Muhammas-assewed.blogspot.com
Artikel lain terkait :
Pada edisi kali ini, akan kami sajikan adanya isyarat dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam tentang penunjukan Abu Bakar ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu sebagai khalifah sepeninggal beliau shalallahu ‘alaihi wasallam. Hal ini merupakan bukti dan penguat akan keabsahan beliau sebagai halifah sebagaimana telah kami sebutkan pada edisi 36. Isyarat ini sekaligus meruntuhkan syubhat dan kesesatan yang dilontarkan oleh Syi’ah Rafidlah yang meragukan keabsahan kekhalifahan beliau
Para ulama telah berbeda pendapat tentang bagaimana pengangkatan Abu Bakar ash-Shidiq sebagai khalifah. Apakah pengangkatan tersebut ditentukan dengan nash secara langsung dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam atau dilakukan dengan musyawarah antara kaum muslimin. Sebagian ulama berpendapat bahwa pengangkatan beliau sebagai khalifah ada lah hasil dari musyawarah dari kaum muslimin ketika itu.
Sedangkan Hasan
al-Bashri dan sebagian para ulama dari kalangan ahlul hadits berpendapat bahwa
terpilihnya Abu Bakar sebagai khalifah adalah dengan nash yang samar dan
isyarat dari rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. (Lihat Syarh Aqidah
ath-Thahawiyah, hal. 471)
Dalil-dalil yang menunjukkan akan adanya isyarat secara tidak langsung (bukan wasiat) dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam yang mengisyaratkan bahwa Abu Bakarlah yang lebih pantas menjadi khalifah sangat banyak. Isyarat-isyarat tersebut adalah sebagai berikut:
1. Abu Bakar radhiallahu ‘anhu dipilih sebagai imam Shalat pengganti Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam
Hadits-hadits yang menunjukkan diperintahkannya Abu Bakar untuk memimpin shalat menggantikan Rasulullah, shalallahu ‘alaihi wasallam sangat masyhur. Salah satu di antaranya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abi Musa radhiallahu ‘anhu berikut:
Dalil-dalil yang menunjukkan akan adanya isyarat secara tidak langsung (bukan wasiat) dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam yang mengisyaratkan bahwa Abu Bakarlah yang lebih pantas menjadi khalifah sangat banyak. Isyarat-isyarat tersebut adalah sebagai berikut:
1. Abu Bakar radhiallahu ‘anhu dipilih sebagai imam Shalat pengganti Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam
Hadits-hadits yang menunjukkan diperintahkannya Abu Bakar untuk memimpin shalat menggantikan Rasulullah, shalallahu ‘alaihi wasallam sangat masyhur. Salah satu di antaranya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abi Musa radhiallahu ‘anhu berikut:
مَرِضَ
رَسُولُ اللَّهِ فَاشْتَدَّ
مَرَضُهُ فَقَال مُرُوا أَبَا
بَكْرٍ فَلْيُصَلِّ بِالنَّاسِ فَقَالَتْ
عَائِشَةُ يَا رَسُولَ
اللَّهِ إِنَّ أَبَا
بَكْرٍ
رَجُلٌ
رَقِيقٌ مَتَى يَقُمْ مَقَامَكَ لاَ يَسْتَطِعْ
أَنْ يُصَلِّيَ
بِالنَّاسِ فَقَالَ مُرِي أَبَا
بَكْرٍ
فَلْيُصَلِّ بِالنَّاسِ فَإِنَّكُنَّ صَوَاحِبُ يُوسُفَ
قَالَ
فَصَلَّى بِهِمْ أَبُو بَكْرٍ حَيَاةَ رَسُولِ اللَّهِ. (متفق عليه)
Ketika Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wasallam sakit parah beliau berkata: “Suruhlah Abu Bakar
untuk mengimami manusia”. Maka berkatalah Aisyah: “Ya Rasulullah sesungguhnya
Abu Bakar adalah seorang laki-laki yang amat perasa (mudah menangis). Bagaimana
dia akan menggantikan kedudukanmu, dia tidak akan mampu untuk memimpin
manusia”. Rasulullah berkata lagi: “Perintahkanlah Abu Bakar untuk mengimami
manusia! Sesungguhnya kalian itu seperti saudara-saudaranya nabi Yusuf”. Abu
Musa berkata: maka Abu Bakar pun mengimami shalat dalam keadaan Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wasallam masih hidup. (HR. Bukhari Muslim)
2. Perintah untuk meneladani Abu Bakar radhiallahu ‘anhu
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
2. Perintah untuk meneladani Abu Bakar radhiallahu ‘anhu
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
اقْتَدُوْا بِاللَّذَيْنِ مِنْ بَعْدِي أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ…
(رواه
الترمذي والحاكم وصححه الألباني في الصحيحة: 1233).
Teladanilah dua orang setelahku, Abu Bakar dan Umar… (HR. Tirmidzi dan
Hakim, dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 1233)
Syaikh Albani menyatakan bahwa hadits ini diriwayatkan dari beberapa shahabat, seperti Abdullah bin Mas’ud, Hudzaifah Ibnul Yaman, Anas bin Malik dan Abdullah bin Umar. Hadits ini juga dikeluarkan oleh banyak pakar-pakar ahlul hadits seperti Tirmidzi, Hakim, Ahmad, Ibnu Hibban, ath-Thahawi, al-Humaidi, Ibnu Sa’ad, Ibnu Abi ‘Ashim, Abu Nu’aim, Ibnu Asakir dan lain-lain. (Lihat Silsilah Ahadits ash-Shahihah, juz 3 hal. 234, hadits no. 1233)
3. Abu Bakar adalah orang yang paling dicintai oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam
Disebutkan dalam suatu riwayat dari ‘Amr bin ‘Ash:
Syaikh Albani menyatakan bahwa hadits ini diriwayatkan dari beberapa shahabat, seperti Abdullah bin Mas’ud, Hudzaifah Ibnul Yaman, Anas bin Malik dan Abdullah bin Umar. Hadits ini juga dikeluarkan oleh banyak pakar-pakar ahlul hadits seperti Tirmidzi, Hakim, Ahmad, Ibnu Hibban, ath-Thahawi, al-Humaidi, Ibnu Sa’ad, Ibnu Abi ‘Ashim, Abu Nu’aim, Ibnu Asakir dan lain-lain. (Lihat Silsilah Ahadits ash-Shahihah, juz 3 hal. 234, hadits no. 1233)
3. Abu Bakar adalah orang yang paling dicintai oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam
Disebutkan dalam suatu riwayat dari ‘Amr bin ‘Ash:
أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ بَعَثَهُ
عَلَى
جَيْشِ
ذَاتِ
السَّلاَسِلِ فَأَتَيْتُهُ فَقُلْتُ أَيُّ النَّاسِ أَحَبُّ إِلَيْكَ
قَالَ
عَائِشَةُقُلْتُ مِنَ الرِّجَالِ
قَالَ
أَبُوهَا قُلْتُ ثُمَّ مَنْ
قَالَ
عُمَرُ فَعَدَّ رِجَالاً. (رواه البخاري
ومسلم).
Bahwasanya Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wasallam telah mengutus Abu Bakar memimpin pasukan dalam
perang dzatu tsalatsil. Aku mendatangi Rasulullah dan bertanya kepada beliau:
“Siapakah orang yang paling engkau cintai?” Beliau shalallahu ‘alaihi wasallam
menjawab: “Aisyah.” Aku berkata: “Dari kalangan laki-laki wahai Rasululah?”
Beliau menjawab: “Ayahnya”. Aku berkata: “Kemudian siapa?” Beliau menjawab:
“Umar”. Kemudian beliau menyebutkan beberapa orang. (HR. Bukhari dalam
Fadhailil A’mal, fathul Bari juz ke 7, hal. 18 dan Muslim dalam Fadhailus
Shahabah juz ke-4 hal. 1856 no. 2384)
4. Abu Bakar dijadikan wakil menggantikan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam
Diriwayatkan dari Jubair bin Muth’im, dia berkata:
4. Abu Bakar dijadikan wakil menggantikan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam
Diriwayatkan dari Jubair bin Muth’im, dia berkata:
أَتَتِ
امْرَأَةُ النَّبِيَّ فَأَمَرَهَا
أَنَ
تَرْجِعَ إِلَيْهِ قَالَتْ أَرَأَيْتَ
إِنْ
جِئْتُ
وَلَمْ
أَجِدْكَ كَأَنَّهَا تَقُوْلُ
الْمَوْتَقَالَ إِنْ لَمْ تَجِدِيْنِيْ فَأْتِي أَبَا بَكْرٍ.
(رواه البخاري).
Datang seorang wanita
kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam, maka Rasulullah menyuruhnya untuk
datang kembali. Maka wanita itu mengatakan: “Bagaimana jika aku tidak
mendapatimu?” –seakan-akan wanita itu memaksudkan jika telah meninggalnya
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Beliau menjawab: “Jika engkau tidak
mendapatiku, maka datangilah Abu Bakar”. (HR. Bukhari 2/419; Muslim, 7/110;
lihat ???? ????? hal. 541-542, no. 1151)
Hadits ini merupakan isyarat yang jelas dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bahwa yang akan menggantikan dirinya sepeninggal beliau adalah Abu Bakar ash-Shidiq radhiallahu ‘anhu.
5. Rencana Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam untuk menuliskan wasiat kepada Abu Bakar radhiallahu ‘anhu
Lebih tegas lagi ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam sakit, beliau shalallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kepada ‘Aisyah untuk memanggil ayahnya, Abu Bakar, untuk diberikan wasiat kepadanya. Tetapi kemudian beliau mengatakan: “Allah dan kaum mukminin tidak akan ridla, kecuali Abu Bakar”. Lihatlah riwayat lengkapnya sebagai berikut:
Hadits ini merupakan isyarat yang jelas dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bahwa yang akan menggantikan dirinya sepeninggal beliau adalah Abu Bakar ash-Shidiq radhiallahu ‘anhu.
5. Rencana Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam untuk menuliskan wasiat kepada Abu Bakar radhiallahu ‘anhu
Lebih tegas lagi ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam sakit, beliau shalallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kepada ‘Aisyah untuk memanggil ayahnya, Abu Bakar, untuk diberikan wasiat kepadanya. Tetapi kemudian beliau mengatakan: “Allah dan kaum mukminin tidak akan ridla, kecuali Abu Bakar”. Lihatlah riwayat lengkapnya sebagai berikut:
عَنْ
عَائِشَةَ قَالَتْ: قَالَ لِي رَسُوْلُ اللهِ: ادْعِي لِي أَبَا بَكْرٍ أَبَاَكِ وَأَخَاكِ، حَتَّى أَكْتُبُ كِتَابًا، فَإِنِّي
أَخَافُ أَنْ
يَتَمَنَّى مُتَمَنٍّ، وَيَقُوْلُ
قَائِلُ:
أَنَا
أَوْلَى، وَيَأْبَى اللهُ
وَالْمُؤْمِنُوْنَ إِلاَّ أَبَا بَكْرٍ
Dari ‘Aisyah radhiallahu
‘anhu?, ia berkata; berkata kepadaku Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam:
“Panggillah Abu Bakar Bakar, Ayahmu dan saudaramu, sehingga aku tulis satu
tulisan (wasiat). Sungguh aku khawatir akan ada seseorang yang menginginkan
(kepemimpinan –pent.), kemudian berkata: “Aku lebih utama”. Kemudian beliau
bersabda: “Allah dan orang-orang beriman tidak meridlai, kecuali Abu Bakar”.
(HR. Muslim 7/110 dan Ahmad (6/144); Lihat Ash-Sha-hihah, juz 2, hal. 304,
hadits 690)
Dalam riwayat ini jelas, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menghendaki dengan isyaratnya beliau bahwasanya Abu Bakar radhiallahu ‘anhu lah yang lebih layak menjadi khalifah sepeninggalnya. Tetapi beliau tidak jadi menulis wasiatnya, karena beliau yakin kaum mukminin tidak akan berselisih terhadap penunjukkan Abu Bakar radhiallahu ‘anhu sebagai khalifah. Dan hal ini terbukti, setelah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam wafat, kaum muslimin sepakat untuk menunjuk Abu Bakar radhiallahu ‘anhu sebagai khalifah.
6. Abu Bakar adalah orang terdekat dan kekasih Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam
Dalam riwayat ini jelas, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menghendaki dengan isyaratnya beliau bahwasanya Abu Bakar radhiallahu ‘anhu lah yang lebih layak menjadi khalifah sepeninggalnya. Tetapi beliau tidak jadi menulis wasiatnya, karena beliau yakin kaum mukminin tidak akan berselisih terhadap penunjukkan Abu Bakar radhiallahu ‘anhu sebagai khalifah. Dan hal ini terbukti, setelah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam wafat, kaum muslimin sepakat untuk menunjuk Abu Bakar radhiallahu ‘anhu sebagai khalifah.
6. Abu Bakar adalah orang terdekat dan kekasih Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam
عَنْ
أَبِي
سَعِيدٍ:
أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ جَلَسَ عَلَى
الْمِنْبَرِ فَقَالَ عَبْدٌ خَيَّرَهُ
اللَّهُ بَيْنَ أَنْ يُؤْتِيَهُ زَهْرَةَالدُّنْيَا وَبَيْنَ
مَا
عِنْدَهُ فَاخْتَارَ مَا عِنْدَهُ فَبَكَى أَبُو بَكْرٍ وَبَكَى
فَقَالَ فَدَيْنَاكَ بِآبَائِنَا
وَأُمَّهَاتِنَا قَالَفَكَانَ رَسُولُ
اللَّهِ هُوَ الْمُخَيَّرُ
وَكَانَ أَبُو بَكْرٍ أَعْلَمَنَا بِهِ وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ
إِنَّ
أَمَنَّ النَّاسِ عَلَيَّ فِي مَالِهِ وَصُحْبَتِهِ أَبُو بَكْرٍ
وَلَوْ
كُنْتُ
مُتَّخِذًا خَلِيلاً لاَتَّخَذْتُ أَبَا بَكْرٍ خَلِيلاً وَلَكِنْ أُخُوَّةُ
اْْلإِ
سْلاَمِ لاَ
تُبْقَيَنَّ فِي الْمَسْجِدِ
خَوْخَةٌ إِلاَّ خَوْخَةَ
أَبِي
بَكْرٍ
(متفق
عليه).
Dari Abu Sa’id radhiallahu
‘anhu, bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam sedang duduk di atas
mimbar, beliau bersabda: “Allah memberikan pilihan kepada seorang hamba antara
diberi keindahan dunia atau apa yang ada di sisi-Nya. Maka hamba tersebut
memilih apa yang ada di sisi-Nya. Maka Abu Bakar pun menangis seraya berkata:
bapak-bapak dan ibu-ibu kami sebagai tebusan wahai Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasallam. Abu Sa’id berkata: Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam
itulah hamba yang diberi pilihan tersebut dan ternyata Abu Bakar adalah orang
yang paling tahu di antara kami. Maka bersabdalah Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wasallam: “Sesungguhnya manusia yang paling berjasa kepadaku dengan harta dan
jiwanya adalah Abu Bakar. Kalau aku mengambil seorang kekasih, niscaya aku akan
mengambil Abu Bakar sebagai khalil (kekasih), tetapi persaudaraan Islam lebih
baik. Tidak tersisa masjid satu pintu pun, kecuali pintunya Abu Bakar. (HR.
Bukhari dengan Fathul Bary, juz 7, hal. 359, hadits 3654; Muslim dengan Syarh
Nawawi, juz 15 hal. 146, hadits 6120)
Al-Khullah adalah kecintaan yang paling tinggi. Para ulama menyatakan bahwa derajat khullah lebih tinggi dari tingkatan mahabbah. Oleh karena itu seorang yang disebut sebagai khalil, lebih tinggi kedudukannya daripada habib. Di antara dalil yang menunjukkan hal tersebut adalah bahwa Allah hanya mengambil dua orang manusia sebagai khalil, yaitu nabi Ibrahim dan Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam. Sedangkan masalah mahabbah Allah sering menyebutkan dalam al-Qur’an, Allah mencintai orang-orang yang beriman, sabar, berjihad di jalan-Nya dan lain-lain.
Oleh karena itu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menyatakan kalau saja beliau menjadikan khalil, maka niscaya Abu Bakarlah orangnya. Hal ini menunjukkan bahwa Abu Bakar adalah orang yang terdekat dan paling dicintai oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Hanya saja beliau shalallahu ‘alaihi wasallam tidak mengambil khalil dari kalangan manusia.
Dengan disebutkannya beberapa isyarat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam di atas cukuplah kiranya menjadi hujjah yang tegas bahwa Abubakar adalah seorang yang paling layak menjadi khalifah. Dan kekhalifahannya adalah sah, tidak ada yang menyelisihi kecuali orang-orang yang dalam hatinya adanya penyakit.
Namun perlu diketahui bahwa pendapat ahlus sunnah ini adalah pernyataan yang keluar dari hujjah yang terdapat dalam al-Qur’an dan sunnah secara ijma’, hal ini sama sekali tidak keluar dari kebencian kepada ahlul bait. Adapun tentang keutamaan ahlul bait, insya Allah akan kami bahas pada edisi mendatang.
Al-Khullah adalah kecintaan yang paling tinggi. Para ulama menyatakan bahwa derajat khullah lebih tinggi dari tingkatan mahabbah. Oleh karena itu seorang yang disebut sebagai khalil, lebih tinggi kedudukannya daripada habib. Di antara dalil yang menunjukkan hal tersebut adalah bahwa Allah hanya mengambil dua orang manusia sebagai khalil, yaitu nabi Ibrahim dan Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam. Sedangkan masalah mahabbah Allah sering menyebutkan dalam al-Qur’an, Allah mencintai orang-orang yang beriman, sabar, berjihad di jalan-Nya dan lain-lain.
Oleh karena itu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menyatakan kalau saja beliau menjadikan khalil, maka niscaya Abu Bakarlah orangnya. Hal ini menunjukkan bahwa Abu Bakar adalah orang yang terdekat dan paling dicintai oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Hanya saja beliau shalallahu ‘alaihi wasallam tidak mengambil khalil dari kalangan manusia.
Dengan disebutkannya beberapa isyarat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam di atas cukuplah kiranya menjadi hujjah yang tegas bahwa Abubakar adalah seorang yang paling layak menjadi khalifah. Dan kekhalifahannya adalah sah, tidak ada yang menyelisihi kecuali orang-orang yang dalam hatinya adanya penyakit.
Namun perlu diketahui bahwa pendapat ahlus sunnah ini adalah pernyataan yang keluar dari hujjah yang terdapat dalam al-Qur’an dan sunnah secara ijma’, hal ini sama sekali tidak keluar dari kebencian kepada ahlul bait. Adapun tentang keutamaan ahlul bait, insya Allah akan kami bahas pada edisi mendatang.
Wallahu a’lam
Al Ustadz Muhammad Umar
As-Sewed
Dinukil dari: Buletin Manhaj Salaf Cirebon
http://assalafy.org/artikel.php?kategori=buletin?almanhaj=9
(
Bantahan Syubuhat Syi'ah ke 4)
Di antara alasan kaum Syi’ah menganggap Ali radhiallahu ‘anhu lebih berhak menjadi khalifah adalah adanya riwayat-riwayat palsu yang menyebutkan tentang wasiat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam kepada Ali radhiallahu ‘anhu di Ghadir Khum. Padahal ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam wafat, beliau tidak memberikan wasiat berupa apapun dan kepada siapapun, kecuali dengan al-Qur’an. Diriwayatkan dalam dua kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim dari Thalhah ibnu Musharif, bahwa dia bertanya kepada Abdullah ibnu Abi Aufa radhiallahu ‘anhu:
سَأَلْتُ عَبْدَ اللَّهِ
بْنَ
أَبِي
أَوْفَى رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا هَلْ أَوْصَى رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لاَ قُلْتُ
فَكَيْفَ كُتِبَ عَلَى الْمُسْلِمِينَ الْوَصِيَّةُ أَوْ فَكَيْفَ
أُمِرُوا بِالْوَصِيَّةِ قَالَ أَوْصَى بِكِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ.
(رواه البخاري ومسلم).
Aku bertanya kepada
Abdullah ibnu Abi Aufa: “Apakah Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam memberikan
wasiat?” Beliau menjawab: “Tidak.” Maka saya katakan: “Kalau begitu bagaimana
dia menuliskan buat manusia pesan-pesan atau memerintahkan wasiatnya?” Dia
menjawab: “Beliau mewasiatkan dengan kitabullah ‘azza wajalla”. (HR. Bukhari;
Fathul Bary 3/356, hadits 2340; dan Muslim dalam Kitabul Wasiat 3/1256, hadits
16).
Demikian pula diriwayatkan dari ummul mukminin Aisyah radhiallahu ‘anha, istri Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam yang beliau mening-gal di pangkuannya, tentunya beliau lebih tahu apakah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berwasiat atau tidak. Dia berkata dalam riwayat Muslim:
Demikian pula diriwayatkan dari ummul mukminin Aisyah radhiallahu ‘anha, istri Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam yang beliau mening-gal di pangkuannya, tentunya beliau lebih tahu apakah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berwasiat atau tidak. Dia berkata dalam riwayat Muslim:
مَا
تَرَكَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دِينَارًا
وَلاَ
دِرْهَمًا وَلاَ شَاةً وَلاَ
بَعِيرًا وَلاَ أَوْصَىبِشَيْءٍ. (رواه مسلم)
Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasallam tidak meninggalkan dirham; tidak pula dinar, tidak seekor
kambing, tidak pula seekor unta dan tidak mewasiatkan dengan apa pun. (HR.
Muslim, dalam Kitabul Wasiat, 3/256, hadits 18)
Dalam riwayat lainnya dari Aswad bin Yazid bahwa ia berkata:
Dalam riwayat lainnya dari Aswad bin Yazid bahwa ia berkata:
ذَكَرُوا عِنْدَ عَائِشَةَ
أَنَّ
عَلِيًّا كَانَ وَصِيًّا فَقَالَتْ مَتَى أَوْصَى إِلَيْهِ فَقْدُ كُنْتُ
مُسْنِدَتُهُ إِلَى
صَدْرِي أَوْ قَالَتْ
حِجْرِي فَدَعَا بِالطَّسْتِ
فَلَقَدِ انْخَنَثَ فِي حِجْرِي
وَمَا
شَعَرَتْ أَنَّهُ مَاتَ فَمَتَى أَوْصَىإِلَيْهِ. (رواه البخاري
ومسلم).
Mereka menyebutkan di
sisi Aisyah bah-wa Ali adalah seorang yang mendapatkan wasiat. Maka beliau
(Aisyah) berkata: “Kapan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berwasiat
kepadanya, padahal aku adalah sandaran beliau ketika beliau bersandar di dadaku
–atau ia berkata: pangkuanku—kemudian beliau meminta segelas air. Tiba-tiba
beliau terkulai di pangkuanku, dan aku tidak merasa kalau beliau ternyata sudah
meninggal, maka kapan beliau berwasiat kepadanya?”. (HR. Bukhari dalam kitab
al-Washaya, Fathul Bari 5/356, hadits 2471; Muslim dalam kitabul Washiyat, Bab
Tarkul Wasiat liman laisa lahu Syaiun Yuushi bihi, 3/1257, no. 19)
Demikianlah, riwayat-riwayat yang menyatakan bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam tidak berwasiat ketika wafat sangat banyak, sehingga mereka –para shahabat– seluruhnya memahami bahwa wasiat beliau secara umum adalah al-Qur’an. Diriwayatkan pula bahwa di antara keluarga Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam yaitu Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma menyatakan pula kekecewaannya, karena Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam tidak sempat berwasiat disebabkan silang pendapat di antara ahlul bait. Sebagian di antara mereka menyatakan cukup al-Qur’an, karena Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam sedang dalam keadaan sakit yang parah. Sedangkan sebagian yang lain, mengharapkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam sallam menulis wasiat, hingga datanglah ajal beliau dalam keadaan belum sempat memberikan wasiat. Maka Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata:
Demikianlah, riwayat-riwayat yang menyatakan bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam tidak berwasiat ketika wafat sangat banyak, sehingga mereka –para shahabat– seluruhnya memahami bahwa wasiat beliau secara umum adalah al-Qur’an. Diriwayatkan pula bahwa di antara keluarga Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam yaitu Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma menyatakan pula kekecewaannya, karena Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam tidak sempat berwasiat disebabkan silang pendapat di antara ahlul bait. Sebagian di antara mereka menyatakan cukup al-Qur’an, karena Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam sedang dalam keadaan sakit yang parah. Sedangkan sebagian yang lain, mengharapkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam sallam menulis wasiat, hingga datanglah ajal beliau dalam keadaan belum sempat memberikan wasiat. Maka Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata:
إِنَّ الرَزِيَةَ كُلَّ الرَّزِيَةِ مَاحَالَ بَيْنَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَبَيْنَ أَنْ يَكْتُبَ لَهُمْ ذَلِكَ الْكِتَابَ مِنِ اخْتِلاَفِهِمْ وَلِغْطِهِمْ (رواه البخار ومسلم).
Sesungguhnya kerugian
segala kerugian adalah terhalangnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam
untuk menulis wasiat kepada mereka, karena adanya perselisihan dan silang
pendapat di antara mereka. (HR. Bukhari dalam Kitabul Maghazi, bab Maradlun
Nabi; Fathul Bari, juz 8, hal. 132 no. hadits 4432; Muslim dalam Kitabul
Wasiat, bab Tarkul Wasiat liman laisa lahu Syaiun Yuushi bihi, juz 3 hal. 1259,
no. 22)
Dalam memandang kejadian ini, ahlus sunnah wal jama’ah tidak berburuk sangka kepada para shahabat, apalagi ke-pada ahlu bait dan keluarga dekat nabi shalallahu ‘alaihi wasallam, karena kedua belah pihak mengharapkan kebaikan. Sebagian mengharapkan ditulisnya wasiat untuk kebaikan umat, dan sebagian keluarga beliau yang lain merasa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan sedang merasakan sakit yang berat, sehingga tidak perlu diganggu. Sedangkan kita sudah memiliki al-Qur’an sebagai wasiat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam –kata mereka. Yang dimaksud adalah ucapan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam :
Dalam memandang kejadian ini, ahlus sunnah wal jama’ah tidak berburuk sangka kepada para shahabat, apalagi ke-pada ahlu bait dan keluarga dekat nabi shalallahu ‘alaihi wasallam, karena kedua belah pihak mengharapkan kebaikan. Sebagian mengharapkan ditulisnya wasiat untuk kebaikan umat, dan sebagian keluarga beliau yang lain merasa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan sedang merasakan sakit yang berat, sehingga tidak perlu diganggu. Sedangkan kita sudah memiliki al-Qur’an sebagai wasiat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam –kata mereka. Yang dimaksud adalah ucapan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam :
وَقَدْ
تَرَكْتُ فِيْكُمْ مَا لَنْ تَضِلُّوْا
بَعْدَهُ إِنِ اعْتَصَمْتُمْ
بِهِ
كِتَابُ اللهِ. (رواه مسلم)
Aku tinggalkan untuk
kalian sesuatu yang kalian tidak akan tersesat setelah-ya jika kalian berpegang
teguh dengan-ya yaitu kitabullah (al-Al-Qur’an). (HR. Muslim)
Sebaliknya, kaum Syi’ah Rafidlah menjadikan riwayat ini sebagai ajang pencaci-makian terhadap para shahabat. Mereka menuduh perbuatan para shahabat itu untuk menghalangi Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berwasiat kepada Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu dan merebut tampuk kepemimpinan dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu dan diberikannya kepada Abu Bakar ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu. Ucapan mereka ini jelas batil dan penuh dengan kedustaan, karena pada waktu itu Abu Bakar sendiri tidak berada di sana. Beliau berada di daerah Sunh –di pinggiran kota Madinah– yaitu berada di rumah salah satu istrinya yang lain. Bahkan ucapan mereka ini justru mencerca dan mencela ahlul bait sendiri. Untuk itu mereka tidak pantas disebut pecinta ahlul bait. Lihatlah dalam riwayat yang lebih lengkap sebagai berikut:
Sebaliknya, kaum Syi’ah Rafidlah menjadikan riwayat ini sebagai ajang pencaci-makian terhadap para shahabat. Mereka menuduh perbuatan para shahabat itu untuk menghalangi Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berwasiat kepada Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu dan merebut tampuk kepemimpinan dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu dan diberikannya kepada Abu Bakar ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu. Ucapan mereka ini jelas batil dan penuh dengan kedustaan, karena pada waktu itu Abu Bakar sendiri tidak berada di sana. Beliau berada di daerah Sunh –di pinggiran kota Madinah– yaitu berada di rumah salah satu istrinya yang lain. Bahkan ucapan mereka ini justru mencerca dan mencela ahlul bait sendiri. Untuk itu mereka tidak pantas disebut pecinta ahlul bait. Lihatlah dalam riwayat yang lebih lengkap sebagai berikut:
عَنْ
عَبْدِ
اللهِ
بْنَ
عَبَّاسٍ أَنَّ عَلِيَّ بْنَ أَبِي
طَالِبٍ رضي الله عَنْهُ
خَرَجَ
مِنْ
عِنْدِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي وَجْعِهِ الَّذِي تُوُفِّىَ
فِيْهِ
فَقَالَ النَّاسُ:
يَا
أَبَا
الْحَسَنِ كَيْفَ أَصْبَحَ
رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم
قَالَ
أَصْبَحَ بِحَمْدِ اللهِ بَارِئًا فَأَخَذَ بِيَدِهِ الْعَبَّاسُ
فَقَالَ لَهُ أَلاَ تَرَاهُ أَنْتَ وَاللهِ
بَعْدَ
ثَلاَثٍ عَبْدُ
الْعَصَا وَاللهِ إِنِّي َلأَرَى رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ سَوْفَ تُوُفِّىَ
فِي
وَجْعِهِ وَإِنِّي َلأَعْرِفُ فِي وُجُوْهِ بَنِي عَبْدِ الْمُطَّلِبِ الْمَوْتَ فَاذْهَبْ
بِنَا
إِلَى رَسُوْلِ
اللهِ
صَلَّى
اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنَسْأَلُهُ
فِيْمَنْ هَذَا
اْلأمْرُ؟ فَإِنْ كَانَ فِيْنَا عَلِمْنَا ذَلِكَ وَإْنْ
كَانَ
فِي غَيْرِنَا
عَلِمْنَا ذَلِكَ فَأَوْصَى
بِنَا.
قَالَ
عَلِيُّ وَاللهِ لَئِنْ
سَأَلْنَاهَا رَسُوْلَ الله صَلَّى
اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَمَنَعْنَاهَا لاَ يُعْطِيْنَاهَا
النَّاسُ بَعْدَهُ وَإِنِّي
وَاللهِ لاَ
أَسْأَلُهَا رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى
اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. (رواه البخاري)
Dari Ibnu Abbas
radhiallahu ‘anhuma, bahwasanya Ali bin Abi Thalib keluar dari sisi Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasallam ketika beliau sakit menjelang wafatnya. Maka manusia berkata:
“Wahai Abal Hasan, bagaimana keadaan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam?”
Beliau menjawab: “Alhamdulillah baik”. Abbas bin Abdul Muthalib (paman
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam) memegang tangan Ali bin Abi Thalib,
kemudian berkata kepadanya: “Engkau, demi Allah, setelah tiga hari ini akan
memegang tongkat kepemimpinan. Sungguh aku mengerti bahwa Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasallam akan wafat dalam sakitnya kali ini, karena aku mengenali
wajah-wajah anak cucu Abdul Muthalib ketika akan wafatnya. Marilah kita menemui
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam untuk menanyakan kepada siapa urusan ini
dipegang? Kalau diserahkan kepada kita, maka kita mengetahuinya. Dan kalau pun
diserahkan untuk selain kita, maka kitapun mengetahuinya dan beliau akan
memberikan wasiatnya”. Ali bin Abi Thalib menjawab: “Demi Allah, sungguh kalau
kita menanyakannya kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, lalu beliau
tidak memberikannya kepada kita, maka tidak akan diberikan oleh manusia kepada
kita selama-lamanya. Dan sesungguhnya aku demi Allah tidak akan memintanya
kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. (HR. Bukhari, kitabul Maghazi,
bab Maradlun Nabiyyi wa wafatihi; fathlul bari 8/142, no. 4447)
Berkata Dr. Ali bin Muhammad Nashir al-Faqihi: “Tidakkah cukup nash ini untuk membantah Rafidlah yang mengatakan bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mewasiatkan kepada Ali bin Abi Thalib dengan khilafah? Kedustaan mereka tampak jelas dengan hadits ini dari beberapa sisi: 1. Penolakan Ali radhiallahu ‘anhu untuk meminta khilafah atau menanyakannya. 2. Kejadian tersebut terjadi pada waktu wafatnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam (yang membuktikan bahwa beliau tidak berwasiat apapun –pent.). 3. Kalau saja ada nash (wasiat) sebelum itu untuk Ali radhiallahu ‘anhu tentu dia akan menjawab kepada Abbas: “Bagaimana kita menanyakan untuk siapa urusan ini padahal dia telah mewasiatkannya kepadaku?”. (Kitab Al-Imamah war Radd ‘Ala Rafidlah, Abu Nu’aim al-Asbahani dengan tahqiq Dr. Ali bin Muhammad Nashir al-Faqihi dalam foot notenya hal. 237-238; Lihat Badzlul Majhuud Fi Musyabahatir Rafidlah bil Yahuudi, juz I hal. 191, Abdullah bin Jumaili) Dalam riwayat ini terlihat jelas sekali bahwasanya yang menolak untuk memin-ta wasiat kepada Nabi adalah Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu sendiri. Masih banyak lagi riwayat-riwayat lainnya tentang kejadian ini, karena pada saat itu memang beberapa hadirin ikut berbicara sehingga suasana menjadi ramai dan berakhir dengan wafatnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dengan tidak memberikan wasiat apapun tentang khilafah kepada siapa pun. Kemudian bagaimana mereka –kaum syi’ah tersebut— menganggap bahwa Ali bin Abi Thalib mendapatkan wasiat untuk menjadi khalifah setelahnya, ketika beliau berada di Ghadir Khum. Mengapa mereka tidak menanyakannya kepada Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu sendiri, padahal mereka mengaku pecinta ahlul bait?! Kalau mereka benar-benar cinta kepada ahlul bait dan mengaku pengikut setia ahlul bait khususnya Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, maka dengarkanlah riwayat dari beliau dengan sanad yang shahih sebagai berikut:
Berkata Dr. Ali bin Muhammad Nashir al-Faqihi: “Tidakkah cukup nash ini untuk membantah Rafidlah yang mengatakan bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mewasiatkan kepada Ali bin Abi Thalib dengan khilafah? Kedustaan mereka tampak jelas dengan hadits ini dari beberapa sisi: 1. Penolakan Ali radhiallahu ‘anhu untuk meminta khilafah atau menanyakannya. 2. Kejadian tersebut terjadi pada waktu wafatnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam (yang membuktikan bahwa beliau tidak berwasiat apapun –pent.). 3. Kalau saja ada nash (wasiat) sebelum itu untuk Ali radhiallahu ‘anhu tentu dia akan menjawab kepada Abbas: “Bagaimana kita menanyakan untuk siapa urusan ini padahal dia telah mewasiatkannya kepadaku?”. (Kitab Al-Imamah war Radd ‘Ala Rafidlah, Abu Nu’aim al-Asbahani dengan tahqiq Dr. Ali bin Muhammad Nashir al-Faqihi dalam foot notenya hal. 237-238; Lihat Badzlul Majhuud Fi Musyabahatir Rafidlah bil Yahuudi, juz I hal. 191, Abdullah bin Jumaili) Dalam riwayat ini terlihat jelas sekali bahwasanya yang menolak untuk memin-ta wasiat kepada Nabi adalah Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu sendiri. Masih banyak lagi riwayat-riwayat lainnya tentang kejadian ini, karena pada saat itu memang beberapa hadirin ikut berbicara sehingga suasana menjadi ramai dan berakhir dengan wafatnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dengan tidak memberikan wasiat apapun tentang khilafah kepada siapa pun. Kemudian bagaimana mereka –kaum syi’ah tersebut— menganggap bahwa Ali bin Abi Thalib mendapatkan wasiat untuk menjadi khalifah setelahnya, ketika beliau berada di Ghadir Khum. Mengapa mereka tidak menanyakannya kepada Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu sendiri, padahal mereka mengaku pecinta ahlul bait?! Kalau mereka benar-benar cinta kepada ahlul bait dan mengaku pengikut setia ahlul bait khususnya Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, maka dengarkanlah riwayat dari beliau dengan sanad yang shahih sebagai berikut:
عَنْ
أَبِي
الطًُّفَيْلِ قَالَ سُئِلَ عَلِيٌّ أَخَصَّكُمْ رُسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهِ
عَلَيْهِ وَسَلَمَ بِشَيْءٍ
فَقَالَ مَاخَصَّنَا رَسُوْلُ
اللهِ
صَلَّى
اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِشَيْءٍ
لَمْ يَعُمْ بِهِ
النَّاسَ كَافَّةً إِلاَّ مَا
كَانَ
فِي
قُرَابِ سَيْفِي هَذَا
قَالَ
فَأَخْرَجَ صَحِيْفَةً مَكْتُوْبٌ
فِيْهَا لَعَنَ اللهُ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللهِ… (رواه مسلم).
Diriwayatkan dari Abu
Thufail bahwa Ali radhiallahu ‘anhu ditanya: “Apakah Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasallam mengkhususkan sesuatu kepadamu? (yakni wasiat khusus, pent.).
Maka beliau menjawab: “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam tidak
menghususkan aku dengan sesuatu pun yang beliau tidak menyebarkannya kepada
manusia, kecuali apa yang ada di sarung pedangku ini. Kemudian beliau
mengeluarkan lembaran dari sarung pedangnya yang tertulis padanya: Allah
melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah… “ (HR. Muslim)
Demikianlah, tidak akan diterima sebuah pengakuan tanpa bukti, maka tidak bisa diterima pengakuan Syi’ah Rafidlah di atas.
Wallahu a’lam. Al-Ustadz Muhammad Umar As-Sewed
Risalah Dakwah MANHAJ SALAF , Insya Allah terbit setiap hari Jum’at. Infaq Rp. 100,-/exp. Pesanan min. 50 exp bayar di muka. Diterbitkan oleh Yayasan Dhiya’us Sunnah, Jl. Dukuh Semar Gg. Putat RT 06 RW 03, Cirebon. telp. (0231) 222185. Penanggung Jawab & Pimpinan Redaksi: Ustadz Muhammad Umar As-Sewed; Sekretaris: Ahmad Fauzan; Sirkulasi: Arief, Agus Rudiyanto; Keuangan: Kusnendi. Pemesanan hubungi: Abu Rahmah HP. 081564634143
http://assalafy.org/artikel.php?kategori=buletin?almanhaj=8
Demikianlah, tidak akan diterima sebuah pengakuan tanpa bukti, maka tidak bisa diterima pengakuan Syi’ah Rafidlah di atas.
Wallahu a’lam. Al-Ustadz Muhammad Umar As-Sewed
Risalah Dakwah MANHAJ SALAF , Insya Allah terbit setiap hari Jum’at. Infaq Rp. 100,-/exp. Pesanan min. 50 exp bayar di muka. Diterbitkan oleh Yayasan Dhiya’us Sunnah, Jl. Dukuh Semar Gg. Putat RT 06 RW 03, Cirebon. telp. (0231) 222185. Penanggung Jawab & Pimpinan Redaksi: Ustadz Muhammad Umar As-Sewed; Sekretaris: Ahmad Fauzan; Sirkulasi: Arief, Agus Rudiyanto; Keuangan: Kusnendi. Pemesanan hubungi: Abu Rahmah HP. 081564634143
http://assalafy.org/artikel.php?kategori=buletin?almanhaj=8
KEUTAMAAN ABU BAKAR DAN UMAR DI ATAS ALI RADHIALLAHU 'ANHUM
( Bantahan syubuhat syi'ah ke 2)
Di antara alasan kaum Syi’ah Rafidlah yang menganggap bahwa Ali radhiyallahu ‘anhu lebih berhak menjadi khalifah adalah:
1. Mereka menganggap Ali radhiyallahu ‘anhu lebih utama daripada Abu Bakar dan Umar radhiyallahu ‘anhuma.
2. Ali radhiyallahu ‘anhu termasuk keluarga Rasulullah (ahlul bait).
3. Wasiat Rasulullah di Ghadir Qum.
Kita jawab alasan mereka satu persatu:
Pertama pendapat mereka tentang keutamaan Ali radhiyallahu ‘anhu di atas Abu Bakar dan Umar radhiallahu 'anhuma.
Pertama pendapat mereka tentang keutamaan Ali radhiyallahu ‘anhu di atas
Abu Bakar dan Umar radhiallahu 'anhuma.
Pendapat ini menyelisihi hadits Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam dan ijma’ kesepakatan para shahabat dan seluruh kaum muslimin. Bahkan menyelisihi ucapan Ali radhiallahu 'anhu sendiri.
1. Diriwayatkan dengan sanadnya yang shahih dari Ibnu Umar:
Pendapat ini menyelisihi hadits Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam dan ijma’ kesepakatan para shahabat dan seluruh kaum muslimin. Bahkan menyelisihi ucapan Ali radhiallahu 'anhu sendiri.
1. Diriwayatkan dengan sanadnya yang shahih dari Ibnu Umar:
كُنَّا
نُخَيِّرُ بَيْنَ النَّاسِ
فِي
زَمَنِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَنُخَيِّرُ
أَبَا
بَكْرٍ
ثُمَّ
عُمَرَ
بْنَالْخَطَّابِ ثُمَّ عُثْمَانَ
بْنَ
عَفَّانٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ.
(رواه البخاري فتح الباري ج 7
ص 16).
Kami
membanding-bandingkan di antara manusia di zaman Rasulullah shallallahu `alaihi
wa sallam. Maka kami menganggap yang terbaik adalah Abu Bakar, kemudian Umar,
kemudian Utsman bin Affan. (HR. Bukhari)
Dalam lafazh lain dikatakan:
Dalam lafazh lain dikatakan:
كُنَّا
نَقُوْلُ وَرَسُوْلُ اللهِ صَلَّى
اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَيٌّ أَفْضَلُ أُمَّةِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَهُأَبُوْ
بَكْرٍ
ثُمَّ
عُمَرُ
ثُمَّ
عُثْمَانُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ أَجْمَعِيْنَ.
رواه
أبو
داود
في
كتاب
السنة
باب
التفضيل انظر عون المعبود ج
8 صلى
الله
عليه
و
سلم
381 والترمذي وقال حديث حسن
صحيح)
Kami mengatakan dan
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam masih hidup bahwa yang paling utama
dari umat nabi shallallahu `alaihi wa sallam setelah beliau adalah Abu Bakar,
kemudian Umar, kemudian Utsman. (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi. Dan Tirmidzi
berkata: Hadits hasan)
Dua hadits ini merupakan dalil yang qath’i (pasti) karena Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma menyebutkan dua kalimat yang penting yang menunjukkan bahwa ucapannya tidak memiliki muatan subyektif. Pertama, kalimat tersebut adalah: “Kami membanding-bandingkan…”, atau “Kami mengatakan……”. Kedua kalimat tersebut menunjukkan bahwa ucapan itu adalah ucapan para shahabat seluruhnya dan tidak ada seorang pun dari mereka yang membantahnya.
Kalimat kedua adalah ucapan beliau: “Dan Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam masih hidup…” atau dalam lafazh lain: “di zaman Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam…..”. Ucapan ini menunjukkan bahwa ucapan para shahabat tersebut didengar dan disaksikan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam, dan beliau shallallahu `alaihi wa sallam tidak membantahnya. Inilah yang dinamakan oleh ahlul hadits dengan hadits taqriri yang merupakan hujjah dan dalil yang qath’i.
2. Hadits yang diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu 'anhu sendiri yang diriwayatkan secara mustafidlah dari Muhammad Ibnil Hanafiyah:
Dua hadits ini merupakan dalil yang qath’i (pasti) karena Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma menyebutkan dua kalimat yang penting yang menunjukkan bahwa ucapannya tidak memiliki muatan subyektif. Pertama, kalimat tersebut adalah: “Kami membanding-bandingkan…”, atau “Kami mengatakan……”. Kedua kalimat tersebut menunjukkan bahwa ucapan itu adalah ucapan para shahabat seluruhnya dan tidak ada seorang pun dari mereka yang membantahnya.
Kalimat kedua adalah ucapan beliau: “Dan Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam masih hidup…” atau dalam lafazh lain: “di zaman Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam…..”. Ucapan ini menunjukkan bahwa ucapan para shahabat tersebut didengar dan disaksikan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam, dan beliau shallallahu `alaihi wa sallam tidak membantahnya. Inilah yang dinamakan oleh ahlul hadits dengan hadits taqriri yang merupakan hujjah dan dalil yang qath’i.
2. Hadits yang diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu 'anhu sendiri yang diriwayatkan secara mustafidlah dari Muhammad Ibnil Hanafiyah:
قُلْتُ
ِلأَبِي:
أَيُّ
النَّاسِ خَيْرٌ بَعْدَ رَسُوْلِ اللهَ ?؟ قَالَ: أَبُو بَكْرٍ. قَلْتُ: ثُمَّ مَنْ؟
قَالَ:
عُمَرُ.
وَخَشِيْتُ أَنْ يَقُوْلَ عُثْمَانُ. قُلْتُ: ثُمَّ أَنْْتَ؟
قَالَ:
مَا
أَنَا
إِلاَّ رَجُلٌ
مِنَ
الْمُسْلِمِيْنَ.
(رواه
البخاري:
كتاب
فضائل
الصحابة باب 4 وفتح البارى
7/2)
Aku bertanya kepada
bapakku (yakni Ali bin Abi Thalib radhiallahu 'anhu): Siapakah manusia yang
terbaik setelah Rasulullah ? ? Ia menjawab: “Abu Bakar”. Aku bertanya (lagi):
“Kemudian siapa?”. Ia menjawab: “Umar”. Dan aku khawatir ia akan berkata
Utsman, maka aku mengatakan: “Kemudian engkau?” Beliau menjawab: “Tidaklah aku
kecuali seorang dari kalangan muslimin”. (HR. Bukhari, kitab Fadlailus
Shahabah, bab 4 dan Fathul Bari juz 4/20)
Bahkan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu mengancam untuk mencambuk orang yang mengutamakan diri-nya di atas Abu Bakar dan Umar dengan cambukan seorang pendusta.
Bahkan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu mengancam untuk mencambuk orang yang mengutamakan diri-nya di atas Abu Bakar dan Umar dengan cambukan seorang pendusta.
لاَ
أُوْتِيَ بِأَحَدٍ يُفَضِّلُنِيْ
عَلَى
أَبِي
بَكْرٍ
وَعُمَرَ إِلاَّ جَلَّدْتُهُ
حَدَّ
الْمُفْتَرِيْنَ.
Tidak didatangkan
kepadaku seseorang yang mengutamakan aku diatas Abu Bakar dan Umar, kecuali
akan aku cambuk dengan cambukan seorang pendusta.
Maka ketika itu seorang yang mengatakan beliau lebih utama dari Abu Bakar dan umar dicambuk delapan puluh kali cambukan. (Majmu’ Fatawa juz 4 hal. 422; Lihat Imamatul ‘Udhma, hal. 313).
Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu pernah menceritakan ucapan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu sebagai berikut:
Maka ketika itu seorang yang mengatakan beliau lebih utama dari Abu Bakar dan umar dicambuk delapan puluh kali cambukan. (Majmu’ Fatawa juz 4 hal. 422; Lihat Imamatul ‘Udhma, hal. 313).
Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu pernah menceritakan ucapan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu sebagai berikut:
إِني
لَوَاقِفٌ فِي قَوْمٍ نَدْعُوا اللهَ لِعُمَرَ
بْنِ
الْخَطَّابِ وَقَدْ
وُضِعَ
عَلَى
سَرِيْرِهِ، إِذَا رَجُلٌ مِنْ
خَلْفِي قَدْ وَضَعَ مِرْفَقَيْهِ عَلَى مَنْكِبِي يَقُوْلُ: رَحِمَكَ اللهَ إِنْ
كُنْتُ َلأَرْجُو أَنْ يَجْعَلَكَ
اللهُ
مَعَ
صَاحِبَيْكَ ِلأَنِيْ كَثِيْرًا
مَا كُنْتُ أَسْمَعُ رَسُوْلَ اللهِ ? يَقُوْلُ: كُنْتُ وَأَبُوْ بَكْرٍ وَعُمَرُ، وَفَعَلْتُ وَأَبُو
بَكْرٍ
وَعُمَرُ، وَانْطَلَقْتُ وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ، فَإِنْ كُنْتُ َلأَرْجُو أَنْ يَجْعَلَكَ
اللهُ مَعَهُمَا،
فَالْتَفَتُّ فَإِذَا هُوَ عَلِي
بْنِ
أَبِي
طَالِبٍ.
(رواه البخاري في فضائل الصحابة، باب من فضائل عمر 3389 (4/1858)).
Sungguh aku pernah
berdiri di kerumunan orang yang sedang mendoakan Umar bin Khathab ketika telah
diletakkan di atas pembaringannya. Tiba-tiba seseorang dari belakangku yang
meletakkan kedua sikunya di kedua pundakku berkata: “Semoga Allah merahmatimu
dan aku berharap agar Allah menggabungkan engkau bersama dua shahabatmu (Yakni
Rasulullah dan Abu Bakar) karena aku sering mendengar Rasulullah ? bersabda:
‘Waktu itu aku bersama Abu Bakar dan Umar…’ ‘aku telah mengerjakan bersama Abu
Bakar dan Umar…’, ‘aku pergi dengan Abu Bakar dan Umar...’. Maka sungguh aku
berharap semoga Allah menggabungkan engkau dengan keduanya. Maka aku menengok
ke belakangku ternyata ia adalah Ali bin Abi Thalib.
Hadits-hadits dari Ali bin Abi Thalib ini merupakan sebesar-besar dalil yang membuktikan kedustaan kaum Syi’ah Rafidlah yang mengutamakan Ali di atas Abu Bakar dan Umar radhiallahu 'anhuma.
3. Bahkan ketika ditanyakan kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam siapa yang paling dicintainya, beliau shallallahu `alaihi wa sallam menjawab: “Abu Bakar”. Sebagaimana disebutkan dalam riwayat dari ‘Amr bin ‘Ash radhiallahu 'anhuma berikut:
Hadits-hadits dari Ali bin Abi Thalib ini merupakan sebesar-besar dalil yang membuktikan kedustaan kaum Syi’ah Rafidlah yang mengutamakan Ali di atas Abu Bakar dan Umar radhiallahu 'anhuma.
3. Bahkan ketika ditanyakan kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam siapa yang paling dicintainya, beliau shallallahu `alaihi wa sallam menjawab: “Abu Bakar”. Sebagaimana disebutkan dalam riwayat dari ‘Amr bin ‘Ash radhiallahu 'anhuma berikut:
أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
بَعَثَهُ عَلَى جَيْشِ
ذَاتِ
السَّلاَسِلِ فَأَتَيْتُهُ فَقُلْتُ
أَيُّ
النَّاسِ أَحَبُّ إِلَيْكَ قَالَ عَائِشَةُ
قُلْتُ
مِنَ
الرِّجَالِ قَالَ أَبُوهَا
قُلْتُ ثُمَّ
مَنْ
قَالَ
عُمَرُ
فَعَدَّ رِجَالاً.
Bahwasanya Rasulullah
shallallahu `alaihi wa sallam telah mengutus pasukan dalam perang dzatu
tsalatsil. Maka aku mendatanginya, dan bertanya kepadanya: “Siapakah orang yang
paling engkau cintai?” Beliau shallallahu `alaihi wa sallam menjawab: “Aisyah.”
Aku berkata: “Dari kalangan laki-laki wahai Rasulllah?” Beliau menjawab:
“Ayahnya”. Aku berkata: “Kemudian siapa?” Beliau menjawab: “Umar”. Kemudian
beliau menyebutkan beberapa orang. (HR. Bukhari dalam Fadhailil A’mal, fathul
Bari juz ke 7, hal. 18 dan Muslim dalam Fadhailus Shahabah juz ke-4 hal. 1856
no. 2384)
4. Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud, Hudzaifah ibnul Yaman, Anas bin Malik dan Abdullah bin Umar:
4. Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud, Hudzaifah ibnul Yaman, Anas bin Malik dan Abdullah bin Umar:
ثُمَّ
اقْتَدُوا بِاللَّذِيْنَ مِنْ بَعْدِيْ مِنْ أَصْحَابِي
أَبِي
بَكْرٍ
وَعُمَرَ...
Kemudian ikutilah
teladan orang-orang setelahku dari shahabatku yaitu Abu Bakar dan Umar…. (HR.
Tirmidzi, Baihaqi dan Hakim; Lihat Silsilah Ash-Shahihah juz 3 hal. 233, hadits
no. 1233)
5. Banyak isyarat dari Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam yang menunjukkan keutamaan Abu Bakar dan sekaligus isyarat bahwa beliaulah yang pantas mewakili Rasulullah shalla-llahu `alaihi wa sallam.
Diriwayatkan dari Jubair ibni Muth’im, dia berkata:
5. Banyak isyarat dari Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam yang menunjukkan keutamaan Abu Bakar dan sekaligus isyarat bahwa beliaulah yang pantas mewakili Rasulullah shalla-llahu `alaihi wa sallam.
Diriwayatkan dari Jubair ibni Muth’im, dia berkata:
أَتَتِ
امْرَأَةُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَمَرَهَا أَنَ تَرْجِعَ إِلَيْهِ قَالَتْ
أَرَأَيْتَ إِنْ جِئْتُ وَلَمْ
أَجِدْكَكَأَنَّهَا تَقُوْلُ الْمَوْتَ
قَالَ
صَلَّى
اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنْ لَمْ تَجِدِيْنِيْ فَأْتِي أَبَا بَكْرٍ.
Datang seorang wanita
kepada Nabi shallallahu `alaihi wasallam, maka Rasulullah menyuruhnya untuk
datang kembali. Maka wanita itu mengatakan: “Bagaimana jika aku tidak
mendapatimu?” –seakan-akan wanita itu memaksudkan jika telah meninggalnya
Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam. Beliau menjawab: “Jika engkau tidak
mendapatiku, maka datangilah Abu Bakar”. (HR. Bukhari 2/419; Muslim, 7/110;
lihat Zhilalul Jannah hal. 541-542, no. 1151)
Maka dengan riwayat-riwayat ini seluruh ulama ahlus sunnah sepakat bahwa manusia terbaik setelah rasulnya adalah Abu Bakar, kemudian Umar, ke-mudian Utsman kemudian Ali radhiyallahu 'anhum.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah tentang keutamaan Abu Bakar dan Umar di atas Utsman dan Ali radhiallahu 'anhum: “Yang demikian telah disepakati oleh para imam-imam kaum muslimin yang terkenal keilmuan dan keshalihannya dari kalangan shahabat, tabi’in, pengikut tabi’in, dan ini pula madzhab Imam Malik dan seluruh penduduk Madinah, Imam Al-Laits Ibnu Sa’ad dan seluruh ulama Mesir, al-Auzai dan seluruh penduduk Syam, Sufyan Ats-Tsauri, Abu Hanifah, Hammad ibni Zaid, Hammad Ibni Salamah dan seluruh penduduk Iraq. Dan ini juga madzhabnya imam Syafi’i, Imam Ahmad, Ishaq Ibnu Rahuyah, Abu Ubaid dan lain-lain dari para imam-imam kaum muslimin”. (Maj-mu’ Fatawa juz IV hal. 421).
Imam Malik mengatakan bahwa itu adalah ijma’ penduduk Madinah dalam ucapannya:
Maka dengan riwayat-riwayat ini seluruh ulama ahlus sunnah sepakat bahwa manusia terbaik setelah rasulnya adalah Abu Bakar, kemudian Umar, ke-mudian Utsman kemudian Ali radhiyallahu 'anhum.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah tentang keutamaan Abu Bakar dan Umar di atas Utsman dan Ali radhiallahu 'anhum: “Yang demikian telah disepakati oleh para imam-imam kaum muslimin yang terkenal keilmuan dan keshalihannya dari kalangan shahabat, tabi’in, pengikut tabi’in, dan ini pula madzhab Imam Malik dan seluruh penduduk Madinah, Imam Al-Laits Ibnu Sa’ad dan seluruh ulama Mesir, al-Auzai dan seluruh penduduk Syam, Sufyan Ats-Tsauri, Abu Hanifah, Hammad ibni Zaid, Hammad Ibni Salamah dan seluruh penduduk Iraq. Dan ini juga madzhabnya imam Syafi’i, Imam Ahmad, Ishaq Ibnu Rahuyah, Abu Ubaid dan lain-lain dari para imam-imam kaum muslimin”. (Maj-mu’ Fatawa juz IV hal. 421).
Imam Malik mengatakan bahwa itu adalah ijma’ penduduk Madinah dalam ucapannya:
مَا
أَدْرَكْتُ أَحَدًا مِمَّنْ
يَقْتَدِي بِهِ يَشُكُّ
فِي
تَقَدِّمِ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرً.
Tidak kutemui satu
orang pun dari ulama yang dijadikan teladan yang ragu terhadap diutamakannya
Abu Bakar dan Umar di atas yang lainnya. (Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah, 4/421; lihat Al-Imamatul ‘Udhma, Abdullah Ibnu Umar Ibnu Sulaiman
ad-Damiji, hal. 311)
Sebaliknya barangsiapa yang menyelisihi pendapat ini, maka ia adalah orang yang lebih sesat dari keledai piaraannya.
Sebaliknya barangsiapa yang menyelisihi pendapat ini, maka ia adalah orang yang lebih sesat dari keledai piaraannya.
Wallahu a’lam
Al Ustadz Muhammad Umar
As Sewed
(Bantahan syubuhat syi'ah ke 1)
Syubhat pertama kaum
syiah adalah meragukan keabsahan khilafah Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiallahu
‘anhu . Mereka menganggap dibai’atnya Abu Bakar radhiallahu ‘anhu sebagai
khalifah adalah tidak sah, karena Ali radhiallahu ‘anhu dan keluarganya atau
Ahlul Bait tidak diajak musyawarah, padahal Ali radhiallahu ‘anhu lebih berhak
menjadi khalifah daripada abu Bakar atau Umar radhiallahu ‘anhuma . Demikianlah
syubhat syi’ah yang mereka hembuskan dimana-mana, dengan kalimat yang sama dari
tokoh syi’ah yang berbeda-beda, bagaikan satu kaset yang diputar
berulang-ulang.
Pemahaman sesat dari orang Persia ini selalu mengatas-namakan Ahlul Bait dan menganggap pemahamannya sebagai “Madzhab Ahlul Bait”. Sehingga yang paling mudah terbawa dengan pemahaman syi’ah ini adalah orang-orang yang mengaku sebagai turunan Ali radhiallahu ‘anhu atau Alawiyyin –kecuali yang Allah rahmati–. Ketika disampaikan kepada mereka bahwa Ahlul Bait terdzalimi bangkitlah emosi kekeluargaannya. Padahal apa yang disampaikan oleh kaum syi’ah –yang merupakan jelmaan kaum majusi Persia– adalah kedustaan yang nyata dan tidak memiliki bukti yang otentik.
Pemahaman sesat dari orang Persia ini selalu mengatas-namakan Ahlul Bait dan menganggap pemahamannya sebagai “Madzhab Ahlul Bait”. Sehingga yang paling mudah terbawa dengan pemahaman syi’ah ini adalah orang-orang yang mengaku sebagai turunan Ali radhiallahu ‘anhu atau Alawiyyin –kecuali yang Allah rahmati–. Ketika disampaikan kepada mereka bahwa Ahlul Bait terdzalimi bangkitlah emosi kekeluargaannya. Padahal apa yang disampaikan oleh kaum syi’ah –yang merupakan jelmaan kaum majusi Persia– adalah kedustaan yang nyata dan tidak memiliki bukti yang otentik.
Mereka biasanya mengambil riwayat-riwayat tersebut dari kitab yang paling terkenal di kalangan mereka yaitu Nahjul Balaghah. Kitab ini berisi ucapan-ucapan, khutbah-khutbah dan sya’ir-sya’ir yang seluruhnya diatasnamakan Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu . Penulis buku tersebut mengesankan bahwa seakan-akan Ali radhiallahu ‘anhu tidak terima dengan keputusan para shahabat ketika memilih Abu Bakar sebagai khalifah. Bahkan dalam buku ini dinukil bahwa Ali radhiallahu ‘anhu mencaci dan mencerca Abu Bakar, Umar dan para shahabat yang lain. Namun sayang penulis buku tersebut tidak membawakan ucapan-ucapan Ali radhiallahu ‘anhu tersebut dengan sanadnya (rantai para rawi) sehingga tidak dapat diperiksa keotentikannya secara ilmiyyah dengan standar ilmu hadits.
Kitab ini –yang dikalangan kaum Syi’ah sejajar dengan al-Qur’an– ternyata disusun dan dikarang oleh seorang tokoh sesat dari kalangan Syi’ah imamiyyah, Rafidah yang bernama al-Murtadla Abi Thalib Ali bin Husein bin Musa Al Musawi (w th. 436 Hijriyah). Buku ini telah dinyatakan oleh para ulama Ahlus Sunnah sebagai kedustaan atas nama Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu.
Imam adz-Dzahabi berkata –ketika membahas biografi orang ini– sebagai berikut: “Dia adalah penghimpun kitab Nahjul Balaghah yang menyandarkan kalimat-kalimat yang ada dalam kitab ini kepada Imam Ali radhiallahu ‘anhu tanpa disebutkan sanad-sanadnya. Sebagian besar kalimat-kalimat itu batil, meskipun juga di dalamnya ada hal yang benar. Namun ucapan-ucapan palsu yang terdapat dalam kitab ini mustahil diucapkan oleh Imam Ali”. (Siyar A’lamin Nubala,17/589-590).
Beliau juga berkata:”…Barang siapa yang melihat buku Nahjul Balaghah ini, maka ia akan yakin bahwa ucapan-ucapan itu adalah dusta atas nama Amirul Mukminin Ali radhiallahu ‘anhu , karena di dalamnya terdapat caci-makian yang sangat jelas terhadap dua tokoh besar shahabat yaitu Abu Bakar dan Umar radhiallahu ‘anhuma . Juga tedapat ungkapan-ungkapan yang kaku (menurut kaidah sastra arab, pent) yang bagi orang yang telah mengenal jiwa bangsa Quraisy (dan tingginya bahasa mereka, pen.) dari kalangan para shahabat dan orang-orang setelahnya akan mengerti dengan yakin bahwa kebanyakan isi kitab tersebut adalah batil. (Mizanul i’tidal 3/124 Lisanul Mizan 4/223).
Ibnu Sirin menilai bahwa seluruh apa yang mereka (kaum Syi’ah) riwayatkan dari Ali radhiallahu ‘anhu semuanya kedustaan. (Al-‘ilmus Syamikh, hal 237)
Demikian pula Al-Khathib al-Baghdadi dalam kitabnya Al-Jami’ Li Akhlaqir rawi wa adibis sami’ (juz 2 hal. 161) telah memberikan isyarat tentang Kedustaan kandungan kitab ini”.
Syaikhul IslamIbnu Taimiyah berkata: “… sebagian besar khutbah-khutbah yang dinukil penyusun kitab Nahjul Balaghah adalah dusta atas nama Ali radhiallahu ‘anhu . Beliau terlalu mulia dan terlalu tinggi kapasitasnya untuk berbicara dengan ucapan seperti itu. Tetapi mereka mereka-reka kebohongan dengan anggapan bahwa hal itu sebagai sanjungan. Sungguh Itu bukanlah kebenaran, bukan pula merupakan sanjungan…. (Minhajus Sunnah an-Nabawiyah, 8/55-56)
Sedangkan para ulama Ahlussunnah wal Jama’ah telah meriwayatkan dengan sanad –dan sanad tersebut telah diteliti keshahihannya secara ilmiyyah—ucapan-ucapan Ali radhiallahu ‘anhu yang ternyata bertentangan dengan apa yang mereka riwayatkan seratus delapan puluh derajat. Di antaranya:
Pertama, riwayat yang menunjukkan Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu setuju dengan keputusan para sahabat dalam pengang-katan Abu Bakar radhiallahu ‘anhu sebagai khalifah. Imam Bukhari meriwayatkan dengan sanadnya sampai kepada Ubaidah bahwa ia mendengar Ali radhiallahu ‘anhu mengatakan:
اقْضُوْا كَمَا أَنْتُمْ
تَقْضُوْنَ فَإِنِّيْ أَكْرَهُ
الْخِلاَفُ حَتَّى يَكُوْنَ النَّاسَ جَمَاعَةً
أَوْ
أَمُوْتُ كَمَا مَاتَ أَصْحَابِيْ.
Putuskanlah
sebagaimana kalian putus-kan, sesungguhnya aku membenci perselisihan hingga
manusia berada dalam satu jama’ah atau lebih baik aku mati seperti para shahabat-shahabatku
yang telah mati. (AR. Bukhari
dalam Fadha-ilus Shahabah 3504)
Kedua, diriwayatkan pula secara mustafidh dari Ali bin Abi Thalib sendiri sebagaimana dalam Shahih Bukhari dengan menyebutkan sanadnya sampai kepada Muhammad ibnul Hanafiyah rahimahullah:
Kedua, diriwayatkan pula secara mustafidh dari Ali bin Abi Thalib sendiri sebagaimana dalam Shahih Bukhari dengan menyebutkan sanadnya sampai kepada Muhammad ibnul Hanafiyah rahimahullah:
قُلْتُ
ِلأَبِي:
أَيُّ
النَّاسِ خَيْرٌ بَعْدَ رَسُوْلِ اللهَ صلى
الله
عليه
و
سلم
؟
قَالَ: أَبُو بَكْرٍ.
قَلْتُ:
ثُمَّ
مَنْ؟
قَالَ:
عُمَرُ.
وَخَشِيْتُ أَنْ يَقُوْلَ عُثْمَانُ. قُلْتُ: ثُمَّ أَنْْتَ؟
قَالَ:
مَا
أَنَا
إِلاَّ رَجُلٌ
مِنَ
الْمُسْلِمِيْنَ.
(رواه البخاري في فضائل الصحابة 3468 وفتح البارى 4/20).
Aku bertanya kepada
bapakku (yakni Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu ): “Siapakah manusia yang
terbaik setelah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam ? Ia menjawab: “Abu
Bakar”. Aku berta-nya (lagi): “Kemudian siapa?”. Ia men-jawab: “Umar”. Dan aku
khwatir ia akan berkata Utsman, maka aku mengatakan: “Kemudian engkau?” Beliau
menjawab: “Tidaklah aku kecuali se-orang dari kalangan muslimin”. (ِAR. Bukhari, kitab
Fadlailus Shahabah, bab 4 dan Fathul Bari juz 4/20)
Ketiga, berkata Ibnu Taimiyah bahwa riwayat yang seperti ini (yakni riwayat di atas) telah diriwayatkan dari Imam Ali lebih dari 80 riwayat. Dan bahwasanya imam Ali ibnu Abi Thalib pernah berbicara di mimbar Kuffah, mengancam orang-orang yang mengutamakan dirinya di atas Abu Bakar dan Umar dengan cambukan seorang pendusta.
Ketiga, berkata Ibnu Taimiyah bahwa riwayat yang seperti ini (yakni riwayat di atas) telah diriwayatkan dari Imam Ali lebih dari 80 riwayat. Dan bahwasanya imam Ali ibnu Abi Thalib pernah berbicara di mimbar Kuffah, mengancam orang-orang yang mengutamakan dirinya di atas Abu Bakar dan Umar dengan cambukan seorang pendusta.
لاَ
أُوْتِيَ بِأَحَدٍ يَفْضِلُنِيْ
عَلَى
أَبِي
بَكْرٍ
وَعُمَرَ إِلاَّ جَلَّدْتُّهُ
حَدَّ
الْمُفْتَرِيْنَ
Tidak didatangkan
kepadaku seseorang yang mengutamakan aku di atas Abu Bakar dan Umar kecuali
akan aku cambuk dengan cambukan seorang pendusta.
Maka ketika itu seorang yang menga-takan beliau lebih utama dari Abu Bakar dan umar dicambuk delapan puluh kali cambukan. (Majmu’ Fatawa juz 4 hal. 422; Lihat Imamatul ‘Udhma, hal. 313).
Keempat, Imam Bukhari juga meriwayatkan dengan sanadnya yang bersambung dan shahih sampai kepada Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma bahwa dia pernah menghadiri jenazah Umar bin Khathab, dia berkata:
Maka ketika itu seorang yang menga-takan beliau lebih utama dari Abu Bakar dan umar dicambuk delapan puluh kali cambukan. (Majmu’ Fatawa juz 4 hal. 422; Lihat Imamatul ‘Udhma, hal. 313).
Keempat, Imam Bukhari juga meriwayatkan dengan sanadnya yang bersambung dan shahih sampai kepada Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma bahwa dia pernah menghadiri jenazah Umar bin Khathab, dia berkata:
إِني
لَوَاقِفٌ فِي قَوْمٍ نَدْعُوا اللهَ لِعُمَرَ
بْنِ
الْخَطَّابِ وَقَدْ
وُضِعَ
عَلَى
سَرِيْرِهِ، إِذَا رَجُلٌ مِنْ
خَلْفِي قَدْ وَضَعَ مِرْفَقَيْهِ عَلَى مَنْكِبَيْ يَقُوْلُ: رَحِمَكَ اللهَ إِنْ
كُنْتُ َلأَرْجُو أَنْ يَجْعَلَكَ
اللهُ
مَعَ
صَاحِبَيْكَ ِلأَنِّيْ كَثِيْرًا مَا كُنْتُ
أَسْمَعُ رَسُوْلَ اللهِ r يَقُوْلُ: كُنْتُ وَأَبُوْ
بَكْرٍ وَعُمَرُ، وَفَعَلْتُ وَأَبُو
بَكْرٍ
وَعُمَرُ، وَانْطَلَقْتُ وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ، فَإِنْ كُنْتُ َلأَرْجُو أَنْ يَجْعَلَكَ
اللهُ مَعَهُمَا،
فَالْتَفَتُّ فَإِذَا هُوَ عَلِي
بْنِ
أَبِي
طَالِبٍ.
(رواه البخاري في فضائل الصحابة، باب من فضائل عمر 3389 (4/1858)).
Sungguh aku pernah
berdiri di keru-munan orang yang sedang mendoakan Umar bin Khathab yang telah
diletak-kan di atas pembaringannya. Tiba-tiba seseorang dari belakangku –yang
me-letakkan sikunya di kedua pundakku– berkata: “Semoga Allah merahmatimu dan
aku berharap agar Allah mengga-bungkan engkau bersama dua shaha-batmu raYakni
Rasulullah dan Abu Bakar), karena aku sering mendengar Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasallam bersabda: ‘Waktu itu aku bersama Abu Bakar dan Umar…’ ‘aku telah mengerjakan
bersama Abu Bakar dan Umar…’, dan ‘aku pergi dengan Abu Bakar dan Umar…’. Maka
sungguh aku berharap semoga Allah menggabung-kan engkau dengan keduanya. Maka
aku menengok ke belakangku ternyata ia adalah Ali bin Abi Thalib. (HR. Bukhari
dalam Fadlailus Shahabah, 3389).
Keenam, diriwayatkan oleh Imam Malik rahimahullah bahwa telah terjadi ijma’ (kesepakatan) penduduk Madinah atas afdlaliyah (keutamaan) Abu Bakar dan Umar radhiallahu ‘anhuma di atas Ali radhiallahu ‘anhu, beliau radhiallahu ‘anhu berkata:
Keenam, diriwayatkan oleh Imam Malik rahimahullah bahwa telah terjadi ijma’ (kesepakatan) penduduk Madinah atas afdlaliyah (keutamaan) Abu Bakar dan Umar radhiallahu ‘anhuma di atas Ali radhiallahu ‘anhu, beliau radhiallahu ‘anhu berkata:
مَا
أَدْرَكْتُ أَحَدًا مِمَّنْ
يَقْتَدِي بِهِ يَشُكُّ
فِي
تُقَدِّمِ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ.
Tidak kutemui satu
orang pun dari ulama yang dijadikan teladan yang ragu terhadap diutamakannya
Abu Bakar dan Umar di atas yang lainnya. ( Majmu’ Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah, 4/421; lihat Al-Imamatul ‘Udhma, Abdullah Ibnu Umar Ibnu Sulaiman
ad-Damiji, hal. 311)
Ketujuh , maka setelah ini kita katakan kepada kaum Syi’ah dan kalangan mutasyayi’in (yang kesyi’ah-syi’ahan) ucapan Imam Ats-Tsauri sebagai berikut:
Ketujuh , maka setelah ini kita katakan kepada kaum Syi’ah dan kalangan mutasyayi’in (yang kesyi’ah-syi’ahan) ucapan Imam Ats-Tsauri sebagai berikut:
مَنْ
زَعَمَ
أَنَّ
عَلِيًّا كَانَ أَحَقُّ
بِالْوَلاَيَةِ مِنْهُمَا فَقَدْ
خَطَأَ
أَبَا
بَكْرٍ
وَعُمَرَ وَالْمُهَاجْرِيْنَ وَاْلأَنْصَارِيرَضِيَ
اللهُ
عَنْ
جَمِيْعِهِمْ وَمَا أَرَاهُ
يَرْتَفِعَ لَهُ مَعَ هَذَا عَمَلُ إِلَى
السَّمَاءِ
Barangsiapa yang
menganggap Ali lebih berhak menjadi khalifah daripada Abu Bakar dan Umar, maka
berarti dia telah menyalahkan Abu Bakar, Umar, Muhajirin dan Anshar radhiallahu
‘anhum. Maka Aku ti-dak mengira kalau amalannya akan naik ke langit (yakni
diterima di sisi Allah). (Riwayat Abu Dawud dalam Ki-tabus Sunnah, bab
at-Tafdlil; lihat Aunul Ma’bud, 8/382).
Dalam riwayat lain Sufyan ats-Tsauri berkata:
Dalam riwayat lain Sufyan ats-Tsauri berkata:
... فَقَدْ أَزْرَى عَلَى اثْنَيْ
عَشَرَ
أَلْفًا مِنْ أَصْحَابِ
رَسُوْلِ اللهِ
Barang siapa menganggap
Ali lebih berhak untuk menjadi khalifah, maka dia telah menuduh dua belas ribu
para shahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. (Al-Musnad min Masa’il
Imam Ahmad oleh al-Khalal dalam bentuk manuskrip dan dishahihkan sanad-sanadnya
oleh Imam Nawawi lihat ash-Shawaiq al-Muhriqah oleh Ibnu Hajar al-Haitsami
melalui nukilan ad-Damiji dalam al-Imamatul ‘Udzma hal. 313)
Wallahu a’lam
http://assalafy.org/
Wallahu a’lam
http://assalafy.org/
(Bantahan Syubuhat Syi'ah ke 3)
Alasan kedua kaum
Syi’ah Rafidlah menganggap bahwa Ali radliyallahu 'anhu lebih berhak menjadi
khalifah dari pada Abu Bakar dan Umar radliyallahu 'anhuma adalah karena Ali
radliyallahu 'anhu termasuk keluarga Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
Alasan ini adalah sama seperti alasan Yahudi yang mengatakan bahwa penguasa
harus dari keluarga Daud. Anggapan mereka ini adalah batil, karena tidak ada
satu pun dalil yang menyatakan bahwa kepemimpinan atau khilafah harus dari
kalangan ahlul bait. Demikian pula tidak disyaratkan bahwa khalifah (pemimpin)
itu harus dari kalangan ahlul bait.
Syarat-syarat seorang
untuk layak menjadi pemimpin sangat jelas dalam al-Qur’an dan sunnah. Di
antaranya syarat umum yang harus ada pada seorang pemimpin adalah Islam,
baligh, berakal, merdeka (bukan hamba sahaya), laki-laki dan berilmu. Kemudian
syarat-syarat khusus yang harus ada pada seorang pemimpin yaitu adanya
sifat-sifat keadilan, kesempurnaan mental, kesempurnaan fisik seperti ucapan
Allah subhanahu wa ta'ala tentang Thalut yang Allah angkat menjadi pemimpin.
Perhatikan firman Allah:
Perhatikan firman Allah:
وَقَالَ لَهُمْ نَبِيُّهُمْ إِنَّ اللَّهَ قَدْ بَعَثَ لَكُمْ طَالُوتَ مَلِكًا قَالُوا أَنَّى يَكُونُ لَهُ الْمُلْكُ عَلَيْنَا وَنَحْنُ أَحَقُّ بِالْمُلْكِ مِنْهُ وَلَمْ يُؤْتَ سَعَةً مِنَ الْمَالِ قَالَ إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَاهُ عَلَيْكُمْ وَزَادَهُ بَسْطَةً فِي الْعِلْمِ وَالْجِسْمِ وَاللَّهُ يُؤْتِي مُلْكَهُ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ.
Nabi mereka mengatakan
kepada mereka: "Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi
rajamu." Mereka menjawab: "Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal
kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang dia pun tidak
diberi kekayaan yang cukup banyak?" Nabi (mereka) berkata:
"Sesungguhnya Allah telah memilih rajamu dan menganugerahinya ilmu yang
luas dan tubuh yang perkasa." Allah memberikan pemerintahan kepada siapa
yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui.
(al-Baqarah: 247)
Selain sifat di atas, harus ada pula pada seorang pemimpin sifat keshalihan dan ketaqwaan, karena Allah akan mewarisi bumi ini untuk orang-orang yang shalih. Sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya:
Selain sifat di atas, harus ada pula pada seorang pemimpin sifat keshalihan dan ketaqwaan, karena Allah akan mewarisi bumi ini untuk orang-orang yang shalih. Sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya:
وَلَقَدْ كَتَبْنَا فِي الزَّبُورِ مِنْ بَعْدِ الذِّكْرِ أَنَّ اْلأَرْضَ يَرِثُهَا عِبَادِيَ الصَّالِحُون.َ
Dan sungguh telah Kami
tulis di dalam Zabur, sesudah (Kami tulis dalam) Lauh Mahfuzh, bahwasanya bumi
ini akan diwariskan kepada hamba-hamba-Ku yang shalih. (al-Anbiya’: 105)
وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي.
Dan Allah telah
berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan
amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa
di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka
berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah
diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka,
sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku
dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan-Ku. Dan barang siapa yang
(tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.
(an-Nuur: 55)
Oleh karena itu ketika Allah menjadikan Ibrahim sebagai imam dan Ibrahim meminta keturunannya juga menjadi pemimpin, Allah menyatakan bahwa kepemimpinan tidak akan diberikan kepada orang-orang dhalim dari keturunannya.
Oleh karena itu ketika Allah menjadikan Ibrahim sebagai imam dan Ibrahim meminta keturunannya juga menjadi pemimpin, Allah menyatakan bahwa kepemimpinan tidak akan diberikan kepada orang-orang dhalim dari keturunannya.
وَإِذِ ابْتَلَى إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ قَالَ إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي قَالَ لاَ يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِينَ.
Dan (ingatlah), ketika
Ibrahim diuji Rabbnya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu
Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu
imam bagi seluruh manusia". Ibrahim berkata: "(Dan saya mohon juga)
dari keturunanku". Allah berfirman: "Janji-Ku (ini) tidak mengenai
orang-orang yang dhalim". (al-Baqarah: 124)
Berkata Ibnu Katsir rahimahullah mengutip ucapan Mujahid dalam menafsirkan ayat ini: “Yakni: adapun orang-orang yang shalih dari mereka, maka aku akan jadikan mereka sebagai pemimpin. Adapun orang yang dhalim dari mereka, maka Kami tidak akan menjadikannya sebagai pemimpin dan Kami tidak peduli. (Tafsir Ibnu Katsir, juz I, hal. 167)
Dengan demikian berarti kepemimpinan itu didapat bukan karena faktor keturunan, tetapi karena faktor keshalihan.
Di samping itu, sifat yang harus ada agar seseorang layak menjadi pemimpin adalah memiliki kesabaran dan keyakinan yang tinggi. Allah juga berfirman:
Berkata Ibnu Katsir rahimahullah mengutip ucapan Mujahid dalam menafsirkan ayat ini: “Yakni: adapun orang-orang yang shalih dari mereka, maka aku akan jadikan mereka sebagai pemimpin. Adapun orang yang dhalim dari mereka, maka Kami tidak akan menjadikannya sebagai pemimpin dan Kami tidak peduli. (Tafsir Ibnu Katsir, juz I, hal. 167)
Dengan demikian berarti kepemimpinan itu didapat bukan karena faktor keturunan, tetapi karena faktor keshalihan.
Di samping itu, sifat yang harus ada agar seseorang layak menjadi pemimpin adalah memiliki kesabaran dan keyakinan yang tinggi. Allah juga berfirman:
وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ.
Dan Kami jadikan di
antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami
ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami. (as-Sajdah: 24)
Adapun syarat terakhir dari seorang pemimpin adalah Quraisyiyah (turunan Quraisy). Namun syarat ini adalah setelah terpenuhinya syarat-syarat tadi di atas. Artinya kalaupun ia adalah turunan Quraisy, namun jika memiliki kekurangan-kekurangan dari sifat-sifat di atas, tentunya ia tidak layak menjadi pemimpin atau khalifah. Jika ada beberapa orang yang memiliki syarat-syarat di atas dan di antara mereka ada seorang turunan Quraisy, maka yang paling layak untuk menjadi seorang pemimpin adalah dari turunan Quraisy.
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam menyatakan bahwa khalifah itu adalah seluruhnya dari kaum Quraisy dalam sebuah riwayat:
Adapun syarat terakhir dari seorang pemimpin adalah Quraisyiyah (turunan Quraisy). Namun syarat ini adalah setelah terpenuhinya syarat-syarat tadi di atas. Artinya kalaupun ia adalah turunan Quraisy, namun jika memiliki kekurangan-kekurangan dari sifat-sifat di atas, tentunya ia tidak layak menjadi pemimpin atau khalifah. Jika ada beberapa orang yang memiliki syarat-syarat di atas dan di antara mereka ada seorang turunan Quraisy, maka yang paling layak untuk menjadi seorang pemimpin adalah dari turunan Quraisy.
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam menyatakan bahwa khalifah itu adalah seluruhnya dari kaum Quraisy dalam sebuah riwayat:
عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : دَخَلْتُ مَعَ أَبِي عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَمِعْتُهُ يَقُولُ إِنَّ هَذَا اْلأَمْرَ لاَ يَنْقَضِي حَتَّى يَمْضِيَ فِيهِمُ اثْنَا عَشَرَ خَلِيفَةً قَالَ ثُمَّ تَكَلَّمَ بِكَلاَمٍ خَفِيَ عَلَيَّ قَالَ فَقُلْتُ ِلأَبِي مَا قَالَ قَالَ كُلُّهُمْ مِنْ قُرَيْشٍ.
Dari Jabir bin Samurah
radhiallahu 'anhu, ia berkata: Aku masuk bersama ayahku menemui Rasulullah
shallallahu `alaihi wa sallam, maka aku mendengar beliau berkata: “Sesungguhnya
urusan ini tidak akan lenyap hingga berakhir di antara mereka dua belas
khalifah”. Kemudian beliau berbicara dengan ucapan yang tersamar atasku. Maka
aku bertanya kepada ayahku: “Apa yang dikatakan oleh beliau?”. Ia menjawab:
“Seluruhnya dari kalangan Quraisy”. (HR. Bukhari Muslim)
Dengan riwayat yang shahih ini jelaslah bahwa syarat untuk menjadi seorang pemimpin tidak harus dari kalangan ahlul bait. Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam hanya mengatakan dari kaum Quraisy. Oleh karena itu seluruh para ulama sepakat bahwa syaratnya hanya quraisyiyah, apakah dari ahlul bait atau tidak.
Berkata Imam Ahmad rahimahullah: “Khilafah adalah pada Quraisy, selama manusia masih tersisa dua orang. Dan tidak seorang pun dari manusia yang berhak untuk merebutnya dari mereka, tidak keluar dari mereka, dan kami tidak menetapkannya untuk selain mereka sampai hari kiamat”. (Thabaqat Hanabilah, Ibnu Abi Ya’la; Lihat kitab Imamatul Udhma, ad-Damiji, hal. 269)
Demikian pula imam Syafi’i rahimahullah menetapkan syarat ini dalam kitabnya al-Umm juz 1, hal. 143.
Berkata imam Malik rahimahullah: “Tidaklah menjadi seorang imam kecuali orang Quraisy”. (Ahkamul Qur’an, Ibnul Arabi, juz IV, hal. 1721; lihat Imamatul Udhma, hal. 269)
Tidak ada yang menyelisihi pendapat ini, kecuali beberapa kelompok sempalan seperti khawarij, mu’tazilah dan Asy’ariyah. Sedangkan kaum Syi’ah Rafidlah, mereka menyempitkannya dan menganggap bahwa yang dimaksud Quraisy adalah ahlul bait.
Orang-orang Syi’ah Rafidlah dari sekte imamiyah atau itsna atsariyyah mempunyai keyakinan bahwa kepemim-pinan setelah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam harus dari kalangan Ahlul bait yaitu Ali bin Abi Thalib, kemudian kepada al-Hasan, kemudian al-Husein hingga kepada turunan al-Husein hingga berakhir dengan al-Mahdi al-muntadzar yang dianggapnya dari keturunan Husein yaitu Muhammad bin al-Hasan al-Askari yang sudah lahir dan masuk gua, kemudian ditunggu keluarnya sampai hari ini. (lihat edisi selanjutnya, Insya Allah)
Padahal dari sekian banyak hadits yang ada, seluruhnya hanya menyatakan dari Quraisy, dan tidak ada satu pun riwayat yang menyatakan dari ahlul bait.
Dengan riwayat yang shahih ini jelaslah bahwa syarat untuk menjadi seorang pemimpin tidak harus dari kalangan ahlul bait. Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam hanya mengatakan dari kaum Quraisy. Oleh karena itu seluruh para ulama sepakat bahwa syaratnya hanya quraisyiyah, apakah dari ahlul bait atau tidak.
Berkata Imam Ahmad rahimahullah: “Khilafah adalah pada Quraisy, selama manusia masih tersisa dua orang. Dan tidak seorang pun dari manusia yang berhak untuk merebutnya dari mereka, tidak keluar dari mereka, dan kami tidak menetapkannya untuk selain mereka sampai hari kiamat”. (Thabaqat Hanabilah, Ibnu Abi Ya’la; Lihat kitab Imamatul Udhma, ad-Damiji, hal. 269)
Demikian pula imam Syafi’i rahimahullah menetapkan syarat ini dalam kitabnya al-Umm juz 1, hal. 143.
Berkata imam Malik rahimahullah: “Tidaklah menjadi seorang imam kecuali orang Quraisy”. (Ahkamul Qur’an, Ibnul Arabi, juz IV, hal. 1721; lihat Imamatul Udhma, hal. 269)
Tidak ada yang menyelisihi pendapat ini, kecuali beberapa kelompok sempalan seperti khawarij, mu’tazilah dan Asy’ariyah. Sedangkan kaum Syi’ah Rafidlah, mereka menyempitkannya dan menganggap bahwa yang dimaksud Quraisy adalah ahlul bait.
Orang-orang Syi’ah Rafidlah dari sekte imamiyah atau itsna atsariyyah mempunyai keyakinan bahwa kepemim-pinan setelah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam harus dari kalangan Ahlul bait yaitu Ali bin Abi Thalib, kemudian kepada al-Hasan, kemudian al-Husein hingga kepada turunan al-Husein hingga berakhir dengan al-Mahdi al-muntadzar yang dianggapnya dari keturunan Husein yaitu Muhammad bin al-Hasan al-Askari yang sudah lahir dan masuk gua, kemudian ditunggu keluarnya sampai hari ini. (lihat edisi selanjutnya, Insya Allah)
Padahal dari sekian banyak hadits yang ada, seluruhnya hanya menyatakan dari Quraisy, dan tidak ada satu pun riwayat yang menyatakan dari ahlul bait.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يَزَالُ هَذَا اْلأَمْرُ فِي قُرَيْشٍ مَا بَقِيَ مِنَ النَّاسِ اثْنَانِ.
Dari Abdullah bin ‘Amr
radliyallahu 'anhu, ia berkata: berkata Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam: “Akan tetap urusan ini di tangan Quraisy, hingga manusia tinggal
tersisa dua orang”. (HR. Bukhari)
إِنَّ هَذَا اْلأَمْرَ فِي قُرَيْشٍ لاَ يُعَادِيْهِمْ أَحَدٌ إِلاَّ كَبَّهُ اللهُ عَلَى وَجْهِهِ مَا أَقَامُوا الدِّيْنَ.
Sesungguhnya urusan ini
tetap ada di tangan Quraisy selama mereka masih menegakkan agama ini. Tidak ada
yang menentang mereka seorang pun, kecuali akan Allah sungkurkan wajahnya. (HR.
Bukhari dan Muslim)
النَّاسُ تَبَعٌ لِقُرَيْشٍ فِي هَذَا الشَّأْنِ مُسْلِمُهُمْ لِمُسْلِمِهِمْ وَكَافِرُهُمْ لِكَافِرِهِمْ
Manusia itu selalu
mengikut Quraisy dalam urusan ini. Kaum muslimnya mengikuti muslim mereka dan
kafirnya mengikuti kafir mereka. (HR. Bukhari)
قُرَيْشٌ وُلاَةُ هَذَا اْلأَمْرِ فَبَرُّ النَاسُ تَبَعٌ لِبِرِّهِمْ وَفَاجِرُهُمْ تَبَعٌ لِفَاجِرِهِمْ قَالَ فَقَالَ لَهُ سَعْدٌ صَدَقْتَ نَحْنُ الْوِزَرَاءُ وَأَنْتُمُ اْلأُمَرَاءُ
Kaum Quraisy adalah
pemilik urusan ini, orang yang baiknya akan mengikuti orang yang baik mereka.
Dan orang yang jahatnya akan mengikuti orang yang jahat mereka. Kemudian Sa’ad
berkata: “Engkau benar, kami (kaum Anshar) adalah para menteri, sedangkan
kalian (kaum Quraisy) adalah para pemimpin. (HR. Ahmad)
Wallahu a’lam
http://assalafy.org/artikel.php?kategori=buletin?almanhaj=7