●Bongkar Kepalsuan Buku
Putih Mazhab Syiah (Bagian Ke : 1-8)
●Noda-Noda Hitam Buku Putih Mazhab Syi’ah
●Resensi buku : Hitam di Balik Putih, Bantahan
terhadap Buku Putih Madzhab
Syiah
Bongkar Kepalsuan Buku Putih Mazhab Syiah
(Bagian Ke-1)
Alhamdulillah, dengan mengucapkan syukur
ke hadirat Allah subhanahu wa ta’ala, saya alfaqir menyambut
baik terbitnya buku berjudul Hitam Dibalik Putih: Bantahan
Terhadap Buku Putih Mazhab Syiah, karya tulis seorang ulama muda yang
tumbuh di lingkungan PERSIS yaitu ustadz al-fadhil al-mukarram Amin
Muchtar. Buku ini semakin memperkaya khazanah kepustakaan Islam dan wacana
kritik ilmiah terhadap aliran menyimpang seperti syi’ah di Indonesia. Melalui
karya ini, ustadz Amin Muchtar membuktikan dengan cerdas dan tangkas bahwa
premis-premis epistemologis yang dibangun oleh Buku Putih Mazhab
Syiah tidak berakar dan tidak berpijak kepada metodologi ilmiah, bahkan
naifnya—seperti diungkapkan oleh buku ini—lebih cenderung mengedepankan
prinsip taqiyah dan kesadaran untuk mengaburkan fakta-fakta penting
penilaian ulama Syiah sendiri terhadap rujukan utama agama syiah
yaitu Kitab Al-Kafi susunan Syekh Al-Kulaini dan bahkan tiga sumber
rujukan pokok lainnya yaitu Al-Istibshar, Man La Yahdhuruh Al-Faqih, dan
Tahdzibul Ahkam.
Dengan rujukan sumber-sumber primer dan
sekunder yang kaya dan otoritatif, kritik-kritik tajam nan ilmiah yang
dilancarkan ustadz Amin Muchtar membuat karya ini sangat argumentatif, dan
dalam pandangan saya lebih bisa dipercaya sebagai outsider yang jujur
dan objektif apa adanya. Seringkali ketika ulama Sunni membahas dan mengkritisi
pelbagai aspek teologi Syi’ah dikesankan oleh pihak Syi’ah sebagai tidak adil,
tidak berimbang, dan subjektif. Dan dengan kerangka itu, seringkali kaum Syi’ah
menikmati dan mengeksploitasi kesan teraniaya dan terzalimi yang muncul dari
efek pencitraan ketidakadilan dan subjektifitas penilaian ulama Sunni. Hemat
saya, sejauh mana kajian kritik ilmiah itu dikatakan subjektif atau objektif,
bukan dikarenakan pelaku kritiknya itu orang internal atau eksternal dari
komunitas Syiah. Tetapi yang paling utama adalah validitas data, verifikasi
sumber-sumber primer dan sekunder yang memenuhi standar ilmiah dan netralitas
setiap premis yang dibangun seorang pengkaji. Hal itu bisa dilakukan oleh siapa
saja, baik pihak insider atau outsider Syiah, asalkan
jujur, amanah dalam menukil, tidak menggunakan data fiktif atau yang dinilai
para ulama yang muktabar sebagai fiktif (maudhu’).
Yang orisinil dan menarik bagi saya dalam
kajian ustadz Amin Muchtar ini adalah beliau membantah satu persatu
premis-premis dasar yang diangkat dan seolah dikramatkan sebagai KEBENARAN
MUTLAK oleh Buku Putih Mazhab Syiah, sehingga meninggalkan kesan
seperti itulah mazhab syiah yang sesungguhnya, tak lebih dan tak kurang.
Premis-premis mereka yang menyatakan bahwa: 1) Jumhur ulama syiah tidak
meyakini keshahihan hadis pada empat kitab standar hadis syiah, 2) Seluruh
hadis dalam empat kitab standar itu shahih adalah pandangan kelompok Akhbari,
3) Contoh perawi Al-Kafi yang dinyatakan lemah dan tertolak riwayatnya, 4)
Ulama syiah sepakat bahwa semua riwayat yang bertentangan dengan Al-Quran dan
akal sehat harus ditolak, dan 5) Tidak ada bukti bahwa Al-Kulaini menshahihkan
seluruh hadis dalam Al-Kafi, kesemuanya dibantah dan digugurkan secara
telak dan jitu berdasarkan rujukan-rujukan primer ulama syiah sendiri. Sehingga
dalam kesimpulannya, ustadz Amin Muchtar menulis, “Dengan demikian pihak Syiah
tidak perlu menyalahkan pihak lain yang menimbang—bahkan menilai sesat—ajaran
Syiah dengan menggunakan empat kitab standar hadis syiah pada umumnya,
kitab Al-Kafi khususnya. Seandainya terdapat perbedaan pandangan di
internal ulama syiah, sejatinya para ulama atau cendekiawan syiah dapat
menyelesaikan persoalan itu sendiri tanpa menyalahkan pihak lain”.
Walhasil, saya dan umat Islam Indonesia
sangat bangga dan berterima kasih kepada ijtihad dan mujahadah
ilmiah al-mukarram ustadz Amin Muchtar dalam menangkal ajaran syiah secara
cerdas dan bernas. Semoga Allah ta’ala menganugerahkan kesehatan dan keberkahan
usia kepada beliau dan segenap ulama yang berijtihad dan mujahadah menegakkan
aqidah Islam yang shahih di mana pun mereka berada di bumi Allah ini. Semoga
karya ini menjadi amal shalih bagi penulisnya dan bermanfaat dunia akhirat bagi
para pembacanya. Hasbunallaah wa ni’mal wakiil.
By KH. Fahmi Salim, Lc. MA., (Wakil
Sekjen MIUMI, Sekretaris Bidang Wakaf & Hukum Dewan Masjid Indonesia),
dalam Kata Pengantar Buku Hitam dibalik Putih, Bantahan Terhadap Buku
Putih Madzhab Syiah, hlm. 62-64
Bongkar Kepalsuan Buku Putih Mazhab Syiah
(Bagian Ke-2)
Segala puji bagi Allah Swt. yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada seluruh umat manusia. Shalawat dan
salam semoga senantiasa tercurah kepada Rasulullah Saw, keluarga dan para
sahabatnya serta semua pengikutnya sampai akhir zaman, amma ba’du.
Layaknya seorang pedagang, para pengusung
ajaran Syiah juga melakukan trik-trik dagang yang jitu agar dagangannya laris
di pasaran. Di antara trik tersebut adalah dengan mengemas ajaran mereka
seolah-olah bersumber dari ajaran Rasulullah saw. dan tidak ada penyimpangan
sedikit pun. Di antara konsep yang berhasil dibangun oleh Syi’ah yaitu Syi’ah
berhasil membuat konsep “mengentengkan” ajaran agama Islam. Yaitu Syiah
meyakini bahwa prinsip beragama yang paling utama hanya cukup dengan
berwilayah kepada Ali (meyakini bahwa Ali adalah wali/penguasa mereka).
Siapa yang menerimanya, maka dia akan beruntung dan selamat di akhirat. Karena
pada hari Kiamat, Ali akan memberikan penyelamatan terhadap seluruh umat manusia
yang mencintainya. Bahkan menurut Syiah, Ali lah yang telah mengajari malaikat
Jibril. “Ketika Jibril menghampiri Nabi saw, tiba-tiba Ali juga menemui
beliau saw. Jibril berdiri untuk memuliakan dan menghormati Ali as. Rasulullah
saw bersabda kepada Jibril, “Apakah engkau berdiri untuk menghormati pemuda
ini? Jibril memaparkan, ‘Ya, dikarenakan dia memiliki hak pengajaran
kepadaku.’” Rasul saw berkata, “Apakah hak itu? Jibril menjelaskan, ‘Ketika
Allah menciptakanku, lalu Dia menanyaiku, ‘Siapakah engkau, siapa namamu, siapa
Aku dan siapa nama Aku?’ Saya merasa kikuk, apa yang harus aku jawab, secara
tiba-tiba seorang pemuda (Ali as), manifestasi dari Alam Nuraniyah berkata,
‘Katakanlah! Engkau adalah Tuhan Yang Mahaagung, nama-Mu Indah, dan aku adalah
hamba-Mu yang hina-dina, namaku Jibril.” (Kecuali Ali, Abbas Rais Kermani,
Penerbit Al-Huda, hal. 35).
Selain itu, Syi’ah juga berani membuat
konsep ibadah yang selalu berseberangan dengan Ahlu Sunnah wal Jama’ah, karena
mereka berkeyakinan bahwa Ahlu Sunnah wal Jama’ah lah yang telah membunuh Imam
Husein yang Syi’ah agungkan. Misalnya Syi’ah mengatakan bahwa tatacara shalat
Rasulullah saw. adalah sebagai berikut, “Sayid Ibnu Thawus meriwayatkan
bahwa Imam Ali Ridha as pernah ditanya tentang shalat Ja’far at-Thayyar. Beliau
menjawab, “Mengapa kalian lupa dengan shalat Rasulullah saw? Mungkin
Rasulullah saw belum pernah melakukan shalat Ja’far tersebut, dan Ja’far juga
belum pernah melaksanakan shalat beliau itu!” Perawi berkata, “Jika begitu,
ajarkanlah shalat (Rasulullah saw) tersebut kepadaku!” Beliau berkata,
“Kerjakanlah shalat 2 rakaat, dan di setiap rakaat bacalah surah al-Fatihah 1
kali dan inna anzalnahu (surah al-Qadr) 15 kali. Bacalah juga surah al-Qadr
tersebut ketika ruku, bangun dari ruku, sujud pertama, bangun dari sujud
pertama, sujud kedua, dan bangun dari sujud kedua masing-masing 15 kali.
Setelah itu bacalah tasyahud dan salam…” (Kunci-kunci Surga jilid 1,
Syekh Abbas Al-Qummi, hal. 150).
Selain membuat tatacara shalat Rasulullah
saw. versi Syi’ah, Syi’ah juga membuat tatacara shalat yang dilakukan oleh para
imam mereka, mulai dari tatacara shalat Ali bin Abi Thalib As, shalat Imam
Hasan dan Husain As dan imam-imam yang lainnya yang sangat berbeda dengan
tatacara shalat kaum muslimin di dunia yang bermazhab Ahlu Sunnah wal Jama’ah.
Misalnya tatacara shalat Ali As adalah sebagai berikut, “Syekh Thusi dan
Sayid Ibnu Thawus ra meriwayatkan bahwa Imam Ja’far Shadiq As berkata, “Sesiapa
di antara kalian melaksanakan shalat Amirul Mukminin As yang berjumlah 4
rakaat, niscaya ia akan terbersihkan dari dosa seperti ia baru lahir dari perut
ibunya dan segala keperluannya akan dipenuhi. Pada setiap rakaat, bacalah surah
al-Fatihah 1 kali dan surah al-Ikhlash 50 kali.” (Kunci-kunci
Surga jilid 1, Syekh Abbas Al-Qummi, hal. 152).
Selain perbedaan dalam masalah ibadah,
juga Syiah berani berbeda dalam masalah aqidah. Misalnya Syiah
berkata, “Imam Shadiq As dalam menafsirkan ayat, “Segala sesuatu akan
musnah, kecuali wajah Allah….”berkata, “Yang dimaksud dengan Wajah Allah dalam
ayat ini adalah Ali As.” (Kecuali Ali, Abbas Rais Kermani, Penerbit
Al-Huda, hal. 22).
Hal-hal inilah yang menjadi penyebab
lakunya paham Syiah, yaitu beragama di dalam Syiah sangat mudah, hanya cukup
cinta dan setia kepada Ali As. akan menyelamatkan seseorang di akhirat. Mereka
telah berhasil menyesatkan banyak orang. Aqidah batil tersebut telah merusak
keimanan kepada Allah saw. dan Rasul-Nya, dan seluruh ajaran Islam. Ahlu Sunnah
wal Jama’ah meyakini jika rasa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya belum tentu
akan menyelamatkan seseorang dari adzab-Nya jika tidak dibarengi dengan iman
dan amal shalih, lalu bagaimana mungkin rasa cinta kepada Ali dianggap cukup
untuk menyelamatkan seseorang dari adzab-Nya?
Kecintaan kepada Ali as yang diusung oleh
Syiah adalah dikarenakan Rasulullah saw. telah mengangkat Ali As di Ghadir Khum
sebagai pemimpin setelah beliau saw. Untuk masalah ini, ada baiknya Syiah
merenungkan beberapa hal di bawah ini :
Jika masalah kepemimpinan adalah sangat
penting adanya, seharusnya Nabi Saw menyampaikannya kepada seluruh kaum
muslimin di Arafah, sebelum beliau meninggal dunia, tepatnya pada saat haji
Wada. Karena ketika di Arafah, semua jamaah haji dari berbagai negeri
berkumpul. Tidak hanya penduduk Madinah, tapi dari seluruh penjuru Jazirah
Arab. Sehingga apabila penduduk Madinah berkhianat, dan mereka lebih memilih
Abu Bakar Ra sebagai khalifah, maka kaum muslimin yang lainnya yang datang dari
luar Madinah bisa menjadi saksi akan hal itu.
Apabila benar bahwa Rasulullah Saw telah
berwasiat kepada Ali Ra untuk menjadi khalifah, mengapa Ali tidak menyampaikan
hal tersebut di hadapan para sahabat? Apakah Ali takut untuk menjadi syahid
membela wasiat Rasulullah Saw? Bukankah ini bertentangan dengan sejarah hidup
Ali As. yang terkenal dengan keberanian dan kejujurannya?
Hadits Ghadir Khum sebenarnya adalah
hadits yang berisi pemulihan nama baik Ali Ra. oleh Rasulullah Saw. Hal ini
dikarenakan ada beberapa orang para shahabat yang tidak berkenan oleh sikap Ali
Ra dalam masalah ghanimah/rampasan perang dari Yaman dan bukan sebagai
pengangkatan Ali sebagai khalifah pengganti Rasulullah saw.
Jika kondisi seperti ini terus dibiarkan,
maka perlahan namun pasti akan merongrong kelestarian ajaran Islam Ahlu Sunnah
wal Jama’ah. Karena ajaran Syiah mengusung cinta kepada Ali As dan membenci
para shahabat lain yang dianggap telah merampas hak kepemimpinan Ali as seperti
membenci Abu Bakar Shiddiq, Umar bin Khaththab dan Usman bin Affan.
Oleh karena itu, sebagai bentuk
pelaksanaan amar ma’ruf nahi munkar yang menjadi kewajiban kita, saya
secara pribadi menyambut baik terbitnya buku Hitam Dibalik PutihBantahan
Terhadap Buku Putih Mazhab Syiah. Semoga buku ini bisa bermanfaat untuk
umat Islam dan menjadi bahan rujukan bagi semua pihak yang berkepentingan dalam
menjaga kelestarian ajaran Islam Ahlu Sunnah wal Jama’ah di Indonesia.
By KH. M. AMIN DJAMALUDDIN., (Ketua
Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam Jakarta), dalam Kata Pengantar
Buku Hitam dibalik Putih, Bantahan Terhadap Buku Putih Madzhab Syiah,
hlm. 37-41
Bongkar Kepalsuan Buku Putih Mazhab Syiah
(Bagian Ke-3)
Kelompok-kelompok (Firaq) keagamaan yang
muncul di tengah-tengah kaum Muslimin, yang ada sejak ribuan tahun yang lalu,
di antaranya Syiah Itsna Asyariyah atau Syiah Imamiyah. Kelompok
ini mengaku sebagai kelompok yang paling dekat dengan Ali bin Abi Thalib dan
ahlul bait, bahkan lebih dari sekedar menghormat, tetapi juga mengagungkan
melebihi para sahabat lain, hingga Rasulullah Saw itu sendiri. Munculnya
kelompok tersebut sebagai implikasi dari munculnya kelompok Khawarij yang
mengecam peristiwa Shiffin dengan arbitrasi (hakam) antara Ali
Ra dan Muawiyah Ra. Kaum Khawarij yang semula amat teguh dan membela Ali Ra,
berubah menjadi memusuhi dan menganggap bahwa Ali, Muawiyah, dan
sahabat-sahabat yang terlibat dalam peristiwa hakam itu, berdosa besar dan
kafir maka harus dibunuh. Maka doktrin yang semula politik berubah menjadi
teologi, pengkafiran itu membuat Ali Ra terbunuh. Para pengikut Ali yang
selanjutnya disebut Syi’atu Aliyin, kelompok Ali Ra inilah yang dengan
berbagai macam cara dan usaha membela dan mengangkat segala persoalan yang
berkaitan dengannya, bahkan pada putra-putra, sampai ke cucu-cucunya yang
selanjutnya disebut Ahlul Bait.
Ahlul Bait, sebagaimana dicitrakan
oleh Syiah, ternyata menimbulkan perbedaan di kalangan mereka, sehingga bukan
hanya Dua belas Imam, tetapi ada yang menganggap sebelumnya juga sudah
selesai dan memunculkan Sabaiyah, Ismailiyah, Fathimiyah,
Qaramithah, dan lain-lain yang akhirnya merupakan mazhab Syiah yang banyak
itu dan terakhir, bukan paling akhir ada yang disebut Syiah
Nushairiyah, sebagaimana yang menguasai Suriah sekarang yang sedang dalam
konflik yang belum berhenti. Memang, penghormatan terhadap Ahlul Bait merupakan
ajaran Islam, bahkan dalam ibadah selalu terbawa, ketika seseorang membaca
Salawat dengan, “Allahumma Shalli Aala Muhammad wa ‘ala ‘Ali Muhammad”. Namun,
tidak dibenarkan untuk melebihi yang diajarkan oleh Rasulullah saw. Kemunculan
yang satu pihak memusuhi Ali dan yang lain membelanya habis-habisan, maka
muncullah kelompok yang moderat pada semuanya yang disebut dengan Ahlu Sunnah
atau sering disebut dengan Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Hiruk pikuk aliran teologi
saat itu ditambah dengan adanya kaum Murjiah,
Jabariyah, dan Qadariyah atau selanjutnya memunculkan yang
disebut Mu’tazilah.
Era politik dan teologi yang
berkepanjangan sampai sekarang dengan pendapat-pendapat ulamanya yang amat
banyak menyinggung Ahlu Sunnah karena fatwanya yang amat kontroversial, baik
terhadap Allah, sebagai Khaliq, Al-Quran, Nabi Saw, Sahabat Ra, Ibadah pada
Allah, Umat Islam, merendahkan para Nabi dan Malaikat, merendahkan Ali bin Abi
Thalib, dan Al-Quran itu sendiri. Demikian paling tidak ungkapan dan kesimpulan
Syaikh Ahmad bin Said Hamdan al-Ghamidi, Prof di Pasca Sarjana Ummul Qura dalam
bukunya, “Bara’atu Ahlul Bait minar Riwayat” (Bebasnya Ahlu Bait dari
riwayat-riwayat (dusta)). Buku yang terdiri atas 9 jilid kecil itu,
mengungkapkan dengan jelas pendapat dan keyakinan para ulama Syiah terhadap
Allah dan Rasulnya, Al-Quran, Sahabat, dan Ahlul Bait.
Memang kelompok ini amat eksklusif, yaitu
jika khawarij sudah “selesai” dengan caci makiannya pada sahabat
tertentu dan memunculkan kelompok yang moderat. Namun, ternyata cacian terhadap
sahabat, orang beriman dari mazhab lain, cacian, hujatan, takfir (pengkafiran)
makin lama makin berkembang, bahkan umat Islam selain mereka disebut Kaum
Nashibi yang halal darahnya, sementara
kaum khawarij yang ghulat (berlebihan) sudah amat sedikit,
sebagaimana yang tinggal di kesultanan Oman, Zanzibar, dan beberapa negara
Afrika Utara pun sudah banyak yang moderat. Mereka hanya mengkafirkan Ali,
Muawiyah, dan sahabat yang telibat dalam peristiwa hakam (arbitrase itu).
Kelompok yang disebut Syiah Imamiyah-Jafariyah—pengakuannya, sebagai Pembela
Ahlul Bait, ternyata jauh dari ajaran Ahlul Bait itu sendiri dan ini pula
memunculkan Mazhab Syiah yang amat banyak itu, menurut seorang ahli lebih dari
tujuh puluh aliran atau firqah. Syiah Imamiyah bahkan amat menghina Allah dan
Rasulnya, termasuk Quran, dan malaikat dengan alasan menggunakan Ali dan Ahlul
Bait.
Inilah beberapa cacatan yang tercantum
dalam kitab-kitab yang disusun oleh ulama mereka:
Memutuskan hubungan dengan para Sahabat
Nabi Saw.
Pernyataan ini tercantum Kitab
al-Ikhtishash hal. 10, Biharul Anwar vol. 28., hal. 239, Qamusu ar-Rijal,vol, 10
hal. 228, dan lain-lain. Tuduhan pada para Sahabat sebagai berikut: Murtad
orang-orang itu, kecuali tiga orang”. Selanjutnya antara lain dalam Al-Kafi
vol. 8, hal. 245, Tafsir as-Shafi, vol. 1, hal. 389, yang katanya dari
al-Baqir: “Adalah orang-orang itu murtad sesudah (wafat Nabi Saw) kecuali tiga
orang; ketiga ditanyakan, yang dijawabnya, Al-Miqdad bin al-Aswad, Abu Dzar
al-Ghifari, dan Salman al-Farisi”.
Merendahkan para Nabi, Malaikat, dan Ali
Ra.
Pernyataan bahwa para Imam memiliki
kedudukan dari para Nabi.
Pernyataan ini tercantum dalam kitab
Mustathrafus Sara’ir hal. 575 dan Biharul Anwar, vol. 27, hal. 575: “Tidak ada
seorang Nabi pun, tidak juga (keturunan) Adam, manusia, jin, dan tidak juga
Malaikat yang ada di langit dan di bumi, kecuali kami adalah argumen-argumen
buat mereka. Tidaklah Allah menciptakan suatu ciptaan kecuali telah ditampilkan
wilayah kami kepadanya dan berargumen kepada kami atasnya. Maka ada yang
percaya dan menolaknya sampai langit-langit dan bumi”.
Pernyataan seluruh ciptaan tergantung
pada Rasul Muhammad saw dan Ahlul Bait.
Pernyataan dalam muqaddimah kitab Tafsir
Miratul Anwar wa Misykatul Asrar, hal. 31 pada bab 5 yang
berjudul, Al-Fashul Khamis fi anna Rasulallah wal Aimmah illatu khalqi
khalqi. Fasal lima bahwa Rasulullah saw dan para Imam adalah alasan (Allah)
menciptakan makhluk”.
2. Pernyataan bahwa Ali bin Abi Thalib
Ra, hafal seluruh kitab nabi waktu dilahirkan, lebih dari Nabi-nabi terdahulu.
Pernyataannya tercantum dalam kitab
Raudhatul Waidin hal. 48, Biharul Anwar, vol. 35, hal. 22, dan Holayatul Abrar,
vol. 2, hal. 58: “………….Kemudian, Ali membaca Taurat Nabi Musa, hingga
seandainya Musa ada, pasti ia mengakui bahwa Ali lebih hafal daripadanya.
Kemudian Ali membaca Zabur Nabi Dawud, hingga seandainya Dawud ada, pasti
mengakui bahwasanya Ali lebih hafal daripadanya. Selanjutnya, dibaca pula
Injil, hingga seandainya Isa ada Ali lebih hafal daripadanya. Lalu ia membaca
al-Quran, aku temukan Ali—kata Nabi– hafal seperti hafalanku saat ini, dengan
tidak terdengar ayat yang dibacanya”.
Memutuskan hubungan dengan al-Quran
Alquran yang sekarang ada dinilai tidak
orisinal karena hasil persekongkolan sahabat-sahabat Rasulullah saw, seperti
Abu Bakar, Umar, Abdullah bin Amr, dan lain-lain, sehingga banyak lafal-lafal
yang dibuang, dan juga surat-surat dihilangkan seperti surat an- Nuraian,
surat al-Wilayah, surat al-Khala’, dan surat al-Hafd. Tuduhan penghilangan ini
tercantum pada kitab-kitab, seperti Tadzkiratul Aimmah, hal. 19, dan
Tadzkiratul Fuqaha. Dan pada itu ada yang lebih parah dari pernyataan ini yang
menyatakan bahwa al-Quran yang asli yang riwayatnya dinisbahkan pada Imam
al-Shadiq, “Sesungguhnya al-Quran yang dibawa oleh Jibril pada Muhammad Saw
adalah 17.000 ayat dan ada yang meyebut 18.000 ayat. Pernyataan ini, yang
pertama tercantum dalam al-Kafi—kitab hadis mereka yang amat dibanggakan—vol.
2, hal. 634 dan kedua Kitab Sulaim bin Qais, hal. 146.
Ini hanyalah contoh kecil yang tercantum
dalam kitab-kitab mereka sebagaimana diambil dalam tulisan Prof. Dr. Ahmad bin
Said Hamdan al-Ghamidi, Guru Besar Univ. Ummul Qurra, yang penulis kutip yang
dalam catatannya disebutkan, Bara’atu Ahlu Bait minar-Riwayat”, Bebasnya
Ahlu Bait dari riwayat-riwayat (dusta) . Oleh karena itu dengan telah
disusunnya buku, “Hitam di Balik Putih: Bantahan Terhadap Buku Putih Mazhab
Syiah” akan makin terungkaplah kebohongan-kebohongan Syi’ah
Rafidhah ini, termasuk yang ada dan berkembang di Indonesia saat ini yang
dalam ormasnya disebut IJABI.
Untuk itu buku
karya al-Akh Ustadz Amin Muchtar, dapat menjadi rujukan dalam
membendung ajaran Syiah ar-Rafidhah ad-dhalalah dari bumi
NKRI Ahlu Sunnah wal Jama’ah ini. Persatuan dan kesatuan umat dengan
Ahlu sunnah wal Jamaah NKRI akan tetap terpelihara. Namun, dengan Syiah yang menganggap
kaum Nashibi kepada Sunni yang dihalalkan darahnya akan menimbulkan
konflik berkepanjangan dan NKRI akan dipecah-belah dan penuh konflik, seperti
kasus Suriah saat ini. Basyr al-Asad Syiah Nushairah, pecahan Syiah Rafidhah,
Itsna Asyriyah, sudah membunuh warganya yang Sunni yang amat banyak. Konflik
intern umat akan terjadi dengan berkembangnya para pencaci para Sahabat Nabi,
mertua Rasul, istri-istrinya, dan Ahlu Sunnah itu, sebagaimana peristiwa
SAMPANG.
Mudah-mudahan pula buku pertama ini
menjadi inspirasi juga bagi para muballig Ahlu Sunnah wal
Jamaah untuk terus memagari bangsa ini dari segala ajaran dan
aliran yang bertentangan dengan ajaran al-Quran dan Sunnah, termasuk aliran
sesat Ahmadiyah.
Allahummahfizhna fi dinina ya Rabbana ya
Karim wa Allahu yakhudzu bi aidina ila ma fihi khairun lil Islam wal Muslimin.
By Prof. Dr. M.Abdurrahman, MA.,
(Ketua Umum PP Persis Masa Jihad 2010-2015), dalam Kata
Pengantar Buku Hitam dibalik Putih, Bantahan Terhadap Buku Putih Madzhab
Syiah, hlm. 17-22
Bongkar Kepalsuan Buku Putih Mazhab Syiah
(Bagian Ke-4)
Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillahi
Rabbil ‘Alamin. Wasshalatu Wassalamu ‘ala Assyrafil Anbiya wal Mursalin. Wa
‘ala Alihi Wa Ashabihi Ajma’in.
Sejak Revolusi Iran dicanangkan, tahun
1979, maka semenjak itu pula euforia revolusi Persi menyebarkan propaganda
Syiah ke mana-mana. Khususnya di negara-negara Arab sebagai tetangga – dan juga
negara Islam lainnya. Apalagi Indonesia, sebagai negara terbesar mayoritas
Muslim di dunia, menjadi incaran pertama dan utama syiahisasi di sini dengan
mengusung retorika revolusi dan anti Amerika, isu nuklir, serta pro Palestina
yang tidak pernah kongkret.
Padahal, siapapun tahu bahwa Revolusi
Iran (1979) saat itu disiarkan media internasional sebagai revolusi yang telah
memakan anak kandungnya sendiri. PM Sadeq Qotbzadeh (PM pertama pasca revolusi)
dihukum gantung oleh Khomeini. Presiden pertama, Bani Shadr divonis mati, andai
tak lari mencari suaka ke Prancis (sampai kini) pasti ia mengalami nasib yang
sama dengan Qotbzadeh. Ayatullah Bahesti dibom bersama konon puluhan anggotanya
di parlemen, dan Ayatullah Syariat Madari dikucilkan dari revolusi karena
bersaing dengan Ayatullah Khomeini.
Revolusi Iran sampai kini tercatat belum
memberikan perubahan yang berarti, sampai terpilihnya Presiden Rouhani yang
dianggap moderat. Semasa pemerintahan Ahmadinejad yang dekat dengan Rusia
(padahal Khomeini saat revolusi menyebut Rusia sebagai syaitan bozor=setan
besar) gagal membangun hubungan baik dengan negara-negara Arab sebagai
tetangga, membangun ekonomi dalam negeri hingga riyal Iran anjlok, banyak
migrasi Iran (mencari penghidupan dan suaka) ke Australia bahkan terdampar di
Indonesia, juga ada sindikat perdagangan narkoba. Pasca perang Iran-Irak,
mencuat kasus skandal Iran-Contra (perdagangan senjata yang melibatkan AS dan
Israel). Sementara euforia revolusi dan anti Barat terus dijadikan sebagai
kekuatan diplomasi propaganda yang intensif di Dunia Islam.
Orang lupa bahwa sesungguhnya Revolusi
Iran adalah milik Iran sendiri, karena tidaklah mungkin dan tak akan pernah –
minoritas Syiah Iran dapat mewakili mayoritas Muslim di Dunia yang menganut
akidah dan mazhab Ahlussunnah wal Jama’ah. Sementara perbedaan aqidah,
manhaj, mazhab dan ideologi politik tidak saja berbeda prinsip dengan
Sunni, melainkan berlawanan dengan prinsip keyakinan mayoritas.
Karena sebab-sebab itulah, maka
pendekatan yang pernah dilakukan, sebut saja kesepakatan Yordan dan Qatar tidak
akan pernah menghasilkan solusi yang kongkret. Karena memang kedua pihak tak
mungkin dapat dipertemukan, tidak ada contohnya antara Sunni dan Syiah ini bisa
bersatu. Jika umat Islam internal Ahlussunnah wal Jamaah, berbeda mazhab dan
aliran bisa shalat berjama’ah (sebagai simbol persatuan/ukhuwwah) maupun
bersepakat untuk kepentingan bersama, maka dengan Syiah Rafidhah hal itu
mustahil bisa terwujud. Niat baik ulama Sunni untuk
melakukan taqrib (hidup rukun dengan masing-masing aqidah) selalu
gagal karena terhalang tradisi keyakinan mereka yang selalu menistakan pemuka
sahabat dan isteri Nabi Muhammad saw.
Dengan semangat intervensi keyakinan
inilah maka semangat dan kebiasaan Syiah Rafidhah untuk mendekonstruksi
hadis-hadis Sunni, melecehkan Bukhari-Muslim, menggugat sejarah Ahlussunnah wal
Jama’ah, sejak itu membuat cemas para ulama
(baik mutaqaddimin maupun mutaakhirin) dan akhirnya jadi sumber
perpecahan umat dan permusuhan abadi yang laten.
Hal tersebut dapat dibuktikan dari
buku-buku propaganda Syiah di Indonesia sendiri selama ini. Katakanlah dimulai
dari buku berjudul “Dialog Sunnah-Syiah”, terjemahan dari “Al-Muraja’at”
karangan Abdul Husain Syarafuddin Al Musawy. Buku propaganda Syiah yang fiktif
ini sempat mempengaruhi banyak orang awam, dan akhirnya sempat dicetak
berulang-ulang memberi kesan seakan buku ini sudah diterima kebenarannnya.
Padahal ada bantahannya, “Al-Bayyinat” yang ditulis oleh Az-Zaabi, sengaja tidak
diterbitkan secara seimbang dan adil oleh penerbitnya.
Ada pula buku berjudul Saqifah, yang
mengesankan seakan pemilihan Abu Bakar Asshiddiq sebagai khalifah (penerus
ajaran, bukan penerus kenabian) itu sebagai suatu kesapakatan yang salah,
dengan mengabaikan kompromi Ali bin Abi Thalib sendiri dengan beliau. Juga
terbit meluas buku propaganda lain “Sudah Kutemukan Kebenaran” yang
menggambarkan klaim kebenaran penulis Syiah. Belum lagi buku-buku kontroversial
dan polemis lainnnya yang begitu banyak diterbitkan oleh penerbit-penerbit
Syiah – yang sekaligus mengambil keuntungan besar dari pembaca Sunni. Bahkan
beredarnya buku-buku yang menghujat ini, masih sempat-sempatnya seolah tanpa
beban mengulurkan ajakan persatuan dan ukhuwwah. Bagaimana mungkin hal itu
bisa terjadi? Bagaimana bisa bersatu jika disebut nama pemuka sahabat Nabi kita
mengucap radhiallahu Anhum, sedangkan mereka menyebut Laknatullah
Alayhim?
Untuk melangggengkan pengaruh dan
propaganda kemudian diwujudkan dalam bentuk mobilisasi pelajar kita ke Qum
(Iran) yang begitu tamat langsung melakukan syiahisasi. Sejumlah yayasan
didirikan di mana-mana, pengajian Syiah digelar dengan ceramah-ceramah “panas”
yang berkisar meremehkan bahkan menistakan pembesar sahabat dan isteri Nabi.
Abu Hurairah dilecehkan dengan mengabaikan sumber primer Sunni, dan sengaja
secara selektif mengutip hadis-hadis musykil Sunnah tanpa dijelaskan
latar-belakang, riwayah dan dirayahnya secara holistis.
Akar permasalahannya adalah egoisme
keberagamaan Syiah yang disertai militansi ideologi yang tinggi, dengan jargon
“Kullu Ardhin Karbala, Kullu ‘Amin ‘Asyuro” (Setiap Bumi Karbala dan Setiap
Tahun Asyuro) yang jelas mengisyaratkan ambisi besar untuk meluaskan ekspansi
ideologi dan Syiahisasi di kalangan Sunni akhir-akhir ini yang sudah semestinya
diantisipasi. Salah satu antisipasi berupa buku koreksi total atas ‘Buku Putih’
yang mereka terbitkan. Kini sudah dibantah oleh penulis buku di tangan Anda
ini. Saudara Amin Muchtar, penulis buku berjudul Hitam Dibalik Putih Syiah: Bantahan
Terhadap Buku ‘Putih’ Mazhab Syiah ini dapat memperjelas hal-hal
yang syubhat mengenai Syiah Rafidhah yang berkembang secara sistemik
di Indonesia belakangan ini. Semoga buku ini banyak memberikan
manfaat, Wallahu a’lam, Wallahul Muwaffiq ila Aqwam at-Thariq.
By Prof. Dr. Mohammad Baharun
(Guru Besar Sosiologi Agama, Ketua Komisi Hukum MUI Pusat), dalam Kata
Pengantar Buku Hitam dibalik Putih, Bantahan Terhadap Buku Putih Madzhab
Syiah.
Bongkar Kepalsuan Buku Putih Mazhab Syiah
(Bagian Ke-5)
Sikap kritis dalam bentuk karya tertulis
merupakan suatu tradisi dalam sejarah peradaban Islām. Imam al-Ghazālī (m.
1111), misalnya, menulis Tahāfut al-Falāsifah (Ketidakkoherenan Para Filosof)
karena menolak pemikiran al-Fārābī dan Ibnu Sīnā. Menanggapi pemikiran
al-Fārābī, Ibnu Sīnā dan khususnya al-Ghazālī, Ibnu Rushd menulis Tahāfut al-Tahāfut
(Tidak Koherennya Ketidakkoherenan). Al-Shahrastānī juga menulis Muṣāra’ah
al-Falāsifah (Pergulatan Para Filosof) yang menolak pemikiran para Filosof
khususnya terkait dengan keazalian alam. Fakhr al-Dīn al-Rāzī juga menulis
banyak komentar kepada Ibnu Sīnā, seperti Sharh ‘Uyūn al-Ḥikmah (Komentar Inti
Hikmah)dan Sharh Ishārāt wa al-Tanbīhāt (Komentar Isyarat dan Peringatan).
Sebenarnya, Fakhr al-Dīn al-Rāzī bukan sekadar mengomentari, tapi, juga
mengkritik pemikiran Ibnu Sīnā. Jadi, tradisi kritis melalui buku memang telah
berkembang mapan dalam sejarah peradaban Islām.
Tentu perdebatan, pertentangan, apalagi perbedaan bukan hanya dalam ranah
Filsafat. Perdebatan, pertentangan apalagi perbedaan pemikiran juga terjadi
dalam akidah dan syariah. Berbagai aliran mazhab telah menulis banyak sekali
karya yang menunjukkan keunggulan mazhabnya dan menunjukkan kekeliruan mazhab
lainnya.
Syiah dan Sunni telah menjalani pertentangan dalam waktu yang sangat panjang.
Banyak sekali buku, baik dari kalangan Sunni dan Syiah yang saling menghujat
dan menunjukkan kekeliruan masing-masing mazhab. Selain buku yang saling
mengkritik, upaya-upaya perdamaian juga dilakukan untuk mendekatkan Syiah dan
Sunni, baik pada tingkat nasional ataupun internasional. Upaya mendamaikan
keduanya dilakukan seperti Majma’ Taqrīb bayn al-Madhāhib. Namun, terkadang
upaya tersebut juga bukannya tanpa kekeliruan. Sebabnya, hal-hal yang jelas
bertentangan disederhanakan menjadi persoalan yang tidak mendasar. Selain itu,
kesepakatan-kesepakatan mungkin terjadi di atas kertas dan di dalam forum,
namun di lapangan, kesepakatan-kesepakatan itu sama sekali tidak dilaksanakan.
Pertentangan Sunni dan Syiah berimbas juga pada adu fisik yang menimbulkan
korban jiwa seperti yang terjadi di berbagai negara seperti: di Saudi Arabia,
Iran, Syiria, Irak, Mesir, Pakistan, Afghanistan, Indonesia, dan di berbagai
wilayah lainnya.
Baru-baru ini, Dewan Pengurus Pusat Ahlul Bait Indonesia telah menerbitkan Buku
Putih Mazhab Syiah: Menurut Ulama Syiah yang Muktabar, Sebuah Uraian untuk
Kesepahaman demi Kerukunan Umat Islām (2012). Buku yang diterbitkan dari
kalangan Syiah ini bertujuan untuk menjelaskan anggapan-anggapan yang keliru
tentang Syiah. Seakan-akan Buku Putih Mazhab Syiah ingin menunjukkan inilah
Syiah yang sebenarnya. Kekeliruan-kekeliruan pandangan tentang Syiah telah
dilakukan, baik dari kalangan Syiah sendiri apalagi dari kalangan Sunni. Jadi,
Buku Putih Mazhab Syiah seperti memberikan jawaban atas berbagai kekeliruan
pandangan terhadap Syiah.
Buku Putih Mazhab Syiah ini menggambarkan posisi Syiah dalam berbagai aspek
pemikiran. Di antara isi Buku Putih Mazhab Syiah adalah menegaskan jika Syiah
menerima al-Qur’ān dan al-Sunnah al-Mu’tabarah, menegaskan prinsip al-Imāmah
(kepemimpinan), menerima sebagian para Sahabat, dan membenarkan nikah Mut’ah.
Buku Putih Mazhab Syiah menggambarkan jika ada di antara penganut Syiah yang
menolak al-Qur’ān, maka penganut Syiah tersebut termasuk orang-orang yang
menyimpang dari ajaran Islām. Mengenai para Sahabat, Buku Putih Mazhab Syiah
menunjukkan jika Syiah juga menerima para Sahabat Nabi. Buku Putih Mazhab Syiah
memuat 197 nama para Sahabat Nabi yang diterima kalangan Syiah. Namun, diantara
nama-nama tersebut, Abū Bakr al-Ṣiddīq, ‘Umar bin al-Khattāb, ‘Uthmān bin ‘Affān,
‘Abd al-Rahmān bin ‘Auf, Ṭalḥah bin ‘Ubayd Allāh, al-Zubayr bin al-Awwām, Sa’d
bin Abī Waqqās, Sa’īd bin Zayd, Abū ‘Ubaidah bin al-Jarrāh, sama sekali tidak
disebutkan. Memang, kalangan Syiah menolak Abū Bakr ra, ‘Umar ra, ‘Uthmān ra,
dan para Sahabat Nabi lainnya. Padahal, mereka telah mengorbankan jiwa dan
harta mereka untuk Islām. Konsep Sahabat kalangan Syiah memang bertentangan
dengan apa yang diyakini mayoritas umat Islām di dunia. Buku-buku Syiah banyak
sekali yang melaknat, menghujat, mencaci maki, mengumpat dan menghina Abū Bakr,
‘Umar , ‘Uthmān dan para Sahabat Nabi lainnya. Abbas Rais Kirmani, dalam
bukunya, kecuali ‘Alī, menyebut Abū Bakr dan ‘Umar sebagai Iblis (Al-Huda,
2009, hal. 155-156). Emilia Renita AZ, istri Jalaluddin Rakhmat, dalam bukunya
40 Masalah Syi’ah, menyebutkan “Syiah melaknat orang yang dilaknat Fatimah.”
(Bandung: IJABI, editor Jalaluddin Rakhmat, Cet ke 2. 2009, hal. 90).
Jalaluddin Rakhmat dalam bukunya Meraih Cinta Ilahi, menyebutkan dan yang
dilaknat Fatimah adalah Abū Bakr dan ‘Umar . (Depok: Pustaka IIman, 2008. Dalam
catatan kaki, hal. 404-405, dengan mengutip riwayat kitab al-Imāmah wa
al-Siyāsah).
Mengenai Imāmah, Buku Putih Mazhab Syiah menegaskan jika Allāh telah menetapkan
garis Imāmah sesudah Nabi Muḥammad ṢAW ada pada orang-orang suci dari
dhurriyah-nya atau keturunannya, yang berjumlah 12 orang. Buku Putih Mazhab
Syiah juga menegaskan jika Syiah meyakini bahwa ucapan seorang imam maksum,
perbuatan, dan persetujuannya, adalah ḥujjah shar’iyyah, kebenaran agama, yang
mesti dipatuhi. Konsep Imāmah kalangan Syiah memang rancu dan keliru. Kalangan
Sunni menolak kemaksuman 12 imam yang disucikan oleh kalangan Syiah. Buku Putih
Mazhab Syiah keliru tatkala membahas isu-isu Ikhtilāf Ahl al-Sunnah dan Syiah,
tidak memasukkan pembahasan mengenai Imāmah. Padahal, isu Imāmah ini merupakan
persoalan utama antara Sunni dan Syiah.
Buku Putih Mazhab Syiah berusaha untuk menunjukkan perbedaan pendekatan Akhbārī
dan Uṣūlī. Seolah-olah jika kekeliruan dilakukan oleh kalangan Syiah, maka itu
disebabkan pendekatan orang Syiah tersebut adalah Akhbārī . Pendekatan Akhbārī
adalah pendekatan tekstualis dan skripturalis. Sedangkan pendekatan Uṣūlī
adalah pendekatan yang menerima prinsip-prinsip rasional dalam memahami teks
al-Qur’ān dan Sunnah dan menyimpulkan dari kedua sumber tersebut. Buku Putih
Mazhab Syiah menyatakan jumhur ulama Syiah zaman ini mengikuti pendekatan Uṣūlī.
Sebenarnya, pendekatan Uṣūlī yang dilakukan kalangan Syiah tidak menyebabkan
pemikiran mereka terlepas dari kekeliruan-kekeliruan. Buku Putih Mazhab Syiah
yang menggunakan pendekatan Uṣūlī juga memuat kekeliruan-kekeliruan tersebut.
Masih banyak kekeliruan yang terdapat dalam Buku Putih Mazhab Syiah. Amin
Muchtar dalam karyanya ini menunjukkan berbagai kekeliruan Buku Putih Mazhab
Syiah. Amin Muchtar, misalnya, menunjukkan pada akhirnya hadis-hadis yang
beredar di kalangan Syiah justru lebih banyak yang diriwayatkan oleh para imam
ketimbang Nabi Muḥammad saw.
Upaya Amin Muchtar menunjukkan kekeliruan-kekeliruan yang terdapat dalam Buku
Putih Mazhab Syiah perlu dihargai. Ia melihat banyak inkoherensi,
penyederhanaan masalah, kekeliruan logika, kesalahan-kesalahan lainnya yang
terdapat dalam buku tersebut.
Namun, buku karya Amin Muchtar ini belum mengungkap sepenuhnya kekeliruan yang
terdapat dalam Buku Putih Mazhab Syiah. Sangat bisa dimaklumi karena ini adalah
kritik bagian pertama. Oleh sebab itu, kritik lanjutan dari Amin Muchtar sangat
diperlukan. Ini untuk memberi gambaran bahwa Buku Putih Mazhab Syiah memang
mengandung kekeliruan-kekeliruan. Semoga Allāh Ta’ālā memberi daya dan upaya
kepada Amin Muchtar untuk melanjutkan upaya ilmiah, yang memang diperlukan
dalam pergulatan pemikiran.
By ADNIN ARMAS, M.A.
(Direktur Eksekutif INSISTS), dalam Kata Pengantar Buku Hitam dibalik Putih,
Bantahan Terhadap Buku Putih Madzhab Syiah, hlm. 49-53
Bongkar Kepalsuan Buku Putih Mazhab Syiah
(Bagian Ke-6)
الحمد لله وحده لا شريك له له الملك وله الحمد
وهو على كل شيئ قدير واشهد ان لا اله الا الله وحده لا شريك له واشهد ان محمدا
عبده ورسو له اما بعد
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah
Swt. yang Esa yang tidak ada sekutu bagi-Nya, Pemilik kekuasaan dan Pemilik
segala pujian dan Allah-lah yang menguasai segalanya.
Kami bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang
patut disembah melainkan Allah Swt. dan kami bersaksi bahwa Muhammad adalah
utusan Allah.
Allah Swt. telah menetapkan bahwa
orang-orang kafir tidak kenal henti dengan berbagai gerakan, fitnah dan
tipu-dayanya untuk membawa umat Islam kembali kepada jalan kekufuran. Dengan
dukungan segala sumber daya yang mereka miliki, gerakan, tipu daya yang masif
ditebarkan bahkan mempersonakan sebagian ummat Islam, sehingga sebagian umat
tersebut tenggelam dalam kesesatan.
Dari sekian banyak tipu daya, fitnah itu
adalah penyusupan ke dalam Islam dengan lahirnya nabi-nabi palsu, ajaran-ajaran
palsu bahkan lahirnya tandingan Al-Quran itu sendiri.
Sejak lahirnya Nabi dan penyebar
kebohongan seperti Musailamah al-Kadzaab, Abdullah bin Saba, Mirza Ghulam Ahmad
dengan Ahmadiyyah-nya sampai pada pemikiran yang menyesatkan dari sebagian
besar kaum orientalis yang membenci Islam dan disebar-luaskan oleh para
pengikutnya.
Fitnah gerakan tipu daya yang sedemikian
licin, salah satunya adalah karya Abdullah bin Saba, mantan pendeta Yahudi dari
Yaman, dengan ajaran Syiahnya atau menamakan diri Ahlul Bayt. Gerakan Syiah
telah mampu memperlemah keutuhan umat, meniupkan nafsu permusuhan, perpecahan
sejak terbunuhnya sahabat Rasulullah saw. sekaligus menantunya yaitu khalifah
Utsman bin Affan Ra.
Ajaran Syiah dengan sekian banyak
sempalannya telah banyak memperdaya dan menjerumuskan sebagian umat Islam
kedalam kesesatan. Semakin bertambahnya ajaran sesat yang menyesatkan di
lingkungan kaum muslimin, namun malangnya seringkali pula oleh sebagian
masyarakat dianggap sebagai bagian dari ajaran Islam.
Alhamdulillah, Persatuan Islam dengan
dakwahnya berjihad untuk menjelaskan dan menelanjangi segala bentuk kesesatan.
Sejak awal berdirinya pada 1923, Persatuan Islam berupaya dengan dakwahnya
untuk membawa umat ini kembali kepada Islam yang berlandaskan kepada Al-Quran
dan Sunnah.
Salah satu bentuk dakwah Persatuan Islam
diawal perjalanan dakwahnya adalah debat. Persatuan Islam adalah pelopor di
Indonesia untuk menelanjangi kebohongan Ahmadiyyah dalam debat A. Hassan dengan
dedengkot Ahmadiyyah yang diselenggarakan di Gang Kenari, Jakarta, saat
pemerintahan kolonial Belanda.
Cara tersebut diulang oleh generasi
berikutnya, telah diadakan debat terbuka di Masjid Al-Husaini, Jl. Mardani Raya
dengan penyelenggara PW Pemuda Persatuan Islam DKI Jakarta bersama PC Persatuan
Islam Johar Baru, Jakarta Pusat. Debat antara kader Persatuan Islam, Ustadz
Amin Muchtar dengan salah satu pengikut ajaran Syiah, yakni Wakil Ketua Umum
DPP Ahlul Bait Indonesia (ABI), Sdr. Abdullah Beik, MA, alumni Universitas Qum,
Iran, sekaligus dosen Universitas Paramadina, Jakarta.
Kali ini Ustadz Amin Muchtar yang
menekuni ajaran Syiah dari sumber kitab-kitab rujukan yang paling utama bagi
Syiah atau yang menamakan diri ajaran Ahlul Bayt, mempersembahkan penelitiannya
sekaligus menjawab buku yang diterbitkan oleh Ahlul Bait Indonesia, dengan
judul: Buku Putih Mazhab Syiah, Menuru Para Ulamanya yang Muktabar. Hasil
penelitian tersebut dituangkan dalam buku Hitam Dibalik Putih, Bantahan
Terhadap Buku Putih Mazhab Syiah.
Dalam buku ini, dipaparkan dengan jelas,
gamblang tentang bagaimana perbedaan yang jauh ajaran Syiah dengan ajaran
Islam. Jelasnya ungkapan cara-cara pemimpin–ulama Syiah mengubah Islam
yang Rahmatan lil‘alamin menjadi ajaran yang penuh kebencian kepada
sahabat-sahabat Rasulullah Muhammad saw. Syiah telah membuat ajaran tandingan,
lalu menamakan sebagai Islam dalam bentuk yang lain dari apa yang diajarkan
Allah Swt. dan Muhammad saw. itu sendiri.
Pandangan kami Pimpinan Wilayah Persatuan
Islam DKI Jakarta terhadap Syiah atau yang menyebut dirinya sebagai ajaran
Ahlul Bayt adalah gerakan yang menghancurkan Islam dari dalam, sesat dan
menyesatkan.
Buku ini sangat bermanfaat bagi
cerdik—pandai, pemerhati gerakan, atau siapapun yang ingin jujur menempatkan
persoalan Syiah atau yang menamakan Ahlul Bait dalam kehidupan ummat Islam.
Bahkan bagi kalangan Syiah itu sendiri dengan buku ini kami berharap untuk
bersegera taubatan nasuha kembali ke pangkuan Islam, insya Allah.
Semoga Allah Swt. senantiasa menuntun
kita untuk mendapat perlindungan-Nya, meneguhkan hati kita dalam Iman dan
Islam. Senantiasa meneguhkan hati kita memelihara keikhlasan dituntun oleh
Muhammad saw. serta generasi dahulu yang ikhlas dalam naungan Al-Quran dan
Sunnah Rasulullah Muhammad saw.
الله يأخذ بأيدينا إلى ما فيه خير للإسلام
والمسلمين
By KH. Kahfie Amin (Ketua
Pimpinan Wilayah Persatuan Islam DKI Jakarta, Masa Jihad 2011-2015), dalam
Kata Pengantar Buku Hitam dibalik Putih, Bantahan Terhadap Buku Putih
Madzhab Syiah, hlm. 27-30
Bongkar Kepalsuan Buku Putih Mazhab Syiah
(Bagian Ke-7)
Sebelum Revolusi Iran tahun 1979,
perbincangan mengenai gerakan Syiah di Indonesia boleh dikatakan hampir tidak
ada, sekalipun bukan berarti gerakan ini tidak ada. Sebagai sebuah gerakan
ideologis, Syiah tentu saja selalu ingin mengembangkan kepercayaan dan
keyakinannya di manapun. Oleh sebab itu, sangat mungkin sejak lama Syiah sudah
mengincar Indonesia. Akan tetapi, sampai tahun 1979, sejarah Islam di Indonesia
tidak mencatat Syiah sebagai salah satu aktor yang ikut meramaikannya.
Memang ada yang meyakini bahwa Syiah
telah ada sejak masa awal kedatangan Islam ke Indonesia. Bahkan diyakini bahwa
“raja-raja” Aceh (Pasai) yang mula-mula adalah penganut Syiah yang kemudian
pada periode berikutnya di-Sunnikan. Di antara ilmuwan yang meyakini teori ini
antara lain Ali Hasymi dan Yusuf Syo’ub. Akan tetapi, bukti-bukti yang
disodorkan lebih banyak yang sifatnya “konspiratif” (baca: teori konspirasi)
yang sulit sekali untuk dijadikan pegangan. Misalnya, hikayat tentang Raja
Perlak pertama Sultan Sayyid Maulana Abdul Aziz Shah. Ia dianggap sebagai anak
dari Ali ibn Muhammad ibn Ja’far Al-Shadiq. Ia adalah rombongan 100 orang
angkatan dakwah Syiah dari Persia yang diusir karena melakukan pemberontakan
pada masa kekuasaan Al-Makmun. Lalu ia dinikahkan dengan putri penguasa
setempat dan mendirikan kekuasaan Islam pertama di Perlak (Aceh).[1] Jadi,
kerajaan awal Islam di Nusantara adalah kerajaan yang rajanya beraliran Syiah.
Argumen ini kemudian diperkuat dengan kesimpulan berikut.
Khusus di Nusantara, kegiatan
dakwah kerajaan Fathimiyah yang beraliran Ismailiyah itu dikatakan turut
mempengaruhi kawasan Sumatera. Bahkan pernah pula dikatakan agama Islam di
Pasai (1042-1444) itu mulanya beraliran Syiah, kemudian dihapuskan oleh Malik
Al-Shalih pada abad ke-13. Propaganda golongan Ismailiyah ini sungguh berkesan
dan pernah dikatakan bahawa sepanjang abad ke-11 dan ke-12, Indonesia berada di
bawah pengaruh Syiah. Ini sesuailah dengan suasana di Tanah Arab ketika itu
yang juga sedang dipengaruhi oleh aliran Syiah.[2]
Dengan amatan sepintas mungkin saja
berita ini benar. Akan tetapi, melihat pada argumen dan bukti-bukti yang
ditunjukkan amat lemah. Pertama, argumen yang ditunjukkan terlalu
banyak menggunakan teori konspirasi, yaitu mengaitkan perkembangan Syiah di
Indonesia dengan pengusiran dan kekalahan orang-orang Syiah di tanah Arab dan
Persia pada masa Umawiyah dan Abbasiyah. Mereka berdiaspora ke mana-mana
termasuk ke Indonesia. Akan tetapi, sampai saat ini sama sekali tidak ditemukan
bukti kongkrit bahwa, baik orang Arab maupun Persia, yang datang ke Indonesia
benar-benar mengajarkan Syiah, apalagi dikaitkan dengan politik yang seringkali
sangat kompromis, tanpa mempertimbangkan ajaran. Bukankan Abbasiyah sendiri
dapat mengalahkan Umawiyah salah satunya didukung oleh kelompok Syiah,
sekalipun tidak berarti Abbasiyah menjadi Syiah. Ini yang sampai sekarang
menyebabkan teori berkembangnya Syiah di Indonesia lebih banyak bersifat klaim
daripada kenyataan.
Kedua, kalau mempertimbangkan
beberapa sumber lain yang menyebut para da’i Islam telah hadir sejak zaman Umar
ibn Abdul Aziz dari Bani Umawiyah, maka Islamisasi awal Indonesia sudah pasti
Sunni. Kalaupun ada Syiah zaman itu, belum terindikasi sebagai Syiah dari segi
akidah, hanya syiah politik. Tidak mengherankan kalau di zaman-zaman itu, ada
juga beberapa perawi hadis Imam Bukhori dan lainnya yang terindikasi Syiah.
Akan tetapi, bukan Syiah dari segi akidah yang menyimpang seperti anggapan dari
sebagian penulis Syiah yang ingin menunjukkan peran Syiah dalam penulisan
hadis, melainkan Syiah politik yang secara akidah tetap Islam (baca: Sunni).[3]
Ketiga, sampai saat ini pengaruh
yang paling kuat dalam tradisi Islam di Indonesia adalah Ahlus-Sunnah. Tidak
ditemukan satupun komunitas Syiah yang hidup berkembang sebelum tahun 1979.
Kalaulah Syiah pernah datang ke sini sejak periode awal, kemungkinan masih
harus tersisa komunitas-komunitas Syiah sekecil apapun. Apalagi
mempertimbangkan keyakinan Syiah yang bersifat ideologis dan berjejaring
internasional yang mengharuskannya tetap mempertahankan kepercayaan mereka
sampai titik darah penghabisan. Kalau melihat tidak bersisanya komunitas Syiah
hanya ada dua kemungkinan: Syiah tidak pernah ada di Indonesia atau Syiah hanya
numpang lewat sebelum menancapkan akarnya di bumi Indonesia ini.
Walaupun secara umum sulit dibuktikan
secara meyakinkan bahwa Syiah pernah menapakkan kakinya di bumi Indonesia,
apalagi sempat memiliki kekuasaan seperti di Perlak dan Pasai, akan tetapi
semenjak Revolusi Iran tahun 1979, ekspansi Syiah ke seluruh dunia termasuk ke
Indonesia, terlah menyebabkan pertumbuhan Syiah cukup spektakuler. Selama lebih
dari tiga puluh tahun berada di Indonesia, saat ini jumlah penganut Syiah di
Indonesia sudah lumayan banyak dan menyebar hampir di seluruh pelosok
Nusantara. Berbagai yayasan sosial dan pendirikan didirikan. Dua ormas Syiah
(ABI dan IJABI) juga telah berdiri. Itu semua menandakan bahwa keberadaan Syiah
di negeri ini sudah cukup serius. Pengaruhnya semakin besar manakala gerakan
ini masuk ke jantung kekuasaan negara.
Tahun 1980-an, kelompok Syiah pernah
melakukan pengeboman kompleks Candi Borobudur karena terlalu bersemangat untuk
mewujudkan Revolusi Iran di Indonesia. Akan tetapi, usaha ini sia-sia karena
jumlah mereka masih sangat kecil. Oleh sebab itu, Syiah Indonesia kemudian
mengubah haluan gerakannya melalui pendekatan intelektual. Mereka mulai
menerbitkan buku-buku karangan para intelektual Syiah kontemporer seperti
Khumaini, Murtadho Muthahhari, Ja’far Subhani, Ali Syariati, dan sebagainya. Di
antara penerbit besar yang menyokong penerbitan ini adalah Mizan, Pustaka
Hidayah, dan Lentera. Buku-buku yang diterbitkan bukan fikih dan ajaran ibadah,
melainkan pemikiran Islam sehingga dapat masuk ke kalangan terpelajar
Ahlus-Sunnah. Beberapa di antara mereka menjadi sangat tertarik pada Syiah dan
kemudian benar-benar menjadi Syiah seperti Jalaludin Rahmat yang saat ini
menjadi ikon Syiah di Indonesia.
Tahun 2000 boleh dikatakan sebagai
tonggak kebangkitan gerakan Syiah di Indonesia ketika Jalaludin Rahmat bersama
jamaah Syiahnya di Bandung mendeklarasikan berdirinya IJABI (Ikatan Jamaah Ahli
Bait Nabi) pada 1 Juli 2000. Berdirinya IJABI menandakan kepercayaan diri
penganut Syiah di Indonesia untuk menunjukkan eksistensi mereka. Tentu saja,
mereka telah berhitung soal pengikut yang kelihatannya sudah cukup untuk
menopang tegak dan berkembangnya Syiah di Indonesia. Ini dibuktikan hingga saat
ini organisasi ini tetap eksis berdiri. Bahkan, tidak lama setelah itu sejak
tahun 2006 selalu digelar Silaturahmi Nasional jamaah Syiah yang akhirnya
merekomendasikan berdirinya ormas Syiah ABI (Ahlul Bait Indonesia). Ini
menandakan bahwa kian kemari perkembangan aliran ini kian pesat.
Strategi dakwah yang digunakan oleh kedua
ormas ini dalam menghadapi masyarakat Islam di Indonesia hampir sama, yaitu
mengkampanyekan ukhuwah dan persaudaraan antar-mazhab dan golongan. Kedua ormas
ini seperti saling berlomba menunjukkan bahwa ajaran mereka bukan ajaran sesat
dan juga tidak menyesatkan, apalagi mengkafirkan kelompok lain. Berbagai buku
diterbitkan oleh para aktivis kedua ormas Syiah ini. Jalaludin Rahmat,
misalnya, menerbitkan buku berjudul Dahulukan Akhlak Daripada
Fikih yang ingin menunjukkan kepada kaum Muslim Indonesia bahwa ia termasuk
orang yang senang hidup damai berdampingan tanpa memperhatikan perbedaan
pandangan fiqih. Aktivis IJABI lainnya, Muhammad Babul Ulum menulis
buku Merajut Ukhuwah Memahami Syiah yang juga ingin menunjukkan
secara paksa bahwa Syiah hanyalah satu jenis mazhab di dalam Islam, bukan
aliran dan sekte sempalan. Selain itu, IJABI bersama beberapa oknum di DMI
(Dewan Masjid Indonesia) mendeklarasikan MUHSIN (Majlis Ukhuwah Sunni Syiah)
yang sangat controversial pada tahun 2010.
Tidak kalah agresifnya, ABI pun melakukan
hal yang sama. Mereka ingin menunjukkan bahwa Syiah di Indonesia adalah gerakan
yang ingin berdampingan menjalin ukhuwah bersama masyoritas masyarakat
Ahlus-Sunnah di Indonesia. ABI ingin menyangkal berbagai tuduhan kepada Syiah
yang dianggap aliran sesat dan bukan mazhab di dalam Islam. Untuk itu tahun
2012 mereka menerbitkan buku bertajuk Buku Putih Mazhab
Syiah. Sambutan terhadap buku sangat luar biasa. Hanya dalam waktu sekitar
4 bulan, buku ini telah dicetak ulang sebanyak empat kali. Bahkan kemudian buku
ini disebarkan secara gratis dalam bentuk e-book oleh situs
resmi www.ahlulbaitindonesia.org.
Buku ini dari segi isi sebetulnya sangat
tipikal. Argumennya dibangun berdasarkan apa yang ditulis oleh para intelektual
Syiah kontemporer di Iran dan Irak yang ingin menghindarkan stigma Syiah
berbeda dengan Islam. Misalnya, selama ini Syiah dituduh melakukan pengkafiran
terhadap para sahabat, memiliki Al-Quran yang berbeda, rujukan sunnah yang berbeda,
dan tata cara ibadah yang berbeda. Seandainya pandangan itu terus menyebar dan
diyakini oleh mayoritas umat Islam di dunia, maka akan dengan sangat mudah
Syiah akan dinyatakan sebagai kepercayaan yang lain dari kepercayaan umat
Islam; atau minimal Syiah dinyatakan sebagai “aliran sesat”. Dalam konteks
dakwah Syiah di kalangan Ahlus-Sunnah tentu saja stigma-stigma semacam itu akan
sangat merugikan. Belum apa-apa kalangan Ahlus-Sunnah pasti akan segera menolak
kedatangan pada pendakwah Syiah. Oleh sebab itu, buku ini diterbitkan oleh ABI
untuk menjawab stigma-stigma tersebut.
Bagi para pembaca awam yang tidak
mendalami pemikiran Syiah, buku ini bisa jadi sangat menyihir. Stigma-stigma
yang selama ini dilekatkan kepada Syiah selama ini berhasil dinetralisir dengan
cara-cara yang sangat halus dan elegan. Penulisnya menunjukkan penguasaannya
yang sangat baik terhadap berbagai literatur, baik yang ditulis oleh kalangan
Ahlus-Sunnah yang menyerang mereka maupun dari kalangan Syiah sendiri.
Kemahiran penulisnya dalam mengolah kata-kata pun sudah tidak diragukan lagi
sehingga siapapun yang membacanya tidak akan segara dapat menunjukkan di mana
letak kesalahan argumennya. Tidak mengherankan buku ini cepat diserap pasar dan
sangat mungkin dapat mengikis pandangan-pandangan sebagian Ahlus-Sunnah
Indonesia yang sudah kadung menyesatkan Syiah.
Akan tetapi, Syiah tetap Syiah. Ia
sejak lama telah menjelma menjadi satu keyakinan yang utuh dan kokoh di luar
keyakinan mayoritas umat Islam (al-jamâ’ah). Standar keyakinan, perangkat
ajaran, hingga konsep keilmuan dalam Syiah telah terbentuk relatif matang.
Siapapun yang mau mempelajarinya agak mendalam dapat mengaksesnya secara
terbuka. Buku-buku yang ditulis ulama dan intelektual Syiah jumlahnya sangat
banyak karena telah beradab-abad dimapankan. Sekalipun terdapat banyak sekte
yang berkembang di dalam tubuh Syiah sendiri, hal-hal mendasar yang tipikal
sudah cukup mapan, terutama dalam sekte Syiah Imamiyah (Rafidhah).
Kalau tradisi intelektual dan ajaran
Syiah telah mapan seperti itu sesungguhnya agak sulit untuk mengubahnya dalam
bentuk ajaran baru yang berbeda sama sekali. Misalnya tentang status kekafiran
orang-orang yang tidak mempercayai imâmah Ali ibn Abi Thalib dan 11
imam lainnya atau kekafiran mereka yang—dianggap—merebut imâmah dari
Ali. Di dalam Al-Kâfi dan kitab-kitab standar yang ditulis
ulama-ulama Syiah mengenai hal ini adalah sesuatu yang qoth’i (tegas
dan jelas). Oleh sebab itu, di dalam keyakinan Syiah, para sahabat seperti
Abu Bakar, Umar, Usman, Aisyah, Abu Hurairah, dan lainnya dianggap kafir.
Begitu juga para pengikut mereka yang belakangan disebut Ahlus-Sunnah. Selain
tentang takfîr, juga ada juga keyakinan tentang posisi Al-Quran
Mushaf Usmani yang ada sekarang yang dianggap telah diubah oleh Usman dan
kawan-kawan. Ajaran-ajaran semacam ini merupakan bagian dari aqidah dan sistem
kepercayaan dasar mereka. Kepercayaan dasar ini seperti hendak diubah dan
ditolak dalam Buku Putih Mazhab Syiah.
Dalam bukunya itu, ABI ingin mencoba
menolak akidah takfîr terhadap sahabat dan Ahlus-Sunnah dengan
mengkritik sumber rujukannya, di antaranya kitab Al-Kâfi yang sering
dirujuk untuk menunjukkan ajaran-ajaran Syiah yang
sesungguhnya. Disebutkan bahwa tidak semua riwayat dalam Al-Kafi dapat
diterima sebagai dasar kepercayaan dan ajaran. Riwayat-riwayat yang secara
tegas menunjukkan hal tersebut disanggah dengan argumen dhaif dan sebagainya.
Bahkan ada kesan bahwa Buku Putih Mazhab Syiah ini
menolak Al-Kâfi sebagai rujukan ajaran Syiah yang sah dan valid.
Benarkah semua itu?
Sekali lagi, argumen seperti ini sangat
tipikal di kalangan penulis Syiah kontemporer yang ingin diterima di masyarakat
Ahlus-Sunnah. Para ulama Islam pun telah banyak yang menunjukkan
ketidakseriusan mereka dengan pendapat barunya. Mereka sebetulnya tetap saja
pada pendirian awalnya yang telah mapan seperti keyakinan bahwa semua yang ada
di dalam Al-Kâfi adalah shahih dan dapat diterima. Itu artinya semua
informasi yang ada di dalamnya seperti akidah takfîr dan Al-Quran
versi imam mereka masih diyakini sebagai ajaran pokok mereka. Itu artinya,
kalau mereka mengatakan tidak ada takfîr dan tidak
ada tahrîf Al-Quran, mereka sebetulnya tengah
melakukan taqiyyah (pura-pura). Sayangnya, taqiyyah ini
bagi Syiah merupakan suatu bentuk ibadah demi melindungi ajaran dan keyakinan
ajaran mereka yang asli. Sehingga kita akan sulit membedakan kapan Syiah sedang
jujur dan kapang sedang ber-taqiyyah seperti yang akan terbaca
dalam Buku Putih Mazhab Syiah yang diterbitkan ABI ini.
Kajian-kajian tentang usaha-usaha Syiah
kontemporer mengelabui Ahlus-Sunnah seperti dapat terbaca dalam Buku Putih
Mazhab Syiah dalam bahasa Indonesia masih sangat sedikit jumlahnya.
Sebagian besar masih ditulis dalam bahasa Arab. Tentu saja, ini cukup
menyulitkan bagi pembaca Indonesia yang umumnya tidak menguasai bahasa Arab.
Oleh sebab itu, apa yang telah diusahakan oleh Ustadz Amin Muchtar dengan
menulis bantahan terhadap Buku Putih Mazhab Syiah ini merupakan suatu
ikhtiar yang sangat berharga. Buku yang akan direncanakan beberapa jilid ini
sangat tepat dimulai dengan pembahasan Al-Kâfi dan kedudukannya di
kalangan ulama dan penulis-penulis Syiah. Sebab, ini merupakan rujukan pokok
akidah dan ajaran Syiah yang di Indonesia oleh kalangan Syiah sedang
ditutup-tutupi keberadaannya. Mudah-mudahan jilid-jilid berikutnya dapat segera
terbit mengupas berbagai isu lain seperti takfîr, tahrîf
al-Qur’ân, dan lainnya.
By DR. Tiar Anwar Bachtiar, M.HUM
(Ketua Umum PP Pemuda Persis Masa Jihad 2010-2015), dalam
Kata Pengantar Buku Hitam dibalik Putih, Bantahan Terhadap Buku Putih
Madzhab Syiah, hlm. 54-61
[1] Mengenai
kisah ini dapat dilihat dalam buku Abdul Rahman Haji Abdullah, Pemikiran
Umat Islam di Nusantara; Sejarah dan Perkembangannya hingga Abad
ke-19. (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1990) hal. 36-38
[2] Ibid. hal.
38-39
[3] Tentang
perowi-perowi hadis Syiah yang dituduhkan leh para penulis Syiah terdap dalam
kitab-kitab Ahlus-Sunnah ini dapat dilihat dalam Muhammad Ja’far
Al-Tibsyi. Rijâl Al-Syi’ah fî Asânid Al-Sunnah. (Teheran: Muassasah
Al-Ma’arif Al-Islamiyyah, 1420 H). Sedangkan yang meluruskan pandangan yang
salah tentang pada perawi Syiah dalam kitab-kitab hadis Ahlus-Sunnah dalam dirujuk
salah satunya di situs www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=243042 yang
menurunkan artikel panjang berjudul “Asmâ’ Al-Syi’ah wa Man Rumiya bi
Al-Tasyayyu’ fi Kutub Al-Sunnah.
Bongkar Kepalsuan Buku Putih Mazhab Syiah
(Bagian Ke-8/Selesai)
Pendahuluan Buku Hitam Dibalik Putih
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ
وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا
مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ
وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ وَأَشْهَدُ
أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ
كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرَ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرَّ الْأُمُورِ
مُحْدَثَاتُهَا وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
Segala puji bagi Allah Rab semesta alam
yang telah menunjuki kita semua kepada cahaya Islam dan sekali-kali kita tidak
akan mendapat petunjuk jika Allah tidak memberi kita petunjuk. Kita memohon
kepada-Nya agar kita senantiasa ditetapkan di atas hidayah-Nya sampai akhir
hayat, sebagaimana difirmankan Allah Swt:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ
حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman,
bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa kepada-Nya, dan janganlah
sekali-kali kamu mati kecuali dalam keadaan Islam.” QS. Ali Imran: 102.
Begitu pula kita memohon agar hati kita
tidak dicondongkan kepada kesesatan setelah kita mendapat petunjuk, sebagaimana
diajarkan Alquran:
رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ
هَدَيْتَنَا
“Ya Allah, janganlah engkau palingkan
hati-hati kami setelah engkau memberi kami hidayah.” QS. Ali Imran: 8.
Sebagaimana telah dimaklumi bahwa
kesetiaan umat Islam terhadap Rasulullah adalah monoloyalitas (kesetiaan
tunggal). Kesetiaan itu terwujud dalam bentuk memberikan perhatian sepenuh hati
terhadap sunah-sunah beliau, sebagaimana sikap mereka terhadap Alquran. Mereka
berusaha keras untuk memeliharanya dari berbagai dusta dan kesalahan yang dapat
menodai kemurniannya.
Dalam hal ini, kelompok Sy’iah berbeda
dengan umat Islam. Kesetiaan mereka terhadap Rasulullah Saw. ternyata tidak
monoloyalitas, karena kesetiaan mereka terbagi kepada para imam yang dipandang
ma’shum (suci dari dosa dan kesalahan). Bahkan kecintaan mereka kepada para
imam melebihi kencintaan kepada Nabi.
Syi’ah Imamiyah, Ja’fariyah, Itsna
‘Asyariyah (atau menggunakan nama samaran Madzhab Ahlul Bait) meyakini
para imam ma’shum itu sebanyak 12 Imam (Itsna ‘Asyariyah) yaitu: 1. Ali ibn Abu
Thalib, 2. Hasan ibn Ali Al-Mujtaba, 3. Husain ibn Ali Sayyidussyuhada, penghulu
para syuhada, 4. Ali ibn Husain, 5. Muhammad Al- Baqir, 6. Ja’far ibn Muhammad
Ash-Shadiq, 7. Musa ibn Ja’far, 8. Ali ibn Musa Ar-Ridha, 9. Muhammad ibn Ali
Al-Taqi Al-Jawad, 10. Ali ibn Muhammad an-Naqi Al-Hadi, 11. Hasan ibn Ali
Al-Askari, dan terakhir, 12. Muhammad ibn Hasan Al-Mahdi. Syi’ah meyakini bahwa
Imam Muhammad ibn Hasan Al-Mahdi
masih hidup hingga sekarang ini, tapi
dalam keadaan gaib, namun akan muncul kembali pada akhir zaman. [1]
Posisi imam dalam keyakinan Syi’ah
memiliki kedudukan teristimewa, bahkan lebih tinggi kedudukannya daripada Nabi
Saw. Dalam keyakinan mereka, para imam itu mengetahui hal ghaib, dan mengetahui
seluruh ilmu yang dikeluarkan (diajarkan) kepada para malaikat, para nabi dan
para rasul, dan sesungguhnya mereka mengetahui ilmu yang terdahulu dan
sekarang, dan tidak ada yang tersembunyi bagi mereka sesuatu apapun, dan
sesungguhnya mereka mengetahui seluruh bahasa alam semesta, dan sesungguhnya
seluruh bumi ini adalah milik mereka.
Imam al-Kulaini, dalam
kitabnya al-Kafi, telah menuliskan berbagai karakteristik kedua belas
imam Syiah. Karakteristik dan sifat-sifat tersebut telah mengangkat derajat para
imam Syiah dari manusia biasa hingga tingkatan Tuhan.
Seandainya kita hendak menampilkan
berbagai karakteristik itu secara keseluruhan dari kitab al-Kafi dan
kitab-kitab terpercaya mereka lainnya, niscaya akan terkumpul satu jilid kitab
besar.
Karena itu, kami cukupkan dengan kutipan
beberapa judul bab secara utuh dan dengan apa adanya dari kitab al-Kafi,
di antaranya sebagai berikut:
بَابُ أَنَّ الأَئِمَّةَ عليهم السلام
يَعْلَمُونَ جَمِيعَ الْعُلُومِ الَّتِي خَرَجَتْ إِلَى الْمَـلاَئِكَةِ وَ الأَنْبِيَاءِ
وَ الرُّسُلِ عليهم السلام
“Bab: Bahwa Para Imam Mengetahui Segala
Ilmu Yang Turun Kepada Para Malaikat, Nabi Dan Rasul.” [2]
بَابُ أَنَّ الأَئِمَّةَ عليهم السلام
يَعْلَمُونَ مَتَى يَمُوتُونَ، وَأَنَّهُمْ لاَ يَمُوْتُوْنَ إِلاَّ بِاخْتِيَارٍ
مِنْهُمْ
“Bab: Bahwa Para Imam Mengetahui Kapan
Mereka Akan Meninggal, Dan Bahwa Mereka Tidaklah Meninggal Melainkan Atas
Kehendak Mereka Sendiri.” [3]
بَابُ أَنَّ الأَئِمَّةَ عليهم السلام
يَعْلَمُونَ عِلْمَ مَا كَانَ وَ مَا يَكُونُ، وَ أَنَّهُ لاَ يَخْفى عَلَيْهِمُ
الشَّيْءُ صَلَوَاتُ اللّهِ عَلَيْهِمْ
“Bab: Bahwa Para Imam Mengetahui Perihal
Yang Telah Lalu Dan Perihal Yang Akan Datang, Dan Sesungguhnya Tidak Ada Yang
Tersembunyi Bagi Mereka Sesuatu pun.” [4]
بَابُ أَنَّ الأَئِمَّةَ عليهم السلام عِنْدَهُمْ
جَمِيعُ الْكُتُبِ الَّتِي نَزَلَتْ مِنْ عِنْدِ اللّهِ عَزَّ وَ جَلَّ ،
وَأَنَّهُمْ يَعْرِفُونَهَا عَلَى اخْتِـلاَفِ أَلْسِنَتِهَا
”Bab: Bahwa Para Imam Memiliki Seluruh
Kitab, Dan Mengetahuinya Dengan Segala Perbedaan Bahasanya.” [5]
بَابُ أَنَّهُ لَمْ يَجْمَعِ الْقُرْآنَ كُلَّهُ
إِلاَّ الأَئِمَّةُ عليهم السلام وَ أَنَّهُمْ يَعْلَمُونَ عِلْمَهُ كُلَّهُ
”Bab: Bahwa Tidaklah Ada Orang Yang
Pernah Menyatukan Alquran Secara Utuh Selain Para Imam, Dan Bahwa Mereka
Mengetahui Seluruh Ilmu Yang Terkandung Dalamnya.”[6]
بَابُ مَا عِنْدَ الأَئِمَّةِ مِنْ آيَاتِ
الاْءَنْبِيَاءِ عليهم السلام
”Bab: Apa-Apa Yang Dimiliki Oleh Para
Imam Dari Mukjizat Para Nabi.” [7]
بَابُ أَنَّهُ لَيْسَ شَيْءٌ مِنَ الْحَقِّ فِي
يَدِ النَّاسِ إِلَا مَا خَرَجَ مِنْ عِنْدِ الْأَئِمَّةِ عليهم السلام وَ أَنَّ
كُلَّ شَيْءٍ لَمْ يَخْرُجْ مِنْ عِنْدِهِمْ فَهُوَ بَاطِلٌ
”Bab: Bahwa Tidak Ada Sedikit pun
Kebenaran Yang Ada di Masyarakat Selain Yang Pernah Diajarkan Oleh Para Imam,
Dan Bahwa Segala Sesuatu Yang Tidak Diajarkan Oleh Mereka, Maka Itu Adalah
Bathil.” [8]
بَابُ أَنَّ الْأَرْضَ كُلَّهَا لِلْإِمَامِ عليه
السلام
”Bab: Bahwa Bumi Seluruhnya Adalah Milik
Para Imam.” [9]
Keyakinan akan keistimewaan para imam
sangat mempengaruhi sikap kaum Syi’ah terhadap hadis atau sunah, baik berkaitan
dengan kriteria terminologis maupun metodologisnya, bahkan sumber syariat itu
sendiri.
Dalam konteks ini dapat kita maklumi jika
hadis atau sunah versi mereka bukan semata-mata bersumber dari Nabi Saw.
melainkan juga dari para imam dua belas tesebut. Demikian itu dinyatakan oleh
ulama Syi’ah, antara lain:
Syekh Muhammad Baha’uddin al-‘Amili
(w. 1031 H) berkata:
عُرِّفَ الْحَدِيْثُ بِأَنَّهُ كَلاَمٌ يَحْكِيْ
قَوْلَ الْمَعْصُوْمِ أَوْ فِعْلَهُ أَوْ تَقْرِيْرَهُ
“Hadis didefinisikan yaitu perkataan yang
menceritakan perkataan orang yang ma’shum, perbuatannya atau
ketetapannya.” [10]
Pengertian hadis menurut mereka berbeda
dengan Sunah. Menurut mereka, sunah secara istilah adalah:
نَفْسُ قَوْلِ الْمَعْصُوْمِ،
وَفِعْلِهِ،وَتَقْرِيْرِهِ
“Hakikat perkataan orang yang ma’shum,
perbuatannya atau ketetapannya.” [11]
Dalam redaksi Sayyid Muhammad Taqiy
al-Hakim:
فَهِيَ كُلُّ مَا يَصْدُرُ عَنِ الْمَعْصُوْمِ
مِنْ قَوْلٍ أَوْ فِعْلٍ أَوْ تَقْرِيْرٍ
“Dan sunah adalah segala sesuatu yang
bersumber dari al-ma’shum, berupa perkataan, perbuatan dan taqrir.” [12]
Sayyid Muhammad Taqiy al-Hakim berkata:
وَأَلْحَقَ الشِّيْعَةُ الإِمَامِيَّةُ كُلَّ مَا
يَصْدُرُ عَنْ أَئِمَّتِهِمْ الإِثْنَي عَشَرَ مِنْ قَوْلٍ أَوْ فِعْلٍ أَوْ
تَقْرِيْرٍ بِالسُّنَّةِ الشَّرِيْفَةِ
“Syi’ah imamiyah menghubungkan dengan
sunah segala sesuatu yang bersumber dari para imam mereka yang dua belas,
berupa perkataan, perbuatan dan taqrir.” [13]
Latar belakang pembentukan istilah dan
sumber sunah di kalangan Syi’ah, lebih jauh diterangkan oleh Syekh Muhammad
Ridha al-Muzhaffar—Pakar Ushul Fiqih Syi’ah kontemporer—sebagai berikut:
السُّنَّةُ فِي اصْطِلاَحِ الْفُقَهَاءِ: (قَوْلُ
النَّبِيِّ أَوْ فِعْلُهُ أَوْ تَقْرِيْرُهُ)… أَمَّا فُقَهَاءُ الإِمَامِيَّةِ
بِالْخُصُوْصِ فَلَمَّا ثَبَتَ لَدَيْهِمْ أَنَّ الْمَعْصُوْمَ مِنْ آلِ الْبَيْتِ
يَجْرِيْ قَوْلُهُ مَجْرَى قَوْلِ النَّبِيِّ مِنْ كَوْنِهِ حُجَّةً عَلَى
الْعِبَادِ وَاجِبَ الإِتِّبَاعِ فَقَدْ تَوَسَّعُوْا فِي اصْطِلاَحِ السُّنَّةِ
إِلَى مَا يَشْمُلُ قَوْلَ كُلِّ وَاحِدٍ مِنَ الْمَعْصُوْمِيْنَ أَوْ فِعْلَهُ
أَوْ تَقْرِيْرَهُ، فَكَانَتِ السُّنَّةُ بِاصْطِلاَحِهِمْ: (قَوْلُ الْمَعْصُوْمِ
أَوْ فِعْلُهُ أَوْ تَقْرِيْرُهُ)
As-Sunah menurut istilah fuqaha’ adalah
“Sabda Nabi, perbuatan dan taqrirnya”…Adapun menurut fuqaha Syi’ah
Imamiyah—setelah kokoh keyakinan mereka bahwa perkataan al-Ma’shum dari
kalangan Ahlul Bait setingkat dengan perkataan Nabi Saw. sebagai sebuah hujjah
yang wajib diikuti oleh para hamba—sungguh mereka memperluas batasan Sunah
menjadi sesuatu yang mencakup perkataan, perbuatan dan taqrir setiap al-Ma’shum
(dari Ahlul Bait). Sehingga Sunah dalam terminologi mereka adalah “perkataan,
perbuatan atau taqrir al-Ma’shum.”
وَالسِّرُّ فِي ذلِكَ أَنَّ الأَئِمَّةَ مِنْ آلِ
الْبَيْتِ عليه السلام لَيْسُوْا هُمْ مِنْ قَبِيْلِ الرُّوَاةِ عَنِ النَّبِيِّ
وَالْمُحَدِّثِيْنَ عَنْهُ لِيَكُوْنَ قَوْلُهُمْ حُجَّةً مِنْ جِهَةِ أَنَّهُمْ
ثِقَاتٌ فِي الرِّوَايَةِ بَلْ لِأَنَّهُمْ هُمُ الْمَنْصُوْبُوْنَ مِنَ اللهِ
تَعَالَى عَلَى لِسَانِ النَّبِيِّ لِتَبْلِيْغِ الأَحْكَامِ الْوَاقِعَةِ، فَلاَ
يَحْكُمُوْنَ إِلاَّ عَنِ الأَحْكَامِ الْوَاقِعِيَّةِ عِنْدَ اللهِ تَعَالَى
َكَمَا هِيَ، وَذلِكَ مِنْ طَرِيْقِ الإِلْهَامِ كَالنَّبِيِّ مِنْ طَرِيْقِ الْوَحْيِ
أَوْ مِنْ طَرِيْقِ التَّلَقِّيْ مِنَ الْمَعْصُوْمِ قَبْلَهُ…
Rahasia di balik itu semua adalah karena
para imam dari kalangan Ahlul Bait tidaklah sama dengan para perawi dan ahli
hadits yang meriwayatkan dari Nabi—hingga perkataan mereka baru dapat dijadikan
hujjah jika mereka ‘tsiqah’ dalam periwayatannya—namun mereka adalah
orang-orang yang ditunjuk oleh Allah Ta’ala melalui lisan Nabi-Nya untuk
menyampaikan hukum-hukum yang bersifat realita. Maka mereka tidak mungkin
menetapkan hukum, kecuali jika hukum-hukum realita itu memang berasal dari
Allah Ta’ala apa adanya. Dan itu semua (diperoleh) melalui jalur ilham—seperti
Nabi melalui jalur wahyu—atau melalui penerimaan dari (imam) ma’shum
sebelumnya…
وَعَلَيْهِ فَلَيْسَ بَيَانُهُمْ لِلأَحْكَامِ
مِنْ نَوْعِ رِوَايَةِ السُّنَّةِ وَحِكَايَتِهَا، وَلاَ مِنْ نَوْعِ
الإِجْتِهَادِ فِي الرَّأْيِ وَالإِسْتِنْبَاطِ مِنْ مَصَادِرِ التَّشْرِيْعِ،
بَلْ هُمْ أَنْفُسُهُمْ مَصْدَرٌ لِلتَّشْرِيْعِ فَقَوْلُهُمْ سُنَّةٌ لاَ
حِكَايَةُ السُّنَّةِ
Berdasarkan ini, maka penjelasan mereka
terhadap hukum bukan termasuk dalam kategori periwayatan Sunah atau ijtihad
dalam menggali sumber-sumber tasyri’, akan tetapi karena merekalah sumber hukum
(tasyri’) itu sendiri. Maka perkataan mereka adalah sunah, bukan hikayat
sunah.” [14]
Dengan demikian, Syi’ah mempunyai
keyakinan bahwa wahyu tidak terhenti sepeninggal Rasulullah. Karena itu,
imam-imam Syi’ah dapat mengeluarkan hadis dan Sunah. Jadi, tidak heran jika
surat-surat dan khutbah para imam serta hal-hal lain yang disangkut pautkan
dengan ajaran agama diposisikan sebagai hadis dan Sunah. Ini menjadikan kajian
hadis Syi’ah berbeda dengan kalangan Islam. Itulah yang menjadikan penyebab
jumlah hadis Syi’ah jauh lebih banyak dibandingkan dengan jumlah hadis Islam.
Dari sini dapat dimaklumi, jika di
kalangan Syi’ah jumlah hadis yang bersumber dari para imam itu jauh lebih
banyak dibanding dengan hadis Nabi Saw., bahkan hadis Ali sendiri. Demikian itu
tampak jelas terlihat jika kita merujuk kepada empat kitab hadis Syi’ah yang
standar: al-Kafi, Man La Yahdhuruh al-Faqih, Tahdzib al-Ahkam,
al-Istibshar. Hasil penelitian kami menunjukkan bahwa kandungan hadis dalam
empat kitab tersebut sebanyak 43.850 hadis. Jika kita merujuk kepada angka itu,
akan didapatkan hasil bahwa kapasitas hadis Nabi Saw. dalam empat kitab itu
hanya sebesar 11.30 % (4.956 hadis). Sementara kapasitas hadis Ja’far
ash-Shadiq (Imam Syi’ah ke-6) sebesar 25 % (10.967 hadis).
Berangkat dari fakta ini, kiranya tidak
berlebihan jika dikatakan bahwa sumber ajaran Syi’ah itu bukan Sunah
Rasulullah, melainkan Sunah Ja’fariyyah. [15]
Selanjutnya, hadis-hadis pada masa imam
Syi’ah, terutama masa Imam Syi’ah ke-5 Abu Ja’far Muhammad al-Baqir (w. 114 H)
dan Imam Syi’ah ke-6 Abu Abdullah Ja’far ash-Shadiq (w. 148 H), telah
ditulis dalam ushul dan atsar riwayat, yang kemudian
dikenal dengan sebutan al-Ushul al-Arba’umi’ah (400 kitab himpunan
fatwa Ja’far as-Shadiq). [16]
400 kitab tersebut tulis oleh 400 di
antara 4.000 orang (rawi) yang meriwayatkan hadis dari Ja’far as-Shadiq. Ulama
Syi’ah, Muhammad bin Jamaluddin Makiy bin Syamsuddin Muhamad ad-Dimasyi
al-’Amili (734-786 H) atau yang lebih populer dengan sebutan Syahid Awal,
berkata:
إِنَّ أَبَا عَبْدِ اللهِ جَعْفَرَ بْنَ
مُحَمَّدٍ الصَّادِقَ عليه السلام كُتِبَ مِنْ أَجْوِبَةِ مَسَائِلِهِ
أَرْبَعُمِئَةِ مُصَنَّفٍ لِأَرْبَعِمِئَةِ مُصَنِّفٍ وَدُوِّنَ مِنْ رِجَالِهِ
الْمَعْرُوْفِيْنَ أَرْبَعَةُ آلاَفِ رَجُلٍ مِنْ أَهْلِ الْعِرَاقِ
”Sesungguhnya Abu Abdullah Ja’far bin
Muhammad ash-Shadiq ’alaihi as-salam, jawaban terhadap berbagai pertanyaan yang
diajukan kepadanya telah ditulis dalam 400 karya tulis oleh 400 penulis, dan
para rijalnya yang populer dari penduduk Irak telah dikodifikasi.” [17]
Ke-400 kitab itu menjadi sumber akidah,
ilmu, dan amal bagi orang-orang Syi’ah pada periode berikutnya. Meski demikian,
memasuki abad IV, sebagian besar riwayat para imam dalam 400 kitab tersebut
mulai terlupakan seiring pergantian zaman dan sebagian lagi terbakar. [18]
Sehubungan dengan itu, abad ini (abad IV)
dipandang sebagai masa keterputusan Syi’ah secara langsung dari imam mereka.
Demikian itu, karena kegaiban Imam ke-12, Muhammad bin Hasan, yang disebut Imam
al-Mahdi, pada tahun 329 H. [19]
Sejak itu sebagian besar riwayat
para imam pada kitab tersebut ”berubah wujud” setelah mendapat editing, dan
dikodifikasi kembali dalam empat kitab hadis Syi’ah yang standar, yang
disebut al-Kutub al-Arba’ah atau al-Jawami’ al-Awwaliyyah.
Keempat kitab tersebut adalah sebagai berikut:
Al-Kafi, karya Tsiqah al-Islam Abu
Ja’far Muhammad Ibnu Ya’qub bin Ishaq al-Kulaini atau al-Kuliini
ar-Raziy (w. 329 H), berisi 16.199 hadis. [20]
Man La Yahdhuruh al-Faqih, karya
Syekh Abu Ja’far Muhammad bin Ali bin al-Husen bin Musa bin Babawaih al-Qummi
(w. 381 H), berisi 9.044 hadis.[21]
Tahdzib al-Ahkam, berisi 13.095
hadis. [22]
Al-Istibshar fii maa Ukhtulifa min
al-Akhbar, berisi 5.511 hadis. [23]
Keduanya karya Abu Ja’far Muhamamd
bin Hasan At-Thusi (w. 460 H), yang populer dengan sebutan Syekh
at-Tha’ifah. [24]
Kodifikasi hadis-hadis para imam Syi’ah
berakhir pasca periode mutaakhir (Abad XI hingga XIII H). Beberapa kitab hadis
Syi’ah terpenting abad itu, antara lain:
Al-Wafi’ fii al-Ushul wa al-Furu’ wa
as-Sunan wa al-Ahkam, [25] karya
Muhammad Muhsin (w. 1091 H) atau yang populer dengan sebutan al-Faidh
al-Kasyani.
Tafshil Wasa’il asy-Syi’ah ila Tahsil
Masa’il asy-Syari’ah, [26] karya
Muhammad bin Hasan Al-Hurr al-‘Amili (w. 1104 H), yang dianggap sebagai kitab
terlengkap yang memuat hadis hukum fiqih bagi Syi’ah Imamiyah.
Bihar al-Anwar al-Jami’ah Li Durar Akhbar
al-Aimmah al-Athhar, [27] karya
Muhammad Baqir al-Majlisi (w. 1110/1111 H).
Ulama Syi’ah menyatakan bahwa Bihar
al-Anwar adalah kitab terbesar yang memuat hadis dari kitab-kitab rujukan
Syi’ah.[28]
Mustadrak al-Wasaa’il wa Mustanbath
al-Masaa’il, karya Haji Mirza Husein an-Nuri At-Thabrasi (w. 1320 H).
Agho Bazrak ath-Thahraniy[29] mengatakan,
“Kitab Mustadrak al-Wasa’il menjadi seperti kitab kumpulan hadis
lainnya yang harus ditelaah dan dijadikan rujukan oleh para mujtahid dalam
memutuskan hukum syariat. Kebanyakan ulama kami saat ini tunduk mengikuti kitab
itu.”[30] Lalu
Agho Bazrak memperkuat pernyataannya dengan nukilan dari ulama-ulama Syi’ah
yang menjadikan kitab Mustadrak al-Wasa’il sebagai rujukan utama
mereka.[31]
Berbagai keterangan di atas menunjukkan
bahwa hadis-hadis para imam Syi’ah, khususnya Imam ke-6 Ja’far ash-Shadiq,
terhimpun dalam literatur utama sebanyak delapan kitab. Ulama Syi’ah
menyebutnya dengan “Al-Jawami’ Ats-Tsamaniah” (kitab kumpulan yang
delapan). [32]
Empat di antaranya ditulis oleh tiga
orang yang bernama Muhammad yang hidup terdahulu, tiga lagi ditulis oleh tiga
orang yang bernama Muhammad yang hidup setelah tiga yang pertama, yang
kedelapan ditulis oleh Al-Husein an-Nuri At-Thabrasi.
Kitab pertama dan yang tershahih di
antara delapan kitab di atas ialah al-Kafi. Hal itu seperti
disebutkan oleh para ulama Syi’ah, antara lain Syekh ath-Thusi (w. 461 H),
sebagaimana dinyatakan oleh Syekh Ali an-Namazi asy-Syahirudi:
وَنَقَلَ فِي كِتَابِ الْعُدَّةُ الإِجْمَاعَ
عَلَى صِحَّةِ الْكُتُبِ الأَرْبَعَةِ، وَمَجَّدَ فِي كِتَابِهِ الْفَهْرَسَتُ
الشَّيْخَ الْكُلَيْنِيَّ كَثِيْرًا وَقاَلَ : إِنَّ كِتَابَ الْكَافِي هُوَ
أَصَحُّ الْكُتُبِ الأَرْبَعَةِ .
“Dan beliau mengutip pada kitab al-‘Uddah
ijma ulama Syi’ah atas keshahihan kitab yang empat dan dalam kitabnya
al-Fahrasat, beliau banyak memuji Syekh al-Kulaini, dan beliau berkata,
‘Sesungguhnya kitab al-Kafi adalah kitab tershahih di antara kitab yang
empat’.” [33]
Juga oleh Syekh al-Hurr al-‘Amili[34] (w.
1104 H), Syekh an-Nuri ath-Thabarsi[35] (w.
1320 H), dan Syekh ath-Thahrani[36] (w.
1389 H).
Para ulama Syi’ah di atas menyebutkan
bahwa kitab al-Kafi adalah kitab yang tershahih dari empat kitab
utama mereka, karena kitab al-Kafi ditulis pada era Ghaibah
Sughra, yang mana saat itu masih mungkin untuk mengecek validitas riwayat yang
ada dalam kitab itu. Karena pada era Ghaibah Sughra, Imam Mahdi versi
mereka masih dapat dihubungi melalui “duta yang empat” yang dapat berhubungan
dengan Imam Mahdi dan menerima seperlima bagian dari harta Syi’ah. [37]
Status kitab al-Kafi dipertegas
pula oleh ulama besar Syi’ah Abdul Husain al-Musawi[38] (W.
1377 H) sebagai berikut:
وَأَحْسَنُ مَا جُمِعَ مِنْهَا الْكُتُبُ
الأَرْبَعَةُ الَّتِي هِيَ مَرْجِعُ الإِمَامِيَّةِ فِي أُصُولِهِمْ
وَفُرُوْعِهِمْ مِنَ الصَّدْرِ الأَوَّلِ إِلَى هَذَا الزَّمَانِ وَهِيَ:
الْكَافِي, وَالتَّهْذِيْبُ, وَالاِسْتِبْصَارُ, وَمَنْ لاَيَحْضُرُهُ
الْفَقِيْهُ, وَهِيَ مُتَوَاتِرَةٌ وَمَضَامِيْنُهَا مَقْطُوْعٌ بِصِحَّتِهَا,
وَالْكَافِي أَقْدَمُهَا وَأَعَظْمُهَا وَأَحْسَنُهَا وَأَتْقَنُهَا
“Sebaik-baik himpunan sabda Imam Ja’far
Shadiq ialah empat kitab yang menjadi rujukan utama syi’ah imamiyah dalam
masalah-masalah pokok dan cabang sejak generasi syi’ah yang pertama sampai
dengan zaman ini yaitu al–Kafi, al-Tahdzib, al-Istibshar, dan Man La
Yahdhuruhu al-Faqih. Kitab-kitab tersebut mutawatir dan isinya dipastikan
shahih, sedangkan al-Kafi ialah yang paling dahulu, paling agung, paling baik,
dan paling teliti.” [39]
Sehubungan dengan itu, Pakar hadis Syi’ah
kontemporer, Khadim Ahlul Bait, Dr. Husain Ali Mahfuzh berkata:
وَقَدِ اتَّفَقَ أَهْلُ الإِمَامَةِ وَجُمْهُوْرُ
الشِّيْعَةِ عَلَى تَفْضِيْلِ هذَا الْكِتَابِ وَالأَخْذِ بِهِ وَالثِّقَةِ
بِخَبَرِهِ وَالإِكْتِفَاءِ بِأَحْكَامِهِ
“Ahlul imamah dan Jumhur Syi’ah telah
bersepakat atas pengutamaan kitab ini (al-Kafi), memegang teguh kitab itu,
mempercayai hadis-hadisnya dan mencukupkan diri dengan hukum-hukumnya.” [40]
Pernyataan dan fakta di atas menunjukkan
bahwa dalam rentang waktu sekitar 390 tahun—pada periode mutaqaddimin—tidak ada
seorang pun ulama Syi’ah yang menolak kedudukan al-Kafi sebagai
rujukan utama Syi’ah Imamiyah, dan hal itu terus berlanjut hingga periode
mutaakhirin serta dikukuhkan pula oleh ulama Syi’ah dewasa ini.
Sehubungan dengan itu, Pakar Hadis Syi’ah
kontemporer, Syekh Dr. Abdurrasul Abdul Hasan al-Ghaffar mengatakan:
فَمُنْذُ أَحَدَ عَشَرَ قَرْنًا وَإِلَى الآنِ
إِتَّكَا الْفِقْهُ الشِّيْعِيُّ الإِمَامِيُّ عَلَى هذَا الْمَصْدَرِ ، لِمَا
فِيْهِ مِنْ تُرَاثِ أَهْلِ الْبَيْتِ سلام الله عليهم ، وَلِكَوْنِهِ أَصَحَّ
الْكُتُبِ الأَرْبَعَةِ ، وَأَكْثَرَهَا فَائِدَةً ، وَأَفْضَلَهَا مِنْ حَيْثُ
الشُّمُوْلِيَّةُ وَالتَّرْتِيْبُ وَالتَّقْسِيْمُ ، وَأَنَّ مُصَنِّفَهُ جَمَعَ
بَيْنَ الأُصُوْلِ وَالْفُرُوْعِ وَالآثَارِ وَالسُّنَنِ ، كَمَا أَنَّ
تَبْوِيْبَهُ حَسْبَ كُتُبِ الْفِقْهِ ، مِمَّا يُعِيْنُ الْمُجْتَهِدَ
وَالْمُسْتَنْبِطَ لِلأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ
“Maka sejak sebelas abad yang lalu hingga
sekarang ini, fiqih orang Syi’ah imamiyah bersandar pada sumber ini, karena di
dalamnya terdapat warisan Ahlu Bait salaamullah ‘alihim, dan karena ia kitab
tershahih di antara empat kitab, paling banyak manfaatnya, paling utama dari
aspek kelengkapan, sistematika, dan klasifikasi. Penyusunnya telah mengkombinasikan
antara Ushul, furu, atsar, dan sunan, sebagaimana pula sistematika topiknya
selaras dengan kitab-kitab fiqih yang dapat membantu para mujtahid dan
pengistinbat hukum syariat.“ [41]
Demikian itu menunjukkan bahwa mayoritas
ulama Syi’ah meyakini betul keshahihan al-Kafi secara keseluruhannya
tanpa keraguan sedikit pun, sehingga mereka menerima kehujahan hadis-hadis
dalam kitab itu.
Bagi orang Syi’ah, berbagai
pernyataan ulama mereka tersebut di atas tentu saja harus diyakini bukan isapan
jempol belaka, karena tidak semata-mata mereka memberikan predikat seperti itu,
kecuali setelah mengadakan penelitian-penelitian terhadap kitab tersebut.
Jadi, tampak aneh—bahkan mungkin lucu
sekali—jika kini, di Indonesia, muncul berbagai pernyataan:
Bahwa tidak semua hadis yang ada dalam
kitab al-Kafi sebagai shahih.
Bahwa al-Kafi, karya al-Kulaini
memang menjadi rujukan Syi’ah tetapi tidak ada ulama Syi’ah yang dapat
membuktikan bahwa semua riwayat al-Kafi
Bahwa al-Kulaini menuliskan riwayat apa
saja yang dia dapatkan dari orang yang mengaku mengikuti para Imam Ahlul Bait
Ia hanyalah mengumpulkan hadis-hadis dari Ahlul Bait. Menurut mereka tidak ada
sedikitpun pernyataan al-Kulaini bahwa semua hadis yang dia kumpulkan shahih.
Tentu dapat dimaklumi, jika berbagai
pernyataan itu muncul dari para ustadz Syi’ah yang tidak akrab dengan
kitab-kitab mereka, apalagi terlontar dari kalangan umat Syi’ah awam. Namun
lain ceritanya jika hal itu dilakukan oleh para tokoh Syi’ah di Indonesia,
apalagi yang pernah mengenyam pendidikan di Qum, Iran, seperti Tim
Penulis Buku Putih Mazhab Syiah, Menurut Para Ulama yang
Muktabar. Buku ini diterbitan oleh DEWAN PENGURUS PUSAT AHLUL BAIT
INDONESIA, tahun 2012.
Bagi orang awam pengikut Syi’ah, atau
para ustadz mereka yang tidak mengetahui kandungan kitab-kitab Syi’ah, buku ini
bisa dianggap “benar” dan menganggap seperti itulah gambaran akurat mengenai
Syi’ah. Tetapi, bagi yang paham mengenai kitab-kitab Syi’ah, buku ini
dipandang tidak benar karena tidak seperti itu gambaran akurat mengenai Syi’ah.
Ke-tidakbenar-an pertama dan utama pada
buku ini paling tidak terindikasi dalam beberapa aspek, antara lain:
tidak transparan dalam menampilkan data
dan informasi yang sesungguhnya. Pasalnya, berbagai fakta dan data yang
dikemukakan oleh para ulama Syi’ah sendiri banyak yang tidak ditampilkan. Entah
jika dipandang berbeda haluan dengan para penulis “Buku Putih”.
Pembajakan istilah “Jumhur ulama Sy’iah”.
Pasalnya, penulis “Buku Putih” sering menyebut istilah Jumhur ulama Sy’iah[42] namun
tidak menampilkan teks asli pendapat—yang diklaim sebagai pendapat—jumhur ulama
yang dimaksud dan tidak pula menyebutkan sumber-sumber primer dalam dakwaannya
itu.
Dengan cara demikian, buku ini tidak
memberi pemahaman seutuhnya tentang Syi’ah. Bukankah kehadiran “Buku putih”
tersebut—seperti diharapkan Ketua DPP ABI, Hasan Alaydrus—memberi
pemahaman seutuhnya tentang Syiah? Bukankah keberadaan Buku putih
tersebut—seperti diharapkan Prof. Dr. M. Quraish Shihab, M.A. dalam
pengantarnya di buku itu— memperkenalkan Syiah agar difahami dengan benar?
Semoga saja cara demikian itu tidak
termasuk metode yang disinyalir oleh Bang Haidar Bagir, dalam tulisannya di
Harian Republika dengan judul “Syi’ah dan Kerukunan Umat” (Republika,
20 Januari 2012).
Dari sekian banyak fakta dan data yang
tidak ditampilkan dalam buku ini berkenaan dengan sikap para ulama Syi’ah
terhadap status kitab al-Kafi. Betapa tidak, fakta dan data tentang
itu—yang sejatinya terekam sekitar 1.100 tahun lamanya—hanya ditampilkan
dalam empat paragraf di dua halaman (30 dan 31).
Kami tidak tahu, sikap para penulis
demikian itu didasarkan atas keyakinan taqiyah[43] atau
argumentasi ilmiah? Agar sikap mereka itu tidak berada pada grey
area (wilayah abu-abu) maka berbagai pernyataan
tentang al-Kafi di “Buku Putih” yang tidak putih itu kami
konfrontasikan dengan beberapa fakta dan data yang terekam dalam kitab-kitab
Syi’ah sendiri, terutama Imam al-Kulaini dalam kitabnya, al-Kafi. Selain
itu, argumentasi mereka kami uji pula sesuai standar ilmiah versi ulama Syi’ah
agar diketahui kadar keshahihan dan konsistensinya.
Untuk keperluan itu, buku bantahan ini
secara garis besar memuat tentang kerancuan konsepsi metodologis hadis kaum
Syi’ah, karakteristik kitab al-Kafi, dan Sikap Penulis “Buku
Putih”terhadap al-Kafi, Taqiyyah Atau Ilmiah?
Tentang kerancuan konsepsi metodologis
hadis kaum Syi’ah, diawali dengan uraian tentang konstruk epistemologi hadis yang
dibangun oleh Syi’ah, yaitu (1) persoalan asal pengetahuan atau sumber, dalam
hal ini siapa sumber utama yang bisa mengeluarkan hadis; (2) apa hakekatnya,
artinya bagaimana kedudukan hadis menurut Syi’ah; dan (3) persoalan verifikasi,
yaitu bagaimana mengukur validitas atau otentisitas hadis, sehingga bisa
dijadikan dasar hukum yang kuat.
Dalam uraian ini, pembaca akan mengetahui
sumber hadis dalam keyakinan Syi’ah, yang membedakannya dengan pandangan Ahlus
Sunah. Selanjutnya, akan diketahui pengaruh Imamiyah pada pembatasan imam
yang ma’shum dengan persyaratan periwayat harus dari kalangan Syi’ah
Imamiyah. Jadi, hadis tidak sampai pada tingkatan shahih jika para periwayatnya
bukan dari Ja’fariyah Isna ‘Asyariyah dalam semua tingkatan. Selain
itu dapat diketahui pula perbedaan kriteria yang ditetapkan oleh ulama Syi’ah
baik antara periode mutaqaddimin dengan mutaakhirin, maupun
antara ulama Syi’ah mutaakhirin dengan mu’ashirin (modern).
Perbedaan ini berimplikasi terhadap kualitas hadis di kalangan Syi’ah.
Pembahasan ini diakhiri dengan pemaparan kriteria keshahihan hadis
versi al-Kulaini, penyusun kitab al-Kafi.
Berbagai aspek ini penting disampaikan
untuk menunjukkan suatu fakta bahwa di kalangan ulama Syi’ah terdapat problem
metodologis. Selain itu, agar diketahui tolok ukur kelayakan metodologi yang
problematik ini digunakan sebagai standar validitas
kitab al-Kafi yang telah mapan.
Selanjutnya tentang karakteristik
kitab al-Kafi, dijelaskan siapa penulis kitab al-Kafi dan apa
saja yang terkandung di dalamnya. Hal ini penting disampaikan untuk
menunjukkan suatu fakta bahwa di kalangan ulama Syi’ah terdapat perbedaan dalam
menetapkan beberapa aspek dalam kitab itu, baik aspek kitab (topik),
bab, maupun hadis. Selain itu, juga diuraikan tentang unsur epistemologi
kitab al-Kafi, sesuai kajian teoritis pada pembahasan sebelumnya,
berkaitan dengan sumber hadis atau asal pengetahuan, hakekat hadis, dan
persoalan verifikasi hadis yang terkandung di dalam kitab al-Kafi.
Dalam uraian ini, pembaca akan mengetahui
bahwa unsur-unsur epistemologi itu pada dasarnya telah terpenuhi di dalam
kitab al-Kafi. Dari situ dapat dipahami mengapa ulama Syi’ah sepakat
menetapkan bahwa semua hadis dalam kandungan al-Kafi derajatnya
shahih. Selain itu, dapat diketahui pula kelemahan argumentasi pihak Sy’iah
“yang menolak” kehujahan hadis-hadisnya.
Terakhir, tentang sikap penulis “Buku
Putih” terhadap al-Kafi. Pada bagian ini ditampilkan beberapa pernyataan
dari penulis “Buku Putih Mazhab Syi’ah” yang menunjukkan sikap penolakan
terhadap status hadis-hadis dalam kitab al-Kafi. Lalu sikap mereka
dikonfrontasikan dengan beberapa fakta dalam kitab-kitab Syi’ah sendiri, yaitu
pandangan para tokoh yang sama sekali tidak disinggung oleh penulis.
Pandangan para tokoh ini penting kami
sampaikan—dengan tanpa bermaksud ikut campur urusan “rumah tangga”
Syi’ah—mengingat pentingnya transparansi arus data dan informasi untuk
penyadaran umat, khususnya umat Syi’ah di Indonesia, karena pandangan “Kubu”
ini sangat jarang diungkap oleh para tokoh Syi’ah di Indonesia. Untuk keperluan
itu, kami menggunakan metode verifikasi (tahqiq) dan pengunjukan
teks (takhrij an-nash) yang dikemukakan penulis “Buku Putih” dalam rangka
penguatan argumentasi ilmiah, atau….taqiyyah-nya?
Selain itu, pernyataan dari penulis kami
uji dengan standar ilmiah versi ulama Syi’ah mutaakhirin, untuk diketahui
validitas argumentasi dan konsistensi mereka.
Dalam pengungkapan fakta dan data, kami
berusaha semaksimal mungkin untuk menampilkan teks asli setiap pendapat ulama
Syi’ah yang dirujuk dan tidak lupa menyebutkan sumber-sumber primer dan
sekundernya, baik yang ditulis oleh “Kubu Akhbari” maupun “Kubu Ushuli”,
seperti diklaim oleh mereka. [44]
Teks asli setiap pendapat ulama Syi’ah
itu sengaja kami tampilkan apa adanya—tanpa syakal atau baris—demi
menjaga keasliannya. Adapun bagi pembaca awam yang belum faham gramatika bahasa
Arab, kami berupaya menyertakan terjemahan yang paling mendekati maksud dari
setiap pendapat itu.
Hadirnya buku ini semoga saja dapat
menyelamatkan orang awam pengikut Syi’ah dari satu keadaan yang sering diungkap
dalam kata pepatah: “sudah jatuh tertimpa tangga.“ Pasalnya, dengan
kehadiran “buku putih“ “yang hitam” itu bisa jadi mereka yang awam bukan malah
mendapatkan hidayah melainkan mendapatkan kebodohan dan kesesatan.
Oleh karena itu, sebagai nasehat bagi
orang awam pengikut Syi’ah dan tambahan ilmu bagi saudara-saudara Ahlus Sunah,
kami tulis tanggapan dan bantahan terhadap “Buku Putih” “yang hitam” ini secara
berseri agar tidak terlalu tebal, dan yang paling penting tentu saja agar mudah
dicerna. Semoga buku tanggapan dan bantahan ini bermanfaat dan menjadi amal saleh
di sisi Allah.
By Amin Muchtar, Mubaligh Persis, Penulis
Buku Buku “Hitam”
Kajian selengkapnya dapat
dibaca dalam Buku Hitam dibalik Putih, Bantahan Terhadap Buku
Putih Madzhab Syiah.
[1] Lihat, Buku
Putih Mazhab Syiah, hal. 22-23.
[2] Lihat, al-Kafi,
jilid 1, hal. 255, pada kitab al-Hujjah.
[3] Ibid.,
hal. 258.
[4] Ibid.,
hal. 260.
[5] Ibid.,
hal. 227.
[6] Ibid.,
hal. 228.
[7] Ibid.,
hal. 231.
[8] Ibid.,
hal. 339.
[9] Ibid.,
hal. 407.
[10]Lihat, Masyriq
asy-Syamsain, hal. 268 dan al-Wajizah fi ad-Dirayah, hal. 2. Lihat pula
keterangan Syekh Abdullah bin Muhammad Hasan al-Mamqani dalam Miqbas
al-Hidayah, Juz 1, hal. 57; Syekh Hasan ash-Shadr, dalam Nihayah
ad-Dirayah, hal. 80.
[11]Lihat
keterangan Syekh Hasan ash-Shadr, Nihayah ad-Dirayah, hal. 85; Syekh I’dad
Abu al-Fadhl al-Babuli, Rasa’il fi Dirayah al-Hadis, Juz 2, hal. 530;
Syekh Muhammad Husen al-Anshari, al-Ma’ayir al-’Ilmiyyah li Naqd
al-Hadits, hal. 20; Syekh Muhammad Kazhim al-Khurasani, Kifayah al-Ushul,
hal. 8; Syekh al-Anshari, Fara’id al-Ushul, hal. 365; Syekh Hasan bin Ali
Asghar al-Musawi, Muntaha al-Ushul, Juz 2, hal. 117; Sayyid Muhsin
al-Hakim, Haqa’iq al-Ushul, hal. 12.
[12]Lihat, al-Ushul
al-’Ammah li al-Fiqh al-Muqaran, hal. 122. Lihat pula keterangan Syekh Abu
Thalib at-Tajlil at-Tibrizi dalam Tanzih ay-Syi’ah al-Itsna ’Asyariyah ’an
asy-Syubuhat al-Wahiyah, hal. 57.
[13]Lihat, Sunah
Ahl al-Bait, hal. 9.
[14]Lihat, Ushul
al-Fiqh, hal. 331-332.
[15] Sehingga
mereka disebut kelompok Syi’ah Ja’fariyyah dan fikihnya disebut fikih Ja’fari,
padahal Imam Ja’far berlepas diri dari apa yang mereka katakan. Baca
kitab Usthurah al-Fiqh al-Ja’fari, karya Syaikh Dr. Thaha al-Dulaimi
yang diterjemahkan oleh Ustadz Agus Hasan Bashori, Lc. M.Ag, dengan
judul: Mitos Fikih Ja’fari.
[16] Para
ulama Syi’ah sendiri berbeda pendapat dalam mendefinisikan
kata Ashal yang dimaksud. Antara lain menurut Sayyid Mahdi Bahrul Ulum
(w. 1212 H), ”Ashl menurut istilah para ahli hadis bermakna kitab sandaran yang
tidak diambil dari kitab lain.” (Lihat, Tanqih al-Maqal, Juz 1, hal.
464) Sementara menurut Mula Ali Kaniy, ”Kata al-ashl dalam ucapan para sahabat
imam dan ulama Syi’ah abad VI hingga XI bermakna kompilasi riwayat yang
dikumpulkan oleh para murid imam agar tetap abadi selamat dari terlupa,
kerusakkan, dan dapat diakses pada saat diperlukan. Dan hadis-hadis ini pada
umumnya berupa ucapan para imam ma’shum, yang diambil dari mereka secara
langsung. Atau dapat pula para penyusun itu menghimpunnya tanpa disertai syarah
(komentar) dari mereka sendiri. Karena itu, terkadang disebut pula kitab dan
Mushannaf.” (Lihat, Tawdhih al-Maqal fi ’Ilm ar-Rijal, hal. 48).
[17] Lihat, Dzikra
asy-Syi’ah fi Ahkam asy-Syari’ah, Juz 1, hal. 59. Lihat pula keterangan
Muhammad Muhsin bin Muhammad Ridha ar-Razi, populer dengan sebutan Agho
Bazrak ath-Thahraniy dalam kitabnya adz-Dzari’ah ilaa Tashaanif
asy-Syi’ah, jilid. 2, hal. 129.
[18] Lihat,
keterangan Agho Bazrak ath-Thahraniy dalam kitabnya adz-Dzari’ah ilaa
Tashaanif asy-Syi’ah, jilid. 2, hal. 136.
[19] Lihat,
keterangan Sayyid Muhsin al-Amin dalam A’yan as-Syi’ah, jilid. 2,
hal. 48.
[20] Al-Kafi terdiri
atas tiga bagian
besar: al-Ushul, al-Furu’, ar-Rawdhah. Al-Ushul min al-Kafi telah
dicetak berulang kali, yang pertama tahun 1278 H di Syiraz. Selanjutnya,
tahun 1278 H di Teheran; Tahun 1281 H. di Tibriz; Tahun 1302 di Lucknow, India;
Tahun 1307 H. di Teheran; Tahun 1311 H. dicetak lagi di Tibriz dan dalam tahun
yang sama dicetak pula di Teheran; Tahun 1318 H, 1325 H, 1331 H, 1374 H,
1375-1378 H semuanya di Teheran; Tahun 1376 di Najf. Sementara cetakan dalam
format komplit, antara lain diterbitkan oleh Dar al-Kutub al-Islamiyyah,
Teheran, Iran, pada tahun 1388 H. dalam 8 jilid, dengan Tahqiq Ali
Akbar al-Ghifari; diterbitkan pula oleh Dar al-Hadis, Qum, Iran, tahun 1430 H.
dalam 15 jilid, dengan tahqiq Markaz Buhuts Dar al-Hadis.
[21] Dicetak
di Teheran, Iran, tahun 1324 H, dan di India tahun 1306 H.
[22] Dicetak
di Teheran, Iran, tahun 1318 H, dalam dua jilid.
[23] Dicetak
di Lucknow, India, tahun 1307 H, dalam dua jilid.
[24]Kandungan
hadis dalam keempat kitab itu sebanyak 43.850 hadis. Sementara dalam
tujuh kitab hadis yang standar di kalangan Islam (al-kutub as-Sittah)
sekitar 61.907 atau 63.865 hadis, meliputi: Musnad Ahmad sebanyak
27.688 hadis; Shahih al-Bukhari, 7.124 atau 9.082 hadis; Shahih
Muslim, 7.748 hadis; Sunan Abu Dawud, 5.276 hadis; Sunan at-Tirmidzi,
3.956 hadis; Sunan an-Nasai, 5.774 hadis; Sunan Ibnu Majah, 4.341
hadis. Jadi, perbandingan kapasitas hadis dalam kitab al-Kafi sebesar
25 % dari total hadis dalam tujuh kitab hadis yang standar di kalangan Islam.
[25] Dicetak
di Teheran, Iran, tahun 1310 H, dan 1324 H.
[26] Dicetak
di Teheran, Iran, tahun 1324 H, dalam 3 jilid, dan telah dicetak pula sebelum
tahun itu.
[27] Dicetak
di Teheran, Iran, dalam 26 jilid. Pada perkembangan selanjutnya, kitab ini
dicetak dalam 110 jilid.
[28] Keterangan
mengenai kitab ini bisa dilihat dalam Adz-Dzari’ah ilaa Tashaanif
asy-Syi’ah, karya Syekh Agho Bazrak ath-Thahraniy, Juz 3, hlm.
27; A’yan asy- Syi’ah, Juz 1, hlm. 293.
[29] Namanya Muhammad
Muhsin bin Muhammad Ridhaa (w. 1389 H), populer dengan sebutan Agho
Bazrak ath-Thahraniy.
[30] Lihat, Adz-Dzari’ah,
jilid. 2, hal. 110-111.
[31] Ibid.,
hal. 111.
[32] Lihat,
Sayyid Muhsin al-Amin dalam A’yan as-Syi’ah, jilid. 1, hal. 288.
Sebagaimana disebutkan pula oleh Sayyid Mahmud bin Sayyid Mahdi al-Musawi
dalam Miftah al-Kutub Al-Arba’ah, jilid. 1, hal. 5.
[33]Lihat, Mustadrak
Safinah al-Bihar, Juz 2, hal. 17 dan Mustadrakat ‘Ilm Rijal al-Hadits,
hal. 13.
[34] Namanya
Muhammad bin Hasan Al-Hurr Al-Amili dalam kitabnya Tafshil Wasa’il
asy-Syi’ah ila Tahsil Masa’il asy-Syari’ah, jilid. 20, hal. 71.
[35] Lihat, Mustadrak
al-Wasa’il wa Mustanbath al-Masaa’il, jilid. 3, hal. 432.
[36] Lihat, adz-Dzari’ah
ilaa Tashaanif asy-Syi’ah, jilid. 17, hal. 245.
[37] Lihat
pula, pernyataan Tsamir Hasyim Habib dalam Difa’ ‘an al-Kafi, jilid I,
hal. 31.
[38] Nama
lengkapnya Abdul Husein bin Sayid Yusuf bin Sayid Jawad Syarafuddin Al-Musawi
Al-Amili.
[39] Lihat, al-Muraja’aat,
hal 419. Kitab ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Muhammad
al-Baqir dan dipublikasikan oleh Penerbit Mizan pada tahun 1403 H/1983 M,
dengan judul “Dialog Sunah Syiah”.
[40] Lihat, Muqaddimah kitab al-Kafi,
terbitan Dar al-Kutub al-Islamiyyah, Teheran, Cet. III tahun 1388 H, hal. 26.
[41] Lihat, al-Kulaini
wa al-Kafi, hal. 422.
[42] Menurut
perhitungan kami istilah itu disebut oleh penulis “Buku Putih” sebanyak 11 kali
(hal. vi, 1 kali; hal. 6, 3 kali; hal. 29, 2 kali; hal. 31, 1 kali; hal. 34, 1
kali; hal. 50, 1 kali; hal. 217 (lampiran) 1 kali; hal. 220 (lampiran) 1 kali.
Selain itu, penulis “Buku Putih” juga membajak istilah Jumhur ulama sebanyak 2
kali; hal. 85 dan hal. 170.
[43] Salah
seorang ulama kenamaan Syi’ah, Muhamad bin Muhamad bin al-Nu’man al-‘Akbari
al-Baghdadi (w. 413 H), yang populer dengan sebutan Syekh Mufid,
menjelaskan, “Taqiyyah adalah menyimpan kebenaran dan menyembunyikan
keyakinan, serta merahasiakannya terhadap orang-orang yang tidak se–akidah dan
tidak minta bantuan mereka dalam hal-hal yang dapat mengakibatkan bahaya, baik
dalam urusan agama maupun keduniaan.” (Lihat, Syarh Aqa’id as-Shaduq,
hal. 261).
[44] Menurut
mereka, Akhbari adalah pendekatan tekstualis dan skripturalis yang
mirip pendekatan Ahlul Hadis yang menolak prinsip-prinsip rasional dalam
penyimpulan hukum-hukum agama (istinbathul hukm). Sedangkan Ushuli adalah
pendekatan yang menerima prinsip-prinsip rasional dalam memahami teks Alquran
dan Sunah, serta menyimpulkan hukum-hukum dari kedua sumber tersebut.
(Lihat, Buku Putih Mazhab Syiah, hal. 29)
Farid Achmad Okbah, M.A
PENGANTAR
Sudah sekitar seribu lebih buku Syiah
disebarkan ke seluruh Indonesia untuk memasarkan dagangan ideologi
transnasional ini. Tulisan yang paling anyar adalah Buku Putih Madzhab
Syiah. Kelebihan buku ini adalah tidak ada pengarangnya(hanya tertulis tim perumus
buku putih DPP ABI), daftar isinya dan tulisan bismillah. Buku ini, ketika
beredar, mendadak sudah cetakan ke-2, September 2012. Pertanyaannya adalah
apakah posisi buku ini bisa mewakili ulama-ulama Syiah yang muktabar karena
mereka pun juga bukan ulama yang muktabar. Atau, jangan-jangan buku ini
hanyalah justifikasi atau pembenaran terhadap berbagai isu ajaran Syiah dalam
rangka melunakkan pihak Ahlussunah agar bisa menerima ajaran syiah yang
dikesankan seakan perbedaan antara keduanya tidak bersifat prinsip. Meskipun
ketika membaca buku putih ini, ternyata tidak putih, justru hitam kelam, hanya
mengulang apa yang dilakukan oleh berbagai ulama kontemporer untuk menutupi
belangnya. Bahkan, tidak jarang penulis buku ini berbohong. Ia mengatakan
menurut ulama syiah yang muktabar tapi tidak sedikitpun menyebutkan referensi
Syiah. Contohnya tentang rukun iman dan rukun Islam, hal 31-33, tentang
sahabat, hal: 35-49, dan tentang perkawinan mut’ah, hal 49-54. Dan banyak lagi
kejanggalan-kejanggalan dalam buku putih yang tidak putih ini.
BANTAHAN:
Prinsip-prinsip tentang Al-Quran:
A. Bahwa Allah SWT telah menjamin Al
Quran dari mulai diturunkan sampai akhir zaman. Allah SWT berfirman:
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al
Quran, dan Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. (Al Hijr: 9)
B. Bahwa Rasulullah saw telah
menyampaikan Al Quran kepada para sahabat. Mereka menghafalkannya dan
menulisnya hingga dibukukan menjadi mushaf yang sampai kepada kita sekarang. Al
Quran itu sampai kepada kita secara mutawatir melalui jalur ahlus sunah
tetapi sayangnya tidak terdapat dari sumber ahlul bait versi Syiah. Kami
bawakan seputar riwayat dari para qurra’[1] sebagaimana berikut:
1. Qari Madinah, Imam Nafi’. Perawinya
adalah Warasy dan Qaalun.
Qiraah ini dari enam sahabat yaitu Umar
bin Khattab, Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka’ab, Abdullah bin Abbas,
Abdullah bin Ayyas, dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhum.
2. Qari Makkah Mukarramah, Imam Ibnu
Katsir. Perawinya adalah Al Bazzi dan Qanbal.
Qiraah ini dari lima sahabat yaitu Umar
bin Khattab, Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka’ab, Abdullah bin Abbas dan Abdullah
bin Saib Radhiyallahu ‘anhum.
3. Qari Bashrah, Imam Abu Amru Al Bashri.
Perawinya adalah Ad Duuri dan As-Susi.
Qiraah ini dari sebelas sahabat yaitu
Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Masud, Abi
Musa Al –Asy’ari, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Saib, , Ubay bin Ka’ab, Zaid
bin Tsabit dan Abu Hurairah, Radhiyallahu ‘anhum.
4. Qari Syam, Imam bin Amir. Perawinya
adalah Hisyam dan Ibnu Dzakwan.
Qiraah ini dari Ustman bin Affan dan Abi
Darda.
5. Qari Kufah, Imam Ashim bin Abi Nuaid.
Perawinya adalah Syu’bah dan Hafs (mayoritas kaum muslimin pada hari ini
membawa Quran dengan riwayat perawi Hafs dari Imamnya ‘Asim).
Qiraah ini dari enam sahabat yaitu Utsman
bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Masud, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin
Tsabit radhiyallahu ‘anhum.
6. Imam Hamzah Az-Zayyat. Perawinya
adalah Khalaf dan Khelad
Qiraah ini dari enam sahabat yaitu Utsman
bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin
Masud, dan Husein bin Ali bin Abi Thalib, Radhiyallahu ‘anhum.
7. Imam bin Hamzah Al Kasai. Perawinya
adalah Abul Haris dan Hafs Ad Duuri.
Qiraah ini dari sepuluh sahabat yaitu
Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Ubay bin Ka’ab, Zaid
bin Tsabit , Abdullah bin Masud, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Ayyasy, Abu
Hurairah dan Husein bin Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhum.
8. Imam Ya’qub Al-Hadhrami. Perawinya
adalah Ruwaish dan Ruh
Qiraah ini dari sebelas sahabat yaitu
Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Ubay bin Ka’ab, Zaid
bin Tsabit , Abdullah bin Masud, Abu Musa Al-Asy’ari, Abdullah bin Abbas,
Abdullah bin Ayyasy, Abdullah bin Saib, Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhum.
9. Imam Khalaf Al-Bazzar. Perawinya
adalah Idris dan Ishak
Qiraah ini dari enam sahabat yaitu Utsman
bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Masud, Zaid bin Tsabit, Ubay bin
Ka’ab, dan Husain bin Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhum.
10. Imam Abu Ja’far Al-madani. Perawinya
adalah Ibnu Wardan dan Ibnu Jamaz
Qiraah ini dari lima sahabat yaitu Zaid
bin Tsabit, Ubay bin Ka’ab, Ibnu Abbas, Abdullah bin ‘Ayyasy dan Abu Hurairah
Radhiyallahu ‘anhum.
C. Para ulama sepakat bahwa keyakinan yang
mengatakan Al Quran itu telah terdapat tahrif (ditambah dan dikurangi oleh
manusia) adalah kufur.
Qadhi Abu Ya’la berkata:
“Al-Quran tidak diubah, diganti,
dikurangi dan ditambah. Berbeda dengan Rafidhah (Syiah yang mencela sahabat)
yang mengatakan bahwa Al Quran telah diubah dan diganti dan diselisihi nadham
dan urutannya. Ia berkata, “Al Quran dikumpulkan dengan keberadaan para
sahabat. Mereka telah sepakat dan tidak ada yang mengingkarinya. Tidak ada
salah seorangpun dari sahabat yang membantah dan menyerangnya. Seandainya Al
Quran telah diganti dan diubah pastilah ia akan dinukil oleh salah seorang
sahabat bahwa ia telah diserang. Karena dalam kebiasaan, hal seperti ini tidak
disembunyikan. Dan seandainya Al Quran itu telah diubah dan diganti,
pastilah akan mengharuskan Ali untuk menjelaskan dan meluruskannya dan
menjelaskan kepada manusia dan menjelaskan secara umum kepada manusia bahwa ia
lebih baik meskipun telah mengalami perubahan. Maka ketika Ali tidak melakukan
hal itu, dan justru tetap membaca dan menggunakannya, ini pertanda bahwa Al
Quran tidaklah dirubah dan diganti.”[2]
Imam Ibnu Hazm rahimahullah
berkata,
“Ucapan bahwa apa yang di antara lembaran
mushaf (yaitu Al Qur’an) telah mengalami penggantian adalah kekafiran
yang nyata dan kedustaan terhadap Rasulullah saw.[3]
Imam Abu Amri Ad-Dani rahimahullah
berkata, “
Kitab Allah Ta’ala tertulis di dalam
mushaf, yang dikumpulkan, dan yang mengumpulkannya adalah Utsman rahimahullah.
Umat telah sepakat bahwa Al Quran itu terdiri dari 114 surat. Barang
siapa yang menambah atau menguranginya atau mengatakan sampai ada bagian
darinya yang berubah, maka ia sesat, penyesat, kafir, dan mubthil.”[4] Lalu
bagaimanakah Syiah yang mengaku bahwa riwayat-riwayat memberikan keraguan di dalam
Al Quran? Dan Apakah orang yang berakal percaya kalau ucapan ahlul bait
itu membuat keraguan di dalam Al Quran. Lalu di manakah janji Allah bahwa
Ia akan menjaga kitabnya? Allah berfirman, “
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al
Quran, dan Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. (Al Hijr: 9)
Dalam menafsirkan ayat ini, Imam
Fakhrurrazi berkata, “Sesungguhnya Kami menjaga kitab itu dari perubahan,
tambahan, dan kekurangan. Kepada orang yang mengatakan, “Jika seseorang
berupaya untuk merubah huruf atau titik maka penduduk dunia akan mengatakan
kepadanya, ‘Ini adalah kedustaan dan perubahan terhadap firman Allah.’
sampai-sampai jika ada orang tua yang menakutkan yang menyetujui bahwa di
dalam Al Quran terdapat kekeliruan atau kesalahan dalam hurufnya, maka
anak kecil akan mengatakan kepadanya, “Wahai Bapak anda telah salah, yang benar
adalah begini dan begini. Ketahuilah bahwa tidak ada kitab yang mengalami
penjagaan seperti Al Quran ini. Tidak ada kitab kecuali telah dimasuki
perubahan baik sedikit ataupun banyak. Tetapnya Al Quran terjaga dari segala
perubahan yang diupayakan oleh orang Kafir, Yahudi, dan Nasrani merupakan
mukjizat yang paling agung[5]
Hal indah yang dibawakan oleh para
Salafus Shalih kita adalah apa yang diriwayatkan oleh Imam Asy-Syatibi
rahimahullah dari Abu Amru Ad-Dani dari Abul Hasan Al-Muntab berkata, “Pada
suatu hari saya bersama Qadhi Abu Ishaq Ismail bin Ishaq. Seseorang lalu
berkata kepadanya, “Wahai Syaikh mengapa Ahlut Taurah diperbolehkan untuk
mengganti Taurat, sementara Ahlul Quran tidak diperbolehkan? Maka Qadhi
tersebut menjawab, “Allah berfirman kepada Ahlutt Taurah,
Disebabkan mereka diperintahkan
memelihara Kitab-Kitab Allah (Al-Maidah: 44).
Penjagaan kitab Taurat diserahkan kepada
ahlut taurah, maka mereka diperbolehkan untuk melakukan penggantian. Adapun
terhadap Al Quran, Allah berfirman,
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al
Quran, dan Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. (Al Hijr: 9)
Penjagaan Al Quran telah dijamin oleh
Allah, maka mereka tidak diperbolehkan untuk melakukan penggantian. Ali (perawi
ini) berkata, ‘Aku pergi menuju Abi Abdillah Al Muhamili lalu aku menyebutkan
cerita itu kepadanya. Ia berkata, “Saya belum pernah mendengar ucapan yang
lebih baik daripada ini sebelumnya. “[6]
Ahlus sunah berkeyakinan bahwa siapa yang
meyakini adanya tahrif dalam Al Quran maka ia telah kafir. Karena itu, tidak
ada seorangpun ulama ahlus sunah yang meyakininya. Berbeda dengan ulama-ulama
Syiah yang secara terang-terangan meyakini adanya tahrif di dalam Al
Quran, terutama ulama-ulama Syiah mutaqaddimin yang jumlahnya sangat
banyak. Sebaliknya, ulama Syiah yang tidak meyakini adanya tahrif sangat
sedikit, tetapi dalam Buku Putih Madzhab Syiah disebutkan jumlahnya puluhan
bahkan ratusan (lihat halaman 111). Kuat dugaan mereka mengatakan demikian
hanya taqiyyah saja. Buktinya, tokoh ulama Syiah An-Nuuri (1254-1320H) yang
mengumpulkan seribu riwayat lebih dari ulama ulama Syiah muktabarah bahkan
katanya sampai tingkat mutawatir, ketika meninggal dihormati dan dikubur
di dekat para imam di Najaf.
Dalam Buku Putih ini mereka mengatakan
“menurut ulama Syiah yang muktabar” tetapi ternyata tidak banyak menunjuk
kepada ulama Syiah yang muktabar, sekedar contoh pada halaman ke-34
tentang teks “Wa Aliyyun Waliyullah sama sekali tidak ditemukan dalam buku-buku
rujukan Syiah. Bahkan disebut bid’ah menurut jumhur ulama Syiah”, tapi justru
Imam Ali Khameini menyebutnya lambang tasyayyu’ adalah baik dan penting
(halaman 35).
Meskipun buku ini berusaha membersihkan
Syiah dari keyakinan tahrif, tapi tetap saja memberikan alasan-alasan yang
menjustifikasi keyakinan tersebut seperti, “Kalaupun kita anggap … (hal. 26).
Di bawah ini kami bawakan 15 ulama Syiah
yang menyatakan keyakinan tahrif ini.
An-Nuuri Ath-Thibrisi, dalam kitabnya
Fashlul Khitab Fi Tahrif Kitab Rabbul Arbab
Adnan Al-Bahrani, dalam
kitabnya Masyariqusy Syumus Ad-Duriyah
Al Mufid, dalam kitabnya
Awailil Maqalat
Al-Asfahany dalam kitabnya
Aaraa’ haulal Quran
Al Qumy
Al Kulainy
Al Jazairy dalam kitab
syarakhnya At-Tahdzibaini dan Man’ul Hayah
Ali bin Ibrahim
Yusuf Al Bahrani dalam
kitabnya Ad-Durar An-najafiyah
Al Majlisi dalam
kitab syarkh atas kitab Al-Kafi, Miraatul Uqul
Abbas Al Qummy dalam
kitabnya Mafatihul Jinan
Ali Al Khaairy dalam
kitabnya Ilzamun Nasib Fi Itsbatil Hujjah Al-Ghaib
Abul Qasim Al Khui, dalam
kitabnya At-Tibyan fi Tafsiril Quran
Abdullah Syabbar, dalam
kitabnya Masabih Al-Anwar
Husein Al Bahrani dalam
kitabnya Al-Anwar Al-Wadhiyyah Fil ‘Aqaid Ar-
Radhwiyyah
Buku putih ini bertambah gelap dengan
memuji Sayyid Husain Nashr dalam buku yang disuntingnya Antologi Islam
pada halaman ke-27. Begitu pula kepada penerbitnya Al Huda, Jakarta (hal 64).
Isi buku tersebut menguatkan adanya keyakinan tahrif pada Syiah sebagaimana
terdapat pada halaman ke-694 yang berbunyi,
“Hal ini dengan jelas membuktikan bahwa
meskipun Al Quran yang dipakai sekarang lengkap, kitab suci ini tidak tersusun
dalam urutan sebagaimana telah diturunkan. Beberapa kesalahan penempatan ini
dilakukan oleh beberapa sahabat, baik dengan sengaja atau sedikitnya
dikarenakan oleh ketidaktahuan.”
Dan pada halaman ke-695 yang berbunyi,
“Transkrip ini berisi komentar dan
tafsiran yang bersifat hermeneutik(tafsir dan takwil) dari Rasulullah yang
beberapa di antaranya telah diturunkan sebagai wahyu tapi bukan bagian
dari teks Quran. Sejumlah kecil teks-teks seperti itu bisa ditemukan dalam
beberapa hadits dalam Ushulul Al-Kafi. Bagian informasi ini merupakan
penjelasan ilahi atas teks Quran yang diturunkan bersama ayat-ayat Quran jika
dijumlahkan mencapai tujuh belas ribu ayat.”
Hal itu menguatkan pernyataan pada buku
putih halaman ke-106 dan 107. Dan sesuai riwayat Al-Kulani juz 2 hal 634 yang
berbunyi dengan jelas
إن
القرآن الذي جاء به جبريل عليه السلام الى محمد صلى الله عليه وسلم سبعة عشرألف
آية
“Sesungguhnya Al Quran yang dibawa Jibril
‘alaihis salam kepada Muhammad SAW adalah 17 ribu ayat.”
Dalam kitab Miraatul Uqul juz 12, hlm
525, Al-Majlisi mengatakan bahwa riwayat hadits di atas shahih dan beliau
termasuk ulama Syiah yang muktabar.
Walhasil, buku putih ini penuh dengan
penyimpangan pada masalah-masalah prinsip yang justru lebih meyakinkan kita
bahwa benar kalau Syiah itu sesat dan menyesatkan. Wallahu A’lam.
Bekasi, 27 September 2012
Farid Achmad Okbah
[1] Hadits tsaqalaini, karangan Ali bin
Muhammad Al-Qudhaibi, cet. Ke-1, tahun 1429 H- 2008 M, menukil dari kitab النشر
في القرءات العشر لإبن الجزري ( 1/82 – 103)
[2]
Al Mu’tamad fi Ushulid Din, hal. 258
[3]
Al Fashl Fil Milal wan Nihal, 5/22
[4]
Ar Risalah Al Wafiyah, hal 141
[5]
Mafatihul Ghaib, 19/ 160-161.
[6]
Al Muwafaqat 2/59
Noda-Noda Hitam Buku Putih Mazhab Syi’ah
Disusun oleh : Abu Ahmad Arif Fathul Ulum
bin Ahmad Saifullah
Telah sampai kepada kami sebuah buku yang berjudul Buku Putih Mazhab Syiah.
Secara global buku ini adalah salah satu buku yang membela ajaran-ajaran agama
Syi’ah dan berusaha membela kesesatan-kesesatan mereka.
Buku ini juga penuh dengan propaganda pemikiran-pemikiran
Syiah dan melontarkan syubhat-syubhat yang membahayakan aqidah dan pemahaman
seorang muslim.
Karena itulah Insya Alloh dalam
pembahasan kali ini kami berusaha melakukan telaah kritis terhadap buku ini
sebagai pembelaan terhadap manhaj yang haq dan nasehat kepada kaum muslimin
secara umum.
PENULIS DAN PENERBIT BUKU INI
Buku yang memiliki judul lengkap Buku Putih Mazhab Syiah Menurut Para Ulamanya
yang Mukhtabar ini ditulis oleh Tim Ahlul Bait Indonesia cetakan keempat
Desember 2012, dengan kata pengantar dari Prof. Dr. Muhammad Quraisy Syihab,
MA.
Prof. Dr. Muhammad Quraisy Syihab, MA
juga telah menulis buku yang berjudul Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan !
Mungkinkah ? Kajian Atas Konsep Ajaran Dan Pemikiran diterbitkan oleh Penerbit
Lentera Hati Ciputat Tangerang cetakan pertama Maret 2007 M / Rabiul Awwal
1428. Bukunya ini penuh dengan tikaman-tikaman terhadap para sahabat seperti
Umar bin Khaththab dan Muawiyah, berdusta atas Abu Hanifah, dan menyatakan
bahwa Abdullah bin Saba adalah tokoh fiktif ( Lihat bahasan atas buku ini
didalam Majalah Al-Furqon Tahun ke-8 Edisi 8 Rubrik Kitab ).
TIKAMAN PENULIS TERHADAP PARA SAHABAT NABI
Penulis mengatakan bahwa di antara sahabat ada yang munafik, sebagaimana di
dalam hal. 52 : Al-Quran bercerita tentang kaum munafik yang notabene adalah
orang Muslim yang hidup pada waktu hidup Nabidan, karena itu, dalam definisi
umum yang berlaku, dapat disebut sebagai sahabatdan mengecam mereka dengan
keras .
Dan masih banyak lagi ungkapan-ungkapan
miring yang lainnya dari penulis kepada para sahabat.
Kami katakan : Demikianlah penulis
mencela para sahabat Rasulullah ( dengan menyatakan bahwa di antara sahabat ada
yang munafik padahal orang-orang munafik berada di kerak paling dalam dari
neraka, ini menunjukkan kebodohan yang sangat dari tim penulis terhadap para
sahabat. Para ulama telah menjelaskan tentang siapakah yang dimaksud dengan
para sahabat Nabi :
Al-Imam Bukhari berkata tentang definisi
sahabat :
من صحب النبي صلى الله عليه وسلم أو رآه من
المسلمين
” Orang yang bersahabat dengan Nabi (
atau yang melihat beliau dari kaum muslimin ” ( Shahih Bukhari 4/188 ).
Al-Imam Ali bin Madini berkata :
من صحب النبي صلى الله عليه وسلم أو رآه ولو ساعة
من نهار
” Orang yang bersahabat dengan Nabi (
atau melihat beliau walau hanya sesaat dari siang ” ( Lihat Thabaqah Hanabilah
1/243, Fathul Baari 7/5, dan Fathul Mughits 3/86 ).
Al-Imam Ahmad bin Hanbal berkata :
كل من صحبه سنةً أو شهراً أو يوماً أو ساعةً أو
رآه .له من الصحبة على قدر ما صحبه وكانت سابقته معه ،وسمع منه، ونظر إليه .
” Setiap orang yang bersahabat dengan
Nabi ( selama satu tahun atau satu bulan atau satu hari atau satu saat atau
yang melihat beliau. Dia memiliki kedudukan sahabat sesuai dengan kadar
pertemuannya dengan beliau, dan pernah bersama dengan beliau, mendengar dari
beliau dan melihat kepada beliau ( Lihat kitab Tahqiiqir Rutbah Liman Tsabata
Lahu Syarafush Shuhbah hal. 30-31 dan Al-Kifayah hal. 51 ).
Al-Imam Abul Hasan Al-Asy’ari berkata :
وأجمعوا على أن الخيار بعد العشرة في أهل بدر من
المهاجرين والأنصار على قدر الهجرة والسابقة ، وعلى أن كل من صحب النبي صلى الله
عليه وسلم ولو ساعة ، أو رآه ولو مرةً مع إيمانه به وبما دعا إليه أفضل من
التابعين بذلك
” Para salaf telah sepakat bahwa
orang-orang yang terbaik sesudah sepuluh orang sahabat yang terbaik pada Ahli
Badar dari kaum Muhajirin dan Anshor sesuai dengan kadar hijrah dahulunya
keislamannya, dan sepakat atas bahwa setiap orang yang bersahabat dengan Nabi (
walau sesaat, atau melihat beliau walaupun hanya sekali dengan mengimani beliau
dan apa yang beliau dakwahkan, adalah lebih afdhol dengan hal itu dibandingkan
dengan para tabi’in ” ( Risalah Ila Ahli Tsaghr hal. 171 ).
Definisi-definisi di atas membantah
kebohongan tim penulis buku hitam Syiah ini yang menyatakan bahwa di antara
para sahabat ada yang munafik, bahkan para sahabat semuanya adalah mulia dengan
pemuliaan Alloh dan RasulNya, Al-Imam Al-Khathib Al-Baghdady menyebutkan
ayat-ayat dan hadits yang menunjukkan kedudukan dan keutamaan para sahabat di
antaranya :
( وَالسَّابِقُونَ
الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ
بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ
تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ
الْعَظِيمُِ (
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang
pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan anshar dan
orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan
merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang
mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.
Itulah kemenangan yang besar. ( At-Taubah : 100 ).
Kemudian beliau berkata : Hadits-hadits
yang semana dengan hal ini banyak sekali, semuanya sesuai dengan apa yang
datang dalam nash Al-Quran, yang semuanya menunjukkan pada kesucian para
sahabat dan pemastian atas keadilan mereka, mereka tidak butuh rekomendasi
kepada siapapun setelah rekomendasi Allah kepada mereka, Allah Dzat Yang Maha
Mengetahui isi hati mereka… Ini adalah madzhab seluruh ulama dan yang dianggap
perkataaannya dari fuqaha ( Al-Kifayah hal. 96 ).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata :
Di antara pokok-pokok ahli sunnah adalah : selamatnya hati dan lisan mereka
terhadap para sahabat Rasulullah ( sebagaimana pensifatan Allah ( dalam
firmanNya :
( وَالَّذِينَ
جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا
الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا
لِلَّذِينَ ءَامَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ (
“Dan orang-orang yang datang sesudah
mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: “Ya Tuhan kami, beri ampunlah
kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan
janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang
yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha
Penyayang”. ( Al-Hasyr : 10).
Sikap ahli sunnah ini adalah merupakan
ketaatan kepada Rasulullah ( terhadap sabdanya : Janganlah kalian mencaci para
sahabatku, demi Dzat yang jiwaku di tanganNya; seandainya seorang di antara
kalian menginfaqkan emas sebesar gunung Uhud tidaklah itu mencapai satu mud
infaq seorang dari mereka dan tidak juga mencapai separuhnya ( Muttafaq Alaih,
Bukhary : 3673 dan Muslim : 2540 ).
Maka ahli sunnah menerima apa saja yang
yang datang dalam Kitab, Sunnah, dan Ijma tentang keutamaan-keutamaan dan
tingkatan-tingkatan mereka, ahli sunnah berlepas diri dari cara orang-orang
rafidhah yang membenci dan mencaci para sahabat, dan berlepas diri dari cara
orang-orang nawashib yang menyakiti ahlil bait dengan perkataan atau perbuatan…
( Aqidah Wasithiyyah hal. 142-151 ).
Merupakan hal yang dimaklumi bahwa ciri
khas agama Syi’ah yang batil adalah celaan mereka terhadap para sahabat Nabi !.
MENGIMANI IMAM 12
Di dalam hal. 22-23 penulis mengatakan : Oleh karena itu, Syiah meyakini bahwa
sesudah Nabi Muhammad Saw. wafat ada seorang imam untuk setiap masa yang
melanjutkan misi RasulullahSaw. Mereka adalah orang-orang yang terbaik
padamasanya. Dalam hal ini, Syiah (Imamiyah) meyakini bahwa Allah telah
menetapkan garis imamah sesudahNabi Muhammad Saw. pada orang-orang suci dari
dzuriyat-nya atau keturunannya, yang berjumlah 12 orang yaitu: 1. Ali ibn Abu
Thalib (Lihat Lampiran
1: Keutamaan Imam Ali r.a.), 2. Hasan ibn
Ali Al-Mujtaba, 3. Husan ibn Ali Sayyidussyuhada, penghulu para syuhada, 4. Ali
ibn Husain, 5. Muhammad Al Baqir, 6. Jafar ibn Muhammad Ash-Shadiq, 7. Musa
ibn Jafar, 8. Ali ibn Musa Ar-Ridha, 9.
Mohammad ibn Ali Al-Taqi Al-Jawad, 10. Ali ibn Mohammad an-Naqi Al-Hadi, 11.
Hasan ibn Ali Al-Askari, dan terakhir,12. Muhammad ibn Hasan Al-Mahdi. Syiah
meyakini bahwa Imam Muhammad ibn Hasan Al-Mahdi masih hidup hingga sekarang
ini, tapi dalam keadaan gaib, namun akan muncul kembali pada akhir zaman. Syiah
meyakini bahwa kedua belas Imam tersebut di atas telah dinyatakan oleh
Rasulullah Saw. (lihat Lam piran 2: Hadis 12 Imam) sebagai imam-imam sesudahnya
Akan tetapi, perlu ditegaskan bahwa konsep imamah dan kemaksuman hanya berlaku
pada 12 Imam penerus Rasulullah “.
Kami katakan : Demikianlah Syiah
membatasi imamah hanya pada imam 12 ini, ini sangat mirip dengan orang-orang
Yahudi membatasi imamah ( kepemimpinan ) pada keluarga Dawud sebagaimana
tertera di dalam kitab-kitab mereka :
Bagi Dawud dan keturunannya dan rumahnya
dan kursinya keselamatan selama-lamanya di sisi Rabb ( Al-Ishhah Tsani paragraf
33 ).
Raja Sulaiman diberkahi dan kursi Dawud
tetap di depan Rabb selama-lamanya ( Al-Ishhah ke-2 paragraf 45 ).
Tidak henti-hentinya orang-orang Yahudi
hingga saat ini terus meyakini aqidah ini dan memimpikan kembalinya singgasana
Israel dan diangkatnya seorang keturunan Dawud atasnya. Di dalam Protokolat
Zionis tertera : Dan sekarang aku akan membahas metode yang bisa menguatkan
negara Raja Dawud, hingga berlangsung sampai hari akhir ( Protokolat ke-24 hal.
210 ).
Jumlah imam yang 12 ini dikatakan oleh
orang-orang Syiah sebagai kesesuaian dengan jumalah asbath Bani Israil, hal ini
menunjukkan begitu sangatnya kegandrungan orang-orang Syiah untuk menyerupai
orang-orang Yahudi. Ash-Shaduq menulis sebuah judul dalam kitabnya Al-Khisal (
hal. 465 ) : Alloh telah mengeluarkan dari Bani Israil 12 sibthan, dan
menebarkan dari Hasan dan Husain 12 sibthan .
Keyakinan orang-orang Yahudi dan
orang-orang Syiah bahwa imamah terbatas pada orang-orang tertentu adalah
keyakinan yang batil, di antara dalil yang menunjukkan kebatilannya adalah
firman Alloh ( :
Dan sungguh Telah kami tulis didalam
Zabur sesudah (Kami tulis dalam) Lauh Mahfuzh, bahwasanya bumi Ini dipusakai
hamba-hambaKu yang saleh. ( Al-Anbiya : 105 ).
Dalam ayat ini mensyaratkan keshalihan
dalam mempusakai bumi dan menguasainya dan tidak membatasinya pada kelompok
atau ras sebagaimana dilakukan oleh orang-orang Yahudi dan orang-orang Syiah.
Dan Alloh ( berfirman:
Dan kami jadikan di antara mereka itu
para imam ( pemimpin ) yang memberi petunjuk dengan perintah kami ketika mereka
sabar dan adalah mereka meyakini ayat-ayat kami. ( Al-Anbiya : 105 ).
Ayat di atas menunjukkan bahwa bahwa
imamah sesungguhnya didapatkan dengan dengan keimanan dan kesabaran dan bukan
secara warisan sebagaimana sangkaan orang-orang Yahudi dan orang-orang
Rafidhah.
BERARGUMEN DENGAN HADITS-HADITS PALSU
1. Di dalam hal. 115-116 penulis membawakan riwayat dari Abu Dzar yang
menyatakan bahwa Ali bershadaqah dengan sebuah cincin dalam keadaan dia sedang
ruku, maka Nabi ( bertanya kepada peminta : Siapakah yang memberimu cincin ini
? , maka dia menjawab : Orang yang ruku itu . Maka Alloh ( menurunkan ayat :
(( إِنَّمَا
وَلِيُّكُمُ اللّهُ وَرَسُولُهُ…(
Kami katakan : Ini adalah riwayat yang
palsu dengan kesepakatan ulama ( Lihat Al-Fawaidul Majmu’ah hal. 316 dan
Tadzkiratul Maudhu’at hal. 84 ).
2. Penulis di dalam hal. 113-114
membawakan riwayat tentang tafsir surat Al-Maidah ayat 67 :
(( يَا
أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنزِلَ إِلَيْكَ …(
Bahwa ayat ini turun atas Rasulullah (
pada hari Ghadir Khumm tentang Ali bin Abi Thalib Nabi Saw. diperintahkan oleh
Allah untuk meng angkat Ali a.s. sebagai khalifah sepeninggalnya. Beliau
melaksanakan perintah tersebut. Beliau melantik Ali a.s. sebagai khalifah dan
pemimpin bagi umat sepeninggalnya.
Kami katakan : Ini adalah riwayat yang
palsu sebagaimana dijelaskan oleh Al-Imam Al-Jauraqani di dalam Al-Abathil wal
Manakir 2/366 ).
3. Di dalam hal. 137-138 penulis
membawakan hadits Aku adalah kota ilmu dan Ali adalah pintunya .
Kami katakan : Ini adalah hadits yang
palsu, Al-Imam Yahya bin Main berkata : Hadits ini adalah dusta tidak ada
asalnya.
Al-Imam Ibnu Adi berkata : Hadits ini
adalah palsu.
Al-Imam Ibnu Hibban berkata : Hadits ini
tidak asalnya ( Lihat Al-Maudhuat 1/354 dan Silsilah Al-Ahadits Adh-Dhaifah wal
Maudhuah 6/518 ).
KEDUSTAAN-KEDUSTAAN BUKU INI
Penulis berkata di dalam hal. 167-168 membawakan riwayat Dari Jabir Al Jufi, ia
menuturkan: Aku pernah mendengar Abu Jafar alaihissalaam berkata: Tidaklah ada
seseorang yang mengaku telah menghafal Al Quran semuanya sebagaimana tatkala
diturunkan melainkan ia adalah seorang pendusta, dan tidaklah ada orang yang
berhasil mengumpulkan dan menghafalnya secara utuh sebagaimana ketika
diturunkan selain Ali bin Abi Tholib dan para imam setelahnya.
Kemudian penulis berkata : perlu
diketahui bahwa dalam hadis tersebut tidak ada penegasan akan terjadinya
pengurangan pada Al-Quran Al-Karîm. Sebab kata جمع disusul dengan kata
حفظ , yang memberikan makna
bahwa yang dihafal dan dikumpulkan oleh Imam Ali dan para Imam suci Syiah a.s.
adalah ilmu tentang seluruh teks ayat Al-Quran beserta takwil, tafsir, dan
kandungannya baik yang zhahir maupun yang bathin. Dan bukan sekadar menghafal
teks ayat-ayat suci Al-Quran.
Selain itu, pemaknaan seperti itu sangat
sejalan dengan ke yakinan Al-Kulaini yang memasukkan hadis di atas dalam bab
khusus dengan judul: Bahwa sesungguhnya tidak ada yang mengumpulkan Al-Quran
seluruhnya, kecuali para imam dan mereka mengetahui seluruh ilmu Al-Quran .
Kami katakan : Demikianlah penulis
bersikeras mengimani riwayat di atas yang merupakan tuduhan bahwa Al-Quran yang
utuh adalah yang ada pada mushaf Ali Radhiyallahu Anhu.
Ini adalah kedustaan Syiah atas nama Al
Baqir Abu Jafar rahimahullah dengan bukti sahabat Ali radhiallahu anhu sendiri
selama masa khilafahnya -padahal beliau berada di kota Kuffah- tidak pernah
beramal selain dengan Mushaf yang telah dikumpulkan dan disebar luaskan serta
ditetapkan untuk diamalkan di seluruh penjuru -sebagai karunia dari Allah
taala- oleh khalifah Utsman radhiallahu anhu, hingga zaman kita dan hingga hari
kiamat. Seandainya sahabat Ali radhiallahu anhu memiliki mushaf lain,
-sedangkan ia adalah seorang khalifah dan penguasa, di seluruh wilayah
kekuasaannya tidak ada yang berani menentangnya- niscaya ia akan
mengamalkannya, dan memerintahkan kaum muslimin untuk menyebar luaskan dan
mengamalkannya. Dan seandainya ia memiliki mushaf lain, sedangkan ia menyembunyikannya
dari kaum muslimin, maka ia adalah seorang pengkhianat terhadap Allah,
Rasul-Nya dan agama islam!!
Sedangkan Jabir Al Jufi yang mengaku
mendengar ucapan keji tersebut dari Imam Abi Jafar Muhammad Al Baqir, walaupun
dianggap berkredibilitas tinggi (dapat dipercaya) menurut mereka, akan tetapi
sebenarnya ia telah dikenal oleh imam kaum muslimin sebagai pendusta. Abu Yahya
Al Himmani berkata: Aku mendengar Abu Hanifah berkata: Aku tidak pernah melihat
dari orang-orang yang pernah aku temui seorang pun yang lebih utama dibanding
Atha, dan tidak seorang pun yang lebih pendusta dibanding Jabir Al Jufi.( Lihat
Al-Khuthuth al-Aridhah hal. 17-18 oleh Syaikh Muhibbuddin Al-Khathib ).
Di antara kedustaan lain yang mereka
bawakan di dalam buku ini adalah dongeng mereka tentang adanya Mushaf Fathimah
yang mereka koarkan dengan mengatasnamakan Al-Imam Jafar Ash-Shadiq, penulis
buku ini berkata di dalam hal. 205-206 : Al-Kulaini telah meriwayatkan dengan
sa nad bersambung kepada Husain ibn Abu Al-Alâ, yang di dalamnya dia berkata,
Aku mendengar Abu Abdillah (Imam Ash-Shadiq) berkata, “Ada padaku Al-Jafr
Al-Abyadh (putih) Dan Mushaf Fathimah. Aku tidak mengatakan bahwa di dalamnya
terdapat ayat Al-Quran. Akan tetapi, di dalamnya terdapat apa-apa yang umat manusia
butuh kepada kami dan kami tidak butuh kepada seorang pun .
Kemudian penulis membawakan lima riwayat
lain yang semakna dan menyetujuinya.
PENUTUP
Inilah di antara hal-hal yang bisa kami paparkan dari sebagian penjelasan
terhadap sebagian syubhat-syubhat buku ini, sebetulnya masih banyak hal-hal
lainnya belum kami bahas mengingat keterbatasan tempat .
Semoga sedikit yang kami paparkan di atas
bisa menjadi pelita bagi kita dari kesamaran syubhat-syubhat buku ini dan
semoga Alloh selalu menunjukkan kita ke jalanNya yang lurus dan dijauhkan dari
semua jalan-jalan kesesatan. Amin.
والله أعلم بالصواب
Resensi buku : Hitam di Balik Putih,
Bantahan terhadap Buku Putih Madzhab Syiah
Sikap kritis dalam bentuk karya tertulis
merupakan suatu tradisi dalam sejarah peradaban Islām, sebut saja misalnya Imam
al-Ghazālī (W. 1111), menulis Tahāfut al-Falāsifah (Ketidakkoherenan Para
Filosof) karena menolak pemikiran al-Fārābī dan Ibnu Sīnā. Selain Ghazali,
Fakhruddīn ar-Rāzī juga menulis banyak komentar kepada Ibnu Sīnā. Sebenarnya,
Fakhruddīn ar-Rāzī bukan sekadar mengomentari, tetapi lebih dalam lagi, beliau
juga mengkritik pemikiran Ibnu Sīnā. Maka dari dua penulisan tersebut, tradisi
kritis melalui buku memang telah berkembang mapan dalam sejarah peradaban
Islām. Ketika sebuah pemikiran yang lebih komprehensif dan mendalam berusaha
meluruskan kekeliruan dalam pemikiran lain yang disusun dalam misi tertentu.
Kita sepakat, pastinya perdebatan,
pertentangan, apalagi perbedaan bukan hanya dalam ranah Filsafat. Perdebatan,
pertentangan apalagi perbedaan pemikiran juga terjadi dalam akidah dan syariah.
Berbagai aliran mazhab telah menulis banyak sekali karya yang menunjukkan
keunggulan mazhabnya dan menunjukkan kekeliruan mazhab lainnya.
Syiah dan Sunni telah menjalani
pertentangan dalam waktu yang sangat panjang. Banyak sekali buku, baik dari
kalangan Sunni dan Syiah yang saling menghujat dan menunjukkan kekeliruan
masing-masing mazhab. Akan tetapi selain buku yang saling mengkritik,
upaya-upaya perdamaian juga dilakukan untuk mendekatkan Syiah dan Sunni, baik
pada tingkat nasional ataupun internasional. Upaya mendamaikan keduanya
dilakukan seperti oleh Majma’ Taqrīb bayn al-Madzāhib, sebuah institusi yang
berusaha mewujudkan pendekatan dan persaudaraan serta menghilangkan
perselisihan dan perpecahan antara Ahlus Sunnah dan Syiah. Namun, terkadang
upaya tersebut juga bukan terjadi tanpa kekeliruan. Sebabnya adalah hal-hal
yang jelas bertentangan disederhanakan menjadi persoalan yang tidak mendasar.
Selain itu, kesepakatan-kesepakatan mungkin terjadi di atas kertas dan di dalam
forum, namun di lapangan, kesepakatan-kesepakatan itu sama sekali tidak
dilaksanakan.
Belum lama ini, Dewan Pengurus Pusat
Ahlul Bait Indonesia telah menerbitkan Buku Putih Mazhab Syiah: Menurut
Para Ulamanya yang Muktabar, Sebuah Uraian untuk Kesepahaman demi Kerukunan
Umat Islām (2012). Buku yang diterbitkan dari kalangan Syiah ini bertujuan
untuk menjelaskan anggapan-anggapan yang keliru tentang Syiah. Seakan-akan Buku
Putih Mazhab Syiah ingin menunjukkan inilah Syiah yang sebenarnya.
Kekeliruan-kekeliruan pandangan tentang Syiah yang telah dilakukan, baik dari
kalangan Syiah sendiri apalagi dari kalangan Sunni mereka jelaskan duduk
perkaranya di sini. Dalam niatannya Buku Putih Mazhab Syiah seakan-akan
memberikan penjelasan atas berbagai kekeliruan pandangan terhadap Syiah.
Buku Putih Mazhab Syiah ini menggambarkan
posisi Syiah dalam berbagai aspek pemikiran. Di antara isi Buku Putih Mazhab
Syiah adalah menegaskan jika Syiah menerima al-Qur’ān dan al-Sunnah
al-Mu’tabarah, menegaskan prinsip al-Imāmah (kepemimpinan), menerima sebagian
para Sahabat, dan membenarkan nikah Mut’ah.
Buku Putih Mazhab Syiah menggambarkan
jika ada di antara penganut Syiah yang menolak al-Qur’ān, maka penganut Syiah
tersebut termasuk orang-orang yang menyimpang dari ajaran Islām. Mengenai para
Sahabat, Buku Putih Mazhab Syiah menunjukkan jika Syiah juga menerima para
Sahabat Nabi. Buku Putih Mazhab Syiah memuat 197 nama para Sahabat Nabi yang
diterima kalangan Syiah. Namun, di antara nama-nama tersebut, Abū Bakr Ṣiddīq,
‘Umar bin Khattāb, ‘Usmān bin ‘Affān, ‘Abdur Rahmān bin ‘Auf, Ṭalḥah bin
‘Ubaydillāh, Zubayr bin Awwām, Sa’d bin Abī Waqqās, Sa’īd bin Zayd, Abū
‘Ubaidah bin Jarrāh, sama sekali tidak disebutkan. Memang, kalangan Syiah
menolak Abū Bakr ra, ‘Umar ra, ‘Usmān ra, dan para Sahabat Nabi lainnya.
Padahal, mereka telah mengorbankan jiwa dan harta mereka untuk Islām. Konsep
Sahabat kalangan Syiah memang bertentangan dengan apa yang diyakini mayoritas
umat Islām di dunia.
Buku-buku Syiah banyak sekali yang
melaknat, menghujat, mencaci maki, mengumpat dan menghina Abū Bakr, ‘Umar ,
‘Utsmān dan para Sahabat Nabi lainnya. Abbas Rais Kirmani, dalam bukunya,
kecuali ‘Alī, menyebut Abū Bakr dan ‘Umar sebagai Iblis (Al-Huda, 2009, hal.
155-156). Emilia Renita AZ, istri Jalaluddin Rakhmat, dalam bukunya 40 Masalah
Syi’ah, menyebutkan “Syiah melaknat orang yang dilaknat Fatimah.” (Bandung:
IJABI, editor Jalaluddin Rakhmat, Cet ke 2. 2009, hal. 90). Jalaluddin Rakhmat
dalam bukunya Meraih Cinta Ilahi, menyebutkan dan yang dilaknat Fatimah adalah
Abū Bakr dan ‘Umar . (Depok: Pustaka IIman, 2008. Dalam catatan kaki, hal.
404-405, dengan mengutip riwayat kitab al-Imāmah wa al-Siyāsah).
Mengenai Imāmah, Buku Putih Mazhab Syiah
menegaskan jika Allāh telah menetapkan garis Imāmah sesudah Nabi Muḥammad Ṣaw
ada pada orang-orang suci dari dhurriyah-nya atau keturunannya, yang berjumlah
12 orang. Buku Putih Mazhab Syiah juga menegaskan jika Syiah meyakini bahwa
ucapan seorang imam maksum, perbuatan, dan persetujuannya, adalah ḥujjah
shar’iyyah, kebenaran agama, yang mesti dipatuhi. Konsep Imāmah kalangan Syiah
memang rancu dan keliru. Kalangan Sunni menolak kemaksuman 12 imam yang
disucikan oleh kalangan Syiah. Buku Putih Mazhab Syiah keliru tatkala membahas
isu-isu Ikhtilāf Ahl al-Sunnah dan Syiah, mereka tidak memasukkan pembahasan
mengenai Imāmah. Padahal, isu Imāmah ini merupakan persoalan utama antara Sunni
dan Syiah. Mungkin luput atau sengaja digeserkan fokusnya?
Bila ingin menguntainya satu per satu,
sangat banyak kekeliruan yang terdapat dalam Buku Putih Mazhab Syiah. Ustadz
Amin Muchtar, dalam buku Hitam dibalik Putih ini, menunjukkan secara spesifik
dan bertanggung jawab tentang berbagai kekeliruan Buku Putih Mazhab Syiah. Buku
bantahan terhadap Buku Putih ini, secara garis besar memuat tentang kerancuan
konsepsi metodologis hadis kaum Syi’ah, karakteristik kitab al-Kafi, dan sikap
penulis “Buku Putih”terhadap al-Kafi, Taqiyyah Atau Ilmiah?
Tentang kerancuan konsepsi metodologis
hadis kaum Syi’ah, penulis buku mengawalinya dengan uraian tentang konstruk
epistemologi hadis yang dibangun oleh Syi’ah, yaitu (1) persoalan asal
pengetahuan atau sumber, dalam hal ini siapa sumber utama yang bisa mengeluarkan
hadis; (2) apa hakekatnya, artinya bagaimana kedudukan hadis menurut Syi’ah;
dan (3) persoalan verifikasi, yaitu bagaimana mengukur validitas atau
otentisitas hadis, sehingga bisa dijadikan dasar hukum yang kuat.
Sebagai dua hal yang bertentangan, justru
“Buku Hitam”lah yang mengungkapkan kebenaran, sementara Buku Putih hanya
membuat pembenaran atas kekeliruan. Dalam uraian “Buku Hitam” ini, Ustadz Amin
Muchtar ingin mengajak pembaca agar mengetahui sumber hadis dalam keyakinan
Syi’ah, yang membedakannya dengan pandangan Ahlus Sunah. Selanjutnya, akan
diketahui pengaruh Imamiyah pada pembatasan imam yang ma’shum dengan
persyaratan periwayat harus dari kalangan Syi’ah Imamiyah. Jadi, hadis tidak
sampai pada tingkatan shahih jika para periwayatnya bukan dari Ja’fariyah Isna
‘Asyariyah dalam semua tingkatan. Selain itu agar diketahui pula perbedaan
kriteria yang ditetapkan oleh ulama Syi’ah baik antara periode mutaqaddimin
dengan mutaakhirin, maupun antara ulama Syi’ah mutaakhirin dengan mu’ashirin
(modern). Perbedaan ini berimplikasi terhadap kualitas hadis di kalangan
Syi’ah. Pembahasan ini diakhiri dengan pemaparan kriteria keshahihan hadis
versi al-Kulaini, penyusun kitab al-Kafi.
“Hitam di Balik Putih”, karya Amin Muchtar
buku yang menelanjangi kekeliruan “Buku Putih Mazhab Syiah” keluaran Ijabi.
Penulis memandang penting menyampaikan
berbagai aspek ini sebagai suatu fakta bahwa di kalangan ulama Syi’ah terdapat
problem metodologis. Selain itu, agar diketahui tolak ukur kelayakan metodologi
yang problematik ini digunakan sebagai standar validitas kitab al-Kafi yang
telah mapan.
Selanjutnya tentang karakteristik kitab
al-Kafi, penulis “Buku Hitam” ini menjelaskan siapa Imam Al-Kulaini, sebagai
penulis kitab al-Kafi, dan apa saja yang terkandung di dalam kitab al-Kafi itu.
Lagi-lagi penulis Buku Hitam memandang penting menyampaikan hal ini sebagai
suatu fakta bahwa di kalangan ulama Syi’ah terdapat perbedaan dalam menetapkan
beberapa aspek dalam kitab itu, baik aspek kitab (topik), bab, maupun hadis.
Selain itu, juga diuraikan tentang unsur epistemologi kitab al-Kafi, sesuai
kajian teoritis pada pembahasan sebelumnya, berkaitan dengan sumber hadis atau
asal pengetahuan, hakekat hadis, dan persoalan verifikasi hadis yang terkandung
di dalam kitab al-Kafi.
Dalam uraian ini, penulis “Buku Hitam”
hendak mengajak pembaca agar mengetahui bahwa unsur-unsur epistemologi itu pada
dasarnya telah terpenuhi di dalam kitab al-Kafi. Dari situ pembaca akan faham,
mengapa ulama Syi’ah sepakat menetapkan bahwa semua hadis dalam kandungan
al-Kafi derajatnya shahih. Selain itu, dapat diketahui pula kelemahan
argumentasi pihak Sy’iah “yang menolak” kehujahan hadis-hadis dalam al-Kafi.
Terakhir, tentang sikap penulis Buku
Putih terhadap al-Kafi. Pada bagian ini, penulis Buku Hitam di balik Putih
menampilkan beberapa pernyataan dari penulis Buku Putih Mazhab Syi’ah yang
menunjukkan sikap penolakan terhadap status hadis-hadis dalam kitab al-Kafi.
Sikap ini dikonfrontasikan oleh Ustadz Amin Muchtar dengan beberapa fakta dalam
kitab-kitab Syi’ah sendiri, yaitu pandangan para tokoh yang sama sekali tidak
disinggung dalam Buku Putih itu.
Pandangan para tokoh Syiah ini dipandang
penting oleh Ustadz Amin Muchtar untuk disampaikan dalam buku Hitam di balik
Putih—dengan tanpa bermaksud ikut campur urusan “rumah tangga”
Syi’ah—mengingat pentingnya transparansi arus data dan informasi untuk
penyadaran umat, khususnya umat Syi’ah di Indonesia, karena pandangan “Kubu”
ini sangat jarang diungkap oleh para tokoh Syi’ah di Indonesia. Untuk keperluan
itu, penulis buku Hitam di Balik Putih menggunakan metode
verifikasi (tahqiq) dan pengunjukan teks (takhrij an-nash) yang dikemukakan
penulis Buku Putih dalam rangka penguatan argumentasi ilmiah,
atau….taqiyyah-nya?
Selain itu, penulis “Buku Hitam” ini
berupaya menguji berbagai pernyataan dalam Buku Putih dengan mengunakan standar
ilmiah versi ulama Syi’ah mutaakhirin, untuk diketahui validitas argumentasi
dan konsistensi mereka.
Dalam pengungkapan fakta dan data,
penulis “Buku Hitam” berusaha semaksimal mungkin untuk menampilkan teks
asli setiap pendapat ulama Syi’ah yang dirujuk dan tidak lupa menyebutkan
sumber-sumber primer dan sekundernya, baik yang ditulis oleh “Kubu Akhbari”
maupun “Kubu Ushuli”, seperti diklaim oleh penulis Buku Putih.
Dengan demikian, upaya Ustadz Amin
Muchtar menunjukkan kekeliruan-kekeliruan yang terdapat dalam Buku Putih Mazhab
Syiah perlu dihargai. Karena ia melihat banyak inkoherensi, penyederhanaan
masalah, kekeliruan logika, kesalahan-kesalahan lainnya yang terdapat dalam
buku tersebut.
Namun, buku Hitam di balik Putih karya
ustadz Amin Muchtar ini belum mengungkap sepenuhnya kekeliruan yang terdapat
dalam Buku Putih Mazhab Syiah. Sangat bisa dimaklumi, karena ini adalah kritik
bagian pertama. Oleh sebab itu, kritik lanjutan dari Ustadz Amin Muchtar sangat
diperlukan, agar dapat memberikan gambaran bahwa Buku Putih Mazhab Syiah memang
mengandung kekeliruan-kekeliruan dan memperdalam kekeliruan tersebut dengan
penjelasan mereka.
Apad Ruslan
Penulis, Pembina Majelis Taklim (MT) Khumaira, tinggal di Bandung
Sumber :
http://www.suara-islam.com/read/index/12416/Membongkar-Kesalahan-Buku-Putih-Mazhab-Syiah
Kebetulan Buku Putih Mazhab Syiah akan
dikaji (diperdebatkan) dalam sebuah debat ilmiah antara seorang ulama muda NU
dan dua orang pakar Syiah beberapa hari lagi (26-01-2015) di IAIN Jember. Hati
saya pun tergelitik untuk memberi sedikit kesan saya tentang buku tersebut,
bukan untuk menggurui, hanya sebagai info bagi teman-teman yang barangkali
belum terlalu memahami perihal konten buku tersebut. Tentu saja, siapa pun
boleh berbeda pendapat.
Buku tersebut dibuat dengan tujuan
sebagai sarana pendekatan antara Sunni-Syiah yang sampai detik ini kerap
diwarnai konflik. Saya secara pribadi tentu saja menyambut hangat kehadiran
buku tersebut. Sebagai seorang akademisi, saya sangat mendukung niatan baik di
balik penyusunan buku tersebut. Sudah tak terhitung jumlahnya darah kaum muslim
yang mengalir akibat perseteruan abadi dua kubu ini. Sudah saatnya masing-masing
pihak saling berdamai dalam penuh kerukunan. Di lain pihak, sebagai seorang pengkaji
Ahlussunnah Wal Jamaah dan aliran-aliran ekstrem, saya juga gembira karena buku
tersebut, seperti halnya kebanyakan buku Syiah berbahasa Indonesia lainnya,
bukanlah buku yang terlalu sulit dipatahkan argumennya. Tetapi tidak etis
rasanya bila saya bahas dahulu kelemahan-kelemahan buku tersebut sekarang
tatkala bedah bukunya belum terjadi.
Jadi, saya hanya akan menulis tentang
sisi lain konten buku tersebut yang bagi saya sangat menarik untuk dikomentari.
Mungkin saja ini akan luput dari bahasan di bedah buku nanti. Apa itu? Tak lain
adalah kata pengantar yang ditulis oleh tokoh besar yang kajian tafsirnya di
televisi tiap bulan Ramadhan intens saya ikuti. Beliau adalah Prof. Dr. Quraish
Shihab. Ya, ulama pakar tafsir ini memang seringkali tampil mengejutkan dengan pembelaannya terhadap Syiah meskipun di pengantar buku
tersebut juga beliau menampik tuduhan bahwa beliau adalah Syiah. Di buku
tersebut beliau mengatakan: Buku Putih Mazhab Syiah merupakan upaya
memperkenalkan Syiah agar difahami dengan benar.
Dalam kata pengantarnya, Pak Quraish
menulis beberapa hal yang menurut saya aneh. Kata aneh ini dalam
peristilahan kitab berbahasa Arab biasa disebut gharib atau syad. Ungkapan ini
biasa dipakai bila ada pendapat seseorang yang dianggap ahli tapi beda
sendiri/menyalahi konsensus. Hemat saya, kata ini adalah versi halus dari kata ngawur,
seandainya yang berkata bukan dianggap ahli, biasanya redaksinya lebih kasar seperti fasid, bathil dan sebagainya.
Langsung saja, berikut ini beberapa keanehannya:
Pertama, yang paling aneh dari semua
keanehan, Pak Quraish menulis tentang dialog yang terjadi antara Imam Abu
Hanifah dan Imam Syafii. Dialognya begini: Pernah terjadi dialog ulama dari
berbagai mazhab. Imam Abu Hanifah berkata, Yang tidak shalat, kafir. Lalu Imam Syafi i berkata, Tidak, dia tidak
kafi r,
lalu bertanya, Bagaimana caranya orang yang tidak shalat yang Anda katakan sebagai kafi r
tersebut agar dapat masuk Islam kembali? Jawab Imam Abu Hanifah, Dia ucapkan dua
kalimat syahadat. Lalu, Imam Syafii menyanggahnya dengan
mengatakan bahwa dia tidak pernah meninggalkan dua kalimat syahadat. Sehingga menjadi aneh kalau mengucapkan
dua kalimat syahadat harus menjadi syarat agar dirinya dapat kembali menjadi
Islam. Jadi, dia tidak kafi r, dia adalah Muslim yang berdosa, lanjut Imam Syafii. Apa keanehannya?
Imam Abu Hanifah meninggal
dunia tahun 150 H, tepat setelah meninggalnya beliau, lahirlah Imam Syafii.
Aneh bukan bila bayi yang baru lahir berdialog dengan orang yang sudah
meninggal sebelum ia lahir. Saya jadi teringat salah satu professor saya dulu
yang berkata: Enak jadi professor; kalau benar dimaklumi karena sudah
professor, tapi kalau salah juga dimaklumi karena sudah professor, maklum sudah
tua. Tanpa mengurangi hormat saya pada Pak
Quraish, dalam dunia ilmu hadis beliau bisa disebut sudah taghayyara yang menyebabkan hadis yang diriwayatkan tidak
lagi kredibel seperti sebelumnya. Anehnya lagi, kenapa editor buku dan tim dari
ABI tidak mengingatkan beliau akan hal sefatal ini? Sekedar bercanda, mungkin
saja mereka semua sudah taghayyara.
Kedua, ketika Pak Quraish membantah bahwa
dirinya Syiah, salah satu argumennya adalah: Syaikh Abdul Halim Mahmud, guru
saya, dan saya akrab dengan beliau, berkata: Jangan beranggapan bahwa seorang
yang berpendapat bahwa Sayyidina Ali ibn Abu Thalib lebih utama daripada Sayyidina
Abu Bakar atau Utsman itu Syiah. Karena, seperti ditulis Syaikh Abdul Halim
Mahmud, sejarah menunjukkan ada kelompok Mutazilah Bashrah yang bahkan memusuhi
Syiah, tetapi menganggap Sayyidina Ali lebih afdhal daripada Sayyidina Abu
Bakar, Umar, dan Utsman. Yang beliau katakan itu memang benar, tidak
semua yang menganggap Sayyidina Ali lebih utama dari ketiga tokoh itu adalah
Syiah, tak perlu jauh-jauh pada kelompok Mutazilah Bashrah, di antara sahabat
Nabi pun ada beberapa tokoh yang berpendapat seperti itu seperti halnya sudah
maklum dari kitab-kitab tarikh. Yah, namanya saja ajang politik, wajar bila ada
yang pro ini dan pro itu. Namun keanehannya adalah beliau menulis ini di buku
yang nyata-nyata membela syiah dan menyebut bahwa pihak Sunni kerap kali
berbohong tentang hakikat Syiah.
Sepertinya beliau lupa bahwa dalam
sejarah, istilah Syiah pada saat munculnya pertama kali sudah tidak sama dengan
istilah Syiah yang ada sekarang. Kalau dulu pertama kali yang dimaksud hanyalah
Syiatu Ali atau pengikut Ali (dalam hal politik), tapi sekarang sudah jelas
beda. Sayangnya pak Quraish menyampaikan itu di buku orang Syiah yang sekarang,
bukan yang dulu itu. Tentu ini menimbulkan bias pemahaman.
Masalah bertambah rumit tatkala di buku
tersebut Syiah menyebut 197 nama sahabat yang mereka akui periwayatannya dan
ternyata nama ketiga sahabat utama (Abu Bakar, Umar dan Utsman) tidak masuk di
antaranya dan kita semua sudah tahu alasannya bukan hanya karena menganggap Ali lebih utama dari mereka
bertiga seperti yang disinyalir dari perkataan Pak Quraish. Sekedar info,
Syiah, sebagaimana di buku tersebut dan banyak yang lain, membagi sahabat
menjadi dua, ada yang baik dan yang munafik. Buku tersebut sudah menyebut 197
nama sahabat yang diakui baik, lalu kira-kira ketiga khalifah yang tidak
disebut itu masuk dalam kategori mana? Sudah bisa ditebak.
Ketiga, dalam upayanya merajut
kesepahaman, beliau berkata: Hal terpenting dalam upaya menuju kesepahaman ini
adalah kebersatuan dalam akidah. Ini pun rumusannya tidak harus seragam atau
sama persis. Yang terpenting adalah kesamaan kandungan dan substansinya. Syaikh
Muhammad Abduh berkata bahwa Rukun Iman itu yang terpenting ada dua, yakni
percaya kepada Allah dan Hari Kemudian. Perinciannya, menurut beliau, bahwa
uraian tentang Hari Kemudian tak dapat diterima oleh akal kecuali melalui
utusan Allah (Rasul), sehingga kita pun perlu beriman kepada Rasul. Rasul tak
mungkin mengungkapkan itu melalui nalar nya sendiri, melainkan menerimanya dari
malaikat. Maka iman kepada malaikat adalah hal yang sangat penting. Jadilah
rumusan Rukun Iman berkembang dari situ. Keanehannya, bila betul substansi kesepahaman
akidah sesederhana itu, maka tentu hampir tidak ada golongan yang bisa dianggap
sesat karena semua sekte yang ada sekarang mengakui itu. Tetapi kenyataannya di
buku tersebut juga Pak Quraish mengatakan: Kita tidak bisa memungkiri bahwa ada
Syiah yang sesat. Memang ada sempalan Syiah yang menuhankan Ali
atau yang mengatakan bahwa Ali lebih utama dari Nabi Muhammad saw tapi itu
sudah musnah dan tidak ada yang membahas itu lagi sekarang.
Selain simplifikasi yang berlebihan,
keanehan lain dari statemen di atas adalah Pak Quraish seolah melupakan siapa
pihak yang menganggap persoalan imamah menjadi masalah Akidah yang tidak boleh
diselisihi. Kalau hanya soal beriman pada Allah, hari akhir, Malaikat, Rasul dan
kitab, tidak ada masalah dengan itu semua. Masalah utamanya adalah Syiah
meyakini bahwa kepemimpinan Ali (dan keturunannya) merupakan wasiat dari Allah
dan Rasul sehingga mengangkat orang lain berarti berkhianat pada Allah dan
Rasul-Nya. Beda dengan Sunni yang menganggap imamah hanya soal kegiatan politik
semata. Selama Syiah masih berpikir ekstrem seperti ini, kesepahaman apa yang
mungkin terjalin? Dan siapakah yang selayaknya dinasihati untuk legowo mau
menerima pihak lain yang berbeda?
Keempat, masalah penafsiran al-Quran dan
hadis. Sudah maklum juga bahwa penafsiran itu berbeda-beda. Seperti halnya
disebutkan di buku tersebut, kalangan Sunni pun punya banyak versi penafsiran
tentang berbagai hal mulai tentang akidah, fikih dan tasawuf. Perbedaan-perbedaan
penafsiran inilah yang menurut Pak Quraish menjadi sebab ketidaksepahaman.
Beliau berkata: Perbedaan terjadi tatkala sudah memasuki wilayah penafsiran. Itu benar sekali, tetapi dalam kasus
Sunni-Syiah, penafsiran siapakah yang selayaknya diperbaiki untuk menuju
kesepahaman? Penafsiran Sunni yang memuliakan para Sahabat seluruhnya atau
Syiah yang seringkali melewati batas dalam mengkritik sahabat tertentu yang
dianggap mulia oleh Sunni? Penafsiran Sunni yang seluruhnya sepakat bahwa al-Quran
terjaga dari tahrif atau penafsiran Syiah yang sampai detik ini tak seluruhnya
sepakat apakah al-Quran yang ada sekarang betul-betul asli atau sudah dipalsu?
Penafsiran Sunni yang memuliakan seluruh seluruh keluarga Nabi termasuk para
istri beliau dan seluruh Bani Hasyim dan Bani Mutholib (yang berarti termasuk
seluruh imam Syiah) atau penafsiran Syiah yang hanya getol memuliakan Ashabul
Kisa saja (Ali, Siti Fatimah, Hasan dan Husain) dan terkesan menyepelekan yang
lain (untuk tidak mengatakan kadang menghina)?
Itulah di antara pernyataan Pak Quraish
yang menurut saya layak dikritisi. Namun harus diakui pula bahwa banyak poin
yang benar dalam pengantar beliau dalam buku tersebut yang patut diapresiasi
seperti bahwa Syiah itu banyak macamnya sehingga tidak ilmiah bila pernyataan
satu golongan digeneralisir pada semuanya, bahwa Syiah sekarang sudah berbeda
dengan Syiah yang dahulu (setidaknya sampai derajat tertentu), bahwa yang harus
dirujuk adalah ulamanya bukan kaum awamnya dan bahwa ketegangan Sunni-Syiah
harus diakhiri.
Perbedaan mendasar antara saya dan Pak
Quraish sepertinya ada pada tahapan praktis ketika hendak merukunkan
Sunni-Syiah. Dari uraiannya, Pak Quraish sepertinya lebih menyalahkan Sunni atas konflik dan ketaksepahaman yang ada
sedangkan saya justru sebaliknya. Bila saja Pak Quraish membaca tulisan ini,
mungkin beliau akan menyebut saya termasuk dari orang yang diistilahkannya
sebagai terlambat lahir. Tapi biarlah, al-haqqu ahaqqu ˜an yuttaba.
Wallahu Alam. Bila ada yang benar, itu
dari Allah dan bila ada yang salah, itu murni dari Saya.
======
*Catatan: Untuk penganut Syiah yang
barangkali membaca ini, harap diperhatikan bahwa Saya (penulis) bukanlah
penganut Wahabiyah. Seringkali bila ada yang mengkritik Syiah, maka langsung
dituduh sebagai Wahabi sebagaimana para pengkritik Wahabi sering dituduh
sebagai Syiah.
22 Januari 2015 pukul 16.22 ·
Publik
Grand Syaikh Al-Azhar (Bidang Hadith Dan Tafsir)
: Menghina Sahabat Nabi Bukan Islam. Ulama Al-Azhar Menolak Syiah. Dewan Ulama
Senior Saudi (Imam Masjid Al-Haram ) : Yang Menghina Istri Dan Sahabat Nabi (Ulama
Madzhab Syi'ah) Kafir. Syiah (rafidhah) Kafir Tanpa Keraguan.
Bongkar Kepalsuan Buku Putih Mazhab Syiah
Buku "Syiah Menurut Syiah" Membongkar
Semua Kesesatan Syiah Di Indonesia
Bahasan lengkap terkait “Kesesatan Syi’ah”
Musa Kazhim Al Habsyi (Militan Syi’ah,
Pendengki Arab Saudi) : Syiah Dan Ilmu Hadis ? Bantahan Ilmiyah Dan
Comprehensive.
Bantahan tambahan terhadap
Quraish Shihab (syi'i) dan Ulil Abshar Abdalla (sepilis) yang membolehkan
ucapan selamat natal
Koreksi Pandangan Prof. Dr.
M. Quraish Shihab dalam bukunya Membumikan Al-Quran
Kritik Atas Tafsir Al-Mishba
[bagian 1]
Kritik Ilmiyyah Atas
Pemikiran Dr. Quraish Shihab (Bagian Pertama)
Kritik Ilmiyyah Terhadap
Pemikiran Dr. Muh. Quraish Shihab (Bagian 2)
Membongkar hubungan Quraish
Shihab dengan Syi'ah dan Penyimpangannya mengenai tafsir Jilbab.
Membongkar Pemikiran
Menyimpang Ulama Metro TV Quraish Shihab
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam Telah Dijamin Surga
Grand Syaikh Al-Azhar (Bidang Hadith Dan Tafsir)
: Menghina Sahabat Nabi Bukan Islam. Ulama Al-Azhar Menolak Syiah. Dewan Ulama
Senior Saudi (Imam Masjid Al-Haram ) : Yang Menghina Istri Dan Sahabat Nabi (Ulama
Madzhab Syi'ah) Kafir. Syiah (rafidhah) Kafir Tanpa Keraguan.
Biografi Syaikh Ali Musthafa Thantawi
Rahimahullah
(أديب الفقهاء و فقيه الأدباء )
Quraish Shihab, Syi’ah, dan
Jilbab
Quraish Shihab, Tokoh Tafsir
yang Akrab Dengan Kontroversi
QURAISY SYIHAB [bagian 2]
Membolehkan "Selamat Natalan" dan Jilbab Tidak Wajib (bag 1) ?
Sahabat Melakukan Bid’ah Pada Masa Rasulullah
??
Sanggahan untuk :
(4). Bid’ah Menurut M. Quraish
Shihab
Sebut Nabi Muhammad tak
dijamin surga, Quraish Shihab keliru tafsirkan dalil
Sederet Kekeliruan Quraish
Shihab dan Kurangnya Amanah Ilmiah
Siapa Bilang Perdebatan
Sunni-Syiah Sudah Usang
Taqrib Sunni – Syiah Gagasan
Usang Yang Diulang. Pengakuan Syeikh Al-Qaradhawi: ‘Iran Menipu Saya’
[Peristiwa Lama Melawan Lupa]
Prof. Dr. Quraish shihab, Umar Shihab, Azyumardi Azra, Amien Rais, dan Din
Syamsuddin menyatakan mazhab syi’ah tidak sesat
Siapa Penggagas Agama Syiah?
Tafsir Husein Tabatabai [Syi’ah]
Tanggapan Terhadap M. Quraish
Shihab Tentang Masalah Riba
Apa Kata Ulama Tentang SYIAH? Meraka
Mengatakan, SYIAH BUKAN ISLAM..
Jika Engkau Berkata Syiah Tidak Sesat, Maka…
Nasihat Syaikh Muhammad Bin Shalih Al-'Utsaimin
Dan Syaikh Ali Hasan Al Halabi Bagi Pelaku Bid'ah. Hakikat Bid’ah Oleh
As-Sayyid Muhammad Bin Alawi Al Maliki, Habib Umar Bin Hafidz, Mufti Mesir DR.
Ali Jum'ah, DR. M. Quraish Shihab, Buya Yahya, Ust. Abdul Somad LC , Ust. Adi
Hidayat, Habib Novel, Habib Rizieq Sihab Dan Abdullah Hadromi.
Takfiri Syiah ( ABI ) Jadi Bunglon Di Kantor
Deputi VI Kemenko Polhukam, Dengan Memutar Balikan Dan Menyembunyikan Kejahatan
Takfirinya Terhadap Al-Qur'an, Istri Dan Sahabat Nabi Serta Ahlus Sunnah !
Untuk Quraish Shihab, Umar
Shihab, Alwi Shihab, Umar Shihab (Ketua Majelis Syuro IJABI), .....para
Syi’aher militan……kamuflaser syi'aher.......para peternak “kambing hitam
jahiliyah” wahabi dan pengadu domba NU-Wahhabi ??!! [gemar menuding
wahhabi/penghina (sifat) Allah, al-Wahhab]….…..dan taqiyaher sejenis!!!!
Musa Kazhim Al Habsyi (Militan Syi’ah,
Pendengki Arab Saudi), Kar-Bala (Haram Al-Husein) : AL-HUSEIN tak pernah MATI!
Tak mungkin MATI! A-SYU-RA dan AR-BA-‘IN adalah setiap hari ! Labbayka YA
HUSEIN ??!! Pembunuh Keji Husein Bin Ali RA Dan Ali Bin Abu Thalib RA Adalah
Syi’ah Kufah (Keturunan Majusi-Persia, Tempat Keberadaan Abdullah Bin Saba’)
Mengapa Ulama Syiah Sangat Perhatian dengan Taqiyah?
Ustadz Farid: " Syiah
Ini Agama Karangan, Jelas Berbeda Dengan Islam, Asyura Adalah Pendahuluan Untuk
Revolusi Syiah”. Lakukan Penyimpangan Terhadap Agama, Syiah Melanggar Hukum Dan
Berantas Kesesatan Syiah Lebih Efektif Dengan Kekuasaan
Ustadz Farid Okbah: Semua
Syiah di Indonesia Rafidhah dan Menyesatkan
Kalau Syiah Sesat, Mengapa Boleh Masuk Tanah
Suci?
Al
Qur’an Syi’ah = Al Qur’an Umat Islam ?! Apa Kata “Ulama Syi’ah” ?
Syi’ah
Meyakini Kesucian Al-Qur’an Al Karim Yang Ada Saat Ini ?
Ulama
Syiah Meyakini Adanya Tahrif (Perubahan) Al Qur’an, Bukan Kitab Petunjuk Dan
Kuasa Allah Tidak Berlaku Sekarang !
Bualan
Syi’ah Terkait Klaim Risalah Amman, Pengakuan Al-Azhar, Fiqh Ja’fari Dan Bagian
Dari Islam.
Agama
Syi’ah Mulai Terbentuk (Terorganisir) Pada Akhir Abad 3 H, Dengan Baru Memiliki
Kitab Rujukan Tersendiri (Aqidah-Fiqih- Cara Ibadah-Dll), Yang Dibuat 200 Tahun
Setelah Ja’far Shadiq Wafat. Sebelumnya Mereka Masih Sama Dengan Umat Islam
(Ahlus Sunnah).
Laknat
Allah Kepada Orang Yang Menyembunyikan Kebenaran Dan Tidak Ada Ke Imanan Bagi
Orang Yang Membiarkan Kebid’ahan.
Pemimpin
Tertinggi Iran Ali Khamenei Percaya Sholat Sunni Ditolak Allah
Keluarga
Nabi Dalam Pandangan Al-Qur’an Dan As Sunnah.
[akan tidak wajibnya jilbab, bukanlah produk beliau
pribadi, akan tetapi pada hakekatnya hanyalah bentuk mengekor kepada salah
seorang da'i liberal dari Mesir yang bernama Muhammad Sa'id Al-'Asymawi yang
telah menulis sebuah kitab yang berjudul "Haqiqot Al-Hijaab wa Hujjiyatul
Hadits". Buku inilah yang menjadi pegangan dan menjadi bahan penukilan
oleh Bpk Quraish Shihab dalam menelurkan fatwanya akan tidak wajibnya jibab !!!]
[rujukannya bukan Al-Quran dan Hadits tapi orang yang
lahir di abad 19-20 ]
[Tayangan Tafsir Al-Misbah yang dibawakan Quraish Shihab
di Metro TV pada Sabtu (12/7), ramai diperbincangkan di media sosial. Hal
tersebut setelah mantan menteri agama terakhir era orde baru itu menyebut bahwa
Nabi Muhammad tidak mendapat jaminan di surga.Sungguh berani lontaran ucapan
ini, saya rasa tidak seorang Islampun di bumi ini -apalagi muslim
berpendidikan- yang berani menyatakan "Nabi Muhammad tidak dijamin masuk
surga". Sungguh ini adalah pernyataan yang menyakiti hati-hati kaum
muslimin]
[Setelah mengagetkan kaum muslimin Indonesia dengan fatwa
sesatnya yang intinya "Boleh tidak berjilbab", ternyata Prof. DR.
Quraiys Syihab –semoga Allah memberi hidayah kepadanya- juga mengagetkan rakyat
muslim Indonesia dengan fatwanya "Boleh mengucapkan selamat hari
natal"]
Jika
Merujuk Pada Fatwa Super Grand Syaikh Al-Imam Malik Rahimahumallah Dan Al-Imam
Al-Bukhari Rahimahumallah, Maka Prof.DR. (Aqidah Dan Filsafat) Ahmad Thayyib
Kafir ?(berikut artikel terkait syiah lainnya)
Habib
Zein Alkaf : Syi’ah Bukan Saudara, Tapi Musuhnya Ahlu Sunnah. Terkuak, Syaikh
Al-Azhar Ke Indonesia Bersama Mufti Syi’ah Lebanon. MUI Sesalkan Pernyataan
Muhammad Ath Thayyib Dan Tetap Akan Mengeluarkan Fatwa Tentang Kesesatan Syi'ah
Kehadiran
Grand Syeikh Al Azhar At Thayyeb Di Indonesia Memperkuat Propaganda Sesat
Syiah. Empat Imam Mazhab Dan beberapa Ulama Islam Terkemuka Menyatakan Syiah
Bukan Islam. Syi’ah Saudara Muslim ? Jangankan Taqrib, Tasamuh Saja Mustahil !
Apakah Dia Pernah Baca Kitab-Kitab Rujukan Syiah ? Ulama Saudi (Juga
Penguasanya, Membela Umat Islam, Tidak Berlumuran Darah) Gemanya Lebih Didengar
Di Seluruh Dunia Islam.
Menimbang
Syi’ah Ajaran Syi’ah, Rukun Iman: Hari Akhir
Apakah
Point ke (2) Risalah Amman "Iman Kepada Qadha’ dan Qadar" Sesuai
Dengan Keyakinan Syi'ah Rafidhi ?
Ucapan
Dungu (Ahmaq) dan Bodoh (Jaahil) tokoh umat Islam dan tokoh masyarakat yang
empati dan simpati dengan syiah.
Cuplikan
Aqidah Busuk Syiah : Pantas Syiah Menghina Para Sahabat, Allah Saja Dihina
Mengapa
Syiah Begitu Akrab Dengan Non Muslim (Alwi Shihab Mendukung Pemimpin dari Non
Muslim) ?
Terbukti
Syi’ah Lahir Dari Rahim Yahudi.
Fatwa
Al-Imam Al-Albani Rahimahullah Tentang Pengkafiran Khumaini (Rujukan Taqlid
Agung Pemerintah Iran)
Arab Saudi Melarang Sufi (Tasawuf) : Tarekat
Tijaniah, Qadiriyah Dan Naqsyabandiyah, Makanya Tidak Ada Aliran Sesat.
Indonesia Perlu Lembaga Semacam Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiyah Wal
Ifta.
Ahlul Bait Ahlus Sunnah Beda dengan Ahlul Bait
Syiah
Ahlul-Bait Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam
Apakah Syiah Dikategorikan Sebagai Orang Kafir
Abu Lahab, Paman Nabi, Putranya Abdul Muthalib
(Saudaranya Abdullah Ayah Rasulullah), Masuk Neraka ! Nasab Tidak Tidak
Menolongnya.
Alwi Shihab ar Rafidhi : Iran dan Indonesia
Siapkan “Islam yang Benar dan Moderat ” ? !
AWAS!! Risalah Amman - Seruan Sesat Penyatuan
Semua Madzhab Sahihah & Sesat
Bagi Syiah; Abu Hanifah Adalah Nashibi, Kafir
Dan Halal Darahnya.Kriteria Nashibi (Nawashib) Dan Sikap Syiah Terhadapnya
Habib Salim Al-Muhdor: Mazhab Ahlul Bait Itu
Bohong!
Habib Ahmad Zein Al Kaff : Kalau wahabi kitab
rujukannya sama, rukun Iman, rukun Islamnya juga sama, sedangkan Syiah berbeda,
kita hanya berbeda dalam masalah furu’iyah (cabang) dengan Wahabi/salafi
Habib Zein Alkaf : Syi’ah Bukan Saudara, Tapi
Musuhnya Ahlu Sunnah. Terkuak, Syaikh Al-Azhar Ke Indonesia Bersama Mufti
Syi’ah Lebanon. MUI Sesalkan Pernyataan Muhammad Ath Thayyib Dan Tetap Akan
Mengeluarkan Fatwa Tentang Kesesatan Syi'ah
Islam (Ahlus Sunnah Wal Jama'ah) VS Syiah !! ,
BUKAN Syiah VS Wahhabi !
“Islam Moderat” Dan Misi Barat
Imam Besar Al-Azhar Serukan Eropa Dukung
Lembaga Islam Moderat. Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi: Islam Moderat Isinya Ya
Liberalisasi , sesat
Kaum Munafik Dan Perang Pemikiran
Kejinya Syi’ah (Majusi), Menuduh Asya’irah
('Asyariyah) Kafir, Musyrik, Majusinya Umat Ini, Lebih Hina Dan Rendah Dalam
Memaknai Sifat Dan Asma Allah SWT.
Kesepakatan Umat (Ulama) Kitab Shahih
Al-Bukhari Dan Muslim, Kitab Yang Paling Shahih Setelah Al-Qur’an,Kecuali
Golongan Syi’ah/Taqiyaher/Kamuflaser Yang Tidak Mengakui Keberadaan Keduanya.
Kedudukan Shahih Bukhari Muslim [bagian I]
Ketika Banyak Ulama Yang Membingungkan,Carilah
Ilmu Syar'i Di Madinah
Kenapa menghadapi Syiah lebih sulit, inilah
masalahnya
Kejahatan Takfirinya Terhadap Al-Qur'an, Istri
Dan Sahabat Nabi Serta Ahlus Sunnah !
Konferensi “Bagaimana Cara Mengalahkan Islam?”
Rencana Mereka, Kyai-Kyai Kelompok Mayoritas Mengubah Tafsir Al-Qur`An Dan
Hadits-Hadits, Dengan Target Menghentikan Otoritas Ulama.
Larangan Menafsirkan Al-Qur’an Dengan Pendapat
Sendiri. Kaedah Penting Dalam Memahami Al Qur’an Dan Hadits.
Mantan Presiden Iran, Hashemi Rafsanjani,
Mengakui Syi’ah Takfiri Tulen, Penyebab Lahirnya Al-Qaida/ISIS. Respons Ulama
Sunni Terhadap Pengkafiran Sahabat Rasulullah SAW
Masih Ada Yang Bilang Syiah Tidak Sesat, Ngaji
Dimana? Hindari Penyebutan Islam Sunni Dan Islam Syiah. Jangan Duduk-Duduk
Dengan Syiah,Syiah Indonesia Menganggap Abu Bakar, Umar, Dan Utsman Bukan
Pemimpin Yang Sah !
Masukan Untuk Menteri Agama Lukman Hakim
Saifuddin Terkait Risalah Amman
Pendapat ulama rujukan NU sama dg wahabi
Prof. Dr. Ali Musthofa Ya’kub: Jangan Mau Jadi
Jangkrik!
[Untuk Orang NU yang Mau Diadu Domba Dengan
Wahhabi]
Prof Dr KH Ali Mustofa Ya’qub : Target Syiah di
Tahun 2030, NU Bakal Hancur
Persatuan, Dengan Syarat Tak Mengusik
(Mengkritik) 'Aqidah Dan Amalan Mereka ? Tidak Akan Terwujud Diatas Perbedaan
Manhaj Dan Akidah (Manhaj Bunglon, Mutalawwin)
Persatuan yang dipertuhankan , Apa Sih Definisi
Persatuan Yang BENAR?
Syi’ah Lebih Bahaya Dari Dajjal, Penyesat Umat,
Berlawanan Dengan Aqidah Ahlul Bait. Di Indonesia Mereka Berani Menghujat Semua
Sahabat, Istri Nabi Dan Imam-Imam Ahlus Sunnah (ucapan habaib)
Standar Kebenaran Bukan Pada Amalan Semata
Standarisasi Kebenaran Dalam Islam
Syiah – Grup Takfiri Terbesar Dunia. Kejahatan
Syi'ah Khomeini Dan Iran
Sebelum Ada “ Tuduhan Wahabi (Salafi) “ , Sejak
Abad 14 H Kejahatan Takfiri Syiah Mendominasi Sejarah Islam ! Hegemoni Syi’ah
Sejak Hasan Al ‘Askari (Imam Ke-11).
syi'ah termasuk dalam klasifikasi /golongan
Kafir Harbi
Syi'ah di Indonesia Sering Lakukan Kebohongan
Publik
SYIAH jauh Lebih Berbahaya Dari ISIS [ Untuk
Pendusta Yang Kebiasaan bersumpah " Demi Allah " ]
Siapa yang menyatakan beda antara Ahlus Sunnah
dan Syiah termasuk masalah furu' dan Tidak Semua Syi’ah Sesat, maka Dia… Syi’ah
!
Syiah adalah bagian dari madzhab dalam islam?
Yang bener saja, ini lho fatwa-fatwa agama syiah, bagi yang belum pernah
membacanya..
Soal Mengkafirkan Syiah
syi'ah termasuk dalam klasifikasi /golongan
Kafir Harbi
Saudi Arabia Memimpin Umat Islam Memerangi
Syi’ah. Wajib Atas Setiap Muslim Di Seluruh Belahan Dunia Untuk Bekerjasama
Dengan Pemerintah Arab Saudi. Syukur Dan Dukungan Terhadap Kerajaan Islam Saudi
Arabia.
Syi’ah, Jika Menerapkan Ilmu Al Jarh Wat Ta`Dil
Sebagaimana Ahlus Sunnah, Maka Tidak Tersisa Sedikitpun Dari Hadits Mereka
(Sampah). Mereka Banyak Berdusta Atas Ja`far Ash Shadiq, Menasabkan Dari
Riwayat-Riwayat Yang Dibuat-Buat, Menukil Tanpa Sanad Atau Sanad Maudhu`
(Dipalsukan) Atau Dhaif Atau Maqthu` (Terputus), Agama Masyayikh.
Sebagian Besar Isi Deklarasi Pemimpin Munafiqun
Moderat Semata-Mata Kedengkian Kepada Saudi Dan Salafi /Ahlus Sunnah (Terutama
Point 8,9,10,11). Imam Masjidil Haram: Tidak Ada Islam Moderat Atau Islam
Ekstrem, Munculnya Klasifikasi Karena Kepentingan Kelompok Tertentu Yang
Membenci Islam Sebagai Agama Yang Benar (Manhaj Yang Satu) Dan Tetap (Al-Haq) !
Tokoh Penyesat Umat
Takfiri Syiah (ABI) Jadi Bunglon Di Kantor
Deputi VI Kemenko Polhukam, Dengan Memutar Balikan Dan Menyembunyikan Kejahatan
Takfirinya Terhadap Al-Qur'an, Istri Dan Sahabat Nabi Serta Ahlus Sunnah !
“Titik Temu NU - Wahhabi “ , Bahasan “ Isu-isu
Pokok” Secara Ilmiyyah Tanpa Hujatan, Untuk Mendamaikan Sesama Ahlus Sunnah [Bagian
I]
Titik Temu Wahabi-NU
Tanggapan Majlis Islam Suriah Atas Kebusukan
Mulut Ali Khamenei Laknatullah 'Alaihi. Menunjukan Iran Dan Gerombolan Qum
Kelompok Takfiri Tulen.
Tidak Peduli Desakan Internasional,
Malaysia/Brunei Berani Melarang Syiah, Singapura Perlakukan Syi'ah Dan
Ahmadiyah Bukan Bagian Dari Islam. Indonesia Kapan/Takut ??!
Titik Temu Wahabi-NU
Tolok Ukur Kebenaran Adalah Secara Syar'i
Ukhuwah Salafi “Wahabi” – “Aswaja NU” Membuat
Syi’ah Laknatullah Meradang ! Enak Dibaca Dan Perlu
Untuk Para Provokator/Hasader/Herder Syi’ah dan
Ulama2 “SU’/Namimah” yang ingin membenturkan NU dengan Salafi “Wahhabi”,
perhatikan tulisan dibawah ini !!
Ustadz Firanda:ISIS Memang Berbahaya, Tapi
Syiah Jauh Lebih Berbahaya
Waspada, Politik Adu Domba Sesama Ahlussunnah
Meningkat, Sedangkan Syiah Bersiap-Siap!
Yunahar Ilyas: Jangan Menganggap Enteng Masalah
Syiah, Kalau Tidak Mau Menyesal
Yang Bilang Rafidhah Adalah Muslimin, Saudara
Kita, Tidak Mengharuskan Pengkafiran Terhadap Mereka Adalah Orang Jaahil
Murakkab!! Rafidhah Dan Syi’ah Lebih Berbahaya Dari Yahudi Dan Nashara
Yahudi Dan Syiah (Dr. Ihsan Ilahi Dhahir)