Hadits ini adalah lafadz
kedua dalam hadits ghadir khum.
At Tirmidzi meriwayatkan dari A‘masy dari ‘Athiyah dari Abu Sa’id, sedangkan
dari jalur lain A’masy dari Habib bin Abi Tsabit dari Zaid bin Arqam
radhiallahu ‘anhu, keduanya berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda;
“Sesungguhnya aku telah meninggalkan untuk kalian sesuatu yang sekiranya kalian
berpegang teguh dengannya, niscaya kalian tidak akan tersesat sepeninggalku,
salah satu dari keduanya itu lebih besar dari yang lain, yaitu; Kitabullah
adalah tali yang Allah dibentangkan dari langit ke bumi, dan ‘itrahku ahli
baitku, dan keduanya tidak akan berpisah hingga keduanya datang menemuiku di
telaga, oleh karena itu perhatikanlah oleh kalian, apa yang kalian perbuat
terhadap keduanya sesudahku"[1] Lafadz ini mengandung beberapa hal, diantaranya;
1).Penegasan bahwa Al Qur’an adalah petunjuk dan ia merupakan tali Allah yang paling kuat
2).Partisipasi Ahlulbait dalam memberikan petunjuk kepada manusia dan ini dijadikan tali Allah yang lebih kecil.
3).Penjelasan bahwa Ahlulbait dan Al Qur’an tidak akan pernah terpisah
4).Penegasan untuk terus memperhatikan kedua hal ini.
5).Yang tidak disebutkan dalam lafadz ini adalah sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang beliau ajarkan kepada manusia semasa hidupnya.
Kita cukupkan pada lima perkara
Pertama,riwayat diatas menguatkan bahwa Al Qur’an adalah petunjuk dan akan
menjaga bagi siapa saja yang berpegang dengannya, ini benar dan tidak ada
keraguan padanya. Allah berfirman;
“Sesungguhnya Al Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus
dan memberi kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang mengerjakan amal
shalih bahwa bagi mereka ada pahala yang besar.” (QS Al Isra’: 9)
Kedua,klaim bahwa Ahlulbait semuanyaikut serta dalam memberikan hidayah,
sebagaimana ditunjukkan oleh lafazh hadits diatas.
Tidak diragukan, bahwa tidak satupun dari ummat ini yang mengatakan demikian,
baik Syi’ah Itsna Asyariyah maupun yang lain, sebab diantara Ahlulbait ada yang
shalih dan ada yang sebaliknya, diantara mereka ada yang menjadi tokoh ulama,
dan diantaranya ada yang tidak, sejarah telah membuktikan hal ini, maka
bagaimana mungkin Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mewasiatkan sesuatu yang
ditolak oleh ummat dan bertolak belakang dengan realita yang terjadi?
Jadi lafadz ini tidak bisa disandarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam, karena jelas ketidak absahannya,sebab itu Syi’ah berupaya
memutarbalikkan hadits ini untuk menghindaripermasalahan. Itulah beberapa
contoh perubahan riwayat yang mereka lakukan demi mensinkronkan keyakinan
mereka meskipun terlihat serampangan.
Hal ini juga menunjukkan bahwa Syiah tidak meyakini hadits, mereka hanya ingin
membuat kaum musliminbingung, jika tidak demikian niscaya riwayat tersebut
tidak bisa diterima dengan takwil yang memalingkan makna yang
sebenarnya,kemudian mereka akan menerima atau menolaknya. Sedang kita jelas
mengakui ketidak shahihan hadits diatas sehingga tidak ada yang perlu kita
permasalahkan lagi.
Ketiga,klaim bahwa Ahlulbait dan Al Qur’an tidak akan terpisah
Riwayat ini menjelaskan bahwa Al Qur’an dan Ahlulbait tidak akan terpisah
sampai hari kiamat, namun realita mendustakan dakwaan mereka. Siapakah hari ini
yang disebut “ithrah” sebagaimana yang ditafsirkan Syiah? Sungguh keturunan
mereka telah terputus, kemudian Syiah mulai menyandarkan kepada kelahiran
seorang anak secara rahasia, kemudian anak ini bersembunyi, dan dialah Al Mahdi
yang akan keluar di akhir zaman.
Bagimana Syiah sangat berlebih-lebihan terhadap Al Mahdi dan meninggalkan Al
Qur’an dibelakangnya, jelas ini sangat bertentangan, sebab Al Qur’an masih ada
ditengah-tengah manusia, sedangkan Al Mahdi telah melarikan diri?Bagaimana bisa
kita meyakini seseorang yang melarikan diri?
Bagaimana bisa mereka menyatakan bahwa keduanya tidak akan terpisah,sementara
saat ini keduanya telah terpisah, yang satu mengehilang sedang yang lain masih
ada?Kenapa tsiqal ashghar (Ithrah) ini bersembunyi?
Inilah Tsiqal akbar(Al Qur’an) berada ditengah-tengah manusia dan tidak ada
seorang pun yang mampu merubahnya, jelas bahwa ini adalah bentuk penjagaan
Allah, kalau memang Allah tidak ingin memisahkan keduanya, kenapa Allah tidak
menjaga “tsiqal ashghar”sebagaimana Dia menjaga “tsiqal akbar”, kemudian Dia
meninggalkan “tsiqal ashghar” sendirian di padang pasir dan pegunungan? Apakah
Allah lemah untuk menjaga “tsiqal ashghar”sebagaimana Allah menjaga “tsiqal
akbar”? Bukankah yang menjaga“tsiqal akbar” adalah Allah?
Bukankah Allah sangat
mampu menjaga “tsiqal
ashghar”sebagaimana Allah mampu menjaga “tsiqal akbar”? Lalu kenapa –jika kita
hendak mengikuti keduanya– yang satunya dijaga sementara yang lainnya
dibiarkan?
Jawabannya sangat jelas bagi mereka yang menginginkan kebenaran... Sebabnya
adalah bahwa Allah hanya ingin manusia mengikuti“tsiqal akbar” (Al Qur’an),
karena itu Allah akan menjaganya sebagai hujjah atas mereka, sementara dakwaan
adanya “tsiqal ashghar” adalah dakwaan palsu.
Keempat,ketika Nabi mewasiatkan akan dua perkara tersebut, apakah maknanya kita
dapat memahami tsiqal akbar saja ataukah tidak?
Jika kita dapat memahami tsiqal akbar saja, lalu apa gunanya tsiqal ashghar?
Jika kita tidak dapat memahaminya, kenapa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
mewasiyatkan kepada kita?
Kelima,kami dan kalian saat ini tanpa tsiqal ashghar, bukankah tanpanya kita
saat ini mampu mengetahui yang benar dan yang salah?
Jika kalian jawab: “benar”
Maka kami jawab; “jika begitu, apa gunanya ada imam”
Jika kalian menjawab “tidak”,maka sejak ribuan tahun hingga sekarang, kalian
adalah orang-orang yang tersesat. Cukuplah hal ini sebagai bukti batilnya
aqidah yang kalian yakini.
Keenam,ada riwayat Syi’ah yang menyatakan bahwa “tsiqal akbar” (Al Qur’an)telah
hilang sebelum“tsiqal ashghar”.
Riwayat-riwayat tersebut mengklaim bahwa Al Qur’an disembunyikan Ali bin Abi
Thalib dari orang-orang sebelum tsiqal ashghar bersembunyi, jadi keduanya
hingga saat ini masih tersembunyi!
Kami jawab;Bagaimana mungkin Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
memerintahkan kepadanya ummatnya untuk berpegang teguh dengan seseorang yang
nantinya akan tersembunyi?
Riwayat ini telah meruntuhkan agama dari dasarnya, sebab perintah Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam kepada ummatnya untuk berpegang kepada yang tidak
ada wujudnya sepanjang sejarah menunjukkan batilnya nubuwat beliau, dan beliau
terlepas dari klaim semcam ini, sebab beliau hanya memerintahkan kepada Al Haq,
karena beliau adalah Nabi yang berbicara berdasarkan wahyu.
Ketujuh,Bagaimana mungkin Allah membabani kita supaya berpegang kepada “Ithrah”
sementara silsilahnya telah terputus sejak ratusan ribu tahun?
Jika benar Allah mewajibkan untuk berpegang teguh kepada seseorang yang
dilahirkan kemudian menghilang, lalu bagimana mungkin Allah membebani hamba-Nya
dan memerintahkan berpegang teguh terhadap imam yang hilang?
Mungkinkah sekarang ini kita hendak berpegang teguh terhadap “Ithrah”yang
diwasiyatkan Nabishallallahu ‘alaihi wasallam seperti yang kalian dakwakan,
lalu bagaimana caranya? Bahkan ummat yang hidupsejak ribuan tahun lalu tidak
ada yang dapat berpegang dengan Ithrah!
Bahkan para imam tidak mendeklarasikan keimamahan mereka kepada manusia seperti
yang kalian katakan, namun mereka hidup seperti manusia pada umumnya. Mereka
tidak memilki kemampuan lebih yang menunjukkan keimamahan mereka, bahkan
sebagian dari mereka memfatwakan fatwa batil karena takut terhadap dirinya
sebagaimana riwayat-riwayatpalsu yang kalian dakwakan atas mereka, dan kami
berlepas dari kedustaan-kedustaan tersebut.
Bagaimana kita akan berpegang kepada mereka,sementara mereka tidak mengakui
keimamahan mereka dihadapan umat, bahkan mereka menyembunyikan keimamahn mereka
lantaran khawatir terhadap diri mereka –seperti riwayat-riwayat yang kalian
klaim-?
Kedelapan,riwayat diatas mengabaikan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
yang beliau ajarkan kepada manusia sepanjang hayatnya, dan dalam riwayat ini
beliau tidak mewasiatkan sunnahnya, padahal sunnah beliau merupakan penjelas
bagi Al Qur’an.
Allah berfirman;
“Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia
apa yang telah diturunkan kepada merekadan supaya mereka memikirkan.” (QS. An
Nahl: 44)
Allah tidak mengatakan “agar kamu menerangkan pada Ahlulbait” bahkan Allah
tidak mengatakan “agar kamu menerangkan kepada orang-orang muslim saja” namun
Allah mengatakan “(agar kamu menerangkan) kepada umat manusia”,lalu
bagaimanamungkin beliau mewasiatkan yang bukan ajaran yang beliau sampaikan
selama kurang lebih dua puluh tiga tahun berdasarkan perintah Rabbnya? Ini
hanyalah segi pandang dari orang yang memiliki tashawur yang rusak.
Kenapa Allah tidak mengatakan “agar kamu menerangkan pada Ahlulbait” dan agar
mereka yang akan menyampaikannya kepada manusia?
Alangkah bagusnya penciptaan akal, kita memuji Allah atas kebenaran aqidah
orang yang mengagungkanNya dan memuliakan rasul-Nya, tidak menuduh Allah karena
tidak menjelaskan suatu perkara dan tidak menuduh rasulNya karena telah
mengabaikan penjelasan.
Dengan analisa seperti ini, jelaslah kebatilan lafadz yang diklaim oleh Syiah
dan jelas pula kebenaran lafadz sebelumnya.
Kesembilan,terakhir bahwa riwayat ini menunjukkan kebatilan dasar keimamahan
menurut persaksian ulama Itsna Asyriyah sendiri.
Begitu halnya semua dalil yang digunakan oleh ahlu bid’ah,dalil itu akan
berbalik membantah mereka sendiri, karena tali kebohongan sangatlah pendek, hal
ini dijelaskan oleh lafadz “Al Ithrah” secara bahasa, kemudian kita akan
menyebutkan perkataan para tokoh Syi’ah yang menunjukkan batilnya dalil
keimamahan.
Makna “Al‘Ithrah” Secara Bahasa
Menurut pakar bahasa, kata “’Ithratu Rajuli” adalah anak keturunan saja,
berdasarkan hal ini maka Ali bin Abi Thalib tidak termasuk dalam hadits diatas,
sebab ia tidak termasuk keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, karena ia
bukan anak keturunan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Contoh lainnya dari perkataan para pakar bahasa dari ensiklopedi kamus bahasa
terbesar sampai abad kesepuluh hijriyah yaitu “Lisanul Arab” dimana penulis
menjelaskan secara detail makna diatas, begitu halnya ensiklopedi kamus bahasa
terbesar yang datang setelahnya “Taaj Al Arus” yang menguatkan makna di atas.
Disebutkan bahwa “Al ‘Ihtrah” memiliki dua makna secara bahasa,pertama dari
pakar bahasa, dan kedua dari yang menjelaskan hadits ini
Makna pertama disandarkan kepada bentuk jazm, dan kedua disebutkan dalam bentuk
tamridhyaitu dengan lafadz yang menunjukkan bentuk tadh’if dalam bahasa,
berikut bentuk perkataan beliaurahimahullah.
Beliau mengatakan dalam bentuk Al Mu’tamidah (makna yang disandarkan kepada
bentuk jazm)
“Abu Ubaidah dan yang lainnya mengatakan;“’Ithratur Rajuli wa usratuhu wa
fashilatuhu artinya adalah anak keturunan ke bawah.”
Ibnu Al Atsir berkata;“’Ithratur Rajuli (keluarga seseorang) lebih khusus dari
kerabatnya.”
Ibnu Al‘Araby berkata; “Al ‘Ithrah adalah anak seseorang dan keturunannya yang
berasal dari tulang sulbinya.” Ia juga mengatakan; “’Ithrahnya Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam adalah anakFathimah alaihassalam”
Beliau mengatakan dalam bentuk tadh’if yang mengisyaratkan penolakan terhadap
penafsiran ini
Diriwayatkan dari Abu Sa’id, ia berkata;“Al Ithrah adalah batang
pohon.”Selanjutnya ia berkata;‘Ithrahnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
adalah Abdul Mutthalib dan anak-anaknya.
Dikatakan juga bahwa ‘Ithrahnya adalahAhlubaitnya yang terdekat, mereka adalah
anak-anaknya, Ali dan anak-anaknya.Ada juga yang mengatakan; ‘Ithrahnya adalah
kerabat terdekat dan yang terjauh diantara mereka. Ada juga yang mengatakan;
“’Ithrahnya seseorang adalah kerabatnya dari anak pamannya yang terdekat.”[2]
Ketika para pakar bahasa menyatakan bahwa makna “’Ithrah” adalah keturunannya
saja, maka para tokoh Syi’ah telah memahaminya bahwa Ali bin Abi Thalib tidak
trermasuk dalam cakupan hadits ini, sehingga mengharuskan adanya penafsiran
dengan cara menghilangkan masalah ini meski masih terlihat serampangan,sehingga
mereka membagi masalah ini menjadi dua pandangan yang keduanya justru membantah
masalah Imamah.
Pertama,klaim bahwa ‘Ithrah adalah mereka yang berasal dari Bani Hasyim,
diantaranya adalah paman-paman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan Ali
termasuk di dalamnya.
Akan tetapi hal ini membatalkan klaim mereka terhadap keimamahan Ali, karena
perintahnya adalah mengikuti
seluruh bani Hasyim, jadi
tidak hanya ada dua belas imam yang mas’shum, namun seluruh Ahlulbait adalah
ma’shum, dan ini tidak ada yang mengatakan satu pun dari mereka.
Al Mufid–salah seorang tokoh Syi’ah abad kelima hijriyah- dalam menjelaskan
riwayat yang dinisbatkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam;
“Sesungguhnya aku telah meninggalkan untuk kalian sesuatu yang sekiranya kalian
berpegang teguh dengannya, niscaya kalian tidak akan tersesat, yaitu;
Kitabullah dan ‘itrahku ahlibaitku, dan keduanya tidak akan berpisah hingga
keduanya datang menemuiku di telaga.” Dia berkata;“Semua Bani Hasyim adalah
‘Ithrahnya Nabishallallahu ‘alaihi wasallam dan ahlibaitnya.”[3]
Saya jawab;“Jika semua Bani Hasyim adalah ‘Ithrah beliau, tentunya tidak
terhitung lagi yang menjadi imam.Karena mereka tidak berbicara keimamahan Bani
hasyim, maka riwayat yang menyatakan keimamahan menjadi terbantahkan.
Kedua,takwil yang menyatakan bahwa Ali termasuk dalam cakupan hadits ini,
karena Ali adalah Abu Al Ithrah, ini merupakan takwilan yang dipaksakan.
Setelah Al Majlisi menyebutkan hadits tentang makna ‘Ithrah, ia berkata: “Bila
ada yang bertanya; seperti yang kalian kehendaki, semestinya Amirul Mukminin
Ali bukan termasuk ‘Ithrah, karena makna ‘Ithrah hanya terbatas untuk anak dan
keturunannya saja.”
Maka kami jawab; “Siapa diantara orang Syi’ah yang berpendapat demikian,
mestinya ia mengatakan bahwa Amirul mukminin termasuk dari ‘Ithrah meskipun
namanya tidak tercakup secara langsung, sebagaimana tidak disebutkannya nama
anak secara langsung, karena Ali ‘alaihi salam adalah Abu Al ‘Ithrah, sayyid
dan orang pilihannya. Meskipun tidak dicantumkan nama seseorang dalam cakupan
hadits,namun ia tetap mendapatkan posisi dalam hadits.”[4]
Lihatlah saudaraku para pembaca sekalian, betapa lancangnya Al Majlisi
mengatakan hal itu demi menarik simpati pengikutnya, dia mengatakan;“Meskipun
namanya tidak tercakup secara langsung” maka ia harus dicantumkan ke dalam
cakupan hadits meskipun Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menyebutkannya,
inilah maksud perkataan Al Majlisi.
Seolah-olah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mampu menjelaskan maksud
hadits diatas, sehingga perlu penjelasan dari Syi’ah.Ini adalah tuduhan bahwa
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mampu menjelaskan hekekat agama dengan
penjelasan yang pasti yang dapat menghilangkan perselisihan. Padahal Allah
telah mengabarkan bahwa Dia telah mempercayakan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam untuk menjelaskan agama ini, dan tidak mungkin Allah mempercayakan
penjelasan agama kepada orang yang tidak mampu menjelaskan seperti yang telah
Allah percayakan kepada beliau, dan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam
berlepas diri dari perkataan yang tidak benar ini.
Jika yang dimaksud adalah sebagian dari keturunannya, niscaya beliau akan
menyebutkannya secara jelas, lalu kenapa beliau menyebutkan perkataan yang
membutuhkan kepada penjelasan? –jika lafazh ini memang seperti itu- maka ini
merupakan makna yang dimaksud, dan ini juga akan meruntuhkan dalil imamah dari
dasarnya, namun makna seperti ini tidak benar dan makna yang lainnya juga tidak
benar, karena ketidak abasahannya lafazh tersebut dari asalnya sebagaimana
penjelasan yang lalu.
[1]Diriwayatkan oleh At Tirmidzi (3786), Ahmad dalam Musnad (11119), Abu Ya’la (1021), Al Hakim dalam Al Mustadrak (4576).
[2]Lisan Al ‘Arab (4/536)
[3]Al Masail Al Jarudiyah (hal. 40)
[4]Bihar Al Anwar (23/157,158)
Sumber: Ahadits Istadalat biha asyiah al itsna 'asyariyah, karya Dr. Ahmad bin Sa'ad Hamdan Al-Ghamidi, cet. Dar ibnu Rajab
(nisyi/syiahindonesia.com)