mengutip hal serupa
melalui sanad Ibrahim bin Sa’ad dari Al-Zuhri dari Salim dari
ayahnya.
Imam Al-Hakim dalam
kitab Al-Mustadrak dengan sanad yang shahih meriwayatkan
hadits berikut:
Dari Luqait bin Amir, bahwa ia pergi ke
Madinah bersama rombongan yang di dalamnya terdapat Nuhaik bin ‘Ashim bin Malik
bin Al-Muntafiq untuk menemui Nabi Saw. Nuhaik bertanya: Adakah kebaikan di
antara sebagian kami yang hidup di zaman Jahiliyah? Nabi Saw bersabda: Ayahmu,
Al-Muntafiq, berada di dalam neraka. Nuhaik berkata: Aku merasakan kulit wajah
dan dagingku benar-benar terpisah ketika aku mendengar beliau berkata tentang ayahku
di hadapan banyak orang. Aku ingin berkata: Bagaimana dengan ayahmu sendiri, Ya
Rasul?, tetapi aku merasa lebih pantas untuk mengatakan yang lain: Bagaimana
tentang keluargamu, Ya Rasul? Nabi Saw menjawab: Jika engkau melihat makam
orang kafir, katakanlah: Muhammad mengutusku untuk mengatakan kepadamu tentang
api neraka.
Nah, ini semakin memperjelas bahwa kalimat terakhir pada
hadits melalui jalur Hammad bin Salamah itu diragukan, karena banyak hadits
lainnya dengan predikat shahih dengan nada yang sama, tidak
mencantumkan seperti apa yang ada pada jalur Hammad. Dengan
demikian, zhahir hadits tersebut mesti ditinggalkan dan tidak boleh dibuat
hujjah atau ditakwil sehingga memiliki keselarasan dengan dalil-dalil yang
lebih kuat.
c. Kritik Matan
Dari segi matan, maka ungkapan إِنَّ أَبِي
وَأَبَاكَ فِي النَّارِkontradiksi dengan dalil-dalil yang lebih kuat
dan mutawatir. Selain bertentangan dengan hadits-hadits yang telah disebutkan
sebelumnya (riwayat Ma’mar, Thabrani, al-Bazzar, Baihaqi, Ibnu Majah dan
al-Hakim), hadits tersebut juga bertentangan dengan ayat-ayat al-Qur’an dan
hadits-hadits Nabi yang mengisyaratkan kesucian nasab Rasulullah SAW yang insya
Allah akan dipaparkan.
d. Komentar Imam Nawawi
Saat mensyarah hadits tersebut, Imam
Nawawi berkata:
وَقَوْله صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : (
إِنَّ أَبِي وَأَبَاك فِي النَّار ) هُوَ مِنْ حُسْن الْعِشْرَة لِلتَّسْلِيَةِ
بِالِاشْتِرَاكِ فِي الْمُصِيبَة
“Dan Nabi Saw: (Sesungguhnya bapakku
dan bapakmu di neraka) ia daripada bentuk luwesnya pergaulan (Rasulullah)
untuk menghibur (si penanya) dengan mengatakan sama-sama tertimpa musibah.”
Keterangan:
Lalu kenapa Rasul juga mengatakan bahwa
bapaknya berada di neraka?
Itulah wujud kebaikan hati Rasulullah
SAW. Beliau tidak ingin si penanya sedih dan kecewa dengan
jawabannya. Terlebih si penanya adalah orang pelosok, lemah iman, susah paham
dan gampang kembali pada kemurtadan. Dikhawatirkan jika tidak diberitahu dengan
kalimat yang demikian, ia akan keluar dari Islam. Karena terlalu sedih dan
kecewa dengan agama barunya. Maka Rasul menyamarkan jawabannya yang kedua
dengan mengatakan bapaknya juga masuk dalam neraka.
Inilah yang dimaksud
dengan tawriyah (menampakkan kalam namun tidak sesuai dengan apa yang
ada di hati). Agar jawaban menjadi kabur antara bapak kandung dengan bapak
dalam artian paman. Sebab orang Arab menyebut paman (‘ammu) juga
dengan bapak (abu). Itulah
yang dimaksud Imam Nawawi dalam kalamnya:
هُوَ مِنْ حُسْن الْعِشْرَة لِلتَّسْلِيَةِ
بِالِاشْتِرَاكِ فِي الْمُصِيبَة
“…ia daripada bentuk luwesnya pergaulan
(Rasulullah) untuk menghibur (si penanya) dengan mengatakan sama-sama tertimpa
musibah.”
e. Hadits Imam Muslim dari jalur
Hammad bin Salamah tersebut mengandung Ihtimal
Seandainya kata-kata “Ayahku dan
ayahmu di dalam neraka” dianggap shahih, tapi tetaplah ia
mengandung ihtimal, yakni bahwa lafadz Abi (ayahku) di situ bermakna
‘Amm (paman) dengan qarinah-qarinah yang ada. Karena sudah maklum dan
terkenal dalam bahasa Arab penamaan paman dengan ayah. Yaitu ayah yang
mengasuhnya.
Maka ayah yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah ayah
asuh Rasulullah Saw yang tidak lain adalah pamannya, yaitu Abu Thalib. Sebab
Abu Thalib juga hidup saat Rasul Saw diangkat menjadi Rasul dan beliau menolak
permintaan Rasul Saw untuk bersyahadat.
Bahkan hal ini sudah masyhur di zaman Nabi Saw bahwa
paman beliau Abu Thalib dipanggil Ab (ayah) Nabi Saw oleh orang-orang. Disebutkan dalam beberapa sirah Nabawiyyah:
كانوا يقولون له قل لابنك يرجع عن شتم آلهتنا
وقال لهم أبو طالب مرة لما قالوا له أعطنا ابنك نقتله وخذ هذا الولد مكانه أعطيكم
ابني تقتلونه وآخذ ابنكم أكفله لكم
“Orang-orang kafir berkata kepada Abu
Thalib, “Katakan pada anakmu agar tidak lagi mencaci tuhan-tuhan kami.” Dan
suatu hari Abu Thalib berkata pada mereka pada apa yang mereka katakan padanya,
“Berikan anakmu pada kami agar kami membunuhnya dan ambillah anak ini sebagai
gantinya, maka (akankah) aku berikan anakku untuk kalian bunuh dan aku
mengambil anak kalian untuk kupelihara.”
Bahkan sebagian mufassirin berkata dalam
ayat:
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ لِأَبِيهِ آزَرَ
أَتَتَّخِذُ أَصْنَامًا آلِهَةً إِنِّي أَرَاكَ وَقَوْمَكَ فِي ضَلَالٍ مُبِينٍ
“Dan (Ingatlah) di waktu Ibrahim berkata
kepada bapaknya, Azar, “Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai
tuhan-tuhan? Sesungguhnya Aku melihat kamu dan kaummu dalam kesesatan yang
nyata.” (QS. Al-An’am: 74)
Bahwa yang dmaksud abihi (ayahnya) Nabi
Ibrahim yang bernama Aazar adalah pamannya, bukan ayahnya.
Imam Mujahid berkata: ليس
آزر أبا إبراهيم
“Azar bukanlah ayah Nabi Ibrahim
As.” (Atsar ini telah ditakhrij oleh Ibnu Abi Syaibah, Ibnu Al-Mundzir dan
Ibnu Abi Hathim dengan sebagian jalan yang shahih)
Ibnu Al-Mundzir telah mentakhrij dengan
sanad yang shahih dari Ibnu Juraij tentang firman Allah Swt :
(وإذ
قال إبراهيم لأبيه آزر)
Maka beliau berkomentar:
ليس آزر بابيه إنما هو إبراهيم بن تيرح أو تارح
بن شاروخ بن ناحور بن فالخ
“Azar bukanlah ayah Nabi Ibrahim,
sesungguhnya dia adalah Ibrahim bin Tirah atau Tarih bin Syarukh bin Nakhur bin
Falikh.”
Ibnu Abi Hatim mentakhrij dengan sanad
yang shahih dari As-Sadi bahwa beliau ditanya, “(Apakah) ayah Nabi
Ibrahim itu Azar?” Maka beliau menjawab, “Bukan tapi Tarih.”
Dari Muhammad bin Ka’ab Al-Quradzhi
bahwasanya beliau berkata, “Terkadang paman dari jalur ayah atau jalur ibu
disebut ayah.”
Imam Fakhru Ar-Razi berkata :
إن آزر لم يكن والد إبراهيم بل كان عمه
“Sesungguhnya Azar bukanlah ayah Nabi
Ibrahim, akan tetapi pamannya.”
Bukti lainnya:
Ibnu Abi Hatim mentakhrij hadits dengan
sanad yang shahih dari Ibnu Abbas ra beliau berkata:
قال ما زال إبراهيم يستغفر لأبيه حتى مات فلما
مات تبين له أنه عدو لله فلم يستغفر له
“Nabi Ibrahim senantiasa beristighfar,
memohon ampun untuk ayahnya hingga wafat, maka ketika ayahnya wafat, nyatalah
baginya bahwa ayahnya adalah musuh Allah, sejak itu nabi Ibrahim tidak
beristighfar untuknya lagi.”
Ibnu Al-Mundzir dalam kitab tafsirnya
membawakan sebuah hadits dengan sanad yang shahih bahwa:
“Ketika orang-orang kafir mengumpulkan
kayu bakar dan melemparkan Nabi Ibrahim ke dalamnya dengan api yang membara,
maka berucaplah Nabi Ibrahim, “Cukuplah Allah sebagai penolongku.” Dan Allah
berfirman, “Wahai api jadilah sejuk dan keselamatan bagi Ibrahim.” Maka
berkatalah paman Nabi Ibrahim, “Karenaku Ibrahim tidak terbakar.” Maka ketika
itu Allah mengirim secercik api yang jatuh ke telapak kakinya dan membakarnya
hingga tewas.
Keterangan:
Nabi Ibrahim dilarang Allah
mengistighfari ayahnya. Kemudian beliau diuji Allah dengan peristiwa
pembakarannya. Dan saat itu pula pamannya ikut terbakar.
Namun setelah perisiwa itu berlalu, dan
Nabi Ibrahim berhijrah ke beberapa daerah hingga beliau meninggalkan istri dan
anaknya di Makkah, beliau memohonkan ampun untuk orangtuanya, sebagaimana doa
yang diabadikan dalam al-Quran surat Ibrahim: 41:
ربنا اغفر لي ولوالدي وللمؤمنين يوم يقوم الحساب
“Wahai Tuhan kami, ampunilah aku dan
kedua orangtuaku dan bagi orang-orang mukmin di hari berdirinya hisab.”
Di atas cukup jelas, bahwa beliau
selalu mengistighfari ayahnya hingga beliau tahu ayahnya tersebut adalah musuh
Allah dengan terbakarnya di hari ujian Nabi Ibrahim tersebut dengan pembakaran.
Dan beliau pun berhenti mengistighfarinya.
Namun setelah itu kenapa beliau masih
tetap mengistighfarinya sebagaimana ayat di atas ?
Jawabannya tidak ada lain bahwa yang
dimaksud ayah dalam hadits di atas adalah paman Nabi Ibrahim dan telah
dikuatkan dengan hadits shahih yang telah dibawakan Imam Ibnu
Al-Mundziri dalam tafsirnya di atas.
Dan terbukti beliau masih mengistighfari
ayah kandungnya Tarih setelah kejadian pembakaran tersebut.
Maka dengan qarinah-qarinah ini semakin
jelas bahwa yang dimaksud ayahku dalam hadits Muslim tersebut adalah ayah asuh
Nabi Muhammad Saw yaitu paman beliau Saw Abu Thalib bukan ayah kandunganya
Abdullah.
B. Jawaban untuk dalil kedua
Hadits kedua yang menyatakan bahwa Nabi
Saw tidak diizinkan untuk berdoa di makam ibunya, (meski hadits itu shahih),
haruslah dijelaskan dengan benar. Kaidah Ushul menyatakan bahwa jika
dalil yang kuat bertentangan dengan hadits shahih, maka hadits tersebut harus
ditafsirkan sedemikian rupa sehingga menghilangkan pertentangan itu.
Ada banyak dalil yang menjelaskan
bahwa Nabi Saw tidaklah lahir dari rahim seorang perempuan yang layak masuk
neraka:
Ali bin Abu Thalib ra meriwayatkan bahwa
Nabi Saw bersabda: Aku lahir dari pernikahan dan tak pernah lahir dari
perzinaan, dari Adam hingga ayah dan ibuku melahirkan aku. Perzinaan dan
menyentuh diriku sekalipun pada zaman Jahiliyah. (HR Baihaqi, Abu Nu’aim,
Ibnu Katsir, Ibnu Sa’ad, Thabrani, Al-Haitsami, Al-Hakim, dan lain-lain).
Ibnu Abbas ra meriwayatkan bahwa Nabi Saw
bersabda: Kakek buyutku dan nenek buyutku tak pernah berkumpul kecuali dalam
perkawinan yang sah. Allah senantiasa memeliharaku dari tulang sulbi yang baik
ke alam rahim yang suci, dan garis itu tak pernah bercabang kecuali aku berada
di dalam dua cabang yang terbaik. (Lihat: Tarikh (1:349) karya Ibnu
Asyakir, Ad-Durul Mantsur (3: 294 dan 5::98) karya As-Suyuthi, dan Al-Wafa’
(Bagian Pertama, Bab 10) karya Ibnul Jauzi).
Hadits Abu Hurairah ra:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ بُعِثْتُ مِنْ
خَيْرِ قُرُونِ بَنِي آدَمَ قَرْنًا فَقَرْنًا حَتَّى كُنْتُ مِنْ الْقَرْنِ
الَّذِي كُنْتُ فِيهِ
“Aku diutus dari sebaik-baik anak Adam,
keturunan demi keturunan, hingga aku berada di dalam keturunan yang kemudian
melahirkan aku.” (HR Imam Bukhari).
Di dalam Al-Qur’an Allah berfirman:
وَتَقَلُّبك فِي السَّاجِدِينَ
Artinya: dan bolak balikmu diantara hamba yg
bersujud. (QS Asyu’ara: 219)
Imam Ibn Abbas ra berpendapat bahwa makna ayat di atas
adalah turun temurunnya engkau di tubuh ayah ayahmu yang kesemuanya hamba yang
bersujud. Taqallubaka ditafsirkan sebagai terbolak balikmu maksudnya
di antara ayah ke ibu, ke putra, lalu ke istrinya, lalu ke putra, lalu ke
istrinya, dan kesemuanya mereka adalah hamba hamba Nya yang bersujud, yaitu
bukan musyrikin.
Di dalam Al-Qur’an Allah berfirman:
يَا أَيّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إنَّمَا
الْمُشْرِكُونَ نَجَس
Artinya: Hai orang-orang yang
beriman, sesungguhnya orang-orang musyrik itu adalah najis… (QS.
At-Taubah: 28).
Pada ayat tersebut Allah telah
menjelaskan bahwa syirik seperti yang telah dilakukan oleh
orang-orang kafir adalah najis (najasa). Namun, semua hadist yang telah
ditunjukkan sebelumnya menegaskan kesucian tulang sulbi dan rahim yang
mengandung jiwa Nabi sejak penciptaan hingga lahir. Oleh karena itu, kedua
orangtua Nabi tidaklah mungkin orang kafir.
Lalu, bagaimana seharusnya hadist shahih
tersebut dipahami?
Keterangan Imam Suyuthi dalam
kitab At-Ta’zhim wal Minnah fi anna Abaway Rasulillah fil Jannahhal 29
cet. Dar Jawami’ Kalim Kairo:
“Adapun hadits tersebut maka tidak mesti
diambil daripadanya hukum kafir berdasarkan dalil bahwasanya Nabi SAW juga
ketika di awal-awal Islam dilarang untuk menyolatkan dan mengistighfarkan orang
mukmin yang ada hutangnya tapi belum dilunasi, karena istighfar Nabi SAW akan
dijawab Allah dengan segera, maka siapa yang diistighfarkan Rasul dibelakang
doanya akan sampailah kepada derajat yang mulia di surga, sementara orang yang
berhutang itu tertahan pada maqomnya sampai dilunaskan hutangnya sebagaimana
yang ada dalam hadits (jiwa setiap mukmin terkatung dengan hutangnya sampai
hutangnya itu dilunaskan). Maka seperti itu pulalah ibu Nabi alaiha salam
bersamaan dengan posisinya sebagi seorang wanita yang tak pernah menyembah
berhala, maka beliaupun tertahan dari surga di dalam barzakh karena ada
sesuatu yang lain di luar kufur.” (At-Ta’zhim wal
Minnah Suyuthi hal 29 cet. Dar Jawami’ Kalim Kairo)
Keterangan Al-Allamah al-Arif Billah
Syaikh Zaki Ibrahim pimpinan Tariqat Syadziliyah Asyirah Muhammadiyah di Mesir
dalam kitab ‘Ismatun Nabi, hal.96 Cet. Rasa’il Asyirah:
“Bahwasanya istighfar adalah bagian dari
penghapusan dosa, maka seseorang tidak akan berdosa selama dakwah Islam belum
sampai kepadanya. Maka tidak perlulah Rasulullah SAW memintakan ampun untuk
orang yang belum terhitung telah melakukan dosa dan Allah pun juga tak akan
mengiqobnya sebagai dosa. Maka memintakan ampun kepada ibunya, adalah suatu hal
yang sia-sia, dan bukanlah daripada sifat para Nabi melakukan suatu hal yang
sia-sia.
“Sesungguhnya ahlul bait Nabi tak akan
masuk ke dalam neraka dan ibunya termasuk ahlul bait Nabi sebagaimana yang
dikeluarkan oleh Ibnu Sa’ad dan lainnya dari Rasulullah SAW: “Aku memohon
kepada Allah supaya tidak ada satupun ahlul baitku yang masuk ke dalam neraka,
maka Allah mengabulkan permhonanku.” Dan begitu pula yang diriwayatkan oleh
Imam Ibnu Jarir Ath-Thobari dari Ibnu Abbas tentang penafsiran ayat: wa la
saufa yu’tika Rabbuka fa tardha:
في قوله : { ولسوف يعطيك ربك فترضى } قال : من
رضا محمد صلى الله عليه وسلم ألا يدخل أحد من أهل بيته النار
“Dan dari keridhaan Muhammad, tidak ada
satu pun dari ahlul bait beliau yang masuk ke dalam neraka.”
Maka memintakan ampun kepada ibunya dalam
kondisi yang seperti ini juga merupakan suatu hal yang sia-sia dan percuma, dan
Rasulullah SAW disucikan Allah dari hal yang percuma dan sia-sia.
Keterangan Syekh Ibrahim al-Baijuri dalam
kitab Kifayatul 'Awam hal. 13, cetakan Dar Ihya al-Kutubil 'Arobiyah:
Jika anda sudah tahu bahwa Ahlul Fathroh
(masa kevakuman atau kekosongan Nabi dan Rasul) itu termasuk orang-orang yang
selamat (dari neraka) berdasarkan pendapat ulama yang kuat, maka tahulah anda
bahwa bahwa kedua orangtua Nabi Muhammad SAW adalah orang-orang yang selamat
juga (dari neraka). Karena, mereka berdua termasuk Ahlul Fathroh (termasuk juga
kakek, buyut Nabi dan ke atasnya). Bahkan mereka berdua termasuk Ahlul Islam,
karena Allah telah menghidupkan mereka berdua untuk Nabi Muhammad SAW sebagai
pengagungan kepadanya. Kemudian berimanlah kedua orangtua Nabi itu kepadanya
sesudah kebangkitannya menjadi rasul.
Hal ini berdasarkan sebuah hadits yang
diriwayatkan dari Urwah dari Aisyah bahwa Rasulullah SAW memohon kepada
Tuhan-Nya agar Dia menghidupkan kedua orangtuanya. Maka Allah pun menghidupkan
kedua orangtua Nabi itu. Selanjutnya, keduanya beriman dengan Nabi Muhammad
SAW. Kemudian, Allah mematikan keduanya kembali.
Berkata Suhaili: “Dan Allah Maha Kuasa
atas segala sesuatu, bisa saja Allah mengkhususkan Nabi-Nya dengan apa-apa yang
Dia kehendaki dari sebab karunia-Nya dan memberi nikmat kepada Nabi-Nya dengan
apa-apa yang dia kehendaki dari sebab kemuliaan-Nya.”
Tidak Ada Dalil dan Bukti yang
Menunjukkan Bahwa Orangtua Nabi Musyrik
Kemusyrikan kedua orangtua Nabi Saw
bukanlah kenyataan yang telah dapat dipastikan. Justru yang menjadi kemungkinan
besar adalah bahwa mereka menganut Agama Suci (Hanifiyyah) leluhur mereka,
Ibrahim As. Sekelompok orang Arab pun melakukan hal itu, misalnya, ‘Amr bin
Nufail, Waraqah bin Naufal dan sebagainya.
Hal lain yang tak bisa dibantah adalah
kedua orangtua Nabi Saw wafat sebelum ia diangkat menjadi Nabi. Artinya,
keduanya wafat pada masa fatrah, yakni masa sebelum kedatangan rasul.
Orang-orang yang hidup pada masa itu tidak sampai kepada mereka dakwah. Para
imam mazhab Asy’ari dalam kalam, ushul,dan fiqh Syafi’i
bersepakat menyatakan bahwa orang yang meninggal sebelum menerima dakwah, dia
akan masuk surga.
Hal ini didasarkan pada firman Allah:
وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَث
رَسُولًا
Artinya: Dan Kami tidak akan
mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul (QS. Al-Isra: 15).
Nabi Saw bersabda: “Barangsiapa yang
wafat dalam (masa) fatrah akan berkata: Ya Tuhanku, tak ada kitab suci atau
rasul yang sampai kepadaku. Dan dia membaca ayat:
وَلَوْلاَ أَنْ تُصِيْبَهُمْ مُصِيبَةٌ بِمَا
قَدَّمَتْ أَيْدِيهِمْ فَيَقُولُوا رَبَّنَا لَوْلا أَرْسَلْتَ إِلَيْنَا رَسُولا
فَنَتَّبِعَ آيَاتِكَ وَنَكُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
Artinya: Dan agar mereka tidak
mengatakan ketika azab menimpa mereka disebabkan apa yang mereka kerjakan:
"Ya Tuhan kami, mengapa Engkau tidak mengutus seorang Rasul kepada kami,
lalu kami mengikuti ayat-ayat Engkau dan jadilah kami termasuk orang-orang
mukmin." (QS. Al-Qashash: 47).(HR Bukhari dan Muslim).
Berdasarkan masa wafat kedua orangtua
Nabi ini pun kita bisa simpulkan bahwa mereka tidak layak dituduh sebagai orang
musyrik yang masuk neraka dan kekal di dalamnya.
Selain itu, nama ayah Nabi, Abdullah
(hamba Allah) dan nama ibu beliau, Aminah (wanita yang amanah) telah
mengisyaratkan bahwa mereka adalah orang-orang yang menghambakan diri kepada
Allah Ta’ala.
Penutup
Jumhur ulama bersepakat untuk menyatakan
bahwa kedua orangtua Nabi Saw berada di dalam surga, dan bukan masuk ke dalam
neraka sebagaimana yang getol didengungkan oleh kaum Salafi/Wahabi.
Cukuplah keterangan berikut ini sebagai
peringatan bagi kita:
Telah berkata sebagian ulama: "Telah
ditanya Qodhi Abu Bakar bin 'Arobi, salah seorang ulama madzhab Maliki mengenai
seorang laki-laki yang berkata bahwa bapak Nabi berada di dalam neraka. Maka,
beliau menjawab bahwa orang itu terlaknat, karena Allah ta'ala berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ يُؤْذُونَ اللهَ وَرَسُولَهُ
لَعَنَهُمُ اللهُ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ وَأَعَدَّ لَهُمْ عَذَابًا مُهِينًا
Artinya:
"Sesungguhnya orang-orang yang
menyakiti Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah akan melaknat mereka di dunia dan
akherat dan menyiapkan bagi mereka itu adzab yang menghinakan". (QS.
Al-Ahzab: 57).
Dan tidak ada perbuatan yang lebih besar
dibandingkan dengan perkataan bahwa bapak Nabi berada di dalam neraka. Betapa
tidak! Sedangkan Ibnu Munzir dan yang lainnya telah meriwayatkan dari Abu
Hurairah bahwa ketika kepada beliau dikatakan: “Engkau anak dari kayu bakar api
neraka”, maka berdirilah Rasulullah SAW dalam keadaan marah, kemudian berkata:
ما بال أ قوام يؤذونني فى قرابتي و من أذاني فقد
أذى الله
Artinya:
"Bagaimana keadaan kaum yang
menyakiti aku dalam hal kerabatku, dan barangsiapa menyakiti aku maka
sesungguhnya dia telah menyakiti Allah".
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[ tampak kebodohan ali jum’ah,
argumen yang paling bodoh yg pernah ana baca ]
Benarkah Kedua Orang Tua Nabi SAW di Neraka?
Benarkah Kedua Orang
Tua Nabi SAW di Neraka?
Prof. Dr. Shaikh Ali Gomah Mantan Mufti Republik Arab
Mesir
Pertanyaan: Ada yang
mengatakan bahwa kedua orang tua Nabi saw termasuk orang-orang musyrik, dan
keduanya masuk neraka. Apakah benar demikian?
Jawaban: Pada kesempatan lalu kita telah jelaskan bahwa “cinta Nabi” adalah
salah satu jalan terbaik untuk mendekatkan diri kepada Allah. Kita juga telah
membahas tentang cinta Nabi ini. Untuk mengetahui keutamaan cinta Nabi,
cukuplah hadis Nabi berikut sebagai dalil, “Demi Dzat yang jiwaku dalam
gengaman-Nya, seorang di antara kalian belum dianggap beriman, sampai ia
mencintaiku melebihi cintanya pada orang tuanya, anaknya, dan seluruh manusia.”
(HR. Ahmad)
Tidak diragukan lagi
bahwa cinta mampu meniadakan rasa ingin menyakiti pada orang yang dicintai. Dan
bisa dipastikan bahwa mencela kedua orang tua Nabi saw. pasti juga akan
menyakiti Nabi saw. Allah berfirman,
“Dan orang-orang
yang menyakiti Rasulullah, bagi mereka azab yang pedih.” (QS. At-Taubah: 61)
“Sungguh,
orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya, akan dilaknat oleh Allah di
dunia dan di akhirat. Dan Allah akan menyediakan siksa yang menghinakan bagi
mereka.” (QS. Al-Ahzab:
57)
Secara jelas, Allah
telah melarang kita menyakiti Nabi saw. dan menyamakan orang yang menyakiti
Nabi saw. dengan kaum yahudi – semoga Allah melaknat mereka. Allah berfirman,
“Hai orang-orang
yang beriman! Janganlah kalian seperti mereka (Bani Israil) yang menyakiti Musa
(dengan ucapan dan tuduhan). Lalu, Allah membersihkannya dari tuduhan-tuduhan
yang mereka lontarkan. Dan Musa di sisi Allah adalah seorang yang terhormat.” (QS. Al-Ahzab: 69)
Al-Qadhi Iyadh
mengatakan, “Kita tidak akan mengatakan apapun selain apa yang diridhai Allah
dan Rasul-Nya. Kami tidak akan lancang dengan kedudukan Nabi saw yang mulia
atau menyakiti beliau dengan perkataan yang tidak diridhai oleh beliau.”
Patut diketahui, bahwa jika ada orang tua atau kakek Nabi
Saw. yang secara zahir berbuat syirik, namun sebenarnya mereka bukanlah
termasuk orang-orang musyrik. Karena pada masa mereka tidak ada rasul yang
diutus. Seluruh pengikut Ahlussunnah wa Al-Jama’ah meyakini
bahwa siapapun yang berlaku syirik dan mengganti syariat tauhid selama masa
senggang (fatrah) antara dua nabi, maka tidak diazab. Dalil tentang
masalah ini cukup banyak. Di antaranya adalah firman Allah,
“Kami bukan penyiksa
(siapapun), sampai kami mengutus seorang Rasul (kepada mereka).” (QS. Al-Isra: 15)
“Yang demikian itu
(diutusnya para rasul) adalah karena Tuhanmu tidak pernah membinasakan
kota-kota disebabkan kezaliman penduduknya, sedangkan mereka dalam kondisi
lalai.” (QS. Al-An’am:
131)
“Kami tidak
membinasakan sebuah negeri, melainkan setelah ada pemberi peringatan bagi
mereka.” (QS.
As-Syu’ara: 208)
“(Kami mengutus
mereka sebagai) rasul-rasul pembawa berita gembira dan peringatan, agar manusia
tidak dapat membantah Allah sesudah (datangnya) para utusan itu..” (QS. An-Nisa: 165)
Maka tidak ada alasan untuk menghukumi manusia kecuali
setelah diutusnya para rasul. Tanpa diutusnya rasul, manusia tidak akan
dihukum, karena adanya keutamaan dan rahmat Allah Swt.
Ayat-ayat tersebut menjadi dalil bagi keyakinan
pengikut Ahlussunnah, bahwa Allah, dengan rahmat dan kemurahan-Nya,
tidak akan mengazab seorang pun sebelum diutus seorang pemberi peringatan.
Mungkin ada yang berkata, bisa jadi Allah telah mengutus
rasul kepada kedua orang tua Nabi saw., dan mereka berbuat syirik setelah
sampainya risalah. Namun hal ini tidak didukung oleh dalil naqli. Teks-teks yang ada justru membantah
pendapat tersebut dan menguatkan hal yang sebaliknya, seperti firman Allah,
“Dan kami tidak
pernah memberikan kepada mereka (yakni kaum musyirikin arab) satu kitab pun
yang dapat mereka baca (sebelum datangnya Al-Quran). Dan tak sekalipun kami
mengirim pemberi peringatan sebelummu (Nabi Muhammad Saw).” (QS. Saba: 44)
“…supaya engkau
memberi peringatan kepada kaum (arab) yang belum didatangi seorang pun pemberi
peringatan sebelummu; kiranya mereka ingat.” (QS. Al-Qashash: 46)
“Dan tidaklah
Tuhanmu membinasakan kota-kota sebelum Dia mengutus seorang Rasul di
ibukotanya, yang membacakan ayat-ayat Kami kepada mereka. Dan tidaklah kami
membinasakan kota-kota, kecuali penduduknya adalah orang-orang zalim.” (QS. Al-Qashash: 59)
Teks-teks tersebut menjadi dalil bahwa kedua orang tua Nabi
Saw. tidak diazab bukan karena menjadi orang tua Nabi, tapi karena keduanya
termasuk golongan ahli fatrah sebagaimana telah kami jelaskan.
Status mereka adalah seperti apa yang berlaku bagi orang muslim.
Imam Al-Syatibi mengatakan, “Sunatullah berlaku pada setiap
makhluk-Nya, bahwa tak seorangpun yang durhaka dihukum, melainkan setelah
diutusnya para rasul. Ketika risalah Allah telah ditegakkan bagi manusia, maka
siapapun, boleh beriman atau kafir. Dan semua akan
menerima balasan sesuai amalnya.”
Dalam tafsirnya atas surat Al-Isra: 16,
وَمَا
كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولا
“Kami bukan penyiksa
(siapapun), sampai kami mengutus seorang Rasul (kepada mereka).” (QS. Al-Isra: 15)
Al-Qashimy mengatakan: “Apa yang benar dan berlaku bagi Kami,
bahkan mustahil dalam hukum Kami (Allah), adalah mengazab suatu kaum tanpa
mengutus kepada mereka seorang rasul, yang memberi petunjuk kepada jalan yang
benar, dan menyelamatkan mereka dari kesesatan; untuk menegakkan hujjah (Allah
atas mereka-ed.) dan menolak alasan apapun.”
Ibnu Taimiyah
mengatakan, “Al-Quran dan Hadis dengan jelas menunjukkan bahwa Allah tidak
mengazab siapapun kecuali setelah sampainya risalah. Jika risalah itu memang
tak sampai sama sekali, maka ia tidak berhak diazab. Namun, jika risalah itu
sampai secara global tanpa adanya beberapa perincian, maka dia hanya diazab
atas pengingkaran hal yang sampai kepadanya.”
Adapun dalil tentang keselamatan kedua orang tua Nabi
Saw. secara khusus, dan bukan dalil umum yang mencakup tentang keselamatan “ahli
fatrah”, adalah firman Allah, وَتَقَلُّبَكَ
فِي السَّاجِدِينَ
“Dan kegiatanmu di antara orang-orang yang sujud.” (QS. Al-Syu’ara: 219)
Diriwayatkan dari Ibnu
Abbas, bahwa “orang-orang yang sujud” adalah nenek moyang Nabi, yaitu Adam,
Nuh, dan Ibrahim sampai lahirlah Nabi Saw.
Diriwayatkan dari
Watsilah ibn Al-Asqa’, bahwa Nabi Saw. bersabda, “Allah memilih Ismail dari
keturunan Ibrahim, memlilih Bani Kinanah dari keturunan Ismail, memilih suku
Quraisy dari keturunan Bani Kinanah, memilih Bani Hasyim dari suku Quraisy, dan
dari Bani Hasyim, Allah memilihku.” (HR. Ahmad dan Muslim)
Diriwayatkan dari Abbas – paman Nabi, bahwa Nabi
bersabda, “Allah menciptakan makhluk, dan menjadikanku yang terbaik, dari
generasi yang terbaik. Lalu Allah memilih kabilah-kabilah, dan menjadikanku
dari kabilah terbaik. Lalu Allah memilih rumah-rumah dan menjadikanku berada
dalam rumah terbaik. Jadi, aku adalah jiwa terbaik dan berada dalam rumah
terbaik di antara mereka.”
Rasulullah mensifati keturunannya dengan kesucian dan
kebaikan. Dua sifat itu tak mungkin ada bersamaan dengan kekufuran dan syirik.
Allah mensifati orang-orang musyrik dalam firmannya,
إِنَّمَا
الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ
“Sungguh, orang-orang musyrik itu najis…” (QS. At-Taubah: 28)
Sementara mereka yang
berbeda pendapat, berdalil dengan dua hadis ahad yang bertentangan dengan
ayat-ayatqath’i. Keduanya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam
Muslim.
Pertama, sabda Nabi, “aku meminta izin pada Allah agar aku bisa memohonkan ampun untuk ibuku,
namun Allah tidak mengizinkanku. Maka aku pun meminta kepada-Nya agar aku boleh
berziarah ke kuburnya, dan Ia mengizinkan.”
Kedua, seseorang bertanya, “wahai Rasulullah, di manakah ayahku?” Nabi menjawab, “di neraka.”
Setelah itu, Nabi memanggilnya dan bersabda, “ayahku dan ayahmu di neraka.”
Maka, dapat dibantah
bahwa dalam hadits yang pertama tidak ada penjelasan bahwa ibu Nabi Saw. di
dalam neraka. Tidak adanya izin dari Allah untuk beristigfhfar bukan berarti
bahwa ibu Nabi Saw. adalah musyrik. Karena jika demikian, maka Allah tidak akan
mengizinkan Nabi untuk berziarah ke kubur ibunya. Karena seorang muslim tidak
boleh menziarahi kubur orang musyrik.
Pada hadis kedua, ada
kemungkinkan bahwa yang dimaksud Nabi adalah pamannya. Karena Abu Thalib
meninggal setelah Nabi diangkat menjadi rasul dan tidak diketahui keislamannya.
Orang arab biasa menyebut paman dengan ‘ayah’, sebagaimana firman Allah Swt.
tentang Nabi Ibrahim,
“Dan (ingatlah),
ketika Ibrahim berkata kepada ayahnya, yaitu Azar, “pantaskah engkau menjadikan
berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan?..” (QS. Al-An’am: 74)
Padahal ayah Nabi
Ibrahim adalah Tarih atau Tarikh, sebagaimana dijelaskan Ibnu Katsir dan para
ahli tafsir.
Namun jika mereka masih saja menolak takwil di atas, dan
tetap berpegang teguh pada zahir teks hadis kedua – karena zahir redaksi pada
hadis pertama tidak cukup untuk mendukung pendapat mereka – maka kami katakan,
bahwa, anggaplah menurut kedua hadis tersebut orang tua Nabi tidak selamat dari
neraka. Namun, hal tersebut
membuat kami menolak dua hadis tersebut, karena bertentangan dengan
ayat-ayat qath’i yang jelas-jelas menunjukkan pemahaman yang
berbeda. Inilah pendapat para imam dan ulama selama berabad-abad.
Dalam masalah ini, Al-Khatib Al-Baghdadi telah merumuskan sebuah
kaidah: apabila seorang tsiqah, yang terpercaya meriwayatkan
hadis dengan sanad bersambung, riwayatnya ditolak karena beberapa sebab, di
antaranya adalah menyelisihi teks Al-Quran atau hadis mutawatir. Jika demikian, riwayatnya dianggap
tak mempunyai sumber yang jelas, atau mansukh (dihapus
hukumnya-pen). ?????????????
Para ahli hadis seperti Al-Bukhari dan Al-Madiny, menolak hadis, “Allah
menciptakan bumi pada hari sabtu. Menciptakan gunung pada hari ahad.
Menciptakan pohon pada hari senin. Menciptakan keburukan pada hari selasa.
Menciptakan cahaya pada hari rabu. Menebar binatang di bumi pada hari kamis.
Dan Allah menciptakan Nabi Adam setelah asar di hari jumat sebagai ciptaan
terakhir pada saat terakhir di hari jumat diantara asar menjelang malam.” (HR. Muslim), mereka menolak hadis tersebut karena
bertentangan dengan Al-Quran, sebagaimana disebutkan Ibnu Katsir dalam
tafsirnya,
إِنَّ
رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ
“Sungguh, Tuhan
kalian adalah Allah, yang menciptakan langit dan bumi dalam waktu enam hari…” (QS. Al-A’raf: 54)
Begitu juga imam Nawawi yang menolak zahir hadis
Aisyah, “sholat (dulunya) diwajibkan dua rakaat dua rakaat, baik di
rumah atau dalam perjalanan. Kemudian (dua rakaat itu) ditetapkan untuk
sholat safar (dalam perjalanan). Lalu (jumlah rakaat) itu
ditambah untuk sholat hadhar (tidak dalam perjalanan).”
Meskipun hadis tersebut telah disepakati oleh Imam
Al-Bukhari dan Muslim,
Imam Nawawi tetap menolak
makna zahirnya. Beliau mengatakan, “secara zahir, hadis tersebut
bermakna bahwa dua rakaat adalah shalat yang asli, bukan yang diqashar, dan
shalat hadhar itu ditambah. Ini bertentangan
dengan teks Al-Quran dan ijma’ tentang penamaan shalat qashar. Saat hadis ahad
bertentangan dengan teks Al-Quran dan ijmak, maka wajib meninggalkan makna
zahirnya.”
Oleh karena itu, bagi
yang berbeda pendapat, agar memilih dari dua opsi. Pertama, takwil. Ini lebih baik supaya tidak ada pembatalan dalil apapun. Kedua, menolak hadis ahad, karena
bertentangan dengan dalil qath’i dari Al-Quran yang sudah
jelas. Inilah jalan tempuh para Imam besar.
Apapun itu, bisa jadi – dan semoga – sudah ditetapkan
bahwa kedua orang tua Nabi Saw. selamat dari neraka, bahkan seluruh nenek
moyang Nabi Saw. Semoga Allah menganugerahi kita cinta yang tulus pada Nabi
Saw. dan menganugerahi kita pengetahuan sejati akan kedudukan Nabi Saw. Wallahu
a’lam. (Ahmad Nurzein/mosleminfo.com)
Apakah Ayah dan Ibu
Nabi Muhammad Salallahu’alaihi Wassalam masuk surga?
Ust. abu ibrohim menulis sbb:
Bismillah
Banyak terjadi perdebatan di kalangan
umat Islam dari dulu hingga kini mengenai nasib ayah dan ibu Nabi Muhammad
Salallahu’alaihi Wassalam di akhirat kelak, apakah berada di surga atau neraka.
Sebagian mereka berpegang kepada hadits shahih sesuai dengan petunjuk
Rasulullah Salallahu’alaihi Wassalam, sedangkan yang lainnya taklid dengan
perkataan guru mereka yang tidak dijelaskan asal ilmu menafsirkan haditsnya
dari mana ataupun mati-matian mengatakan bahwa hadits yang digunakan oleh pihak
yang berseberangan pendapat dengannya adalah hadits ahad dan tak layak
digunakan berdasarkan hawa nafsu mereka tanpa berpegang pada dalil Al Quran
atau hadits, padahal Rasulullah Salallahu’alaihi Wassalam telah
berpesan dalam haditsnya yangberbunyi:
“Saya wasiatkan kepada kalian untuk
bertaqwa kepada Allah dan mendengar serta taat walaupun yang menjadi pemimpin
atas kalian seorang budak dari Habasyah (sekarang Ethopia) karena sesungguhnya
siapa yang hidup di antara kalian maka ia akan melihat perselisihan yang sangat
banyak maka berpegang teguhlah kalian kepada sunnahku dan kepada sunnah para
Khalifah Ar-Rasyidin yang mendapat petunjuk, gigitlah ia dengan gigi geraham
dan hati-hatilah kalian dengan perkara yang baru, karena setiap perkara yang baru
adalah bid’ah.”. Hadits shohih dari seluruh jalan-jalannya.
Tulisan berikut ini membahas tentang
bagaimana kondisi ayah dan ibu Rasulullah Salallahu’alaihi Wassalam
dengan berlandaskan kepada hadits yang berkaitan dengan hal ini, berpedoman
dengan petunjuk dari Rasulullah Salallahu’alaihi Wassalam mengenai
keharusan kita dalam berpegang teguh kepada sunnahnya Salallahu’alaihi
Wassalam. Diambil dari bantahan terhadap situs dan blog penentang manhaj salafy
ahlussunnah di http://www.darussalaf.or.id/myprint.php?id=1480 , selamat
menyimak, semoga bermanfaat!
Barakallahu fiik
3) Keyakinan (dari blog penentang manhaj
salafy ahlussunnah-admin) bahwa Ayah dan Ibu Nabi Muhammad masuk surga
Pada artikel di blog tersebut dengan
judul : Ayah dan Ibu Nabi Muhammad SAW Masuk Sorga
Panjang lebar penulis blog tersebut
menjelaskan bahwa ayah dan ibunda Nabi masuk surga. Padahal itu bertentangan
dengan hadits yang shahih :
عَنْ
أَنَسٍ أَنَّ رَجُلًا قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيْنَ أَبِي قَالَ فِي النَّارِ
فَلَمَّا قَفَّى دَعَاهُ فَقَالَ إِنَّ أَبِي وَأَبَاكَ فِي النَّارِ
” dari Anas bin Malik bahwasanya seorang laki-laki berkata :
Wahai Rasulullah di mana ayahku ? Nabi bersabda : ‘ di neraka’ . Ketika orang
tersebut berpaling, Nabi memanggilnya lagi dan bersabda : ‘Sesungguhnya ayahku
dan ayahmu di an-naar (neraka) (H.R Muslim).
Penulis blog tersebut berusaha
mati-matian menolak hadits ini dengan alasan bahwa hadits ini adalah ahad.
Subhaanallah, dia menolak hadits yang shohih dengan alasan hanya hadits ahad,
karena bertentangan dengan hawa nafsunya, namun di saat lain ia berdalil dengan
hadits yang bukan sekedar ahad, namun justru tidak memiliki sanad yang jelas
(seperti pada poin ke-1 di atas dan akan dikemukakan pada poin ke-4, Insya
Allah). Padahal, keyakinan Ahlusunnah adalah hadits shohih bisa digunakan
sebagai hujjah dalam masalah hukum maupun akidah. (Untuk melihat penjelasan
lebih lanjut tentang ini bisa dilihat pada blog albashirah.wordpress.com pada
tulisan : Hadits Ahad Hujjah dalam Masalah Aqidah dan Hukum bag ke-1 sampai
ke-4).
Imam AnNawawi menjelaskan dalam Syarh
Shohih Muslim tentang hadits di atas :
(dalam hadits ini terkandung faidah) : ”
Bahwasanya barangsiapa yang meninggal dalam keadaan kafir, maka dia masuk
anNaar, dan tidaklah bermanfaat baginya kedekatan hubungan kekeluargaan dengan
orang-orang yang dekat (dengan Allah). Di dalamnya juga terkandung faidah bahwa
orang yang meninggal dalam masa fatrah, yang berada di atas kebiasaan orang
Arab berupa penyembahan berhala, maka dia termasuk penghuni annaar. Dan
tidaklah dianggap bahwa dakwah belum sampai pada mereka, karena sesungguhnya
telah sampai pada mereka dakwah Nabi Ibrahim, dan Nabi yang lainnya -semoga
sholawat dan keselamatan dari Allah tercurah untuk mereka.
Sedangkan berkaitan dengan ibunda Nabi,
terdapat penjelasan dalam hadits yang shohih, Nabi bersabda :
اسْتَأْذَنْتُ
رَبِّي أَنْ أَسْتَغْفِرَ لِأُمِّي فَلَمْ يَأْذَنْ لِي وَاسْتَأْذَنْتُهُ أَنْ
أَزُورَ قَبْرَهَا فَأَذِنَ لِي
“Aku memohon ijin kepada Tuhanku untuk memohon ampunan bagi ibuku,
tetapi tidaklah diijinkan untukku, dan aku mohon ijin untuk berziarah ke
kuburannya, dan diijinkan”(H.R Muslim dari Abu Hurairah)
dalam riwayat Ahmad :
إِنِّي
سَأَلْتُ رَبِّي عَزَّ وَجَلَّ فِي الِاسْتِغْفَارِ لِأُمِّي فَلَمْ يَأْذَنْ لِي
فَدَمَعَتْ عَيْنَايَ رَحْمَةً لَهَا مِنْ النَّارِ
“Sesungguhnya aku meminta kepada Tuhanku ‘Azza Wa Jalla untuk
memohon ampunan bagi ibuku, namun tidak diijinkan, maka akupun menangis sebagai
bentuk belas kasihan baginya dari adzab anNaar” (hadits riwayat Ahmad dari
Buraidah, al-Haitsamy menyatakan bahwa rijaal hadits ini adalah rijaalus
shohiih).
Dalam riwayat lain :
عَنْ
أبِي رَزِينٍ، قَالَ: قُلْتَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَيْنَ أُمِّي؟،
قَالَ:”أُمُّكَ فِي النَّارِ”، قَالَ: فَأَيْنَ مَنْ مَضَى مِنْ أَهْلِكَ؟، قَالَ:”أَمَا
تَرْضَى أَنْ تَكُونَ أُمُّكَ مَعَ أُمِّي
” dari Abu Roziin beliau berkata : Aku berkata : Wahai
Rasulullah, di mana ibuku? Nabi menjawab : ‘Ibumu di an-Naar’. Ia berkata :
Maka di mana ornag-orang terdahulu dari keluargamu? Nabi bersabda : Tidakkah
engkau ridla bahwa ibumu bersama ibuku” (H.R Ahmad dan atThobarony, dan
al-Haitsamy menyatakan bahwa perawi-perawi hadits ini terpercaya (tsiqoot)).
Nabi tidak diijinkan untuk memohon
ampunan bagi ibunya, disebabkan alasan yang disebutkan dalam AlQur’an :
مَا
كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آَمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ
وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ
أَصْحَابُ الْجَحِيمِ
“Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman
memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang
musyrik itu adalah kaum kerabat (nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya
orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam” (Q.S atTaubah :113).
Maka saudaraku kaum muslimin, telah jelas
khabar dari hadits-hadits Nabi yang shohih bahwa sebenarnya ayah dan ibunda
Nabi di an-Naar. Kita sebagai orang yang beriman merasa sedih dengan hal-hal
yang membuat Nabi bersedih. Bukankah Nabi menangis sedih ketika beliau
memintakan ampunan bagi ibundanya, namun Allah tidak ijinkan. Akan tetapi,
dalil-dalil yang shohih di atas memberikan pelajaran penting bagi kita, bahwa
kedekatan kekerabatan dengan orang Sholih, bahkan seorang Nabi, tidak menjamin
seseorang untuk ikut-ikutan masuk surga. Sebagaimana hal ini dijelaskan oleh
Imam AnNawawi di atas. Sebagaimana juga Nabi mewasiatkan kepada
keluarga-keluarga dekatnya :
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ لَمَّا أُنْزِلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ { وَأَنْذِرْ
عَشِيرَتَكَ الْأَقْرَبِينَ } دَعَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قُرَيْشًا فَاجْتَمَعُوا فَعَمَّ وَخَصَّ فَقَالَ يَا بَنِي كَعْبِ بْنِ
لُؤَيٍّ أَنْقِذُوا أَنْفُسَكُمْ مِنْ النَّارِ يَا بَنِي مُرَّةَ بنِ كَعْبٍ
أَنْقِذُوا أَنْفُسَكُمْ مِنْ النَّارِ يَا بَنِي عَبْدِ شَمْسٍ أَنْقِذُوا
أَنْفُسَكُمْ مِنْ النَّارِ يَا بَنِي عَبْدِ مَنَافٍ أَنْقِذُوا أَنْفُسَكُمْ
مِنْ النَّارِ يَا بَنِي هَاشِمٍ أَنْقِذُوا أَنْفُسَكُمْ مِنْ النَّارِ يَا بَنِي
عَبْدِ الْمُطَّلِبِ أَنْقِذُوا أَنْفُسَكُمْ مِنْ النَّارِ يَا فَاطِمَةُ
أَنْقِذِي نَفْسَكِ مِنْ النَّارِ فَإِنِّي لَا أَمْلِكُ لَكُمْ مِنْ اللَّهِ
شَيْئًا غَيْرَ أَنَّ لَكُمْ رَحِمًا سَأَبُلُّهَا بِبَلَالِهَا
” Dari Abu Hurairah beliau berkata : Ketika turun firman Allah
–QS Asy-Syuaroo’:213-(yang artinya) : ‘Dan berikanlah peringatan kepada kerabat
dekatmu’, Nabi memanggil orang-orang Quraisy sehingga mereka berkumpul –secara
umum dan khusus-Nabi bersabda : ‘Wahai Bani Ka’ab bin Lu-ay, selamatkan diri
kalian dari anNaar, wahai Bani Murroh bin Ka’ab selamatkan diri kalian dari
anNaar, wahai Bani Abdi Syams selamatkan diri kalian dari anNaar, wahai Bani
Abdi Manaaf selamatkan diri kalian dari anNaar, wahai Bani Hasyim selamatkan
diri kalian dari anNaar, wahai Bani Abdil Muththolib selamatkan diri kalian
dari anNaar, wahai Fathimah selamatkan dirimu dari anNaar, sesungguhnya aku
tidak memiliki kekuasaan melindungi kalian dari (adzab) Allah sedikitpun,
hanyalah saja kalian memiliki hubungan rahim denganku yang akan aku sambung
(dalam bentuk silaturrahmi)(H.R Muslim)
Hanya kepada Allahlah kita berharap
Jannah-Nya dan hanya kepadaNya kita memohon perlindungan dari an-Naar.[1]
Komentarku ( Mahrus
ali ):
Keterangan di atas
bagus, dan saya cocok dengannya dan saya juga
telah membacanya.
Untuk hadis ini:
“Saya wasiatkan kepada kalian untuk bertaqwa
kepada Allah dan mendengar serta taat walaupun yang menjadi pemimpin atas
kalian seorang budak dari Habasyah (sekarang Ethopia) karena sesungguhnya siapa
yang hidup di antara kalian maka ia akan melihat perselisihan yang sangat
banyak maka berpegang teguhlah kalian kepada sunnahku dan kepada sunnah para
Khalifah Ar-Rasyidin yang mendapat petunjuk, gigitlah ia dengan gigi geraham
dan hati-hatilah kalian dengan perkara yang baru, karena setiap perkara yang
baru adalah bid’ah.”. Hadits shohih dari seluruh jalan-jalannya.
Komentarku ( Mahrus
ali ):
Muhammad al amin
berkata:
هَذِهِ اْلأَحَادِيْثُ يَنْطَبِقُ عَلَيْهَا قولُ الْحافِظِ اِبْنِ عَبْدِ الْبَرِّ فِي التَّمْهِيْدِ ( 10 \ 278
):« وَلَمْ يُخْرِجِ الْبُخَارِيُّ وَلَا مُسْلِمٌ بْنُ الْحَجَّاجِ مِنْهَا حَديثًا وَاحِدًا.وَحَسْبُكَ بِذَلِكَ ضُعْفًا لَهَا ».
Hadis – hadis ini berlaku
kata-kata Hafiz Ibnu Abdul Barr di kitab Tamhid (10 \ 278):
«Bukhari dan Muslim bin Al Hajjaj tidak meriwayatkan satu hadis
ini. Dan dengan nya cukup hadis tsb untuk dikatakan lemah.
وَمَنْ نَقَلَ تَقْبَلُ الأُمَّةُ لِهَذَا الْحَديثِ بِالْقَبُولِ فَلَمْ يُصِبْ بِذَلِكَ أيضاً.فَقَدْ نَقَّلْنَا عَنْ أَحَدِ الْمُتَقَدِّمِينَ تَضْعِيفَهُ ، وَهَذَا يَكْفِي لِسُقُوطِهِ.
Barang siapa yang mengutip bahwa umat
telah menerima hadis itu dengan baik, maka tidak benar. Sungguh kami telah
mengutip salah satu tokoh terdahulu yang melemahkannya. Ini sudah cukup bahwa
hadis tsb jatuh nilainya.
فَالْحَديثُ لَيْسَ لَهُ طَرِيقٌ يُعْتَبَرُ بِهَا إلّا عَنْ مَجْهُولَيْنِ ( مُثَنًّى مَجْهُولٍ ) عَنِالعرباض بْنِ سَارِيَةٍ.
Hadis itu tidak memiliki jalur
periwayatan yang bisa di andalkan kecuali dari dua anonim ( perawi
yang tak dikenal ) dari Al Irbadh bin Saroyah.
Menurutku hadis tsb tidak bisa
dibuat pegangan, lepaskan saja.