Kalau Syiah Sesat, Mengapa Boleh Masuk Tanah Suci?
By Pizaro on March 20, 2013
Oleh: AM Waskito
Bertahun-tahun
silam pernah diadakan diskusi antara seorang Ustadz dari PP Persis Bandung
dengan Jalaluddin Rahmat (tokoh Syiah asal Bandung). Dalam makalahnya, Ustadz Persis
itu tanpa tedeng aling-aling membuat kajian berjudul, “Syiah Bukan Bagian dari Islam”.
Ketika sessi
dialog berlangsung, Ustadz Persis itu -dengan pertolongan Allah- mampu
mematahkan argumen-argumen Jalaluddin Rahmat. Kejadiannya mirip, ketika
dilakukan diskusi di Malang antara Jalaluddin Rahmat dengan Ustadz-ustadz
Persis Bangil; ketika merespon lahirnya buku Islam Aktual, karya Jalaluddin Rahmat.
Ada satu momen
penting menjelang akhir diskusi di Bandung itu. Saat itu Jalaluddin mengatakan,
“Kalau memang Syiah dianggap sesat dan bukan bagian
dari Islam, mengapa Pemerintah Saudi masih memperbolehkan kaum Syiah menunaikan
Haji ke Tanah Suci?” Nah, atas
pernyataan ini, tidak ada tanggapan serius dari para Ustadz di atas.
Ternyata,
Mereka Masih Butuh Tanah Suci (Makkah & Madinah).
Dan ternyata,
kata-kata serupa itu dipakai oleh Prof. Dr. Umar Shibah, tokoh Syiah yang menyusup ke lembaga MUI Pusat. Ketika
kaum Syiah terdesak, dia mengemukakan kalimat pembelaan
yang sama. “Kalau Syiah dianggap sesat,
mengapa mereka masih boleh berhaji ke Tanah Suci?”
Lalu, bagaimana kalau pertanyaan di atas disampaikan
kepada Anda-Anda semua wahai, kaum Muslimin? Apa jawaban Anda? Apakah Anda akan
memberikan jawaban yang tepat, atau memilih menghindar?
Sekedar catatan, konon dalam sebuah diskusi antara
Jalaluddin Rahmat dengan Ustadz M. Thalib (sekarang Amir MMI). Saat disana ada
kebuntuan argumentasi, katanya Ustadz M. Thalib menantang Jalaluddin melakukan
“diskusi secara fisik” di luar. Ya, ini sekedar catatan, agar kita selalu
mempersiapkan diri dengan argumen-argumen yang handal sebelum “bersilat”
pemahaman dengan orang beda akidah.
Mengapa kaum Syiah masih boleh masuk ke
Tanah Suci, baik MakkahAl Mukarramah maupun Madinah Al Munawwarah?
Mari kita jawab pertanyaan ini:
PERTAMA, sebaik-baik
jawaban ialah Wallahu
a’lam. Hanya Allah yang Tahu sebenar-benar alasan di balik kebijakan Pemerintah
Saudi memberikan tempat bagi kaum Syiah untuk ziarah ke Makkah
dan Madinah.
KEDUA,
dalam sekte Syiah terdapat banyak golongan-golongan. Di antara mereka ada yang lebih dekat
ke golongan Ahlus Sunnah (yaitu Syiah Zaidiyyah-meski sebagaian ulama sudah
mengatakan Syiah Zaidiyyah sudah tergolong sesat dengan Syiah lainnya-Red), ada yang moderat kesesatannya,
dan ada yang ekstrim (seperti Imamiyyah dan Ismailiyyah). Terhadap kaum Syiah ekstrim ini, rata-rata para ulama tidak
mengakui keislaman mereka. Nah, dalam praktiknya, tidak mudah membedakan
kelompok-kelompok tadi.
KETIGA,
usia sekte Syiah sudah sangat tua. Hampir setua usia sejarah Islam itu sendiri. Tentu
cara menghadapi sekte seperti ini berbeda dengan cara menghadapi Ahmadiyyah,
aliran Lia Eden, dll. yang termasuk sekte-sekte baru. Bahkan Syiah sudah mempunyai sejarah
sendiri, sebelum kekuasaan negeri Saudi dikuasai Dinasti Saud yang berpaham
Salafiyyah. Jauh-jauh hari sebelum Dinasti Ibnu Saud berdiri, kaum Syiah sudah masuk Makkah-Madinah.
Ibnu Hajar Al Haitsami penyusun kitab As Shawaiq Al Muhriqah, beliau menulis kitab
itu dalam rangka memperingatkan bahaya sekte Syiah yang di masanya banyak
muncul di Kota Makkah. Padahal kitab ini termasuk kitab turats klasik, sudah
ada jauh sebelum era Dinasti Saud.
KEEMPAT, kalau
melihat identitas kaum Syiah yang datang ke Makkah
atau Madinah, ya rata-rata tertulis “agama Islam”. Negara Iran saja mengklaim
sebagai Jumhuriyyah
Al Islamiyyah (Republik Islam). Revolusi mereka disebut Revolusi Islam (Al Tsaurah Al
Islamiyyah). Data seperti ini tentu sangat menyulitkan untuk memastikan jenis
sekte mereka. Lha
wong, semuanya disebut “Islam” atau “Muslim”.
KELIMA, kebanyakan kaum Syiah yang datang ke Makkah
atau Madinah, mereka orang awam. Artinya, kesyiahan mereka umumnya hanya
ikut-ikutan, karena tradisi, atau karena desakan lingkungan. Orang seperti ini
berbeda dengan tokoh-tokoh Syiah ekstrem yang memang sudah
dianggap murtad dari jalan Islam. Tanda kalau mereka orang awam yaitu kemauan
mereka untuk datang ke Tanah Suci Makkah-Madinah itu sendiri. Kalau mereka Syiah ekstrim, tak akan mau
datang ke Tanah Suci Ahlus Sunnah. Mereka sudah punya “tanah suci” sendiri
yaitu: Karbala’, Najaf, dan Qum. Perlakuan terhadap kaum Syiah awam tentu harus berbeda
dengan perlakuan kepada kalangan ekstrim mereka.
KEENAM, orang-orang Syiah yang datang ke Tanah Suci
Makkah-Madinah sangat diharapkan akan mengambil banyak-banyak pelajaran dari
kehidupan kaum Muslimin di Makkah-Madinah. Bila mereka tertarik, terkesan, atau
bahkan terpikat; mudah-mudahan mau bertaubat dari agamanya, dan kembali ke
jalan lurus, agama Islam Ahlus Sunnah.
KETUJUH, hadirnya ribuan
kaum Syiah di Tanah Suci
Makkah-Madinah, hal tersebut adalah BUKTI BESAR betapa ajaran Islam (Ahlus
Sunnah) sesuai dengan fitrah manusia. Meskipun para ulama dan kaum penyesat Syiah sudah bekerja keras sejak
ribuan tahun lalu, untuk membuat-buat agama baru yang berbeda dengan ajaran
Islam Ahlus Sunnah; tetap saja fitrah mereka tidak bisa dipungkiri, bahwa hati-hati
mereka terikat dengan Tanah Suci kaum Muslimin (Makkah-Madinah), bukan Karbala,
Najaf, dan Qum.
KEDELAPAN, kaum Syiah di negerinya sangat biasa
memuja kubur, menyembah kubur, tawaf mengelilingi kuburan, meminta tolong
kepada ahli kubur, berkorban untuk penghuni kubur, dll. Kalau mereka datang ke
Makkah-Madinah, maka praktik “ibadah kubur” itu tidak ada disana. Harapannya,
mereka bisa belajar untuk meninggalkan ibadah kubur, kalau nanti mereka sudah
kembali ke negerinya. Insya Allah.
KESEMBILAN, pertanyaan di
atas sebenarnya lebih layak diajukan ke kaum Syiah sendiri, bukan ke Ahlus
Sunnah. Mestinya kaum Syiah jangan bertanya,
“Mengapa orang Syiah masih boleh ke
Makkah-Madinah?” Mestinya pertanyaan ini diubah dan diajukan ke diri mereka
sendiri, “Kalau Anda benar-benar Syiah, mengapa masih datang ke
Makkah dan Madinah? Bukankah Anda sudah mempunyai ‘kota suci’ sendiri?”
Demikian sebagian jawaban yang bisa diberikan. Semoga
bermanfaat. Pesan spesial dari saya, kalau nanti Prof. Dr. Umar Shihab, atau
Prof. Dr. Quraish Shihab (dua tokoh ini saudara kandung, kakak-beradik;
bersaudara juga dengan Alwi Shihab, Mantan Menlu di era Abdurrahman Wahid),
beralasan dengan alasan tersebut di atas; mohon ada yang meluruskannya. Supaya
beliau tidak banyak membuang-buang kalam, tanpa guna.
Walhamdulillahi Rabbil ‘