Untuk pendengki Ibnu Taimiyah silahkan baca responses terhadap tulisan “Fitnah Tajsim”. Mungkin yang ada dibenak anda terwakili didalamnya.
71 Responses to “Fitnah Tajsim”
Ibad_twSeptember
21, 2010 at 4:09 pm #
Alhamdulillah ustad, saya belum pernah membaca bantahan terhadap
tuduhan mujassimah kepada ahlussunnah secara umum dan syaikhul islam secara
khusus yang seringkas, sejelas, dan segamblang paparan antum….
Insya Allah bermanfaat untuk saya dan kaum muslimin…
السلام عليكم…شكر الله على هذا الجهد المبارك للدفاع عن أئمة السنة وأعلامهم, أسأل الله تعالى أن أن يثبتك وأيانا جميعا على سواء الصراط,,شكرا لك يا صاحب الموقع
JerussalemSeptember
23, 2010 at 1:14 pm #
alhamdulillah sekarang bisa lebih faham, dan hatiku setuju
dengan hal ini :)
kata pak ustad :Tulisan dan nukilan Ibnu taimiyah juga menjadi
bukti bahwa beliau bukanlah seorang mujassimah, Justeru ketika Asyairah
membatasi bahwa jism itu adalah satu hal, ternyata ibnu taimiyah telah merinci
dan menyikapi lafadz jism dari berbagai isu yang beredar tentang jism menurut
berbagai firqah dan mengambil solusi yang wasath.
Kalau demikian menurut pak Ustad, bahwa Ibnu taymiyah bukanlah
mujasimmah, maka ulama asyariyah bukan membatasi jisim tetapi menjelaskan apa
itu jisim agar umat islam tidak terjebak kepemahaman mujjasimah, dan menurut
saya itulah yang terbaik sehingga umat menjadi jelas dan mantap akidahnya
menolak tajsim.
dobdobMay 6,
2011 at 9:03 am #
terbalik, saya tidak tahu darimana anda menemukan logika seperti
itu dari tulisan saya, Asyáriyah jelas membatasi jism, Ibnu Taimiyahlah yang
memberikan penjelasan tentang Jism lalu memilih jalan yang wasath. pembatasan
makna Jism itulah yang membuat Asyariyah memutlakkan pengkafiran dan tuduhan
Mujassimah kepada Ibnu Taimiyah dan orang-orang yang menyikapi isu Jism dengan
flexible dan utuh. Pembatasn jism itu membuat mereka tidak mengenal itsbat dan
tafwidh kaifiyah, mereka akan mengatakan Musyabbihah kepada orang yang
melakukan Isbat,padahal dalam istbat itu ada tafwidul kaifiyah. lebih jauh lagi
merekaa itu menafikan kaifiyah bagi Allah secara Mutlak, walaupun anehnya
mereka menetapkan Allah bisa dilihat diakhirat nanti, padahal sesuatu yang bisa
dilihat itu ber “kaifiyah”
DianthMay 6,
2011 at 2:56 pm #
Pembatasan jisim yang dilakukan Asy ariyah jelas untuk
memperjelas mana akidah yang tajsim dan bukan, mana yang isbat mana yang bukan.
Apa yang ditulis oleh Ibnu Taimiyah justru memberi peluang akidah tajsim,
karena tidak menjelaskan secara pasti malah melarang membatasinya, sehingga
terbukalah pemahaman tentang zat Allah sesuai pemahamannya tehadap mahluk.
Siapa bilang melakukan isbat itu mujassimah ? Isbat tidak mesti dimaknai secara
zhahir, seperti pemahaman kita terhadap mahluk, tapi tafwidh makna dan
kaifiyatnya bila hakikat zhahirnya menyebabkan kita tasybih, karena hanya Allah
yang tahu makna yang sebenarnya dari ayat sifat bila disandarkan kepadaNya.
dobdobMay 6,
2011 at 3:11 pm #
tunjukkan itsbat versi asyariyah mas? dan tunjukkan itsbat versi
asyariyah yang makna hakikat zhahirnya menyebabkan tasybih begitu juga yang
tidak menyebabkan tasybih!
DianthMay 6,
2011 at 4:01 pm #
Asy ariyah telah menetapkan semua sifat-sifat Allah sebagaimana
disebutkan dalam Al Quran dan hadist termasuk asmaul husna. Adapun ayat-ayat
sifat yang disandarkan kepada Allah yang makna zhahirnya menyebabkan tasybih
maka maka Asy ariyah bersikap tafwidh dan takwil.
Ok, saya tunjukkan contohnya, biar jelas saya tunjukkan saja
sifat-sifat yang menjadi pertanyaan salafi.
Asy ariyah menetapkan sifat Melihat dan sifat Mendengar.
Asy ariyah menolak sifat jisim ( dalam artian mempunyai bagian-bagian/anggota
tubuh) pada Allah, berarah, bertempat dan berpindah-pindah.
dobdobMay 6,
2011 at 4:08 pm #
hmmm… anda mendengar dan Allah mendengar, apakah anda tidak
khawatir Tasybih?
istiwa adalah kata kerja, kallama juga kata kerja, kenapa yang
satu di takwil dan yang satu ditetapkan? keduanya juga bisa mengarahkan kepada
Tasybih.
Asyairah menetapkan bahwa orang beriman akan berbicara kepada
Allah di akhirat nanti dan melihatnya, sesuatu yang dapat dilihat dengan mata
itu Jism, dan melihat itu pasti kearah tertentu, kenapa Asyairah tetapkan?
saya menyarankan agar anda membaca ulang artikel saya diatas,
agar anda memahami cara-cara orang yang saya sepakati dalam menyikapi
lafadz-lafadz yang dianggap bidáh oleh ibnu taimiyah tersebut ketika dikaitkan
dengan Allah.
Abdul SyukurMarch 22,
2011 at 10:33 pm #
@ Mbak Dianth
Dari yang mbak Dianth pahami selama ini, Syaikh Ibnu Taimiyah
termasuk Mujasimah bukan?
Kalau bukan, berarti setuju dengan paparan artikel diatas.
Kalau Iya, berarti bisa menjelaskan mengapa beliau dilabeli
sebagai Mujasimah (khususnya oleh abusalafy cs/para penggemarnya yang konon
merasa mengikuti pemahaman Imam Asy’ari)?
pertanyaan tambahan, apa saja sih ajaran Imam Asy’ari yang antum
ketahui terkait Shifat Allah sehingga banyak yang menganggap “AJARAN BELIAU ISTIMEWA” padahal banyak nama besar Ulama Salaf dari
Ashabul Hadits yang juga menjelaskan masalah Shifat Allah tapi “TIDAK DIANGGAP SEISTIMEWA” Imam Asy’ari sehingga untuk
Imam Asy’ari dibuatkan istilah khusus yakni Asy’ariyah…contoh Ulama Salaf dari
Ashabul Hadits antara lain:Imam Ahmad, Imam Malik, Imam
Ishaq Bin Ruhawayh, Imam Ibnu Khuzaimah dll…(karena kenyataannya tidak
ada dari Ulama Salaf ini yang diberikan penamaan khusus terkait dengan
penjelasan Shifat Allah yang mereka sampaikan).
Silahkan dijelaskan
DianthMarch 26,
2011 at 7:01 pm #
@abdul syukur, saya laki-laki bukan perempuan. Saya tidak
mengatakan syekh ibnu taymiah mujassimah, justru kelompok yg mengaku salafi yg
sering menyandarkan pemahamannya yg cenderung tasybih kepada beliau, sehingga
beliau juga dianggap cenderung tasybih. Kalau keistimewaan imam asy ari, tentu
semua tahu tentang perannya membantah muktazilah dgn rumusan akidahnya yg
merupakan perpaduan akal dan nash.
Abdul SyukurMarch 28,
2011 at 4:42 pm #
Terima kasih atas penjelasannya Mas Dian.
Karena blog ini dikhususkan membahas “Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah” maka kita fokus ke beliau dulu yah.
Bisakah antum buktikan pernyataan antum bahwa kelompok salafi
yang cenderung tasybih pemahamannya menyandarkan pendapat pada Syaikh Ibnu
Taimiyah sehingga Syaikh Ibnu Taimiyah pun dianggap cenderung Tasybih.
Silahkan dijelaskan
(Sederhananya begini, Salafi menjelaskan A, Syaikh Ibnu Taimiyah
B…kemudian Salafi berkesimpulan Syaikh Ibnu Taimiyah menjelaskan A
Sehingga Syaikh Ibnu Taimiyah pun dianggap cendrung Tasybih)
Silahkan…
'AjamMarch 29,
2011 at 11:20 pm #
golongan asy’ari pasti menetapkan sifat mendengar dan melihat
bagi Alloh. kalo dipikir2, tuduhan tajsim itu kembali pada mereka sendiri,
karena jika mengikuti alur logika mereka, mendengar itu pasti butuh alat
pendengaran yang disebut telinga dan melihat itu butuh alat penglihatan yang
disebut mata.
jika mereka mengingkari kedua sifat ini, berarti mereka kufur.
jika mereka menetapkan kedua sifat ini, berarti tuduhan tajsim itu kembali pada
mereka sendiri.
DianthApril 5,
2011 at 2:54 pm #
@abdul syukur
Anda sepertinya serius mau berdialog, maaf kalau saya terlambat
dalam menomentari tanggapa anda.
Yang bisa saya tanggapi adalah bahwa kelompok yang mengaku salafi (dalan situs
al manhaj): Kata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah: “Manhaj Salaf dan
para Imam Ahlus Sunnah mereka mengimani Tauhid al-Asma’ wash Shifat dengan
menetapkan apa-apa yang Allah telah tetapkan atas diri-Nya dan telah ditetapkan
Rasul-Nya Shallallahu alaihi wa sallam untuk-Nya, tanpa tahrif[3] dan
ta’thil[4] serta tanpa takyif[5] dan tamtsil[6]. Menetapkan tanpa tamtsil,
menyucikan tanpa ta’thil, menetapkan semua Sifat-Sifat Allah dan menafikan
persamaan Sifat-Sifat Allah dengan makhluk-Nya”
disini mereka mengatakan tahrif sama dengan takwil, sehingga
takwil atas sifat Allah adalah terlarang, ini sesuai dengan kaidahnya
:MENGAMBIL LAHIRIYAH AL-QUR’AN DAN AS-SUNNAH MERUPAKAN PRINSIP DASAR AHLUS
SUNNAH WAL JAMA’AH (saya tidak tahu kata-kata ini diambil dari mana dan
disandarkan kepada siapa)
Sedangkan kita tahu bahwa Ibnu Taimiyah telah menakwil kata
“wajah” dengan “arah”.
Bahkan saya menemukan di situs salafi lainnya bahwa ibnu
taimiyah mengatakan bahwa kita tidak boleh tawfid. Padahal kita ketahui
sebagian besar salaf bersikap tawfid dalam ayat-ayat sifat yang mutasybihat.
Demikiaan saudaraku.
Abdul SyukurApril 5,
2011 at 6:09 pm #
@ Mas Dianth
Terima kasih atas penjelasannya, semoga anda senantiasa dalam
lindungan Allah Ta’ala
Hal-hal yang ingin saya tanggapi dari tulisan antum:
1. Sebelumnya antum menyatakan:
justru kelompok yg mengaku salafi yg sering menyandarkan
pemahamannya yg cenderung tasybih kepada beliau, sehingga beliau juga dianggap
cenderung tasybih.
setelah saya tanyakan mana buktinya, sepertinya antum tidak
membawakan bukti yang saya minta, lebih tepatnya apa yang antum tuliskan TIDAK NYAMBUNG
Hati-hati, pernyataan antum sebelumnya bisa masuk ke dalam
Fitnah karena tidak ada buktinya, Takutlah pada Allah.
2. Mengenai yang antum anggap “Ibnu Taimiyah melakukan
Ta’wil”….sepertinya ini masalah dasar yang ada pada pemahaman antum.
salah satu Obat yang mujarab adalah antum bertanya kepada Ust.
dob dob (sebagai pemilik Blog yang mengkhususkan membahas “Amaliyah” Ibnu
Taimiyah) apakah Ta’wil itu?…Apakah Ta’wilan Ibnu Taimiyah sama dengan Ta’wilan
yang dilakukan pengikut Asy’ariyah? dll
Ust. dob dob sudah menjelaskan mengenai Ta’wilan Ibnu Taimiyah
ini, kalau ada yang kurang jelas silahkan antum tanyakan supaya tidak ada yang
samar-samar lagi.
Ibnu Taimiyah dan Ta’wil
Kesimpulan:
Dari penjelasan diatas dan praktek-praktek yang dilakukan Ibnu
Taimiyah dalam banyak tulisannya maka jelaslah bahwa komentar-komentar beliau
terkait sifat Allah hanyalah sebatas tafsiran yang berasal dari para pendahulu
kaum muslimin dari kalangan salaf dan sahabat. Kalaupun dia menulis dengan kata
takwil maka hal tersebut bermakna tafsir yang sangat berbeda dengan pemahaman
Mutaakhirin yang memalingkan makna atau bahkan merubah (tahrif).
Tafsir-tafsir tersebut sama sekali tidak menodai akidah terhadap
Sifat Allah berupa penetapan sifat sebagai mana datangnya dan sesuai dengan apa
yang Allah sifatkan bagi diriNya tanpa tahrif ta’thil dan tamsil. Beliau banyak
menjelaskan hal ini dalam kitab-kitabnya, maka ambillah pelajaran.
(Tips dari saya memahami artikel diatas, perhatikan baik-baik
ayat/hadits yang dibawakan, dari situ akan bisa dipahami seperti apa Ta’wil
pada ayat atau hadits dan Bagaimana Ta’wilan Salaf fan Ta’wilan Asy’ariyah)
3. Mengenai Tafwidh
Seperti apa Tafwidh yang antum pahami selama ini?
Seperti apa Tafwidh yang dilakukan oleh Salaf dari yang antum
ketahui?
Sementara itu dulu dari saya semoga Allah Ta’ala memberikan
kepahaman Agama yang benar bagi kita semua, amin
DianthApril 6,
2011 at 2:28 pm #
Mas Abdul Syukur, Apa yang saya tuliskan adalah sesuatu yang
bersifat global, karena kelompok salafi memaknai lahiriyah nash juga didukung
oleh pernyataan yang dinisbatkan kepada Ibnu Taimiyah seperti yang saya kutip.
Hal inilah yang menyebabkan kelompok salafi menolak takwil bahkan ada yang
menolak tawfidh dan mengharuskan memaknai nash ayat-ayat khabariyah tentang
sifat-sifat Allah yang mutasybihat dengan menkan zhahir. Apakah saya harus
mengutip satu-satu pernyataan yang disandarkan Ibnu taymiyah? Bagi saya cukup
bahwa memaknai zhahir ayat-ayat sifat dan mutasyabihat adalah mengarah tajsim
dan tasybih. Apa yang anda tulis tidak nyambung hanyalah kata lain bahwa anda
tidak menganggap pemahaman salafi tajsim dan tasybih. Kalau begitu apakah
tajsim dan tasybih menurut anda?
Masalah takwil, saya sudah memberikan tanggapan, justru saya ingin mengatakan
seperti kata anda dan ustad dobdob: Hati-hati, pernyataan antum sebelumnya bisa
masuk ke dalam Fitnah karena tidak ada buktinya, Takutlah pada Allah.
Bukankah menurut ustad, takwil kelompok asyari berbeda pengertiannya dengan
salaf. Adakah buktinya? Justru para ulama Asy ari sangat hati-hati dalam
melakukan takwil sehingga tidak terjadi tha’til dan mereka berusaha melakukan
takwil sesuai kaidah dan contoh dari salaf, ajaibnya Ibnu taimiyah justru
menurut ustad lebih sesuai dengan salaf. Bagi saya takwil para ulama islam
salaf maupun asy ariyah adalah satu pemahaman.
Masalah tawfidh, justru saya yang ingin bertanya kepada anda apa
itu tawfidh menurut anda sehingga ada kelompok salafi yang menentangnya? bagi
saya memaknai nash ayat-ayat mutasyabihat secara zhahir bukanlah pemahaman
salaf. Kaidah salaf adalah tawfidh dan takwil yang benar yang sesuai dengan
keagungan Allah.
Demikian saudaraku
Abdul SyukurApril 8,
2011 at 5:20 pm #
@ Mas Dianth
1. Tidak perlu semua bukti antum bawakan disini, mulai dengan 1
dulu saja bawakan bukti sebagaimana yang antum sangkakan/tuduhkan sebelumnya.
Bisa kan?
2. Kalau antum bilang Ta’wil Salaf dan Asy’ariyah adalah sama, mestinya
kan tidak usah mena’wil kalau Salaf Tidak Menta’wil
Atau kalau pun men Ta’wil, disamakan dengan kaidah yang Salaf
lakukan, itu baru artinya sama
3. Tentang Tafwidh, bukankah antum yang pertama kali menggunakan
kata “TAFWIDH” dengan menyatakan Ibnu Taimiyah melarang Tafwidh dan Ulama Salaf
melakukan Tafwidh
karena itu saya bertanya, seperti apa Tafwidh yang antum
ketahui, dan seperti apa Tafwidh nya Salaf yang antum ketahui?
Bisa kan?
Ini maksudnya supaya apa yang kita bicarakan jelas arahnya,
jangan sampai sudah panjang lebar cerita ternyata beda pemahamannya
Semoga Allah senantiasa menolong kita semua.
———
@ Ust dob dob
Mungkin Ustadz, berkenan mengomentari apa yang dinyatakan oleh
Mas Dianth, supaya saya juga bisa mengambil faidah dari tulisan Ustadz seperti
sebelumnya.
Jazakallah
dobdobApril 8,
2011 at 5:59 pm #
hmmmm.. segera akh.. Insya Allah saya akan buat artikel tentang
Tafwidh, bahan yang saya miliki sudah lengkap, tinggal menorehkankannya saja.
Maklum kesibukan dan kemalasan berkolabolarasi menghalangi saya menulis.
silahkan buat mas dian untuk lebih meluangkan waktu membaca
artikel fitnah Tajsim sekali lagi agar mengerti antara istbat dan Tajsim serta
perbedaan keduanya
TommiApril 8,
2011 at 7:20 pm #
Sebagai bahan bacaan sebelum ustadz Dobdob menuangkan artikel
tentang tafwidh :
Semoga akhi dianth mau meluangkan waktunya sejenak untuk membaca
artikel di link yg saya bawakan.
DianthApril 19,
2011 at 10:15 am #
Mas Abdul syukur, apa yang disampaikan Mas Tomi, dengan link Abu
Jauza itu sudah membuktikan perkataan saya, bahwa salafi atau kelompok salafi
yang cenderung tasybih pemahamannya menyandarkan pendapat pada Syaikh Ibnu
Taimiyah sehingga Syaikh Ibnu Taimiyah pun dianggap cenderung Tasybih. Bahkan
link dalam blog itu lengkap dituliskan bahwa Ibnu Taymiyah menolak tawfidh dan
menganggapnya bidah.
dobdobApril 19,
2011 at 10:52 am #
Salafy yang cenderung Tasbih itu dimana adanya sih?
jangan-jangan belum sampai ilmu kepada anda pembeda dan persamaan antara istbat
dan tasbih
Abdul SyukurApril 20,
2011 at 12:29 pm #
Mas Dianth, pertanyaan saya sederhana saja bawakan bukti seperti
yang antum tuduhkan/sangkakan bahwa salafi yang cenderung tasybih pemahamannya
menyandarkan pendapat pada Syaikh Ibnu Taimiyah sehingga Syaikh Ibnu Taimiyah
pun dianggap cenderung Tasybih
Kalau antum merujuk pada linknya Abul Jauza, coba kutipkan
bagian mananya yang antum tuduh demikian, supaya lebih fokus.
Ingat pesan Nabi, GAK BOLEH ASAL-ASALan, Hanya yang TIDAK PUNYA
MALU yang BERBUAT ASAL-ASALan atau Sesukanya (Sifat Malu ini cabangnya Iman
lho).
Bisa kan yah?
Kemudian, apa yang antum ketahui tentang TAFWIDH dan seperti apa
TAFWIDH nya Ulama Salaf yang antum ketahui?
3 hal ini dulu aja…coba antum jelaskan dulu dari yang antum
pahami.
Biar diskusi ini mengalir.
Mungkin ada benarnaya juga yang Ust.dob dob tuliskan jangan-jangan
belum sampai ilmu kepada anda pembeda dan persamaan antara istbat dan tasbih.
Tapi sayangnya tulisan anda sudah mendahului ilmu anda.
DianthApril 25,
2011 at 4:46 pm #
Ingat pesan Nabi, GAK BOLEH ASAL-ASALan, Hanya yang TIDAK PUNYA
MALU yang BERBUAT ASAL-ASALan atau Sesukanya (Sifat Malu ini cabangnya Iman
lho).
Kok anda tuduh saya asal-asalan sih? kan sudah saya beritahukan
dari awal salafi yg sering MENYANDARKAN pemahamannya yg cenderung tasybih
kepada beliau. Saya tidak mengatakan bahwa salafi mengutip dari perkataan Ibnu
Taimiyah,
seperti dalam link abul juzza tersebut, sang ustad menerangkan masalah
ayat-ayat mutasyabihat tersebut dengan kaedahnya “Asal makna dari satu
perkataan adalah hakekatnya, yaitu makna yang langsung bisa tertangkap dari
pembicaraan”, “perlakukanlah ayat-ayat sifat sesuai dengan dhahir makna yang
termuat di dalamnya, tanpa tafsir ke makna-makna selainnya atau menanyakan
kaifiyah-nya” apa artinya ini kalau bukan cenderung tasybih dan tajsim,
bukankah makna hakikat dari mata, tangan, kaki dsbnya secara hakikat adalah
anggota tubuh ? lalu layakkah Allah mempunyai anggota tubuh. lalu beliau
mengutip pernyataan Ibnu taimiyah untuk mendukung pernyataannya itu. Apakah
perkataan Ibnu taimiyah adalah bermakna seperti itu ? Lalu mengapa pula mereka
mengatakan ulama salaf mengartikannya secara zhahir juga, bukankah seperti kata
Adz-Dzahabiy : mengisyaratkan makna ‘tanpa tafsiir’ sebagaimana dikatakan para
salaf terhadap nash-nash sifat (Allah) adalah tanpa men-takyif-nya. Ia berkata
:
هذه
أحاديث
صحاح،
حملها
أصحان
الحديث
والفقهاء
بعضهم
عن
بعض،
وهي
عندنا
حق
لا
نشك
فيها،
ولكن
إذا
قيل
: كيف
يضحك
؟
وكيف
وضع
قدمه
؟
قلنا
: لا
نفسر
هذا،
ولا
سمعنا
أحدًَا
يفسره
“Ini adalah hadits-hadits shahih yang dibawakan oleh para ahli hadits dan
fuqahaa’ sebagian mereka dari sebagian yang lain. Hal itu di sisi kami adalah benar, tidak ada keraguan
padanya. Akan tetapi jika dikatakan : Bagaimana Allah tertawa ? dan bagaimana
Allah meletakkan telapak kaki-Nya ? Kami katakan : Kami tidak menafsirkan ini,
dan kami pun tidak pernah mendengar seorang pun (ulama) menafsirkannya” [Siyaru
A’laamin-Nubalaa’, 10/505]. Lalu apa arti ayat-ayat mutasyabihat yang hanya
Allah lebih tahu takwilnya apabila dikatakan “bahkan maknanya dapat langsung
diketahui sebagaimana orang yang berbicara mengetahui maksud dari
pembicaraannya”. yang dimaksud oleh ustad adalah makna hakiki dari tanga, kaki,
mata, wajah dsb, betul maknanya diketahui tetapi bukanlah makna dari kata
tangan, kaki, wajah dsb, tapi makna atau maksud ayat itu secara keseluruhan,
contohnya dalam hadist ada dikatakan bahwa bila kita mendekat kepada Allah
sedepa, Dia akan mendekat sehasta, kita mendekatinya dengan berjalan, maka
Allah akan mendekati kita dengan berlari, tentu kita paham maksudnya atau
maknanya bahwa Allah ridho dan lebih dahulu dekat dengan kita daripada usaha
kita agar bisa dekat kepadaNya, bukan makna sehasta, atau berlari.
Demikian, Salam.
pujiMay 2,
2011 at 5:22 am #
@Dianth
Saya tidak tahu apakah sauadara membaca keseluruhan maksud
Abul-Jauzaa atau hanya sekilas untuk mencari bukti bahwa salafi melakukan
“tasybih” saja dari sebagian nukilah Abul-Jauzaa. Sungguh aneh menurut saya
kalau kesimpulannya seperti yang saudara maksud yaitu :
“Asal makna dari satu perkataan adalah hakekatnya, yaitu makna yang langsung
bisa tertangkap dari pembicaraan”, “perlakukanlah ayat-ayat sifat sesuai dengan
dhahir makna yang termuat di dalamnya, tanpa tafsir ke makna-makna selainnya
atau menanyakan kaifiyah-nya” apa artinya ini kalau bukan cenderung tasybih dan
tajsim, bukankah makna hakikat dari mata, tangan, kaki dsbnya secara hakikat
adalah anggota tubuh ? lalu layakkah Allah mempunyai anggota tubuh.
Padahal sudah jelas sekali “makna” diketahui sedangkan
kaifiyahnya tidak. Tapi bagi saya anda malah mencoba mereka-reka kaifiyahnya
bagaimana ketika anda berbicara layakkah Allah mempunyai anggota tubuh ?.
Jawaban itu sebenarnya berbalik lagi pada artikel apa itu jism ? Apakah ruh itu
jism ? jika bukan maka sangat aneh melogikan “mata” Allah sebagai jism
(penyerupaan terhadap makhluk yang notabene ruh saja sudah bukan termasuk jism.
Penetapan sifat Allah seperti mata beserta maknanya tidak mesti harus
berimplikasi pada penetapan jism sebagaimana kita tetapkan untuk semutan “mata
manusia”. Jangankan mata Allah kalau anda ditanya bagaimana bentuk sayap
malaikat saja saudara tidak akan tahu. Padahal mereka masih dalam tataran
makhluk.
Saya dulu adalah seorang AsSyari sedikit banyak bisa memahami
kaidah berpikir saudara. Bagi saya kaidahnya sederhana. Jangan pernah
memebayangkan apalagi menyamakan sifat Allah dengan “arti” makna jika
dilekatkan kepada manusia. Arti mata adalah mata dengan sifatnya melihat tapi
tak perlu berimplikasi pada mata seperti manusia (maksud saya bentuk benda red,
misal ada pupil dst). Inilah yang saya sebut makna hakiki. Sebab ketika anda
membayangkan mata Allah seperti anggota tubuh manusia maka anda telah berusaha
mendifinisikan kaifiyyah “mata” itu sendiri bukan apa yang dimaksud
Abul-Jauzaa. Saya jamin anda tidak akan bisa mengetahui kafiyyahnya bagaimana.
Itulah yang saya pahami dari perkataan Abul Jauzaa.
Alangkah baiknya kalau saudara membaca artikel Abul_jauzaa
secara keseluruhan agar memahami maksud :
dan banyak lagi bahan. Semoga saudara diberi keluasan waktu
untuk mencari ilmu. Saya mohon ampun kepada Allah kalau dalam tulisan ini ada
hal yang tidak sesesuai karena keterbatasan kemampuan saya untuk menerangkan
tommiMay 2,
2011 at 4:55 pm #
Wah wah jadi ribet ya? Hehehe…maksud saya membawakan link ustadz
abul jauzaa adalah agar akhi dianth mengerti apa sih yg dimaksud tafwidh? Afwan
akhi dianth sudah membaca belum link itu secara keseluruhan? Kok kesimpulan
akhirnya bisa begitu? Mana pemahaman salafi yg cenderung tasybih yg disandarkan
pada Ibnu Taimiyyah akhi?
Ini saya beri link lagi, moga2 dengan link ini akhi Dianth bisa
lebih joss memahami apa itu tafwidh
Abdul SyukurMay 3,
2011 at 12:54 am #
Mas Dianth,
1. Terkait dengan ajakan saya supaya antum gak asal-asalan, kok
saya jadi bingung memahami tulisan antum.
Tanggal 6 April 2011, antum tulis:
Apa yang saya tuliskan adalah sesuatu yang bersifat global, karena
kelompok salafi memaknai lahiriyah nash juga didukung oleh pernyataan yang dinisbatkan
kepada Ibnu Taimiyah seperti yang saya kutip.
Disini artinya antum menganggap Salafi yang pemahamannya
cenderung Tasybih menisbatkan pemahamannya tersebut pada Ibnu Taimiyah.
itu sesuai dengan tulisan antum tanggal 26 March 2011:
justru kelompok yg mengaku salafi yg sering menyandarkan pemahamannya
yg cenderung tasybih kepada beliau, sehingga beliau juga dianggap cenderung
tasybih
Kan gak salah kalau saya memahaminya, salafi yang antum anggap
tasybih bilang A, Ibnu Taimiyah bilang B, jadi artinya Ibnu Taimiyah bilang A
jadi tulisan antum yang ini:
Saya tidak mengatakan bahwa salafi mengutip dari perkataan Ibnu
Taimiyah
Betul, dan saya juga gak minta bukti Salafi yang nukil pendapat
Ibnu Taimiyah tapi yang saya minta bukti salafi bilang A, Ibnu Taimiyah bilang
B, kesimpulan dari Salafi.. Ibnu Taimiyah bilang A…itu aja
dan sampai sekarang belum ada kan bukti yang antum tuduhkan? :)
2. Menurut saya penjelasan dari Pak Puji dan Mas Tommi cukup
jelas untuk sedikit mengurai ketidak tahuan antum akan apa itu Tasybih dan
Tafwidh, saya tambahin lagi deh.
Saat Allah kabarkan dia memiliki Sifat Mendengar dan Melihat
kenapa gak antum pikirkan bahwa makna hakikat dari Mendengar dan Melihat adalah
ada juga pada anggota tubuh (Makhluk)?
Sebaiknya, kalau Allah Tidak Khabarkan, Nabi Tidak ceritakan
masalah Sifat Allah apakah berkaitan dengan Organ Tubuh atau tidak, mengapa
antum harus mengait-ngaitkannya…ini namanya khayalan nakal.
Antum menolak Sifat Mata, Tangan, Kaki dsb karena menganggap itu
cenderung Tasybih…pernah ndak antum sadar bahwa saat antum menolak sifat itu
karena diawali dengan Tasybih dan Tajsim dalam pikiran antum.
Kalau Mata entah mata siapa yang langsung antum khayalkan, kalau
Tangan entah tangan siapa yang antum khayalkan dst….karena sebelumnya berkhayal
tentang Mata, Tangan, Kaki Makhluk (apakah itu manusia atau Kingkong atau
lainnya) maka dianggap Sifat tersebut tidak layak bagi Allah akhirnya
Sifat-sifat tersebut ditolak.
3. Mengenai kalimat “Tanpa Tafsir” dari Adz-Dzhahabi, coba antum
perhatikan dan baca pelan-pelan…sebelumnya kan ada kalimat BagaimanaAllah tertawa ? dan bagaimana Allah meletakkan telapak
kaki-Nya ? Kami katakan : Kami tidak menafsirkan ini, dan kami pun tidak pernah
mendengar seorang pun (ulama) menafsirkannya”
jadi yang dimaksud adalah membicarakan Bagaimana/Kaifiyah nya…dan
kan memang Ulama Salaf tidak membicarakan masalah Kaifiyahnya sebagaimana yang
Imam Malik pesankan الكيف منه غير معقول
(Kaifiyahnya tidak dapat dicerna akal)
Antum udah tau cerita Imam Malik yang ngusir orang nanya
Kaifiyah Istiwa nya Allah kan?
Semoga Allah memberikan hidayah bagi kita semua…amin
DianthMay 4,
2011 at 11:45 am #
@puji
+ Saya tidak tahu apakah sauadara membaca keseluruhan maksud
Abul-Jauzaa atau hanya sekilas untuk mencari bukti bahwa salafi melakukan
“tasybih” saja dari sebagian nukilah Abul-Jauzaa.
Dianth : saya membaca keseluruhannya.
+ Sungguh aneh menurut saya kalau kesimpulannya seperti yang
saudara maksud yaitu :
“Asal makna dari satu perkataan adalah hakekatnya, yaitu makna
yang langsung bisa tertangkap dari pembicaraan”, “perlakukanlah ayat-ayat sifat
sesuai dengan dhahir makna yang termuat di dalamnya, tanpa tafsir ke
makna-makna selainnya atau menanyakan kaifiyah-nya” apa artinya ini kalau bukan
cenderung tasybih dan tajsim, bukankah makna hakikat dari mata, tangan, kaki
dsbnya secara hakikat adalah anggota tubuh ? lalu layakkah Allah mempunyai
anggota tubuh.
Padahal sudah jelas sekali “makna” diketahui sedangkan
kaifiyahnya tidak. Tapi bagi saya anda malah mencoba mereka-reka kaifiyahnya
bagaimana ketika anda berbicara layakkah Allah mempunyai anggota tubuh ?.
Dianth : Mas atau mbak, makna “diketahui” kok anda kasi tanda
kutip ? kalau makna diketahui, maka apa makna kaki, tangan, wajah dsbnya kalau
bukan anggota tubuh? apa makna hakikat dari mata? tentu organ/anggota tubuh
untuk melihat bukan ? dst.
Saya tidak mereka-reka kafiyatnya, justru saya heran penjelasannya ustad
menggiring orang untuk membayangkan kafiyatnya, tapi justru anda yang bilang
saya mereka-reka. Apapun alasan yang menolak kafiyatnya, tetap saja makna
hakiki semua itu adalah anggota tubuh (jisim)
+ Jawaban itu sebenarnya berbalik lagi pada artikel apa itu jism
? Apakah ruh itu jism ? jika bukan maka sangat aneh melogikan “mata” Allah
sebagai jism (penyerupaan terhadap makhluk yang notabene ruh saja sudah bukan
termasuk jism. Penetapan sifat Allah seperti mata beserta maknanya tidak mesti
harus berimplikasi pada penetapan jism sebagaimana kita tetapkan untuk semutan
“mata manusia”. Jangankan mata Allah kalau anda ditanya bagaimana bentuk sayap
malaikat saja saudara tidak akan tahu. Padahal mereka masih dalam tataran
makhluk.
Dianth : makna dengan kafiyat memang beda, tapi berhubungan toh.
Ruh bukan jisim sehingga tidak dikatakan ruh punya anggota tubuh, Allah bukan
ruh maupun jisim. Makna hakikat mata ya anggota tubuh (jisim) kalau ada makna
mata yang bukan jisim berarti bukan makna hakikat yang dimaksud.
+ Saya dulu adalah seorang AsSyari sedikit banyak bisa memahami
kaidah berpikir saudara. Bagi saya kaidahnya sederhana. Jangan pernah
memebayangkan apalagi menyamakan sifat Allah dengan “arti” makna jika
dilekatkan kepada manusia.
Dianth : perkataan anda bertentangan dengan penjelasan ustad
abul jauzaa, coba baca lagi, kalau anda mengatakan tidak menyamakan sifat Allah
“arti” makna jika dilekatkan kepada manusia, maka bukan makna hakikat yang
dimaksud, karena makna hakikat yang dimaksud oleh ustad adalah makna yang kita
pahami sebagai mata.
+ Arti mata adalah mata dengan sifatnya melihat tapi tak perlu
berimplikasi pada mata seperti manusia (maksud saya bentuk benda red, misal ada
pupil dst). Inilah yang saya sebut makna hakiki. Sebab ketika anda membayangkan
mata Allah seperti anggota tubuh manusia maka anda telah berusaha
mendifinisikan kaifiyyah “mata” itu sendiri bukan apa yang dimaksud
Abul-Jauzaa. Saya jamin anda tidak akan bisa mengetahui kafiyyahnya bagaimana.
+ masalah kafiyat, semua kafiyat berbeda, jangankan mata manusia
dengan mata mahluk lain, sesama manusiapun kafiyatnya bisa berbeda, lalu apa
makna tidak serupanya Allah bila tidak serupa ini anda artikan kafiyatnya saja
tetapi maknanya sama? Maha suci Allah dari membutuhkan mata untuk Melihat.
+ Itulah yang saya pahami dari perkataan Abul Jauzaa.
Alangkah baiknya kalau saudara membaca artikel Abul_jauzaa
secara keseluruhan agar memahami maksud :
dan banyak lagi bahan. Semoga saudara diberi keluasan waktu
untuk mencari ilmu. Saya mohon ampun kepada Allah kalau dalam tulisan ini ada
hal yang tidak sesesuai karena keterbatasan kemampuan saya untuk menerangkan
Dianth : Semoga kita semua dapat memahami masalah sifat-sifat
Allah ini dan terhindar dari kesesatan, semoga Allah memberikan kita semua
pemahaman yang benar.
DianthMay 4,
2011 at 11:58 am #
@tommi
Wah wah jadi ribet ya? Hehehe…maksud saya membawakan link ustadz
abul jauzaa adalah agar akhi dianth mengerti apa sih yg dimaksud tafwidh? Afwan
akhi dianth sudah membaca belum link itu secara keseluruhan? Kok kesimpulan
akhirnya bisa begitu?
Mana pemahaman salafi yg cenderung tasybih yg disandarkan pada Ibnu Taimiyyah
akhi?
Ini saya beri link lagi, moga2 dengan link ini akhi Dianth bisa
lebih joss memahami apa itu tafwidh
Dianth : sebenarnya tidak ribet, yang membuat ribet itu yang
memaksakan orang memaknai zhahir nash, sehingga mau tak mau cenderung tasybih
dan tajsim.
Link yang anda berikan sama saja isinya, menolak tawfidh dan menganggap salaf
memaknai makna zhahir ayat-ayat mustasybihat.
Pertanyaan saya sederhana saja, kalau salaf memahami nash ini dengan makna
hakikat, maka semua akan memahaminya dengan seragam, padahal kita ketahui salaf
itu berbeda dalam memahami makna ayat-ayat tersebut, persamaan mereka adalah
menolak tajsim, tasybih dan tha’til. Bukankah makna hakikat atau zhahir nash
sesuatu yang mudah dipahami dan mudah pula diajarkan, lalu kenapa dari zaman
salaf sampai kahalaf terjadi perbedaan dalam memahami ayat-ayat tersebut?
+Mana pemahaman salafi yg cenderung tasybih yg disandarkan pada
Ibnu Taimiyyah akhi?
Penjelasan ustad-ustad salafi tentang ayat-ayat sifat cenderung
tasybih dan tajsim (baca koment saya dengan puji) lalu dalam penjelasannya
mereka tidak lupa mengutip perkataan Ibnu Taymiah sehingga seolah-olah perkataan
Ibu taymiyah sesuai dengan yang dimaksud dalam penjelasan mereka.
DianthMay 4,
2011 at 12:28 pm #
@Abdul Syukur
+ Mas Dianth,
1. Terkait dengan ajakan saya supaya antum gak asal-asalan, kok
saya jadi bingung memahami tulisan antum.
Tanggal 6 April 2011, antum tulis:
Apa yang saya tuliskan adalah sesuatu yang bersifat global,
karena kelompok salafi memaknai lahiriyah nash juga didukung oleh pernyataan
yang dinisbatkan kepada Ibnu Taimiyah seperti yang saya kutip.
Disini artinya antum menganggap Salafi yang pemahamannya
cenderung Tasybih menisbatkan pemahamannya tersebut pada Ibnu Taimiyah.
itu sesuai dengan tulisan antum tanggal 26 March 2011:
justru kelompok yg mengaku salafi yg sering menyandarkan
pemahamannya yg cenderung tasybih kepada beliau, sehingga beliau juga dianggap
cenderung tasybih
Kan gak salah kalau saya memahaminya, salafi yang antum anggap
tasybih bilang A, Ibnu Taimiyah bilang B, jadi artinya Ibnu Taimiyah bilang A
jadi tulisan antum yang ini:
Saya tidak mengatakan bahwa salafi mengutip dari perkataan Ibnu Taimiyah
Betul, dan saya juga gak minta bukti Salafi yang nukil pendapat
Ibnu Taimiyah tapi yang saya minta bukti salafi bilang A, Ibnu Taimiyah bilang
B, kesimpulan dari Salafi.. Ibnu Taimiyah bilang A…itu aja
dan sampai sekarang belum ada kan bukti yang antum tuduhkan?
Dianth : Biarlah saya perjelas lagi, dan hal ini tidak perlu
dibahas berlarut-larut.
Saya bicara dalam sudut pandang Akidah asy ariyah (pahami
perkataan orang dari sudut pandang yang berbeda, yang beranggapan bahwa
penjelasan akidah salafi wahabi tentang sifat-sifat Allah mengandung unsur
tasybih dan tajsim ( saya mengatakan cenderung tasybih dan tajsim), sehingga
saya katakan cenderung tasybih dan tajsim. dalam penjelasannya itu, para ustad
salafi menyertakan perkataan Ibnu Taymiyah untuk mendukung atau mengartikan
perkataan Ibnu Taymiyah tersebut adalah sesuai dengan penjelasan mereka tentang
ayat-ayat sifat. Maka perkataan Ibnu Taymiyah :Manhaj Salaf dan para Imam Ahlus
Sunnah mereka mengimani Tauhid al-Asma’ wash Shifat dengan menetapkan apa-apa
yang Allah telah tetapkan atas diri-Nya dan telah ditetapkan Rasul-Nya
Shallallahu alaihi wa sallam untuk-Nya, tanpa tahrif[3] dan ta’thil[4] serta
tanpa takyif[5] dan tamtsil[6]. Menetapkan tanpa tamtsil, menyucikan tanpa
ta’thil, menetapkan semua Sifat-Sifat Allah dan menafikan persamaan Sifat-Sifat
Allah dengan makhluk-Nya” adalah sesuai dengan penjelasan mereka tentang
ayat-ayat mutasyabihat yang menurut sudut pandang Akidah asy ariyah adalah
dalam istilah saya cenderung tasybih dan tajsim. Termasuk perkataan Ibnu
taymiyah yang menolak tawfidh, sehingga oleh kelompok salafi makna ayat-ayat
tersebut harus diartikan sesuai zhahir nash atau dengan istilah makna hakikat
yang sekali lagi saya katakan ditinjau dari akidah asy ariyah ini adalah cenderung
tajsim dan tasybih. Perhatikan sudut pandang orang yang bicara, jangan hanya
sudut pandang anda saja. Ok kan….?
+ 2. Menurut saya penjelasan dari Pak Puji dan Mas Tommi cukup
jelas untuk sedikit mengurai ketidak tahuan antum akan apa itu Tasybih dan
Tafwidh, saya tambahin lagi deh.
Saat Allah kabarkan dia memiliki Sifat Mendengar dan Melihat
kenapa gak antum pikirkan bahwa makna hakikat dari Mendengar dan Melihat adalah
ada juga pada anggota tubuh (Makhluk)?
Dianth : Makna melihat dan mendengar itu memang bukan anggota
tubuh, bedakan dengan mata dan tangan, kaki wajah dsb…sifat melihat dan
mendengar ada pada mahluk, tapi melalui bantuan anggota tubuh, yang tanpanya
kita tidak melihat dan mendengar, makna melihat dan mendengar berbeda dengan
makna mata dan telinga.
+ Sebaiknya, kalau Allah Tidak Khabarkan, Nabi Tidak ceritakan
masalah Sifat Allah apakah berkaitan dengan Organ Tubuh atau tidak, mengapa
antum harus mengait-ngaitkannya…ini namanya khayalan nakal.
Dianth : saya tidak pernah mengkait-kaitkannya, tetapi
penjelasan ustad-ustad salafi lah yang mengkait-kaitkannya. Coba anda
perhatikan penjelasan seperti ini : manusia punya tangan, monyet juga punya
tangan, tapi hakikat tangan manusia berbeda dengan tangan monyet. Anehkan ?
masak istilah tangan tuhan dicontohkan seperti itu…. ?? itu artinya maknanya
sama tapi bentuknya beda, kan lucu.
+Antum menolak Sifat Mata, Tangan, Kaki dsb karena menganggap
itu cenderung Tasybih…pernah ndak antum sadar bahwa saat antum menolak sifat
itu karena diawali dengan Tasybih dan Tajsim dalam pikiran antum.
Dianth : Anda salah pikir, yang kita tolak itu adalah makna
Mata, Tangan, Kaki dsb secara hakikat sebagaimana yang kita pahami pada mahluk,
maka mata, Tangan, Kaki dsb itu tidak bermakna sama dengan apa yang kita pahami
sebagaimana mahluk yaitu alat atau anggota tubuh dengan fungsi tertentu. Sebab
penjelasan harus dengan makna zhahir atau harus dimaknai secara hakikat adalah
sama dengan yang kita pahami sebagaimana mahluk yaitu alat atau anggota tubuh
dengan fungsi tertentu, kalau bukan seperti itu seharusnya istilahnya beda
dong, lalu kenapa mengatakan Asy ari menolak atau tha’til.
+ Kalau Mata entah mata siapa yang langsung antum khayalkan,
kalau Tangan entah tangan siapa yang antum khayalkan dst….karena sebelumnya berkhayal
tentang Mata, Tangan, Kaki Makhluk (apakah itu manusia atau Kingkong atau
lainnya) maka dianggap Sifat tersebut tidak layak bagi Allah akhirnya
Sifat-sifat tersebut ditolak.
Dianth : Menghayal atau tidak menghayal, Maha suci Allah dari
anggota tubuh dan tersusun dari bagian-bagian, karena anggota tubuh dan
tersusun dari bagian-bagian itu adalah sifat mahluk yang tidak layak
disandingkan pada Allah SWT.
+ 3. Mengenai kalimat “Tanpa Tafsir” dari Adz-Dzhahabi, coba
antum perhatikan dan baca pelan-pelan…sebelumnya kan ada kalimat Bagaimana
Allah tertawa ? dan bagaimana Allah meletakkan telapak kaki-Nya ? Kami katakan
: Kami tidak menafsirkan ini, dan kami pun tidak pernah mendengar seorang pun
(ulama) menafsirkannya”
jadi yang dimaksud adalah membicarakan Bagaimana/Kaifiyah
nya…dan kan memang Ulama Salaf tidak membicarakan masalah Kaifiyahnya
sebagaimana yang Imam Malik pesankan الكيف منه غير معقول
(Kaifiyahnya tidak dapat dicerna akal)
Dianth : inilah maknanya tawfidh, makanya tidak ada saya temukan
mereka mengatakan bahwa harus dimaknai secara zhahir atau makna hakikat karena
mereka menerimanya tanpa menetapkan makna zhahir atau makna hakikat sebagaimana
yang kita ketahu pada mahluk.
+ Antum udah tau cerita Imam Malik yang ngusir orang nanya
Kaifiyah Istiwa nya Allah kan?
Dianth : Saya tahu, oleh karena itu jangan memberikan penjelas
tentang ayat-ayat sifat yang menjerumuskan orang ke arah tajsim dan tasybih.
Sedangkan penjelasan agar memaknai secara zhahir tentulah membuat orang
memahaminya sesuai dengan pemahaman akalnya yang terbentuk dari indranya
tentang makna zhahir sebagaimana makna yang diketahuinya terhadap mahluk. Na ‘udzubillah.
pujiMay 4,
2011 at 1:16 pm #
@diant
قوله تعالى: (ثُمَّ اسْتَوى عَلَى الْعَرْشِ) هذه مسألة الاستواء، وللعلماء فيها كلام وإجراء. وقد بينا أقوال العلماء فيها في الكتاب (الأسنى في شرح أسماء الله الحسنى وصفاته العلى) وذكرنا فيها هناك أربعة عشر قولا. والأكثر من المتقدمين والمتأخرين أنه إذا وجب تنزيه الباري سبحانه عن الجهة والتحيز فمن ضرورة ذلك ولواحقه اللازمة عليه عند عامة العلماء المتقدمين وقادتهم من المتأخرين تنزيهه تبارك وتعالى عن الجهة، فليس بجهة فوق عندهم، لأنه يلزم من ذلك عندهم متى اختص بجهة أن يكون في مكان أو حيز، ويلزم على المكان والحيز الحركة والسكون للمتحيز، والتغير والحدوث. هذا قول المتكلمين. وقد كان السلف الأول رضي الله عنهم لا يقولون بنفي الجهة ولا ينطقون بذلك، بل نطقوا هم والكافة بإثباتها لله تعالى كما نطق كتابه وأخبرت رسله. ولم ينكر أحد من السلف الصالح أنه استوى على عرشه حقيقة. وخص العرش بذلك لأنه أعظم مخلوقاته، وإنما جهلوا كيفية الاستواء فإنه لا تعلم حقيقته.
(Tafsir Al-Qurthubi jilid 7 hal. 219 cetakan Dar Al-Kutub
Al-Mishriyyah 1964)
Artinya:
Firman Allah: (ثُمَّ اسْتَوى عَلَى الْعَرْشِ) ini adalah masalah istiwa`. Para
ulama mempunyai diskusi khusus dan uraian panjang lebar tentang ini. Kami sudah
menjelaskannya dalam kitab “Al Asnaa fii syarh Asmaa` Allah Al Husna”, di sana
kami menyebutkan ada empat belas pendapat. Pendapat kebanyakan dari kalangan
mutaqaddimin dan muta`akhkhirin adalah bahwa Allah Allah harus dibersihkan dari
arah dan penempatan ruang. Maka, semua konsekuensinya juga harus dihilangkan.
Demikian pendapat para ulama mutaqaddimin dan para pentolan dari kalangan
muta`khkhirin. Yaitu, membersihkan Allah dari sifat arah, sehingga Allah tidak
berada di atas menurut mereka. Karena menurut mereka itu berkonsekuensi bahwa
Allah bertempat atau menempati ruang. Kalau sudah menempati ruang berarti harus
ada gerakan dan diam di tempat yang menaungi serta adanya perubahan dan hal-hal
baru (evolusi). Ini adalah pendapat ulama mutakallimin.
Akan tetapi salaf al awwal (ulama salaf generasi pertama)
–semoga Allah meridhai mereka- tidak pernah menafikan arah dan tidak pula
membicarakannya. Justru mereka semua menetapkan itu semua bagi Allah
sebagaimana disebutkan dalam kitab-Nya dan disampaikan oleh Rasul-Nya dan tidak
ada seorangpun dari kalangan salafus shalih yang mengingkari bahwa Allah
istiwa` (bersemayam) di atas arsy-Nya secara hakiki. Arsy dikhususkan untuk itu
karena dia adalah makhluk Allah terbesar. Mereka hanya tidak tahu bagaimana
kaifiyah (bentuk) istiwa` (bersemayam) itu, karena hal tersebut tidak diketahui
bentuknya.”
Kemudian Al-Qurthubi juga berkata dalam kitabnya yang lain
berjudul Al-Asna fii syarh Asma`il Allah Al-Husna juz 2 hal. 132[1] setelah
menyebutkan adanya empat belas pendapat tentang makna istiwa dia berkata:
“Dan pendapat yang paling jelas adalah –meski aku tidak
sependapat dan tidak memilihnya- adalah pendapat yang berlandaskan ayat dan
hadits yang banyak bahwa Allah di atas Arsy-Nya sebagaimana yang diterangkan
dalam Al-Kitab dan melalui lisan Nabi-Nya tanpa kaifiyah, terpisah dari semua
makhluk-Nya. Ini adalah pendapat semua ulama salaf shalih berdasarkan riwayat
orang-orang terpercaya sampai kepada mereka.”
Dari Kesimpulan diatas adalah bahwa aqidah AsSyari mengenai
sifat Allah bukanlah Aqidah salaf akan tetapi baru muncul pada masa Imam Abu
Hasan Al AsSyari yang pada pemahaman sebelumnya tidak ada. Saya kira penjelasan
Imam Qurthubi itu (meskipun beliau lebih memilih Aqidah AsSyari saya kruang
tahu alasannya) sudah termasuk menjelaskan tenatng makna Hakiki
pujiMay 4,
2011 at 6:36 pm #
@diant
Dianth : perkataan anda bertentangan dengan penjelasan ustad
abul jauzaa, coba baca lagi, kalau anda mengatakan tidak menyamakan sifat Allah
“arti” makna jika dilekatkan kepada manusia, maka bukan makna hakikat yang
dimaksud, karena makna hakikat yang dimaksud oleh ustad adalah makna yang kita
pahami sebagai mata.
nah berarti anda tidak paham maksud. saya mengatakan mata adalah
mata sebagaimana bahasa arab dimana mata adalah untuk melihat. Yang saya maksud
dilekatkan pada manusia adalah kaifiyahnya sebagaimana yang saya sebutkan.
Artinya saya memahami mata ya mata, istiwa ya istiwa, kaki ya kaki. Tapi
berbeda dengan anda saya tidak pernah menanyakan “bagaimana mata, bagaimanba
kaki, dan bagaimana istiwa”. Terus terang kok sepertinya saya melihat anda
begitu sepotong-sepotong memahami masalah ini dan hanya mencomot sebagian dari
apa yang saya tuliskan kemudian mengambil ksimpulan. Bacalah total pastinya
anda tahu yang saya maksudkan. yaitu
Mata adalah mata sebagaimana arti yang kita ketahui tapi tidak
akan berimplikasi pada jism. Nah itulah perbedaan saudara dengan saya. Ketika
berkaitan dengan sifat Allah ketika disebut mata maka anda pasti melekatkannya
pada jism sedangkan saya tidak (karena anda menganggap kalau mata pasti ada
jism sedangkan saya tidak). Ingat Allah itu tuhan bukan makhluk jadi jangan
berpikir dengan membandingkan sifat tuhan dengan Makhluk, nggak bakal ketemu.
Coba deh antum baca aqidah Al Wasitiyyah ibnu Taimiyyah dan
bandingkan dengan aqidah salafi. Samakah ?
tommiMay 5,
2011 at 9:30 am #
Skrg yg jadi pertanyaan, apakah akhi dianth mau atau tidak untuk
meluangkan waktunya membaca aqidah washithiyahnya Ibnu Taimiyyah berikut
syarohnya oleh Asy Syaikh Ibnu Utsaimin, sudah ada terjemahannya tuh
diterbitkan oleh Darul Haq.
Dan saya ingin menambahkan mengenai tafwidh (yg mana akhi dianth
selalu saja salah tulis menjadi tawfidh). Yg dimaksud salaf melakukan tafwidh
itu hanyalah tafwidh kaifiyah, bukan tafwidh makna ya akhi. Spt misalnya, para
sahabat memahami dan mengimani makna sifat Maha Melihat bagi Allah Ta’ala
sesuai dengan makna ayat Al Qur’an yg turun pada mereka dan dijelaskan oleh
Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam, bukankah Al Qur’an turun dengan bahasa
Arab yg mana mereka adalah kaum yg paling mengerti makna bahasa Arab dibanding
org2 yg datang sesudahnya, tetapi bagaimana kaifiyahnya, mereka tawaqquf
terhadap itu, mereka diam, mereka sepenuhnya pasrah pada Allah karena memang
tidak adanya khabar dari Allah maupun dari Rasulullah yg sampai pada mereka
mengenai kaifiyahnya. Jadi, mereka memahami istiwa, nuzul, wajah, kaki, tangan
ya sebagaimana maknanya yg sampai pada mereka. Mereka tafwidh hanya pada
kaifiyahnya saja. Saya kira riwayat2 atsar yg berhubungan dengan ini semua
sudah ada pada linknya Abul jauzaa yg saya kasih, tp entah kenapa anda yg
membuatnya menjadi ribet.
Lalu mengenai jism & tasybih, Al Imam Ishaq bin Rahawaih
pernah berkata, “tasybih itu hanya terjadi apabila kau mengatakan, wajah Allah
seperti wajahku, tangan Allah spt tanganku…” Apakah sulit memahami perkataan
beliau ya akhi? jadi, mengimani dan memaknai secara zhohir itu tidaklah
berkonsekuensi pada jism & tasybih dan lagi Allah Ta’ala telah berfirman
“Laisa kamitslihii bi syai’un” (tidak ada sesuatu yg serupa denganNya). Oleh
karena itu ketika anda membawakan perkataan ustadz salafi yg berkata, “manusia
punya tangan, monyet juga punya tangan, tapi hakikat tangan manusia berbeda
dengan tangan monyet.” Saya kira tidak ada yg salah dengan kalimat ini, ini
hanyalah analogi ringan untuk menjelaskan pd manusia tetapi tidaklah
menjelaskan kaifiyah dari tangan Allah Ta’ala. Diharapkan dari kalimat ini,
bisa diambil faidah bahwa, sesama makhluk ciptaan Allah saja hakikatnya sudah
beda kok maka bagaimana pula dengan Sang Maha Pencipta, lebih tidak ada yg
serupa lg denganNya. Maha Suci Allah.
Saya kira memang inilah perbedaan mendasar dari manhaj
asy’ariyah dengan manhaj salaf dalam masalah aqidah yg mana asy’ariyah menolak
untuk memaknai secara zhohir karena khawatir terjatuh pada jism & tasybih,
entah mereka lebih memilih melakukan ta’wil atau bagaimana saya tidak tahu.
Sebaliknya manhaj salaf memakai metode klasik para salafus sholih yaitu
mengimani dan memaknai secara zhohir dari apa yg mereka pahami dari sebuah ayat
asma wa shifat.
Demikian yg bisa saya tuliskan dari apa yg saya pahami.
DianthMay 5,
2011 at 3:08 pm #
@Puji
Masalah penjelasan Imam Qhurtubi, saya meragukan terjemahannya
seperti itu. Lagi pula Imam Qurthubi sendiri kata anda berakidah asy’ari, jadi
kenapa Imam Qhurtubi tidak menempuh jalan salaf ? Jawabannya adalah bahwa
akidah asy ariyah sama dengan jalan salaf, yaitu tidak menafsirkan ayat-ayat
mutasyabihat seperti tangan, kaki, wajah, bersemayam yang disandarkan kepada
Allah dengan makna hakiki atau zhahir ayat sebagaimana pemahaman akal kita
terhadapnya.
saya kutip perkataan dari seorang bloggeer (sufimedan) yang
lebih bisa menjelaskan pendapat saya :
Berbicara ayat istiwa’ berarti kita membicarakan bagian daripada
ayat-ayat sifat. Yang benar, salaf itu: membiarkan ayat-ayat sifat sebagaimana
datangnya tanpa menafsirkannya baik dengan mengambil makna hakiki (zhohir)
maupun makna majazi (takwil). Inilah yang dimaksud dengan perkataan
punggawa-punggawa salaf radhiyallahu anhum di bawah ini:
وقال الوليد بن مسلم : سألت الأوزاعي ومالك بن أنس وسفيان الثوري والليث بن سعد عن الأحاديث فيها الصفات ؟ فكلهم قالوا لي : أمروها كما جاءت بلا تفسير
“Dan Walid bin Muslim berkata: Aku bertanya kepada Auza’iy,
Malik bin Anas, Sufyan Tsauri, Laits bin Sa’ad tentang hadits-hadits yang di
dalamnya ada sifat-sifat Allah? Maka semuanya berkata kepadaku: “Biarkanlah ia
sebagaimana ia datang tanpa tafsir.”
Tidak mentafsirkan ayat itu dengan tafsiran apapun. Ya biarkan
saja. Lha wong ayatnya memang begitu adanya. Nda’ usah diperdalam maknanya apa!
Nda’ usah ditakwil! Serahkan saja makna dan hakekat ayat itu kepada Allah
Ta’ala. Allah yang tahu artinya apa. Tugas kita hanya mengimani dan mensucikan
(tanzih) Allah dari segala sifat kekurangan (naqsh) dan penyerupaan (tasybih).
Ini pula yang dimaksud dengan perkataan Imam Sufyan bin Uyainah radhiyallahu
anhu:
كل ما وصف الله تعالى به نفسه فتفسيره تلاوته و السكوت عنه
“Setiap sesuatu yang Allah menyifati diri-Nya dengan sesuatu
itu, maka tafsirannya adalah bacaannya (tilawahnya) dan diam daripada sesuatu
itu.[5]
Sufyan bin Uyainah ingin memalingkan kita dari mencari makna
zhohir dari ayat-ayat sifat dengan cukup melihat bacaannya saja——–>
tafsiruhu tilawatuhu. Bacaannya adalah huruf-hurufnya, bukan maknanya——–>
tafsiruhu ta’rifuhu. Tidak demikan bukan?
Dan kalau sudah dibaca ayat-ayat sifat, ya sudah selanjutnya
diam saja. Resapi di dalam jiwa. Imani! Serahkan maknanya kepada Allah, titik.
Inilah manhaj salaf dalam memahami ayat-ayat sifat yang sering
dikenal dengan istilah tafwidh.
Selanjutnya :
Puji :
nah berarti anda tidak paham maksud. saya mengatakan mata adalah
mata sebagaimana bahasa arab dimana mata adalah untuk melihat. Yang saya maksud
dilekatkan pada manusia adalah kaifiyahnya sebagaimana yang saya sebutkan.
Artinya saya memahami mata ya mata, istiwa ya istiwa, kaki ya kaki. Tapi
berbeda dengan anda saya tidak pernah menanyakan “bagaimana mata, bagaimanba
kaki, dan bagaimana istiwa”. Terus terang kok sepertinya saya melihat anda
begitu sepotong-sepotong memahami masalah ini dan hanya mencomot sebagian dari
apa yang saya tuliskan kemudian mengambil ksimpulan. Bacalah total pastinya
anda tahu yang saya maksudkan. yaitu
Mata adalah mata sebagaimana arti yang kita ketahui tapi tidak
akan berimplikasi pada jism. Nah itulah perbedaan saudara dengan saya. Ketika
berkaitan dengan sifat Allah ketika disebut mata maka anda pasti melekatkannya
pada jism sedangkan saya tidak (karena anda menganggap kalau mata pasti ada
jism sedangkan saya tidak). Ingat Allah itu tuhan bukan makhluk jadi jangan
berpikir dengan membandingkan sifat tuhan dengan Makhluk, nggak bakal ketemu.
Dianth : “Mata adalah mata sebagaimana arti yang kita ketahui
tapi tidak akan berimplikasi pada jism”.
Yang namanya mata SEBAGAIMANA ARTI YANG KITA KETAHUI itu tidak layak
dinisbatkan kepada Allah, begitu juga tangan, kaki, wajah, dsb. Karena itu
semua itu apabila dimaknai atau diartikan sebagaimana yang kita ketahui adalah
alat atau bagian anggota tubuh (jisim) , sungguh aneh kalau ada yang mengatakan
bahwa mata bukan anggota tubuh, kalau bukan berarti adalah ungkapan atau majas
dan bukan makna hakiki, sebagaimana kaki langit, wajah ibu kota, dsb. Ini
perkataan yang kontradiktif. Kalau hal ini dibenarkan maka maksudnya menjadi
Allah punya tangan, punya kaki, punya wajah, bersemayam, turun, semua secara
hakiki maka Allah jadi serupa mahluk karena semua itu secara hakiki adalah
sifat mahluk. Maka maksud yang benar adalah tangan Allah adalah tangan menurut
makna yang dikehendaki oleh Allah sesuai dengan keagungannNya bukan makna
tangan sebagaimana yang kita pahami, artinya tidak dipahami sebagaimana yang
kita pahami (secara zhahir atau hakikat bila disandangkan dengan mahluk)
Puji : Coba deh antum baca aqidah Al Wasitiyyah ibnu Taimiyyah
dan bandingkan dengan aqidah salafi. Samakah ?
Dianth : Saya belum baca.
DianthMay 5,
2011 at 3:41 pm #
@Tomi
Skrg yg jadi pertanyaan, apakah akhi dianth mau atau tidak untuk
meluangkan waktunya membaca aqidah washithiyahnya Ibnu Taimiyyah berikut
syarohnya oleh Asy Syaikh Ibnu Utsaimin, sudah ada terjemahannya tuh
diterbitkan oleh Darul Haq.
Dianth : Saya belum ada bukunya, setahu saya, ulama Asy ariyah
menganggap Syaikh Ibnu Utsaimin berakidah (cenderung) tasybih dan tajsim. Nanti
saya cari.
Tomi : Dan saya ingin menambahkan mengenai tafwidh (yg mana akhi
dianth selalu saja salah tulis menjadi tawfidh).
Dianth : Ya, saya memang salah tulis, selanjutnya akan saya
perbaiki.
Tomi : Yg dimaksud salaf melakukan tafwidh itu hanyalah tafwidh
kaifiyah, bukan tafwidh makna ya akhi.
Dianth : Inilah perbedaan pemahaman antara Asy ariyah dan salafi
terhadap tafwidh, Asy ariyah berpendapat tafwidh makna dan kafiyat (karena
makna dan kafiyat itu berhubungan erat )
Tomi : Spt misalnya, para sahabat memahami dan mengimani makna
sifat Maha Melihat bagi Allah Ta’ala sesuai dengan makna ayat Al Qur’an yg
turun pada mereka dan dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam,
Dianth : Makna melihat dan mendengar tidak berhubungan dengan
jisim, karena itu adalah sifat Allah yang disebutNya sebagai sifat, berbeda
dengan mata dan telinga yang berhubungan dengan jisim karena bermakna alat atau
anggota tubuh yang berfungsi untuk melihat dan mendengar. Maha suci Allah dari
alat atau anggota tubuh untuk melihat dan mendengar.
Tomi : bukankah Al Qur’an turun dengan bahasa Arab yg mana mereka
adalah kaum yg paling mengerti makna bahasa Arab dibanding org2 yg datang
sesudahnya,
Dianth : Benar, oleh karena itu mereka beriman kepada ayat-ayat
tersebut semuanya. Karena mereka juga memahami bahwa ayat-ayat Al Quran juga
mengandung majas, ungkapan serta ayat-ayat muhkamat dan ayat-ayat mutasyabihat.
Tomi : tetapi bagaimana kaifiyahnya, mereka tawaqquf terhadap
itu, mereka diam, mereka sepenuhnya pasrah pada Allah karena memang tidak
adanya khabar dari Allah maupun dari Rasulullah yg sampai pada mereka mengenai
kaifiyahnya. Jadi, mereka memahami istiwa, nuzul, wajah, kaki, tangan ya
sebagaimana maknanya yg sampai pada mereka. Mereka tafwidh hanya pada
kaifiyahnya saja. Saya kira riwayat2 atsar yg berhubungan dengan ini semua
sudah ada pada linknya Abul jauzaa yg saya kasih, tp entah kenapa anda yg
membuatnya menjadi ribet.
Dianth : Mereka memahami makna sesuai kaidah bahasa Arab yang
sampai kepada mereka (termasuk kaidah takwil dan tafsir), tidak berarti
semuanya ditafsirkan secara zhahir dan mereka beriman kepada semua yang
diturunkan Allah.
Tomi : Lalu mengenai jism & tasybih, Al Imam Ishaq bin
Rahawaih pernah berkata, “tasybih itu hanya terjadi apabila kau mengatakan,
wajah Allah seperti wajahku, tangan Allah spt tanganku…” Apakah sulit memahami
perkataan beliau ya akhi?
Dianth : perkataan ini juga bisa multi tafsir mas Tomi, karena
maksud seperti itu apakah sama atau mirip atau serupa ? karena bila anda
katakan bahwa Allah punya mata, punya telinga maka bisa pula diartikan orang
wajah Allah serupa wajahku karena punya mata dan punya telinga serupa dengan
wajahku yang punya mata dan punya telinga. Repotkan,,,,? ini kan tergantung
pemahaman dan dasar keilmua orang itu dalam memahaminya.
Tomi : jadi, mengimani dan memaknai secara zhohir itu tidaklah berkonsekuensi
pada jism & tasybih dan lagi Allah Ta’ala telah berfirman “Laisa
kamitslihii bi syai’un” (tidak ada sesuatu yg serupa denganNya).
Dianth : Justru makna zhahir itu berkonsekuensi pada jisim dan
tasybih karena makna zhahir yang kita pahami adalah jisim dan tasybih, kalau
bukan jisim dan tasybih berarti bukan makna zhahir. dan lagi Allah Ta’ala telah
berfirman “Laisa kamitslihii bi syai’un” (tidak ada sesuatu yg serupa
denganNya), sehingga semua kata yang bermakna jisim dan tasybih seperti tangan,
kaki, wajah dsb bila diartikan secara zhahir adalah tidak bermakna jisim dan
tasybih bila disandarkan kepada Allah, artinya semua itu tidak bermakna zhahir.
Sekali lagi saya katakan bahwa secara zhahir (pemahaman kita )
semua itu adalaj jisim atau bentuk jisim.
Tomi : Oleh karena itu ketika anda membawakan perkataan ustadz
salafi yg berkata, “manusia punya tangan, monyet juga punya tangan, tapi
hakikat tangan manusia berbeda dengan tangan monyet.” Saya kira tidak ada yg
salah dengan kalimat ini, ini hanyalah analogi ringan untuk menjelaskan pd
manusia tetapi tidaklah menjelaskan kaifiyah dari tangan Allah Ta’ala.
Diharapkan dari kalimat ini, bisa diambil faidah bahwa, sesama
makhluk ciptaan Allah saja hakikatnya sudah beda kok maka bagaimana pula dengan
Sang Maha Pencipta, lebih tidak ada yg serupa lg denganNya. Maha Suci Allah.
Saya kira memang inilah perbedaan mendasar dari manhaj
asy’ariyah dengan manhaj salaf dalam masalah aqidah yg mana asy’ariyah menolak
untuk memaknai secara zhohir karena khawatir terjatuh pada jism & tasybih,
entah mereka lebih memilih melakukan ta’wil atau bagaimana saya tidak tahu.
Sebaliknya manhaj salaf memakai metode klasik para salafus sholih yaitu
mengimani dan memaknai secara zhohir dari apa yg mereka pahami dari sebuah ayat
asma wa shifat.
Demikian yg bisa saya tuliskan dari apa yg saya pahami.
Dianth : Coba anda renungkan lagi dalam-dalam :
mayoritas salaf lebih memilih untuk menyerahkan maknanya kepada
Allah Ta’ala , inilah yang disebut dengan tafwidh karena:
وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ
“Tidak ada yang tahu takwilnya kecuali Allah” (Ali Imran:7)
Kenapa takwil, bukan makna? Karena maksud takwil di situ adalah
makna, yaitu makna yang layak bagi Allah (tentulah ini hanya Allah saja yang
tahu).
وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ
“Dan tidak ada yang tahu takwilnya kecuali Allah dan orang-orang
yang rusukh ilmunya” (Ali Imran: 7)
Sebab tafsir belum tentu takwil tetapi takwil sudah pasti bagian
daripada tafsir. Kalau alquran menggunakan lafazh tafsir maka akan terbuka
peluang bagi manusia untuk mengartikan ayat-ayat mutasyabihat secara zhohir,
itulah sebabnya kenapa alquran mengkhususkan menggunakan lafazh takwil; untuk
menutup peluang kepada manusia daripada mencari arti ayat mustasyabihat secara
zhohir. Maka penggunaan lafazh takwil pada ayat tersebut adalah sudah merupakan
isyarat langsung dari Allah kepada orang-orang yang rusukh ilmunya untuk
mencari takwilnya, bukan mencari tafsirnya secara umum yang mencakup makna
zhohir. Itulah sebabnya takwil juga merupakan bagian daripada tafsir untuk
memilah dan memilih makna yang sebenar daripada lafazh-lafazh yang udzur
diartikan secara zhohir. Ini telah maklum dalam ilmu tafsir.
Demikian dari saya, salam hangat.
tommiMay 6,
2011 at 1:56 pm #
syukron jazakalloh terhadap
komentar saya mas dianth. Lebih kurangnya saya paham terhadap apa yg
anda pahami mengenai tafwidh dan itulah pemahaman anda, saya hormati.
Untuk selanjutnya, mungkin saya mencukupkan diskusi ini karena
toh apa yg saya ingin sampaikan selanjutnya sbnrnya sudah terwakili oleh komen
mas abdul syukur dan mas puji, semoga Allah Ta’ala menjaga mereka berdua
khususnya dan semua yg ada disini pada umumnya.
Bila ada komen saya yg menyinggung, mohon dimaafkan. Oh iya 1 lg
mas dianth (hehehe ini beneran pertanyaan terakhir), jika berpulang pd diri
anda sendiri terlepas dr berbagai pendapat ulama yg dijabarkan disini, didalam
tauhid asma wa shifat, anda lebih memilih mana, melakukan takwil atau tafwidh?
Afwan.
DianthMay 6,
2011 at 4:04 pm #
Tomi : Bila ada komen saya yg menyinggung, mohon dimaafkan.
Tidak ada yang menyinggung, sama-sama aja. salam.
Tomi : Oh iya 1 lg mas dianth (hehehe ini beneran pertanyaan
terakhir), jika berpulang pd diri anda sendiri terlepas dr berbagai pendapat
ulama yg dijabarkan disini, didalam tauhid asma wa shifat, anda lebih memilih
mana, melakukan takwil atau tafwidh?
Dianth : saya cenderung tafwidh tapi tidak menolak takwil ulama
yang saya yakini keilnuan dan kebersihan hatinya.
pujiMay 5,
2011 at 4:21 pm #
@diant
Masalah penjelasan Imam Qhurtubi, saya meragukan terjemahannya
seperti itu.
Jawaban Saya :
Sederhana saja, silakan check sendiri dalam kitab beliau, Saya tidak perlu
menutup-nutupi apakah terjemahan dari saya benar atau tidak (^_^). Kitab
tersebut bukan monopoli kaum salafi kok. Kalau ternyata terjemahan saya salah
silakan dikoreksi
Diant :Saya belum baca.
Jawaban Saya : Ini kesalahan fatal, anda berusaha menggambarkan
seolah-olah salafi “memaksakan diri” menyandarkan pada perkataan Ibnu Taimiyyah
tapi sepertinya saudara sendiri belum membaca pendapat Ibnu Taimiyyah mengenai
hal ini. Bukankah lebih baik saudara membaca dulu baru nanti berdiskusi lagi ?
Diant :
Lagi pula Imam Qurthubi sendiri kata anda berakidah asy’ari, jadi kenapa Imam
Qhurtubi tidak menempuh jalan salaf ? Jawabannya adalah bahwa akidah asy ariyah
sama dengan jalan salaf,
ini cuma “asumsi” saudara. Seperti saya kemukakan saya tidak
mengetahui sebab kenapa Imam Qurthubi tidak menempuh pendapat salaf dalam hal
ini. Tidak disebutkan dalam kitab beliau jadi saya juga tidak tahu. Karena
tidak tahu saya katakan tidak tahu dan saya tidak ingin membuat asumsi.Bagi saya jawaban seperti saudara
itu tidak ilmiah sama sekali. Saya menggunakan data fakta bukan asumsi
DianthMay 6,
2011 at 4:09 pm #
Bila benarpun Imam Qhurtubi mengatakan “tidak ada seorangpun
dari kalangan salafus shalih yang mengingkari bahwa Allah istiwa` (bersemayam)
di atas arsy-Nya secara hakiki” tidaklah bisa saya ambil pendapatnya secara
mutlak, karena memang ada ulama salaf yang juga melakukan takwil terhadap
ayat-ayat mutasyabihat seperti ini.
ini cuma “asumsi” saudara.
Ini bukan asumsi tetapi keyakinan saya dan mayoritas ulama serta
umat islam.
Salam.
pujiMay 8,
2011 at 7:20 am #
baca dengan baik-baik saudara Dianth, yang saya sebut asumsi
adalah perkastan saudara menegnai Imam Qurthubi yaitu :
“Lagi pula Imam Qurthubi sendiri kata anda berakidah asy’ari,
jadi kenapa Imam Qhurtubi tidak menempuh jalan salaf ? Jawabannya adalah bahwa
akidah asy ariyah sama dengan jalan salaf”
bukankah ini asumsi saudara. Kalau anda tidak mengakui ini hanya
asumsi saudara maka bisa buktikan kepada saya bahwa Imam Qurthubi berbicara
seperti yang sauadar akatakan ?
Bila benarpun Imam Qhurtubi mengatakan “tidak ada seorangpun dari
kalangan salafus shalih yang mengingkari bahwa Allah istiwa` (bersemayam) di
atas arsy-Nya secara hakiki” tidaklah bisa saya ambil pendapatnya secara
mutlak, karena memang ada ulama salaf yang juga melakukan takwil terhadap
ayat-ayat mutasyabihat seperti ini.
Lho anda itu aneh, kok kesannya terlalu membela diri. Seperti
saya kemukakan bahwa Aqidah Imam Qurthubi dalam hal ini adalah AsSyari dengan
kata lain Memaknai Sifat Allah secara hakiki adalah BUKAN pendapat Imam
Qurthubi. Dalam penjelasan kitab beliau menjelaskan tentang pendapat-pendapat
salah satuanya pendapat Ulama Salaf Al Awwal dan sekali lagi ITU BUKAN PENDAPAT
AL QURTHUBI. Jadi seharusnya anda berkata (kalau mengakui perkataan Imam
Qurthubi dalam tafisirnya) bahwa pendapat salaf Al Awwal belum tentu benar.
bukankah begitu ?
tapi mungkin bisa saya beritahu , tapi sekali lagi ini
“kemungkinan” lho ya kenapa Imam Qurthubi berpendapat demikian adalah para
ulama AsSyari generasi awal menganggap bahwa itsbat itu lebih selamat (yang
merupakan pendapat salaf Al Awwal) sedangkan takwil itu lebih hikmah (yang
mrupakan pendapat AsSyairiyah), sekali lagi ini hanya kemungkinan. Bahkan ulama
AsSyari seperti Al Baqillani sepengetahuan saya banyak melakukan itsbat dan
tidak takwil
tidaklah bisa saya ambil pendapatnya secara mutlak
Perkataan anda ini sangat aneh sekali wong Imam Qurthubi tidak berpendapat
seperti itu sejak awal khan ?. Dalam hal ini AL Qurthubi tidak sedang
menjelaskan pendapat beliau tetapi menjelaskan pendapat Salaf Al Awwal (Salaf
generasi Awal red)
pendapat Ibnu Baththaal, adalah pendapatnya, dan tidak mesti
benar, banyak juga ulama yang menakwilkan makna tangan, banyak juga ulama yang
tafwidh. Ibnu Baththaal juga tidak menjelaskan harus dimaknai ke makna
zhahirnya kan?
Masak sih ? kalau begitu definisi saya pendapat saudara pun
tidak mesti benar bukan. Kalau menurut anda apa maksud perkataan Ibnu Baththaal
?
lihat dan baca baik-baik “menunjukkan kekhususan Adam
bahwasannya Allah telah menciptakannya dengan kedua tangan-Nya”. Ibnu Baththaal
menyebut dengan kedua Tangan-Nya bukan cuma baginya tangan
coba lihat lagi keterangan Al-Lalika`i meriwayatkan dalam
kitabnya Syarh I’tiqad Ahlis Sunnah dengan sanad sebagai berikut:
Muhammad bin Al-Muzhaffar Al-Muqri mengabarkan kepada kami, dia
berkata, Al-Husain bin Muhammad bin Habsy Al-Muqri menceritakan kepada kami,
dia berkata, Abu Muhammad Abdurrahman bin Abu Hatim menceritakan kepada kami,
Aku bertanya kepada ayahku dan Abu Zur’ah tentang madzhab Ahlus Sunnah dalam
hal pokok-pokok agama serta apa yang mereka ketahui mengenai pendapat para
ulama di semua negeri dalam hal ini. Mereka menjawab, “Kami sudah mendapati
para ulama di berbagai negeri seperti di Hijaz, Irak, Syam dan Yaman, di antara
yang menjadi akidah mereka adalah…..”
Lalu disebutkanlah beberapa hal dan salah satunya, “Dan Allah berada di atas
arsy-Nya terpisah dari makhluk sebagaimana yang Dia sifatkan sendiri dalam
kitabnya dan berdasarkan lisan Rasul-Nya….”
(Lihat Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah oleh Al-Laki`iy, juz 1
hal. 176 – 177).
Kalau istiwa itu tanpa makna seperi saudara maksud dan hakiki
maka perkataan Al-Lalika`i menjadi tidak ada artinya. Kalau sauadara
berpendapat bahwa Al-Lalika`i belum tentu benar jawabannya iya, tapi anda juga
belum tentu benar khan (^_^) ?
karena memang ada ulama salaf yang juga melakukan takwil terhadap
ayat-ayat mutasyabihat seperti ini
Buktikan kepada saya ada ulama salaf Al Awwal yang melakukan itu
? Ingat Salaf Al Awwal sebelum munculnya AsSyairiyyah
DianthMay 15,
2011 at 2:49 pm #
Mas puji, kalau beliau Imam Qhurtubi benar mengatakan bahwa
“tidak ada seorangpun dari kalangan salafus shalih yang mengingkari bahwa Allah
istiwa` (bersemayam) di atas arsy-Nya secara hakiki” maka saya menolak
ucapannya,karena menurut pemahaman saya dan para ulama asy ariyah yang bersanad
kepada ulama salaf, Para sahabat dan salaf umat ini tidak memahami ayat-ayat
mutasyabihat seperti ini dengan makna zhahir. Begitu juga dengan pendapat
pendapat Ibnu Baththaal.
Adapun contoh takwil adalah seperti takwil Ibnu Abas terhadap
makna kursi Allah dengan makna Ilmu Allah. Lihat juga artikel ustad dobdob
tentang takwil.
Abdul SyukurJune 1,
2011 at 10:21 am #
Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu menafsirkan kursi dengan berkata:
الكُرْسيُّ مَوْضِعُ قَدَمَيْهِ
“Kursi adalah tempat kedua telapak kaki Allah.” (HR. al-Hakim
no. 3116, di hukumi shahih oleh al-Hakim dan adz-Dzahabi)
Gimana mantab kan? :)
pujiJune 1,
2011 at 4:22 pm #
,karena menurut pemahaman saya dan para ulama asy ariyah yang
bersanad kepada ulama salaf
Saya meminta bukti ucapan saudara ini. Karena kalau saya lihat
kronologi perkataan Imam Qurthubi pemahaman As-Syari baru muncul pada masa Imam
Abu hasan Al AsSyari dan tidak pada masa salaf awwal. kecuali saadara bisa
membuktikan lain. Pemahaman tersebut muncul karena deadlock antara kaum salaf
yang mengambil sikap itsbat dan mu’tazillah yang mendewakan akal.
Tapi saya kira jelas kok, apapun ulama yang mengatakan sebalik
dari pendapat anda saya kira jawaban anda sudah saya ketahui yaitu “saya
menolak”. Saya juga pun bisa menggunakan kaidah yang sama. Saya menolak pendapat
As Syari karena itu bukanlah pendapat Salaf Al Awwal
DianthJune 7,
2011 at 11:17 am #
“Kursi adalah tempat kedua telapak kaki Allah.” bila dimaknai
secara zhahir adalah bentuk kecenderungan tajsim yang sangat jelas.
hasanMay 10,
2011 at 5:32 am #
Ini bukan asumsi tetapi keyakinan saya dan mayoritas ulama serta
umat islam.
Yang saya maksud adalah perkataan saudara “Lagi pula Imam
Qurthubi sendiri kata anda berakidah asy’ari, jadi kenapa Imam Qhurtubi tidak
menempuh jalan salaf ? Jawabannya adalah bahwa akidah asy ariyah sama dengan
jalan salaf”. Jika ini bukan asumsi bisa buktikan kepada saya kalau Imam
qurthubi mengatakannya atau ulama lain mengatakan Imam Qurthubi berkata seperti
itu?
dijelaskan oleh Al-Imam Al-Baihaqi dalam kitabnya Al-Asma` wa
Ash-Shifat juz 2 hal. 324 bahwa maksudnya adalah di atas langit, sama dengan firman Allah yang lain, {فسيحوا
في
الأرض}
artinya berjalanlan di atas bumi, bukan dalam perut bumi.
Adakah perkataan Al Baihaqi kurang jelas ?
“Apakah kamu merasa aman terhadap (Allah) yang di langit bahwa Dia akan
menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu
bergoncang?” (Qs. Al-Mulk : 16).
Siapa yang di langit itu? Imam Abu Ja’far Ath-Thabari menjawab,
“Dia adalah Allah.” (Tafsir Ath-Thabari 23/513).
Akidah Ath-Thabari jelas dalam hal ini bahwa dia berkeyakinan
Allah itu lebih tinggi di atas arys-Nya sebagaimana dia sebutkan ketika
menafsirkan ayat keempat surah Al-Hadid: (وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَمَا كُنْتُمْ) (Dan dia bersama kalian di
manapun kalian berada). Ibnu Jarir mengatakan,
يقول: وهو شاهد لكم أيها الناس أينما كنتم يعلمكم، ويعلم أعمالكم، ومتقلبكم ومثواكم، وهو على عرشه فوق سمواته السبع
“Maksudnya, Allah itu maha melihat apa yang kalian lakukan wahai
manusia, Dia maha tahu perbuatan kalian, kemana kalian pergi dan di mana kalian
menetap, tapi Dia sendiri di atas arsy-Nya yang berada di atas langit yang
tujuh.”(Tafsir Ath-Thabari juz 23 hal. 169).
Adakah perkataan At-Thabari kurang jelas ?
Musa bin Ismail menceritakan kepada kami, Hammad –yakni Ibnu
Salamah- menceritakan kepada kami, dari ‘Ashim, dari Zirr, dari Ibnu Mas’ud ra
yang berkata, “Antara langit dunia dengan langit setelahnya ada jarak 500 tahun
(perjalanan), antara setiap langit adalah 500 tahun. Antara langit ketujuh
dengan kursi jaraknya 500 tahun, antara kursi dan air jaraknya 500 tahun, dan arsy ada di atas air
sedangkan Allah di atas arys dan Dia maha mengetahui apa yang kalian lakukan.”(Ar-Radd ’ala Al-Jahmiyyah,
hal. 46, nomor 81).
Sudah sangat terkenal perkataan Zainab bintu Jahsy yang berkata,
”Allah telah menikahkanku dari atas ketujuh langit-Nya.” (HR. Al-Bukhari dalam
shahihnya, nomor 7420).
Sudah sangat terkenal pernyataan dari Abdullah bin Al Mubarak sang
hafizh ulung ketika dia ditanya “Bagaimana kita mengetahui Tuhan kita?” Maka
dia menjawab, “Di langit, tidak seperti kata Jahmiyyah bahwa dia berada di sini
(bumi).” (As-Sunnah, juz 1, hal. 111, tahqiq: Al-Qahthani).
Kalau istiwa tidak diketahui maknanya,bukankah ucapan Mubarak
akan sia-sia ?
Perkataan Ibnu Al-Mubarak ini juga dikeluarkan oleh Al-Baihaqi
dalam kitab Al-Asma` wa Ash-Shifaat, juz 2 hal. 335 dengan sanad yang shahih
sebagaimana dijelaskan panjang lebar sanadnya oleh muhaqqiq kitab, Abdullah bin
Muhammad Al-Hasyidi.
akankah saudara akan mengatakan tak mengetahui makna istiwa alal
arsy ?
DianthMay 15,
2011 at 2:39 pm #
akankah saudara akan mengatakan tak mengetahui makna istiwa alal
arsy ?
Mas Hasan, Istiwa alal Arsy bukan berarti Allah bertempat di
Arsy atau di atas langit dan mempunyai arah secara indrawi yaitu arah atas.
Imam asy-Syafi’i Muhammad ibn Idris (w 204 H), seorang ulama
Salaf terkemuka perintis madzhab Syafi’i, berkata:
“Sesungguhnya Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat.
Kemudian Dia menciptakan tempat, dan Dia tetap dengan sifat-sifat-Nya yang
Azali sebelum Dia menciptakan tempat tanpa tempat. Tidak boleh bagi-Nya
berubah, baik pada Dzat maupun pada sifat-sifat-Nya” (LIhat az-Zabidi, Ithâf
as-Sâdah al-Muttaqîn…, j. 2, h. 24).
Bila ulama salaf mengucapkan perkataan Allah di atas langit atau
Allah istiwa di atas arsy itu berarti para ulama salaf mengucapkan ucapan Al
Quran, dan mereka mayoritas melakukan tafwidh atau takwil ijmali atas makna di
atas langit dan istiwa di atas arsy. Mereka beriman kepadanya dan mereka
memahami ayat-ayat itu sebagai ungkapan kemulian dan keagungan Allah bukan
tempat dan arah bagi Allah secara indrawi atau fisik.
Abdul SyukurJune 1,
2011 at 10:18 am #
Mengenai perkataan Imam Syafi’i yang dikutip oleh Az-Zabidi,
cobalah teliti dulu kebenaran kisah tersebut karena Imam Syafi’i dan Az-Zabidi
terpaut jauh kehidupannya.
Ringkasnya, jelaskan Sanad perkataan Imam Syafi’i tersebut dalam
kitab apa.
Jangan ASAL TULIS dan ASAL BANTAH aja, :)
pujiJune 1,
2011 at 7:25 pm #
Mas Hasan, Istiwa alal Arsy bukan berarti Allah bertempat di Arsy
atau di atas langit dan mempunyai arah secara indrawi yaitu arah atas.
Kesimpulan saudara berbeda maksud dengan Imam Al baihaqi. Yang
perlu saudara ketahui maksud atas dalam sifat Allah adalah tinggi dari semua
makhluknya (artinya berada diluar makhluk, ruang dan tempat maupun waktu adalah
ciptaan Allah juga maka tak mungkin Allah diliputi tempat maupun ruang). Akan
tetapi makna atas sudah jelas khan ?
Lihatlah pembelaan Ibnu Hajar kepada Ibnu Taimiyyah sbb (kalau
saudara sudah membaca al aqidah al wasitiyyah mestinya sudara tahu maksud
perkataan Ibnu hajar khusunya mengenai tuduhan mujassimah kepada beliau) dengan
perkataannya “Padahal karangan-karangan beliau penuh dengan bantahan dan
berlepas diri kepada siapapun yang meyakini tajsim.”
nah jelas dari perkataan Ibnu hajar tidak menyebut Ibnu
taimiyyah sebagai mijassim atau cenderung mujassim.
Sekarang kita pakai kaidah ilmiah saja saudara dianth. pertama
apakah saudara sudah mempelajari Al Aiqdah Al Wasitiyyah. kalau sudah bagaimana
kesimpulan saudara. Jika cenderung mujassim maka kesimpulan saudara tidaklah
sama dengan Ibnu Hajar. Jika tidak mujassim lalu apa perbedaan pandangan salafi
dengan ibnu taimiyyah dalam hal ini ? Jika saudara “bersedia” melakukan ini
maka saya anggap saudara berusaha bersikap objectif dengan mempelajari dulu
pendapat Ibnu taimiiyah kemudian dibandingkan dengan pendapat salafi. Bukankah
begitu ?
Bila ulama salaf mengucapkan perkataan Allah di atas langit atau
Allah istiwa di atas arsy itu berarti para ulama salaf mengucapkan ucapan Al
Quran, dan mereka mayoritas melakukan tafwidh atau takwil ijmali atas makna di
atas langit dan istiwa di atas arsy.
tak ada bukti mengenai pernyataan saudara ini. Maaf saya
menolaknya karena jelas-jelas yang saya paparkan merupakan penjelasan lebih
detail. Akankah penjelasan Imam baihaqi kurang jelas ? Apakah perkataan Mubarak
tidak jelas ? Apakah perkataan At-Thabari tidak jelas. Bisakan saudara
menjelaskan kesalahan pemahaman saya terhadap perkataan mereka ? tentunya
dengan perkataan mereka yang lebih rinci bukan penjelasan umum.
pujiMay 5,
2011 at 4:34 pm #
@Diant
“Dan Walid bin Muslim berkata: Aku bertanya kepada Auza’iy,
Malik bin Anas, Sufyan Tsauri, Laits bin Sa’ad tentang hadits-hadits yang di
dalamnya ada sifat-sifat Allah? Maka semuanya berkata kepadaku: “Biarkanlah ia
sebagaimana ia datang tanpa tafsir.”
Ucapan ini benar, akan tetapi saudara dan saya berbeda
pemahaman. Ucapan seperti itu juga diucapkan oleh Imam Ahmad dan banyak ulama
semisalnya. Tanpa tafsir saya pahami sebagai tidak boleh ditakwil (dialihkan
artinya dari arti yang sebenarnya/ditafsirkan red). Dalam hal ini AsSyari
melakukan takwil juga [ada dua pendapat satu menyerahkan makna dan yang satu
takwil]
oleh karena itu Ibnu Baththaal berkata saat memberikan bantahan
terhadap orang yang menta’wilkan sifat dua tangan dengan kekuasaan atau nikmat
:
ويكفي
في
الرد
على
من
زعم
أنهما
بمعنى
القدرة
أنهم
أجمعوا
على
أن
له
قدرة
واحدة
في
قول
المثبتة
ولا
قدرة
له
في
قول
النفاة
. . ويدل
على
أن
اليدين
ليستا
بمعنى
القدرة
أن
قوله
تعالى
لإبليس
: { مَا
مَنَعَكَ
أَنْ
تَسْجُدَ
لِمَا
خَلَقْتُ
بِيَدَيَّ
} [ سورة
ص
،
الآية
: 75 ] إشارة إلى المعنى الذي أوجب السجود ، فلو كانت بمعنى القدرة لم يكن بين آدم وإبليس فرق لتشاركهما فيما خلق كل منهما به وهي قدرته ، ولقال إبليس : وأي فضيلة له عليَّ وأنا خلقتني بقدرتك ، كما خلقته بقدرتك فلما قال : { خَلَقْتَنِي
مِنْ
نَارٍ
وَخَلَقْتَهُ
مِنْ
طِينٍ
} [ سورة
ص
،
الآية
: 76 ] دل على اختصاص آدم بأن الله خلقه بيديه قال : ولا جائز أن يراد باليدين النعمتان لاستحالة خلق المخلوق بمخلوق لأن النعم مخلوقة
“Cukuplah bantahan bagi orang yang berkata tangan Allah bermakna kekuasaan,
bahwasannya mereka sepakat Allah mempunyai kekuasaan yang satu menurut pendapat
yang menetapkan, dan tidak mempunyai kekuasaan menurut pendapat yang menafikkannya…. Dan
hal yang menunjukkan Allah mempunyai dua tangan yang tidak bermakna kekuasaan
adalah firman Allah ta’ala kepada Iblis : ‘Apa yang menghalangimu untuk
bersujud kepada manusia yang Aku ciptakan dengan kedua tangan-Ku ?’ (QS. Shaad
: 75); sebagai isyarat kepada makna yang mewajibkan syaithan untuk sujud
(kepada Adam). Seandainya tangan itu bermakna kekuasaan, niscaya tidak akan ada
bedanya antara Adam dan Iblis karena persamaan antara keduanya dalam
penciptaan, yaitu karena kekuasaan-Nya. Dan niscaya Iblis akan berkata :
‘Kelebihan apa yang ia (Adam) punya di atas diriku padahal aku Engkau ciptakan
dengan kekuasaan-Mu sebagaimana ia Engkau ciptakan dengan kekuasaan-Mu pula ?’.
Ketika Iblis berkata : ‘Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan ia Engkau
ciptakan dari tanah’ (QS. Shaad : 76) menunjukkan kekhususan Adam bahwasannya
Allah telah menciptakannya dengan kedua tangan-Nya. Tidak boleh juga dikatakan
dua tangan maknanya adalah dua nikmat, karena mustahil Allah menciptakan
makhluk dengan makhluk – yaitu karena nikmat itu sendiri adalah makhluk”
Al-Ismaa’iliy juga menyatakannyanya dalam kitab ‘Aqiidah
Ahlil-Hadiits, saat ia berkata :
وخلق
آدم
عليه
السلام
بيده
،
ويداه
مبسوطتان
ينفق
كيف
يشاء
بلا
اعتقاد
كيف
يداه
إذ
لم
ينطق
كتاب
الله
تعالى فيه
بكيف
“Allah menciptakan Adam ‘alaihis-salaam dengan tangan-Nya, dan kedua tangan-Nya
terbuka memberikan (karunia kepada makhluk) sebagaimana yang Ia kehendaki,
tanpa disertai keyakinan penentuan kaifiyah kedua tangan-Nya; yaitu ketika
tidak ada penjelasan di dalam Kitabullah tentang kaifiyah tersebut”
[lihat blognya Abul Jauzaa]
DianthMay 6,
2011 at 3:39 pm #
pendapat Ibnu Baththaal, adalah pendapatnya, dan tidak mesti benar,
banyak juga ulama yang menakwilkan makna tangan, banyak juga ulama yang
tafwidh. Ibnu Baththaal juga tidak menjelaskan harus dimaknai ke makna
zhahirnya kan?
Al-Ismaa’iliy ? saya kurang paham maksudnya, karena juga tidak
menjelaskan harus dimaknai makna zhahir, “tanpa disertai keyakinan penentuan
kaifiyah kedua tangan-Nya; yaitu ketika tidak ada penjelasan di dalam
Kitabullah tentang kaifiyah tersebut” bukan berarti harus dimaknai zhahir kan,
tapi jangan ditakwilkan atau tetapkan saja tangan Allah dan diam.
Abdul SyukurMay 5,
2011 at 5:27 pm #
@ Mas Dianth
Awalnya saya ingin bahas per point tapi saya rasa jadi agak
bertele-tele, kita masuk kepada contoh yang lebih real saja untuk melihat
pemahaman antum.
sejarah mencatat PERMUSUHAN SENGIT antara Ulama Salaf dengan JAHMIYAH
Ulama Salaf memahami Sifat-Sifat Allah secara Hakikat bukan
Kiasan/Perumpamaan/Majaz.
Untuk Sifat Istiwa beberapa Salaf sampai memberikan penjelasan
bahwa Allah Istiwa “Bi Dzatihi” (dengan Dzat nya) di atas Arsy
mereka antara lain:
– Harits Al-Muhasibi
– Abu Ja’far Ibnu Syaibah
Ada juga Ulama Salaf yang menambahkan kata “Bainun Min Khalqihi”(Terpisah dengan Makhluknya)
antara lain:
– Abdullah Bin Mubarak (Guru Imam Bukhari)
– Abu Hatim Ar-Razi
– Abu Zur’ah
Untuk Sifat Tangan, Mata atau Wajah, seorang Tabi’in yakni Wahab
Bin Munabih mengatakan:
Berkata Wahb bin Munabbih ketika ditanya oleh seorang tokoh
sesat Ja’d bin Dirham tentang asma’ wa sifat: Celaka engkau wahai Ja’d karena
permasalahan ini. Sungguh aku menduga engkau akan binasa. Wahai Ja’d, kalau saja
Allah tidak mengkabarkan dalam kitab-Nya bahwa dia memiliki tangan, mata atau
wajah, tentu kamipun tidak akan mengatakannya.Bertakwalah engkau kepada
Allah!”(Aqidatus Salaf Ashhabul Hadits-Abu Isma’il Ash-Shabuni)
* Ja’ad Bin Dirham ini adalah pelopor JAHMIYAH
Sedangkan JAHMIYAH memahami Sifat Allah sebagai
Kiasan/Perumpamaan/Majaz dengan kata lain TIDAK ADA/TIDAK MEMILIKI,.. jadi
Allah Tidak memiliki Sifat Istiwa, Mata, Tangan, Wajah dll
Karena pemahaman Ulama Salaf yang seperti demikian maka mereka
digelari oleh JAHMIYAH sebagai MUSYABIHAH (orang menyerupakan Allah dengan
makhluknya)
Menurut antum yang sesat Ulama Salaf atau JAHMIYAH?
# (sekedar membantu analisa) Seandainya Ulama Salaf memahami
Sifat Allah seperti JAHMIYAH, yakni Istiwa nya Allah adalah Kiasan/Perumpamaan,
Demikian juga dengan Sifat Mata, Tangan, Wajah dll adalah
Kiasan/Perumpamaan…maka Ulama Salaf telah tenggelam dalam KESALAH FAHAMAN yang
KRONIS yakni Salah faham terhadap JAHMIYAH.
dan tidak tanggung-tanggung yang Salah Faham adalah JUMHUR Ulama
Salaf seperti beberapa nama-nama diatas, Imam Ahmad, Imam Bukhari, Imam
Tirmidzi dll
jadinya, Kisah permusuhan mereka adalah Dagelan konyol Ahli
Ilmu…Mereka meributkan hal yang sebenarnya sama (mereka pahami) dengan
JAHMIYAH:)
# Seandainya JAHMIYAH memahami Sifat Allah secara Hakikat bukan
Kiasan/Perumpamaan maka mereka menjadi pengikut Ulama Salaf…dan Tidak ada yang
namanya Firqoh JAHMIYAH. :)
OK mas Dianth, ditunggu komentar antum, silahkan
(Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani yang Ulama Khalaf pun memahami
Istiwa nya diatas Arsy adalah Bi Dzatihi)
DianthMay 6,
2011 at 3:31 pm #
Abdulsyukur :sejarah mencatat PERMUSUHAN SENGIT antara Ulama
Salaf dengan JAHMIYAH
Ulama Salaf memahami Sifat-Sifat Allah secara Hakikat bukan
Kiasan/Perumpamaan/Majaz.
Dianth : Justru sejarah mencatat bahwa mayoritas ulama salaf
tafwidh dan sebagian lagi menakwilnya dengan takwil yang sesuai dengan kaidah
bahasa Arab
Abdulsyukur :
Untuk Sifat Istiwa beberapa Salaf sampai memberikan penjelasan bahwa Allah
Istiwa “Bi Dzatihi” (dengan Dzat nya) di atas Arsy
Dianth : Justru ulama berbeda pendapat tentang makna istiwa,
anda lihat sendiri tafsiran para ulama atas sifat istiwa.
Abdulsyukur : Untuk Sifat Tangan, Mata atau Wajah, seorang
Tabi’in yakni Wahab Bin Munabih mengatakan:
Berkata Wahb bin Munabbih ketika ditanya oleh seorang tokoh
sesat Ja’d bin Dirham tentang asma’ wa sifat: Celaka engkau wahai Ja’d karena
permasalahan ini. Sungguh aku menduga engkau akan binasa. Wahai Ja’d, kalau
saja Allah tidak mengkabarkan dalam kitab-Nya bahwa dia memiliki tangan, mata
atau wajah, tentu kamipun tidak akan mengatakannya.Bertakwalah engkau kepada
Allah!”(Aqidatus Salaf Ashhabul Hadits-Abu Isma’il Ash-Shabuni)
* Ja’ad Bin Dirham ini adalah pelopor JAHMIYAH
Sedangkan JAHMIYAH memahami Sifat Allah sebagai Kiasan/Perumpamaan/Majaz
dengan kata lain TIDAK ADA/TIDAK MEMILIKI,.. jadi Allah Tidak memiliki Sifat
Istiwa, Mata, Tangan, Wajah dll
Dianth : Ulama-ulama Asy ariyah menetapkan sifat-sifat Allah,
Allah memiliki sifat-sifat sebagaimana yang disebut dalam Al Qur an dan hadist.
Adapun ayat-ayat khabariyah yang disandarkan kepada Allah, telah dijelaskan ada
2 pendekatan yaitu tafwidh atau takwil ijmali seperti Ditanyakan kepada Imam
Ahmad bin Hanbal masalah hadist sifat, ia berkata ”Nu’minu biha wa nushoddiq
biha bilaa kaif wala makna” (Kita percaya dg hal itu, dan membenarkannya tanpa
menanyakannya bagaimana, dan tanpa makna) dan takwil tafsili seperti tafsir
Ibnu katsir atas kata ‘yadun': Tafsiran mereka “Kami menjadikan langit dengan
(qudrat) kuasa kami”. ( Tafsir Ibnu Kathir Juz : 4 Mukasurat : 237 ,
sebagaimana takwil ulama salaf dan khalaf yang sesuai dengan kaidah bahasa
Arab.
Abdulsyukur : Karena pemahaman Ulama Salaf yang seperti demikian
maka mereka digelari oleh JAHMIYAH sebagai MUSYABIHAH (orang menyerupakan Allah
dengan makhluknya)
Menurut antum yang sesat Ulama Salaf atau JAHMIYAH?
Dianth : yang sesat adalah yang tidak memahami permasalahan ini
dengan benar. Karena ulama salaf bukan mujassimah dan mereka tidak memaknai
ayat-ayat mutasyabihat secara zhahir.
Abdulsyukur : # (sekedar membantu analisa) Seandainya Ulama
Salaf memahami Sifat Allah seperti JAHMIYAH, yakni Istiwa nya Allah adalah
Kiasan/Perumpamaan, Demikian juga dengan Sifat Mata, Tangan, Wajah dll adalah
Kiasan/Perumpamaan…maka Ulama Salaf telah tenggelam dalam KESALAH FAHAMAN yang
KRONIS yakni Salah faham terhadap JAHMIYAH.
dan tidak tanggung-tanggung yang Salah Faham adalah JUMHUR Ulama
Salaf seperti beberapa nama-nama diatas, Imam Ahmad, Imam Bukhari, Imam
Tirmidzi dll
Dianth : sepertinya anda yang salah paham, Jahmiyah itu menolak
sifat-sifat Allah seluruhnya, sedangkan ulama salaf menetapkan sifat-sifat
Allah sebagaimana yang disampaikan di dalam Alquran dan hadist tanpa tasybih
dan tajsim dan menolak atau meniadakan sifat-sifat yang merendahkanNya seperti
sifat lupa, sakit, berjisim, berarah dan bertempat. dsb.
Abdulsyukur : (Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani yang Ulama Khalaf
pun memahami Istiwa nya diatas Arsy adalah Bi Dzatihi)
Dianth : Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani berakidah sama dengan
akidah salaf dan ahlussunah wal jamaah, yang menetapkan Allah ada tanpa tempat
dan arah.
Demikian koment saya, semoga jelas.
Abdul SyukurMay 9,
2011 at 2:49 pm #
Dianth : Justru sejarah mencatat bahwa mayoritas ulama salaf
tafwidh dan sebagian lagi menakwilnya dengan takwil yang sesuai dengan kaidah
bahasa Arab
AS: Dari kemarin-marin antum tulis Tafwidh dan Tafwidh tapi
belum menjelaskan tentang Tafwidh…
Apa sih yang antum pahami tentang Tafwidh?…coba dijelaskan dulu
Dan tolong berikan contoh seperti apa contoh Tafwidh dari Ulama
salaf yang antum pahami
Silahkan dijelaskan
Dianth : Justru ulama berbeda pendapat tentang makna istiwa,
anda lihat sendiri tafsiran para ulama atas sifat istiwa.
AS: Kan saya mengajak bahas Ulama Salaf,…Ingat Ulama
Salaf…bawakan kesini perbedaan pendapat diantara Ulama Salaf dalam memahami
Istiwa Allah….Ingat Ulama Salaf.
Dianth : Ulama-ulama Asy ariyah menetapkan sifat-sifat Allah,
Allah memiliki sifat-sifat sebagaimana yang disebut dalam Al Qur an dan hadist.
Adapun ayat-ayat khabariyah yang disandarkan kepada Allah, telah dijelaskan ada
2 pendekatan yaitu tafwidh atau takwil ijmali seperti Ditanyakan kepada Imam
Ahmad bin Hanbal masalah hadist sifat, ia berkata ”Nu’minu biha wa nushoddiq
biha bilaa kaif wala makna” (Kita percaya dg hal itu, dan membenarkannya tanpa
menanyakannya bagaimana, dan tanpa makna) dan takwil tafsili seperti tafsir
Ibnu katsir atas kata ‘yadun’: Tafsiran mereka “Kami menjadikan langit dengan
(qudrat) kuasa kami”. ( Tafsir Ibnu Kathir Juz : 4 Mukasurat : 237 ,
sebagaimana takwil ulama salaf dan khalaf yang sesuai dengan kaidah bahasa
Arab.
AS: Waduh, antum ini sepertinya mulai gak fokus nih…mana ada
saya cerita Ulama Asy’ariyah..kan saya coba membatasi hanya Ulama Salaf dan
JAHMIYAH…jadi, tolong gak usah bawa-bawa Ulama Asy’ariyah…mereka semua adalah
Ulama Khalaf.
Mengenai Imam Ahmad, adapun mengenai perkataan beliau ”Nu’minu
biha wa nushoddiq biha bilaa kaif wala makna” (Kita percaya dg hal itu, dan
membenarkannya tanpa menanyakannya bagaimana, dan tanpa makna)
Dalam kitab Radd ‘alal-Jahmiyyah karya Imam Ahmad maka di situ
insyaAllah antum akan mengetahui apa yang dimaui oleh Imam Ahmad (sebagaimana
dinukil oleh Ibnu Qudamah) tentang kalimat walaa kaifa walaa ma’naa. Potongan
kalimat walaa kaifa adalah untuk membantah golongan Musyabbihah/Mujassimah yang
mengatakan bahwa turun-Nya Allah seperti turunnya makhluk. Adapun potongan
kalimat kedua, walaa ma’naa adalah untuk membantah kaum Mu’aththilah yang
menafikkan adanya sifat-sifat Allah dan kemudian memalingkannya kepada
makna-makna yang bathil yang tidak sesuai dengan dhahir nash ! (penjelasan dari
Abul Jauzaa)
Mengenai tulisan antum yang ini:
dan takwil tafsili seperti tafsir Ibnu katsir atas kata ‘yadun’:
Tafsiran mereka “Kami menjadikan langit dengan (qudrat) kuasa kami”. ( Tafsir
Ibnu Kathir Juz : 4 Mukasurat : 237)
Saya gak yaqin ayat yang ditafsirkan oleh Ibnu Katsir ada kata “Yadun”dan saya juga gak yaqin Ibnu
Katsir menafsirkan “YADUN” dengan Qudrat/Kuasa
Coba bawakan ayat yang ditafsirkan Ibnu Katsir tersebut…biar gak
asal-asalan mas, bisa kan?
selain itu, kenapa antum bawa nama Hafidz Ibnu Katsir beliau kan
Ulama Khalaf…kita fokus kepada Ulama Salaf saja ya.
ada kisah menarik dari Imam Tirmidzi dalam kitab Sunan nya,
mengenai pemahaman JAHMIYAH terhadap Shifat Tangan Allah (saya ringkas
kisahnya):
…Para Ulama telah memberikan penjelasan terhadap hadits diatas dan
hadits-hadits lain yang memuat sifat-Sifat Rabb dan Nuzulnya setiap malam ke
langit dunia, mereka berkata, riwayat-riwayat tersebut semuanya shahih dan
wajib di imani serta tidak boleh dipertanyakan bagaimana hakikat shifat
tersebut.
Diriwayatkan dari Malik Bin Anas, Sufyan bin ‘Uyainah, Abdullah
Bin Al-Mubarak mereka semuanya berkata tentang Shifat-Shifat Allah, Imanilah
shifat-shifat tersebut sebagaimana telah driwayatkan tanpa mengatakan bagaimana
hakikatnya, demikian lah perkataan para Ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah.
Adapun golongan JAHMIYAH, mereka mengingkari riwayat-riwayat tersebut bahkan
mengatakan menetapkan Sifat untuk Allah merupakan TASYBIH (menyerupakan Allah
dengan hambanya) kemudian mereka MENTA’WILKAN ayat-ayat yang memuat
shifat-shifat Allah seperti TANGAN, PENDENGARAN, PENGLIHATAN dan menafsirkannya
tidak seperti penafsiran para Ulama, mereka berkata: Sesungguhnya Allah Tidak
Menciptakan Adam dengan Tangan-Nya dan arti dari Tangan adalah Kekuatan…..dst
Hadits No. 598, Kitab Zakat Bab Keutamaan Sedekah
Jadi dalam kisah diatas, JAHMIYAH itu mengingkari Shifat Tangan
bagi Allah dan mereka mena’wilkan Tangan menjadi Kekuatan.
Tuh kan kelihatan bedanya Ulama Salaf dengan JAHMIYAH…seandainya
Ulama Salaf memahami Shifat Allah sebagai Perumpamaan/Kiasan/Majaz maka mereka
TIDAK AKAN BERBEDA dengan JAHMIYAH.
Dianth : yang sesat adalah yang tidak memahami permasalahan ini
dengan benar. Karena ulama salaf bukan mujassimah dan mereka tidak memaknai
ayat-ayat mutasyabihat secara zhahir.
AS: Kan saya tanya yang sesat Ulama Salaf atau
JAHMIYAH?…jawabannya mana?
antum bisa bilang Ulama Salaf bukan Mujasimah tetapi antum tidak
menyesatkan JAHMIYAH..kenapa?
Tidak Bertentangan dengan hawa nafsu antum kan?
Kalau gitu jelaskan makna dzhahir yang antum pahami? kalau ada
ketentuan baku tentang makna dzhahir silahkan dibawakan
Dianth : sepertinya anda yang salah paham, Jahmiyah itu menolak
sifat-sifat Allah seluruhnya, sedangkan ulama salaf menetapkan sifat-sifat
Allah sebagaimana yang disampaikan di dalam Alquran dan hadist tanpa tasybih
dan tajsim dan menolak atau meniadakan sifat-sifat yang merendahkanNya seperti
sifat lupa, sakit, berjisim, berarah dan bertempat. dsb.
AS: Mas, mau menolak sebagian atau seluruh sifat Allah tetap aja
sesat dan tetap saja itu lah ciri JAHMIYAH…kalau ada yang ngaku Ahlu Sunnah
tetapi menerima sebagian Sifat Allah dan menolak sebagian Sifat Allah ini bukan
Ahlu Sunnah.
O iya mas, saya gak mengajak bahas Sifat Lupa, Sakit, Jism dan
Arah….yang saya ambil contoh adalah Sifat Istiwa, Tangan, Mata, Kaki
dll….adakah Ulama Salaf yang menganggap Sifat tersebut adalah Perumpamaan/Kiasan/Majaz?…kalau
ada berikan contohnya, supaya kelihatan hujjah antum itu berbobot dan tidak
asal tulis…ayo lebih fokus lagi tulisannya.
Sedangkan JAHMIYAH menganggap Istiwa nya Allah diatas Arsy
hanyalah perumpamaan/kiasan/majaz dan demikian juga dengan Sifat Tangan, Mata,
Kaki dll Tidak Ada/Tidak Memiliki, sehingga mereka Mena’wilkan kan sifat-sifat
tersebut (lihat kisah dari Imam Tirmizi diatas)
Dianth : Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani berakidah sama dengan
akidah salaf dan ahlussunah wal jamaah, yang menetapkan Allah ada tanpa tempat
dan arah.
AS: Ini bukti saya bahwa Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani menyatakan
Allah Istiwa diatas Arsy dengan Dzatnya
Penjelasan dari Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani (w.561H) tentang
Allah Istiwa Bi Dzatihi:
وينبغي إطلاق صفة الاستواء من غير تأويل ، وأنه استواء الذات على العرش لا على معنى القعود والمماسة كما قالت المجسمة والكرامية ، ولا على معنى العلو والرفعة ك…ما قالت الأشعرية ، ولا معنى الاستيلاء والغلبة كما قالت المعتزلة ،
لأن الشرع لم يرد بذلك ولا نقل عن أحد من الصحابة والتابعين من السلف الصالح من أصحاب الحديث ذلك ، بل المنقول عنهم حمله على الإطلاق
Terjemahan ringkas:
Hendaklah diterima Sifat Istiwa secara mutlak tanpa Ta’wil
Dan sesungguhnya Dia beristiwa secara Zat di atas arasy
Dan bukan bermakna secara duduk dan bersentuhan sebagaimana dikatakan oleh
mujassimah dan karamiyyah,
dan tidak bermakna ketinggian dan kemuliaan (maksudnya tanpa Zat-pent) seperti
dikatakan oleh Asya’ariyyah,
tidak bermakna al-Istila’ (menguasai) dan mendominasi sebagaimana mu’tazilah,
karena syara’ tidak datang seperti itu,
Dan (takwilan) yang demikian tidak dinukil dari seorang pun dari kalangan para
sahabat, Tabi‘in daripada kalangan orang-orang terdahulu yang salih (al-Salaf
al-Salih) begitu juga dikalangan Ahl al-Hadis.
Sebaliknya yang diterima daripada mereka menunjukkan bahwa ia (Istiwa’) di
fahami secara mutlak.
Kitab al Ghunyah Li Thalibi Thariqil Haq, hal 155
Bisa download di http://www.4shared.com/file/12010616…___1_-___.html
Nah sekarang mana bukti antum bahwa Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani
menetapkan Allah ada tanpa tempat dan arah?…Silahkan dibawakan buktinya
Ingat, gak boleh asal-asalan ya…., pesan Nabi, cuma yang gak punya
malu yang berbuat seenaknya/Asal-asalan…
Ditunggu buktinya mas
DianthMay 15,
2011 at 3:30 pm #
AS: Dari kemarin-marin antum tulis Tafwidh dan Tafwidh tapi
belum menjelaskan tentang Tafwidh…
Apa sih yang antum pahami tentang Tafwidh?…coba dijelaskan dulu
Dan tolong berikan contoh seperti apa contoh Tafwidh dari Ulama
salaf yang antum pahami
Silahkan dijelaskan
Dianth : coba anda baca koment saya dengan teman-teman yang
lain. Tafwidh disini adalah takwil ijmali yaitu tidak memaknai zhahir ayat-ayat
mutasyabihat seperti istiwa, tangan, kaki, wajah dsb dengan makna zhahir dan
menyerahkan maknanya kepada Allah sesuai makna yang dikehendakinya sebagaimana
firmanNya “Tidak ada yang tahu takwilnya kecuali Allah”(Ali Imran:7).
Contohnya adalah perkataan “Istiwa yang sesuai dengan keagunganNya”,
“”tafsirnya adalah bacaannya”, “tanpa makna” dsb.
AS: Kan saya mengajak bahas Ulama Salaf,…Ingat Ulama
Salaf…bawakan kesini perbedaan pendapat diantara Ulama Salaf dalam memahami
Istiwa Allah….Ingat Ulama Salaf.
Dianth :Ulama salaf memahami istiwa bukan dengan makna zhahir
tapi dengan tafwidh atau takwil ijmali.
AS:
dan takwil tafsili seperti tafsir Ibnu katsir atas kata ‘yadun’: Tafsiran
mereka “Kami menjadikan langit dengan (qudrat) kuasa kami”. ( Tafsir Ibnu
Kathir Juz : 4 Mukasurat : 237)
Saya gak yaqin ayat yang ditafsirkan oleh Ibnu Katsir ada kata
“Yadun” dan saya juga gak yaqin Ibnu Katsir menafsirkan “YADUN” dengan
Qudrat/Kuasa
Coba bawakan ayat yang ditafsirkan Ibnu Katsir tersebut…biar gak
asal-asalan mas, bisa kan?
Dianth : Anda bisa baca Tafsir Ibnu Katsir Surat AdzDzaariyaat
ayat 47
Makna Lafadz ا بِأَيْدٍ (dengan Tangan ) adalah kekuatan. Yang mengatakan seperti ini
adalah Ibnu abbas, mujahid, qatadah, atsauri dan selainnya”
AS : ada kisah menarik dari Imam Tirmidzi dalam kitab Sunan nya,
mengenai pemahaman JAHMIYAH terhadap Shifat Tangan Allah (saya ringkas
kisahnya):
…Para Ulama telah memberikan penjelasan terhadap hadits diatas
dan hadits-hadits lain yang memuat sifat-Sifat Rabb dan Nuzulnya setiap malam
ke langit dunia, mereka berkata, riwayat-riwayat tersebut semuanya shahih dan
wajib di imani serta tidak boleh dipertanyakan bagaimana hakikat shifat
tersebut.
Diriwayatkan dari Malik Bin Anas, Sufyan bin ‘Uyainah, Abdullah Bin Al-Mubarak
mereka semuanya berkata tentang Shifat-Shifat Allah, Imanilah shifat-shifat
tersebut sebagaimana telah driwayatkan tanpa mengatakan bagaimana hakikatnya,
demikian lah perkataan para Ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah.
Dianth : Benar semua harus diimani, tanpa boleh dipertanyakan
bagaimana hakikat shifat tersebut.
Jadi bukan dimaknai zhahir seperti perkataan Ibnu Katsir :
Adapun golongan JAHMIYAH, mereka mengingkari riwayat-riwayat
tersebut bahkan mengatakan menetapkan Sifat untuk Allah merupakan TASYBIH
(menyerupakan Allah dengan hambanya) kemudian mereka MENTA’WILKAN ayat-ayat
yang memuat shifat-shifat Allah seperti TANGAN, PENDENGARAN, PENGLIHATAN dan
menafsirkannya tidak seperti penafsiran para Ulama, mereka berkata:
Sesungguhnya Allah Tidak Menciptakan Adam dengan Tangan-Nya dan arti dari
Tangan adalah Kekuatan…..dst
Hadits No. 598, Kitab Zakat Bab Keutamaan Sedekah
Dianth : Jahmiyah itu MENGINGKARI ayat-ayat tersebut, sedangkan
salaf dan asy ariyah beriman kepadanya, fan jahmiyah menafsirkan tidak seperti
tafsiran ulama, mereka melakukan tha’til yakni menghilangkan kata tangan dan
tidak mengakui Adam diciptakan oleh TanganNya, sedangkan salaf dan asy ariyah
tidak melakukan tha’til serta mengakui Adam diciptakan oleh TanganNya.
AS : Jadi dalam kisah diatas, JAHMIYAH itu mengingkari Shifat
Tangan bagi Allah dan mereka mena’wilkan Tangan menjadi Kekuatan.
Dianth : Jahmiyah tidak menerima ayat-ayat tersebut, bukan
masalah takwilnya.
AS : Tuh kan kelihatan bedanya Ulama Salaf dengan
JAHMIYAH…seandainya Ulama Salaf memahami Shifat Allah sebagai
Perumpamaan/Kiasan/Majaz maka mereka TIDAK AKAN BERBEDA dengan JAHMIYAH.
Dianth : perbedaan Salaf dengan Jahmiyah bukan masalah takwil
tetapi beriman dan tidak beriman dengan ayat-ayat mutasyabihat tsb.
AS: Kan saya tanya yang sesat Ulama Salaf atau
JAHMIYAH?…jawabannya mana?
Dianth : Jahmiyah sesat karena menolak ayat-ayat mutasyabihat.
AS : antum bisa bilang Ulama Salaf bukan Mujasimah tetapi antum
tidak menyesatkan JAHMIYAH..kenapa?
Dianth : saya sudah katakan Jahmiyah sesat karena menolak
ayat-ayat mutasyabihat tersebut.
AS :Tidak Bertentangan dengan hawa nafsu antum kan?
Dianth : Maksudnya ?
AS : Kalau gitu jelaskan makna dzhahir yang antum pahami? kalau
ada ketentuan baku tentang makna dzhahir silahkan dibawakan
Dianth : lho, kan anda yang menetapkan makna zhahir, kok saya
yang ditanya? masak ente tidak tahu makna zhahir, yaitu makan yang kita ketahui
sebagaimana ada pada mahluk, seperti tangan maka makn zhahirnya adalah anggota
tubuh yang menpunyai fungsi tertentu seperti memegang dsb, atau kaki yang makna
zhahirnya adalah anggota tubuh bagian bawah, yang berfungsi untuk berjalan dsb.
AS: Mas, mau menolak sebagian atau seluruh sifat Allah tetap aja
sesat dan tetap saja itu lah ciri JAHMIYAH…kalau ada yang ngaku Ahlu Sunnah
tetapi menerima sebagian Sifat Allah dan menolak sebagian Sifat Allah ini bukan
Ahlu Sunnah.
Dianth : Lalu apa maknaya Tanzih, bukankah Allah maha suci dari
apa-apa yang mereka sifatkan, yaitu makna kekurangan pada Ilahi?
As : O iya mas, saya gak mengajak bahas Sifat Lupa, Sakit, Jism
dan Arah….yang saya ambil contoh adalah Sifat Istiwa, Tangan, Mata, Kaki
dll….adakah Ulama Salaf yang menganggap Sifat tersebut adalah
Perumpamaan/Kiasan/Majaz?…kalau ada berikan contohnya, supaya kelihatan hujjah
antum itu berbobot dan tidak asal tulis…ayo lebih fokus lagi tulisannya.
Dianth : kayaknya anda seperti orang yang sudah berbobot, ya ya
ya… dari awal saja tidak paham dengan ucapan saya….?? contohnya aja tfsir Ibnu
katsir, kalau ente nggak percaya juga nggak apa-apa…nanti kalau sempet saya
kasi tau lagi, kalau anda punya akal yang sehat tentu sifat sakit, lupa, kaki,
tangan, secara hakiki adalah tidak layak bagi Allah.
Dianth : Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani berakidah sama dengan
akidah salaf dan ahlussunah wal jamaah, yang menetapkan Allah ada tanpa tempat
dan arah.
AS: Ini bukti saya bahwa Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani menyatakan
Allah Istiwa diatas Arsy dengan Dzatnya
Penjelasan dari Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani (w.561H) tentang
Allah Istiwa Bi Dzatihi:
وينبغي إطلاق صفة الاستواء من غير تأويل ، وأنه استواء الذات على العرش لا على معنى القعود والمماسة كما قالت المجسمة والكرامية ، ولا على معنى العلو والرفعة ك…ما قالت الأشعرية ، ولا معنى الاستيلاء والغلبة كما قالت المعتزلة ،
لأن الشرع لم يرد بذلك ولا نقل عن أحد من الصحابة والتابعين من السلف الصالح من أصحاب الحديث ذلك ، بل المنقول عنهم حمله على الإطلاق
Terjemahan ringkas:
Hendaklah diterima Sifat Istiwa secara mutlak tanpa Ta’wil
Dan sesungguhnya Dia beristiwa secara Zat di atas arasy
Dan bukan bermakna secara duduk dan bersentuhan sebagaimana dikatakan oleh
mujassimah dan karamiyyah,
dan tidak bermakna ketinggian dan kemuliaan (maksudnya tanpa Zat-pent) seperti
dikatakan oleh Asya’ariyyah,
tidak bermakna al-Istila’ (menguasai) dan mendominasi sebagaimana mu’tazilah,
karena syara’ tidak datang seperti itu,
Dan (takwilan) yang demikian tidak dinukil dari seorang pun dari kalangan para
sahabat, Tabi‘in daripada kalangan orang-orang terdahulu yang salih (al-Salaf
al-Salih) begitu juga dikalangan Ahl al-Hadis.
Sebaliknya yang diterima daripada mereka menunjukkan bahwa ia (Istiwa’) di
fahami secara mutlak.
Kitab al Ghunyah Li Thalibi Thariqil Haq, hal 155
Bisa download di http://www.4shared.com/file/12010616…___1_-___.html
Nah sekarang mana bukti antum bahwa Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani
menetapkan Allah ada tanpa tempat dan arah?…Silahkan dibawakan buktinya
Ingat, gak boleh asal-asalan ya…., pesan Nabi, cuma yang gak
punya malu yang berbuat seenaknya/Asal-asalan…
Ditunggu buktinya mas
Dianth : copasan dari internet aja udah bangga… he he he,
bilangin orang asal-asalan lagi… nggak apa-apa, maklum saya emang bukan “orang
berbobot” kayak sampeyan.
Buktinya sudah jelas dan di depan mata bukan di dunia maya.
Bahwa Mursyid tarekat sufi Qodiriyah yang bersanad ke Syekh Abdul Qodir Al
Jailani beserta para sufi pengikut tarekat ini berkeyakinan Allah ada tanpa
tempat dan arah.
Abdul SyukurJune 1,
2011 at 10:05 am #
Wah..wah saya baru buka lagi nih
OK Langsung saja,
Dianth : Anda bisa baca Tafsir Ibnu Katsir Surat AdzDzaariyaat
ayat 47
Makna Lafadz ا بِأَيْدٍ (dengan Tangan ) adalah
kekuatan. Yang mengatakan seperti ini adalah Ibnu abbas, mujahid, qatadah,
atsauri dan selainnya”
AS: Tuh kan, ketahuan deh asal-asalannya…apa antum lupa apa yang
antum tuliskan sebelum…ini saya copykan lagi, untuk mengembalikan ingatan
antum:
dan takwil tafsili seperti tafsir Ibnu katsir atas kata ‘yadun’:Tafsiran mereka “Kami
menjadikan langit dengan (qudrat) kuasa kami”. ( Tafsir Ibnu Kathir Juz : 4
Mukasurat : 237)
Sebelumnya bilang YADUN sekarang ganti بِأَيْدٍ …lain kali hati-hati ya kalau
menukil, yang dibahas Ibnu Katsir Adz-Dzariyat:47, sedangkan yang dibahas Pak
Puji Shad:75 dan saya juga sudah mengutip penjelasan dari Imam Tirmidzi terkait
dengan penciptaan Adam.
Insya Allah saya tidak ada masalah dengan tafsir Adz-Dzariyat:47
karena memang Bi Ayyid = Kekuasaan
Buat antum coba bawakan tafsir Ulama Salaf mengenai Shad: 75 (saya
sudah bawakan penjelasannya Imam Tirmidzi)…silahkan
Dianth : Jahmiyah itu MENGINGKARI ayat-ayat tersebut, sedangkan
salaf dan asy ariyah beriman kepadanya, fan jahmiyah menafsirkan tidak seperti
tafsiran ulama, mereka melakukan tha’til yakni menghilangkan kata tangan dan
tidak mengakui Adam diciptakan oleh TanganNya, sedangkan salaf dan asy ariyah
tidak melakukan tha’til serta mengakui Adam diciptakan oleh TanganNya.
AS: JAHMIYAH hanya mengingkari Sifat Allah mas, tidak sampai
kepada mengingkari ayat, mereka mena’wilkan Sifat-Sifat Allah tersebut sesuai
dengan nafsunya.
Contohnya Tangan = Kekuasaan
Dianth : Jahmiyah tidak menerima ayat-ayat tersebut, bukan
masalah takwilnya.
AS: Kayaknya gak gitu deh, sudah jelas JAHMIYAH mena’wilkan Tangan
menjadi Kekuasaan. Pena’wilan yang dilakukan JAHMIYAH dalam rangka Meniadakan
Sifat Allah/Tidak Menerima Sifat Allah
Dianth : lho, kan anda yang menetapkan makna zhahir, kok saya
yang ditanya? masak ente tidak tahu makna zhahir, yaitu makan yang kita ketahui
sebagaimana ada pada mahluk, seperti tangan maka makn zhahirnya adalah anggota
tubuh yang menpunyai fungsi tertentu seperti memegang dsb, atau kaki yang makna
zhahirnya adalah anggota tubuh bagian bawah, yang berfungsi untuk berjalan dsb.
AS: Oh itu makna Zhahir yang antum maksud, kalau gitu pemahaman
antum dan saya berbeda…Makna Zhahir yang saya maksud adalah Zhahir Ayat
saja…gak repot mikirin apakah hal itu organ tubuh atau bukan dll karena Allah
Tidak Memberitahukannya dan Nabi Tidak menjelaskannya….Tidak Ada satupun yang
menyerupainya
Dianth : kayaknya anda seperti orang yang sudah berbobot, ya ya
ya… dari awal saja tidak paham dengan ucapan saya….?? contohnya aja tfsir Ibnu
katsir, kalau ente nggak percaya juga nggak apa-apa…nanti kalau sempet saya
kasi tau lagi, kalau anda punya akal yang sehat tentu sifat sakit, lupa, kaki,
tangan, secara hakiki adalah tidak layak bagi Allah.
AS: Itu diatas sudah saya jelaskan kesemrawutan tulisan antum yang
menyatakan Ibnu Katsir bilang YADUN padahal Bi Ayyid..apa gak sadar kah?
Atau ASAL TULIS dan ASAL BUNYI bisa menjadi suatau kebaikan buat
antum?
Jadi fokus pada Ulama Salaf, dan konsekuensinya bawakan penjelasan
Ulama Salaf….Ibnu Katsir bukan Ulama Salaf mas, antum sudah tau kan?
Dianth : copasan dari internet aja udah bangga… he he he,
bilangin orang asal-asalan lagi… nggak apa-apa, maklum saya emang bukan “orang
berbobot” kayak sampeyan.
Buktinya sudah jelas dan di depan mata bukan di dunia maya.
Bahwa Mursyid tarekat sufi Qodiriyah yang bersanad ke Syekh Abdul Qodir Al
Jailani beserta para sufi pengikut tarekat ini berkeyakinan Allah ada tanpa
tempat dan arah.
AS: Ya saya bangga karena punya bukti sesuai dengan Klaim
saya…lalu Mana bukti Klaim antum?….GAK PUNYA YAH….Ya ampun….
kalau sebelumnya sudah NGOTOT MENGKLAIM bahwa Syaikh Al-Jilani
menetapkan Allah Ada Tanpa Tempat dan Arah kemudian saat ditanya buktinya…gak
bisa bawain bukti itu namanya ASAL-ASALAN, dan apakah antum tidak merasa sedang
memfitnah Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani kah?….atau bagi antum Fitnah bisa
mendatangkan keridhoan/Rahmat Allah sehingga antum Ikhlas memfitnah Syaikh
Al-Jilani?
Hanya antum yang bisa menjelaskannya :)
DianthMay 8,
2011 at 8:31 pm #
@dobdob May 6, 2011 at 4:08 pm #
hmmm… anda mendengar dan Allah mendengar, apakah anda tidak
khawatir Tasybih?
Dianth : saya tidak khawatir tasybih. Adapun sifat mendengar
Allah adalah sifat wajib yang pasti ada pada tuhan, mustahil tuhan itu tuli,
kalau tuhan tuli atau tidak mendengar berarti Dia mempunyai kekurangan dan
pasti bukan Tuhan. kalau kita menisbatkan sifat mendengar, maka kita bisa
memahaminya tanpa membayangkan wujud zat atau sebuah bentuk, berbeda bila
menisbatkan kata telinga maka yang kita pahami atau terbayang dibenak kita
adalah sebuah bentuk bentuk (telinga) yang merupakan anggota tubuh (jisim).
kita bisa memahami dan menisbatkan makna sifat mendengar Allah yang tanpa batas
(kita terjemahkan maha mendengar), dan kita tidaklah bisa memberikan hal
tersebut kepada telinga, karena bagaimanapun kita meberikan sifat tak terbatas
pada sebuah jisim, tetaplah yang namanya ANGGOTA atau BAGIAN itu mempunyai
ukuran dan batasan, mustahil sifat dan wujud Alah terbatas atau mempunyai
batas.
ustad:
istiwa adalah kata kerja, kallama juga kata kerja, kenapa yang satu di takwil
dan yang satu ditetapkan? keduanya juga bisa mengarahkan kepada Tasybih.
Dianth : kata Istiwa secara hakiki memberikan sebuah makna yang
tidak layak pada Allah yaitu posisi duduk, atau bersemayam, bagaimanapun
kafiyatnya tetaplah duduk secara hakiki sebuah sifat yang tidak layak. Maka Asy
ariyah menisbatkan sifat istiwa di atas Arsy adalah dengan tafwidh atau takwil.
Sedangkan kallama bisa berarti tasybih bila kita menisbatkan mulut pada Allah,
tatapi seperti sifat mendengar, maka penjelasan saya adalah seperti itu.
Ustad:
Asyairah menetapkan bahwa orang beriman akan berbicara kepada Allah di akhirat
nanti dan melihatnya, sesuatu yang dapat dilihat dengan mata itu Jism, dan
melihat itu pasti kearah tertentu, kenapa Asyairah tetapkan?
Dianth : Sesuatu yang bisa dilihat dengan mata itu jisim? kalau
jisim adalah hal tersebut, maka Allah telah berfirman “Dia tidak dapat dicapai
oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan.”
[Al-An’aam: 103], karena Allah bukan jisim. Adapun di akherat, maka asy ariyah
menetapkannya karena Allah Maha Melihat, Dia dapat melihat segala penglihatan,
sehingga Dia bisa melihat diriNya sendiri, dengan begitu Dia bisa
memperlihatkan diriNya pada mata manusia sebagaimana yang dikehendakiNya.
“dan melihat itu pasti kearah tertentu, kenapa Asyairah
tetapkan?” . Allah telah mengatakan bahwa dimanapun kamu menghadap disitulah
wajah Allah. Melihat pasti kearah tertentu, tapi apakah ada dalil bahwa semua
orang menghadap ke arah yang sama? maka berdasarkan firman Allah, dimanapun
orang itu menghadap, maka dia akan melihat Allah, itu arinya Allah tidak berada
di arah tertentu, oleh karena itu asy ariyah menetapkan bahwa Allah tidak
berarah, adapun bila dikatakan Allah ada di depan atau arah tertentu dari orang
yang melihat, maka itu adalah arah yang subjektif, karena keterbatasan manusia
dan sebatas apa yang diperlihatkan Allah kepada manusia. Sebagaimana akal kita
tidak akan memahami Allah secara hakiki tetapi hanya sebatas apa yang telah
Allah pahamkan kepada akal kita untuk mengenalnya dan memahaminya, begitu juga
penglihatan kita kepadaNya sebatas apa yang telah tuhan perlihatkan kepada
kita.
Demikian keterangan dari pemahaman saya, kata-kata saya mungkin
kurang tertata baik atau ada tersalah kata, tapi saya rasa anda telah memahami
garis besarnya tentang pemahaman saya.
Ustad :
“saya menyarankan agar anda membaca ulang artikel saya diatas, agar anda
memahami cara-cara orang yang saya sepakati dalam menyikapi lafadz-lafadz yang
dianggap bidáh oleh ibnu taimiyah tersebut ketika dikaitkan dengan Allah”.
Dianth : lafaz-lafaz itu bisa dianggap bidah, karena ulama salaf
telah memahami Al Quran dengan baik dan mereka tidak perlu mambahasnya. Tapi
zaman berganti, dan orang yang senang dengan kesyubhatan dan memperturutkan
hawa nafsu telah menyerang dan menimbulkan fitnah dengan hal-hal baru yang dulu
dianggap bidah, maka akhirnya manusia menjadi membahas dan mepertanyakannya,
sudah sewajarnyalah ulama memberikan penjelasan yang semestinya maka hal ini
bukan bidah, dan sebuah kebidahan itu akan terjadi bila kita membahas
lafaz-lafaz yang dianggap bidah tersebut melebihi tujuan dan berlebih-lebihan
sehingga terjadi fitnah dan kerancuan serta perdebatan yang tak kenal putus.
Bukankah hal itu yang dilakukan oleh para ulama (walaupun bisa
jadi ulama kadang khilaf sehingga membahas hal ini terlalu jauh dan tidak
semestinya).
Demikian,dan terima kasih.
dobdobMay 10,
2011 at 9:10 am #
Untuk mas dianth
Inilah masalah terbesar anda dan asyairah, anda mengatakan
sempurna atau tidak sempurna berdasarkan logika dan atau membandingkannya
dengan makhluk. kalau saya lebih condong untuk mengatakan Allah mendengar dan
melihat karena memang Allah menetapkannya dan menafikan kesamaan dengan
makhluknya. Inilah Rahasia ayat ” Tidak ada yang menyerupaiNya, Dia mendengar
dan melihat” disatu sisi dia menafikan kesamaan dengan makhluknya, disisi lain
dia menetapkan bahwa dia mendengar dan melihat, -suatu sifat yang juga dimiliki
makhluknya-. Namun jelas dengan menafikan diawal kemudian menetapkan, bisa
dipahami bahwa apa yang dia tetapkan itu berbeda dengan makhluqnya. dia
mendengar tapi berbeda dengan mendengarnya Makhluk. begitu juga semua sifat
baik Khobariyah Maupun fi’liyah, kita bisa katakan Allah itu bersamayam, tapi
tidak sama dengan bersemayamnya Makhluk. terkadang Allah memberikan rincian
terhadap sifatnya tersebut terkadang tidak. tapi dalil yang umum tetap berlaku
bahwa Allah berbeda dengan makhluknya. Siapa anda yang menyatakan istiwa jika
dimaknai sesuai Dzohirnya tanpa memberikan kaifiat adalah satu sifat yang tidak
layak? gegabah sekali anda. siapa yang memastikan istiwa itu adalah posisi
duduk seperti anda duduk? saya menyarankan anda membaca tulisan saya tentang
makna Istiwa.
kalau anda katakan menetapkan telinga (saya menetapkan tangan,
karena inilah yang Allah tetapkan, bukan telinga) akan membuat anda
mempersonifikasikan dengan Jism manusia, maka inilah gunanya Allah menegaskan
bahwa dia berbeda dengan makhluknya. inilah keringanan dari Allah dimana Dia
memaafkan lintasan-lintasan hati. sangat aneh dimana anda mentolerir makna
mendengar dengan alasan tidak membuat anda mempersonifikasikan dan atau
membayangkan dengan makhluk sedangkan telinga bisa membuat anda demikian.
padahal yang manusia ketahui dengan indra dan akalnya adalah mendengar dan
berbicara itu sudah pasti berasal dari Jism. inilah Inkonsistensi Asyairah.
kalau ini cuma masalah kekhawatiran saja, maka cukuplah
penegasan Allah bahwa Dia berbeda dengan makhlukNya. sebagaimana anda
mensinyalir ada sesuatu yang bukan Jisim bisa mendengar, apa halangan anda
untuk mengatakan adanya sesuatu yang bukan Jism bisa memiliki tangan? toh kita
menyerahkan kaifiyat tangan yang Allah Maksud. tapi sikap saya jelas, bahwa
saya tidak menetapkan atau menafikan Allah itu Jism. tergantung apa yang
dimaksud Jism-lah jawaban saya.
yang aneh adalah kata-kata anda
Maka Asy ariyah menisbatkan
sifat istiwa di atas Arsy adalah dengan tafwidh atau takwil
kenapa anda memaknai dengan “istiwa diatas”, padahal banyak
ulama Asyairah mengartikan Menguasai bukan menguasai diatas.
sikap saya adalah menetapkan maknanya dan menyerahkan
kaifiyatnya kepada Allah. Tafwidh dan takwil sebenarnya adalah hal yang amat
berlawanan, cukup aneh bila bisa disatukan sebagai suatu sikap yang dianggap
paling benar. Takwil adalah sikap yang seharusnya dilakukan karena mpengetahuan
mendalam tantang sebuah substansi, oleh karena itu cuma orang-orang yang Rosih
(mendalam) ilmunya yang bisa melakukan takwil sedangkan TAfwidh itu adalah
kebalikannya, yaitu dilakukan karena sama sekali tidak mengetahui sebuah
substansi. nah.. makna tafwidh yang diinginkan Asyairah dalam realitaslah yang
membuat para Ulama mensinyalir masuk kedalam ta’thil (menghilangkan makna). hal
ini karena mereka mengetahui makna dzohir semisal istiwa, yad, atau lainnya,
namun karena logika mereka yang menolak itu maka mereka hilangkan atau tolak
maknanya, lalu mereka serahkan makna sifat-sifat tersebut kepada Allah. adapun
ketika mentakwil, mereka mengetahui maknanya, kemudian mereka tolak atau
hilangkan, kemudian mereka Alihkan atau rubah kepada makna lain yang menurut
mereka lebih sesuai, baik dengan kemungkinan bahasa atau dengan akal mereka.
dari sini bisa dipahami bahwa tafwidh dan takwil melakukan proses yang sama
namun melakukan kesimpulan yang berbeda dengan dengan tujuan yang sama yaitu
tanzih yang sesuai akal. pertama mereka mengetahui maknanya, kemudian mereka
melakukan penyerupaan/perbandingan dengan makhluk, kemudian mereka menolak atau
menghilangkan maknanya. akhirnya mereka melakukan penyerahan atau mentakwil.
jadi jelas… kekurangan yang ada pada mereka adalah menjadikan akal dan
perbandingan dengan makhluk sebagai landasan utama ketika berbicara tentang
Allah. naudzubillah min Dzalik.
adapun perkataan anda:
“Sebagaimana akal kita tidak akan memahami Allah secara hakiki
tetapi hanya sebatas apa yang telah Allah pahamkan kepada akal kita untuk
mengenalnya dan memahaminya, begitu juga penglihatan kita kepadaNya sebatas apa
yang telah tuhan perlihatkan kepada kita”.
saya sepakat, penglihatan kita terbatas, tapi yang jelas kita
melihat Allah. tidak ada dalil kearah mana kita melihat, tapi yang jelas kearah
Allah. apa hubungannya antara maha melihat dan memperlihatkan? sesuatu yang
bisa dilihat itu Jism, anda tidak usah berlari dari kenyataan, jibril juga tak
terlihat, bisa melihat, dan memperlihatkan dirinya, tapi toh anda juga tidak
takut tasybih karena menetapkan Allah bisa dilihat.
SEbagaimana anda mentolerir bahwa Allah bisa dilihat yang jelas
berkonsekwensi berjism berdasarkan logika anda, kenapa anda tidak menetapkan
Allah itu memiliki tangan yang bisa membuat terlintas dipikiran manusia normal
bahwa Allah berjism? sekali lagi ini kontradiktif. Maka cukuplah ketegasan
Allah bahwa Dia berbeda dengan makhluknya ketika kita menetapkan
Sifat-sifatnya. bisa dilihat dan memiliki tangan adalah sifat yang sama saja
berkonsekwensi personifikasi dengan makhluk.
karena Akal kita terbatas, anda tidak diminta untuk
menggambarkan sesuatu yang bisa dilihat tapi bukan Jism yang memiliki dari
Jauhar dan Ardh disisi mutakallimin, bahkan pelaku penggambarannya adalah kafir
atas apa yang telah kita sepakati. saya meyakinkan anda juga bahwa anda sama
sekali tidak diminta untuk menggambarkan Allah yang memiliki tangan tapi bukan
jism yang memiliki Jauhar dan ardh, karena pelaku penggambarannya juga kafir.
Semoga Allah memberikan anda pemahaman mendalam tentang menyikapi
sifat-sifat Allah.
Saudaramu: dobdob
DianthMay 15,
2011 at 3:54 pm #
Untuk mas dianth
“Inilah masalah terbesar anda dan asyairah, anda mengatakan
sempurna atau tidak sempurna berdasarkan logika dan atau membandingkannya
dengan makhluk”.
Logika itu adalah penjelasan tafsir mas, jangan salah paham.
“kalau saya lebih condong untuk mengatakan Allah mendengar dan
melihat karena memang Allah menetapkannya dan menafikan kesamaan dengan
makhluknya. Inilah Rahasia ayat ” Tidak ada yang menyerupaiNya, Dia mendengar
dan melihat” disatu sisi dia menafikan kesamaan dengan makhluknya, disisi lain
dia menetapkan bahwa dia mendengar dan melihat, -suatu sifat yang juga dimiliki
makhluknya-. Namun jelas dengan menafikan diawal kemudian menetapkan, bisa
dipahami bahwa apa yang dia tetapkan itu berbeda dengan makhluqnya. dia
mendengar tapi berbeda dengan mendengarnya Makhluk”.
Pendapat ini sama dengan pendapat asy ariyah.
” begitu juga semua sifat baik Khobariyah Maupun fi’liyah, kita
bisa katakan Allah itu bersamayam, tapi tidak sama dengan bersemayamnya
Makhluk”.
Mas bagi kami bersemayam secara zhahir, bagaimanapun bentuknya
adalah tidak layak bagi Allah. Anda tentu akan mengatakan kami menetapkan layak
tidak layak ini dengan akal.
“terkadang Allah memberikan rincian terhadap sifatnya tersebut
terkadang tidak. tapi dalil yang umum tetap berlaku bahwa Allah berbeda dengan
makhluknya. Siapa anda yang menyatakan istiwa jika dimaknai sesuai Dzohirnya
tanpa memberikan kaifiat adalah satu sifat yang tidak layak? gegabah sekali
anda. siapa yang memastikan istiwa itu adalah posisi duduk seperti anda duduk?
saya menyarankan anda membaca tulisan saya tentang makna Istiwa”
yang saya maksud makna zhahir ini adalah makna duduk dan
bersemayam secara zhahir, kalau anda tidak berkeyakinan seperti itu ya Alhamdulillah.
“kalau anda katakan menetapkan telinga (saya menetapkan tangan,
karena inilah yang Allah tetapkan, bukan telinga) akan membuat anda
mempersonifikasikan dengan Jism manusia, maka inilah gunanya Allah menegaskan
bahwa dia berbeda dengan makhluknya. inilah keringanan dari Allah dimana Dia
memaafkan lintasan-lintasan hati. sangat aneh dimana anda mentolerir makna
mendengar dengan alasan tidak membuat anda mempersonifikasikan dan atau
membayangkan dengan makhluk sedangkan telinga bisa membuat anda demikian.
padahal yang manusia ketahui dengan indra dan akalnya adalah mendengar dan
berbicara itu sudah pasti berasal dari Jism. inilah Inkonsistensi Asyairah.”
Apanya yang inkontensi, justru inilah kerancuan dari Akidah
salafi wahabi, yaitu menganggap perbedaan Allah dengan mahluknya pada ayat
khobariyah dan fi iliyah yang serupa dengan sifat jasmani mahluk adalah hanya
perbedaan bentuk bukan perbedaan makna dan hakikatnya, sehingga Allah terkesan
mempunyai bentuk dan anggota tubuh, padahal ini menunjukkan keterbatasan Allah.
“kalau ini cuma masalah kekhawatiran saja, maka cukuplah
penegasan Allah bahwa Dia berbeda dengan makhlukNya. sebagaimana anda
mensinyalir ada sesuatu yang bukan Jisim bisa mendengar, apa halangan anda
untuk mengatakan adanya sesuatu yang bukan Jism bisa memiliki tangan? toh kita
menyerahkan kaifiyat tangan yang Allah Maksud. tapi sikap saya jelas, bahwa
saya tidak menetapkan atau menafikan Allah itu Jism. tergantung apa yang
dimaksud Jism-lah jawaban saya”.
Ucapan anda jelas rancu, karena sifat mendengar itu bukan jisim,
sedangkan tangan maknanya adalah jisim, bagaimana bisa dikatakan ada jjisim
yang bukan jisim, ini kontradiktif bukan?
Jadi kalau yang dimaksud dengan jisim adalah anggota tubuh anda terima atau
tidak ? kalau anda terima berarti anda tajsim dong ? kalau tidak berarti anda
tidak memahami makna tangan, kaki, wajah dsbnya dengan makna hakikat.
“yang aneh adalah kata-kata anda”
Saya justru dengan anda yang melawankan tafwidh dengan takwil,
mengapa tidak bisa disatukan ? memang berbeda, tetapi hakikatnya adalah
sama-sama tidak mengambil makna zhahir, hanya yang satu tidak merincinya dan
meyerahkan maknanya / takwilnya kepada Allah, sedangkan yang satu memperincinya
dengan memberikan takwilnya. Adapun tha’til itu adalah bila kita menghilangkan
kata atau tidak menerima kata yang merupakan sumber dari maknanya. Maka Asy
ariyah tidaklah menolak Allah Istiwa di atas arsy, Adam diciptakan dengan
tangaNya, tapi kami memahaminya berbeda dengan saudara-saudaraku salafi wahabi.
Apakah anda menerima “surga di Telapak Kaki Ibu’? tentu kita semua menerimanya,
dam kita tidaklah memahaminya secara zhahir bukan ? dan kita tidak melakukan
tha’til bukan? karena kita tidak pernah merubah perkataan tersebut.
“jadi jelas… kekurangan yang ada pada mereka adalah menjadikan
akal dan perbandingan dengan makhluk sebagai landasan utama ketika berbicara
tentang Allah”. naudzubillah min Dzalik.
Jelas kami memahami semua itu berdasarkan dalil. adapun akal
adalah penjelas dalil.
Masalah dalil dan akal ini dan selanjutnya akan saya bahas di
lain waktu, maaf.
Abdul SyukurJune 1,
2011 at 10:13 am #
Surga di Telapak Kaki Ibu kok dibawa-bawa kepada Sifat Allah
Ini mau bicarain Sifat Allah atau Sifat Surga?… :)
DianthJune 7,
2011 at 11:07 am #
Maksudnya untuk menjelaskan perbedaan tha’til pada bahasa dengan
yang tidak… gito lho mas.
pujiJune 1,
2011 at 7:30 pm #
pakah anda menerima “surga di Telapak Kaki Ibu’? tentu kita semua
menerimanya, dam kita tidaklah memahaminya secara zhahir bukan ? dan kita tidak
melakukan tha’til bukan? karena kita tidak pernah merubah perkataan tersebut.
Maaf saudara sudah ngelantur menurut saya. Kita berbicara
mengenai sifat Allah dan dan ungkapan saudara ini tidak termasuk cakupan di
dalamnya. Mohon fokus pada masalah ya. bagi saya yang selalu menekankan kaidah
ilmiah sikap memaksakan “dalil” seperti diatas merupakan catatan besar saya
kepada anda. Mohon jangan diulangi
ArasyMay 16,
2011 at 5:13 pm #
Saya heran sekali dengan orang-orang yang mudah mengatakan
Mujasimah kepada saya, karena saya mengimani ayat-ayat segala sifat Allah yang
memang Allah sendiri yang menyifatkan bagi-Nya dalam Al-Qur’an ataupun hadits
shahih, misalnya soal Istiwa, tangan, mata, mendengar, melihat, cahaya, dan
lainnya. Tapi mereka yang bangganya menyatakan Allah itu ada tanpa tempat.
Padahal kalau mau menggunakan logika bahasa, kata “ada” itu juga bisa dikatakan
mujasimah. soalnya, saya pun ada, saya makhluk, Allah ada, Allah makhluk? Jelas
sekali mereka pasti mencari-cari alasan. Hahaha, mereka itu tidak punya
pendirian dan keimanan yang kuat. Para sahabat tidak ada yang seperti mereka
yang mudah mengatakan Mujasimah, sebab mereka memang sudah tahu bahwa apa-apa,
semisal tangan, mata, dan lainnya yang ada dalam Al-Qur’an, bukan sama dengan
makhluk, kan ada ayat yang menyatakan bahwa Allah itu tidak serupa dengan
ciptaanNya. Maka, mereka menerima segala sifat-Nya dalam Al-Qur’an dengan diam,
yakni menetapkannya, tidak menambah-nambah, dan tidak menanyakan kaifiyah dari
sifat-sifat tersebut. Jadi, santai saja ketika Ibnu Mas’ud tertawa yang
ternyata rasulpun tertawa sebab Rabb-Nya tertawa. Sebab sifat tertawanya bukan
seperti makhluk. Sahabat tidak parsial dalam memahami Al-Qur’an. Emangnya, ayat
Al-Qur’an cuma [QS112:4] dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia”.
Mereka berlagak mengerti. Padahal mah kebelinger.
kalau kata upin ipin, kasihan, kasihan, kasihan.
DianthJune 7,
2011 at 11:15 am #
saya juga mengimani ayat-ayat segala sifat Allah yang memang
Allah sendiri yang menyifatkan bagi-Nya dalam Al-Qur’an ataupun hadits shahih,
misalnya soal Istiwa, tangan, mata, mendengar, melihat, cahaya, dan lainnya.
Dalam hal ini para ulama telah menjelaskan bahwa sifat-sifat
yang membawa indikasi kepada tajsim harus ditakwil dengan takwil ijmali/tafwidh
atau takwil tafsili.
“Tapi mereka yang bangganya menyatakan Allah itu ada tanpa
tempat. Padahal kalau mau menggunakan logika bahasa, kata “ada” itu juga bisa
dikatakan mujasimah. soalnya, saya pun ada, saya makhluk, Allah ada, Allah makhluk?”
Yang dimasksud mujasimmah disini adalah makna anggota tubuh dan
bagian-bagiannya yang berindikasi memahami zat Allah padahal Zat Allah tidak
sama dengan zat mahluk.
Sifat Ada itu bukan jisim, tapi sifat maknawi.
Maka Zat Allah bukanlah seperti zat yang diciptakan olehNya.
“Tidaklah ada yang serupa denganNya sesuatu apapun”,
Ini adalah tanzih, dan yang tanzih adalah zatNya, maka Zat Allah berbeda dengan
zat mahluk.
oleh karena itu Allah bukan jisim, bukan materi, atau apapun juga yang
merupakan zat mahluk.
Maka Zat Allah bukanlah seperti zat yang diciptakan olehNya.
Bukankah kita tidak bisa memahami Zat Allah, bahkan dilarang untuk
memikirkannya. Maka segala yang disandarkan kepada Zat Allah, seperti kaki,
tangan, wajah bukanlah untuk kita pahami pada Zat Allah sebagaimana kita
memahami zat mahluk (bukankah bila kita mengatakan Allah punya kaki, punya
tangan, punya wajah maka kita telah memahami Zat Allah sebagaimana zat mahluk?
kalau Zat Allah tidak bisa kita pikirkan dan pahami, maka mengapa kita memberikan
sifat-sifat zat mahluk sebagaimana yang kita ketahui kepada Allah ?), tetapi
sebagai ujian buat keimanan kita.
“Dan sesungguhnya Allah itu satu bukan dari segi hitungan, tapi
dari segi bahwa tidak ada sekutu bagi-Nya. Dia tidak melahirkan dan tidak
dilahirkan, tidak ada suatu apapun yang meyerupai-Nya. Dia bukan benda, dan
tidak disifati dengan sifat-sifat benda. Dia tidak memiliki batasan (tidak
memiliki bentuk; artinya bukan benda), Dia tidak memiliki keserupaan, Dia tidak
ada yang dapat menentang-Nya, Dia tidak ada yang sama dengan-Nya, Dia tidak
menyerupai suatu apapun dari makhluk-Nya, dan tidak ada suatu apapun dari
makhluk-Nya yang menyerupainya”
Lihat al-Fiqh al-Akbar dengan Syarh-nya karya Mulla ‘Ali al-Qari’, h. 30-31
Ini adalah ucapan Imam hanafi tentang zat Allah. maka resapilah.
dan Ia Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. (QS.Asy Syura : 11).
Ini adalah sifat maknawi. ini adalah bentuk tasybih. maka sifat-sifat maknawi
Allah serupa sifat-sifat maknawi manusia namun tidaklah sama. maka kita
menetapkan sifat ini, yang telah ditetapkan Allah sebagai sifatNya.
Dan sifat-sifat seperti ini sebagaimana asmaul husna, nama-namaNya, justru kita
dianjurkan untuk mempelajari dan memahaminya.
dobdobJune 9,
2011 at 10:54 am #
Yang dimasksud mujasimmah
disini adalah makna anggota tubuh dan bagian-bagiannya yang berindikasi
memahami zat Allah padahal Zat Allah tidak sama dengan zat mahluk.
komentar dan diskusi kita sudah kemana-mana, tapi ternyata jelas
bahwa yang anda maksud Mujassimah adalah anggota tubuh, inilah yang perlu anda
baca lagi tentang bagaimana ibnu Taimiyah berpandangan luas seputar apa yang
dimaksud dengan Jism serta cara beliau menyikapinya dalam artikel diatas
Selanjutnya saya tidak akan melakukan approval terhadap koment
yang tidak terkait langsung dengan artikel diatas. karena yang disampaikan oleh
masing-masing pihak sudah cukup. Terimakasih atas partisipasi aktif mas Dianth
dan peserta yang lain.
hamba yg dho'ifJune 1,
2011 at 11:24 am #
Simpelnya sih begini saja akh. Apakah para sahabat ada yg
mengatakan, “Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah…?”
Percuma debat melemparkan pendapat ulama ini dan itu, ga akan
kelar2. Kita kembalikan saja pada pendapat sahabat.
@hamba yg dho’if: siapakah sahabat yg anda maksud tsb? mohon
ditulis riwayat dan sumber rujukannya. jazakallah.
DianthJune 7,
2011 at 11:06 am #
Bukan sahabat Mas, tetapi Al Qur an dan Sunnah.
“… Ingatlah, bahwa sesungguhnya DIA maha meliputi segala
sesuatu” (QS 41:54)
“Dan Kepunyaannya Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu
menghadap disitulah wajah Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui” (QS 2:115)
“Dan apabila hamba-hambaku bertanya kepadamu tentang Aku maka
(jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat …” (QS 2 : 186)
“… Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya” (QS 50:16)
“Allah bersamamu dimanapun kamu berada …” (QS Al-Hadid : 4)
Rasulullah bersabda: “Allah ada pada azal (Ada tanpa permulaan)
dan belum ada sesuatupun selain-Nya”. (H.R. al-Bukhari, al-Bayhaqi dan Ibn
al-Jarud)
Makna hadits ini bahwa Allah ada pada azal (keberadaan tanpa
permulaan), tidak ada sesuatu (selain-Nya) bersama-Nya. Pada azal belum ada
angin, cahaya, kegelapan, ‘arsy, langit, manusia, jin, malaikat, waktu, tempat
dan arah. Maka berarti Allah ada sebelum terciptanya tempat dan arah, maka Ia
tidak membutuhkan kepada keduanya dan Ia tidak berubah dari semula, yakni tetap
ada tanpa tempat dan arah, karena berubah adalah ciri dari sesuatu yang baru
(makhluk).
DianthJune 7,
2011 at 10:58 am #
Wah wah pada rame…
susah saya jawab semuanya.
@AbdulSyukur
“Dianth : Anda bisa baca Tafsir Ibnu Katsir Surat AdzDzaariyaat ayat 47
Makna Lafadz ا بِأَيْدٍ (dengan Tangan ) adalah kekuatan.
Yang mengatakan seperti ini adalah Ibnu abbas, mujahid, qatadah, atsauri dan
selainnya”
AS:
Sebelumnya bilang YADUN sekarang ganti بِأَيْدٍ …lain kali hati-hati ya kalau
menukil, yang dibahas Ibnu Katsir Adz-Dzariyat:47, sedangkan yang dibahas Pak
Puji Shad:75 dan saya juga sudah mengutip penjelasan dari Imam Tirmidzi terkait
dengan penciptaan Adam.
Insya Allah saya tidak ada masalah dengan tafsir Adz-Dzariyat:47
karena memang Bi Ayyid = Kekuasaan
Buat antum coba bawakan tafsir Ulama Salaf mengenai Shad: 75
(saya sudah bawakan penjelasannya Imam Tirmidzi)…silahkan
Kata Dianth : wah saya saya salah nukil seharusnya memang bukan
‘yadun’ yang ditafsirkan oleh Ibnu Abbas, tapi kata bi ayyid, Adz-Dzariyat:47.
secara zhahir artinya adalah tangan juga kan?
As-Shahrastani di dalam kitab Milal Wa Nihal:
إن الأئمة مالكا والشافعي وأحمد قالوا : من حرك يده عند قراءة قوله تعالى ( لما خلقت بيدي ) وأشار بإصبعه عند رواية قلب المؤمن بين أصابع الرحن… الحديث وجب قطع يده وقطع أصبعه
Sesungguhnya imam-imam, Malik, Syafie dan Ahmad berkata :
Sesiapa yang menggerakkan tangannya ketika membaca firman Allah Ta’ala (ayat 75
surah mujadilah) dan mengisyaratkan jarinya ketika membaca riwayat “Hati
manusia di antara jari-jari Allah”- Al-Hadis, wajib dipotong tangan dan
jarinya. (Di naqalkan daripada kitab syarah jauharatul tauhid bagi Imam
Al-Bajuri mukasurat 166).
Ada riwayat ini menunjukkan bahwa kata tangan dan jari tidak bisa ditafsirkan
secara hakiki kepada Allah sebagaimana pemahaman zhahir kita terhadap tangan
dan jari, sebab pemahaman zhahir kita adalah berdasrkan pemahaman akal kita
yang memahaminya berdasarkan apa yang ada pada mahluk.
adapun penjelasan dari Imam Tirmidzi terkait dengan penciptaan
Adam. tidak menjelaskan bahwa Imam memaknainya dengan makna zhahir yang berarti
Allah mempunyai tangan,
“riwayat-riwayat tersebut semuanya shahih dan wajib di imani serta tidak boleh
dipertanyakan bagaimana hakikat shifat tersebut”.
“sebagaimana telah driwayatkan tanpa mengatakan bagaimana hakikatnya, demikian
lah perkataan para Ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah”.
Ini semua adalah bentuk takwil ijmali atau tafwidh, kenapa anda
memahaminya sebagai harus diartikan kepada makna zhahir?
“kemudian mereka MENTA’WILKAN ayat-ayat yang memuat
shifat-shifat Allah seperti TANGAN, PENDENGARAN, PENGLIHATAN dan menafsirkannya
tidak seperti penafsiran para Ulama, mereka berkata: Sesungguhnya Allah Tidak
Menciptakan Adam dengan Tangan-Nya dan arti dari Tangan adalah Kekuatan”
Asy ariyah tidak menakwilkan pendengaran dan penglihatan, tapi
menakwilkan kata tangan.
Asy ariyah beriman dan menetapkan sebagaimana datangnya ayat Al Quran yaitu
Adam diciptakan oleh kedua TanganNya, namun asy ariyah memberikan
penjelasan/tafsir dengan menakwilnya.
Adapun pengingkaran Imam Tirmizi ini adalah karena jahmiyah melakukan tha’til
kepada bahasa Al Qur’an dan mengingkari kalimat yang dipakai oleh Allah dalam
Al Qur’ an, lalu menggantinya langsung kepada makna yang dikehendakinya.
AS: Oh itu makna Zhahir yang antum maksud, kalau gitu pemahaman
antum dan saya berbeda…Makna Zhahir yang saya maksud adalah Zhahir Ayat
saja…gak repot mikirin apakah hal itu organ tubuh atau bukan dll karena Allah
Tidak Memberitahukannya dan Nabi Tidak menjelaskannya….Tidak Ada satupun yang
menyerupainya
Dianth : perkataan anda tidak sesuai kenyataan, nyatanya
golongan anda menjelaskan bahwa “manusia punya tangan, monyet punya tangan,
hakikat tangan monyet beda dengan tangan manusi, apalagi tangan Allah”. Ini adalah
sebuah pikiran untuk membedakan bentuk, dan anda telah memberikan kafiyatnya
kepada Allah. Lagi pula anda menerima kursi Allah tempat untuk menyandarkan
kaki Allah. Yang jelas kalau anda bermaksud begitu, anda bersikap tafwidh… tapi
sepertinya tidak, karena anda memahami tangan sebagaimana yang anda pahami
selama ini, kalau maksud tangan adalah bukan yang anda pahami ini barulah
tafwidh.
AS: JAHMIYAH hanya mengingkari Sifat Allah mas, tidak sampai
kepada mengingkari ayat, mereka mena’wilkan Sifat-Sifat Allah tersebut sesuai
dengan nafsunya.
Contohnya Tangan = Kekuasaan
Dianth: Kata-kata ‘Sesungguhnya Allah Tidak Menciptakan Adam
dengan Tangan-Nya’ itu adalah bentuk tha’til pada bahasa berbeda dengan Asy
ariyah yang tetap mengatakan Allah Menciptakan Adam dengan Tangan-Nya
sebagaimana datangnya ayat.
AS: Kayaknya gak gitu deh, sudah jelas JAHMIYAH mena’wilkan
Tangan menjadi Kekuasaan. Pena’wilan yang dilakukan JAHMIYAH dalam rangka
Meniadakan Sifat Allah/Tidak Menerima Sifat Allah
Dianth : Asy ariyah besa mas dengan jahmiyah, Pena’wilan yang
dilakukan Asy ariyah dalam rangka tanzih dan meniadakan tajsim pada Allah.
AS :Jadi fokus pada Ulama Salaf, dan konsekuensinya bawakan
penjelasan Ulama Salaf…
Dianth : saya sudah jelaskan penjelasan ulama salaf yang anda
nukil yaitu Imam Tirmizi.
AS: Ya saya bangga karena punya bukti sesuai dengan Klaim
saya…lalu Mana bukti Klaim antum?….GAK PUNYA YAH….Ya ampun….
kalau sebelumnya sudah NGOTOT MENGKLAIM bahwa Syaikh Al-Jilani
menetapkan Allah Ada Tanpa Tempat dan Arah kemudian saat ditanya buktinya…gak
bisa bawain bukti itu namanya ASAL-ASALAN, dan apakah antum tidak merasa sedang
memfitnah Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani kah?….atau bagi antum Fitnah bisa
mendatangkan keridhoan/Rahmat Allah sehingga antum Ikhlas memfitnah Syaikh
Al-Jilani?
Hanya antum yang bisa menjelaskannya :)
Dianth : Siapa yang fitnah mas….? pikiran antum hanya kotor nya
aja pada kelompok diluar antum… istighfar mas.
Penjelasan saya adalah tentang sanad. dan sanad adalah bukti
shahih. Adapun penjelasan Syekh Abdul Qodir itu tidak menunjukkan makna zhahir
bagi saya, hanya beliau menolak takwil Asy ariyah, ini adalah masalah ijtihad
semata-mata.
“Hendaklah diterima Sifat Istiwa secara mutlak tanpa Ta’wil”
“Dan sesungguhnya Dia beristiwa secara Zat di atas arasy
Dan bukan bermakna secara duduk dan bersentuhan”
‘Sebaliknya yang diterima daripada mereka menunjukkan bahwa ia
(Istiwa’) di fahami secara mutlak”.
Syekh mengingkari takwil, tapi tidak menetapkan arah dan tajsim.
adapun kalimat secara Zat di atas arasy adalah perkataan yang perlu penjelasan
lebih lanjut.
Adapun kaum seperti Syekh, sebagaimana kita ketahui berkeyakinan Allah ada
tanpa tempat dan arah.
Ini adalah perbedaan pendapat.
Lalu mengapa pula anda melarang saya berpendapat dengan pendapat
khalaf ? bukankah anda melarang saya berpendapat dengan pendapat khalaf ?
sebenarnya yang asal-asalan siapa sih. ini namanya tidak konsisten.
sebagaimana tidak konsistennya kelompok antum yang mencela takwil asy ariyah
pada sifat-sifat wajah, tangan, turun, bersemayam dll, tapi mereka sendiri
melakukan takwil pada ayat
“Bahawasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka
berjanji kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka.” (al-Fath 48: 10)
juga
“ingatlah, bahwa sesungguhnya Dia meliputi segala sesuatu.” (Al
Fushilat:54 )
Maka sesungguhnya meskipun ulama salaf dan khalaf berbeda
persepsi dan pandangan dalam masalah ini maka dalam masalah takwil ini tidak
ada yabg berhak mengklaim sebagai kelompoknya adalah jalan kebenaran, sedangkan
kelompok lainnya adalah sesat dan menyimpang.
Adapun masalah tasybih dan tajsim, sebagaimana riwayat yang
antum nukilkan pula dan ayat tentang ayat-ayat mutasyabihat, maka jelaslah
bahwa sifat-sifat Allah yang berindikasi tajsim harus ditakwil dengan takwil
ijmali atau takwil tafsili. Sedangkan sifat-sifat maknawi maka kita tetapkan
sebagaimana yang kita pahami.
Maka Zat Allah bukanlah seperti zat yang diciptakan olehNya.
“Tidaklah ada yang serupa denganNya sesuatu apapun”,
Ini adalah tanzih, dan yang tanzih adalah zatNya, maka Zat Allah berbeda dengan
zat mahluk.
oleh karena itu Allah bukan jisim, bukan materi, atau apapun juga yang
merupakan zat mahluk.
Maka Zat Allah bukanlah seperti zat yang diciptakan olehNya.
Bukankah kita tidak bisa memahami Zat Allah, bahkan dilarang untuk
memikirkannya. Maka segala yang disandarkan kepada Zat Allah, seperti kaki,
tangan, wajah bukanlah untuk kita pahami pada Zat Allah sebagaimana kita
memahami zat mahluk (bukankah bila kita mengatakan Allah punya kaki, punya
tangan, punya wajah maka kita telah memahami Zat Allah sebagaimana zat mahluk?
kalau Zat Allah tidak bisa kita pikirkan dan pahami, maka mengapa kita
memberikan sifat-sifat zat mahluk sebagaimana yang kita ketahui kepada Allah
?), tetapi sebagai ujian buat keimanan kita.
“Dan sesungguhnya Allah itu satu bukan dari segi hitungan, tapi
dari segi bahwa tidak ada sekutu bagi-Nya. Dia tidak melahirkan dan tidak
dilahirkan, tidak ada suatu apapun yang meyerupai-Nya. Dia bukan benda, dan
tidak disifati dengan sifat-sifat benda. Dia tidak memiliki batasan (tidak
memiliki bentuk; artinya bukan benda), Dia tidak memiliki keserupaan, Dia tidak
ada yang dapat menentang-Nya, Dia tidak ada yang sama dengan-Nya, Dia tidak
menyerupai suatu apapun dari makhluk-Nya, dan tidak ada suatu apapun dari
makhluk-Nya yang menyerupainya”
Lihat al-Fiqh al-Akbar dengan Syarh-nya karya Mulla ‘Ali al-Qari’, h. 30-31
Ini adalah ucapan Imam hanafi tentang zat Allah. maka resapilah.
dan Ia Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. (QS.Asy Syura : 11).
Ini adalah sifat maknawi. ini adalah bentuk tasybih. maka sifat-sifat maknawi
Allah serupa sifat-sifat maknawi manusia namun tidaklah sama. maka kita
menetapkan sifat ini, yang telah ditetapkan Allah sebagai sifatNya.
Dan sifat-sifat seperti ini sebagaimana asmaul husna, nama-namaNya, justru kita
dianjurkan untuk mempelajari dan memahaminya.
Abu BakrJune 26,
2011 at 2:41 am #
dobdob: “Siapa anda yang menyatakan istiwa jika dimaknai sesuai
Dzohirnya tanpa memberikan kaifiat adalah satu sifat yang tidak layak? gegabah
sekali anda. siapa yang memastikan istiwa itu adalah posisi duduk seperti anda
duduk? saya menyarankan anda membaca tulisan saya tentang makna Istiwa.”
Saya kira orang-orang Kullabi dari zaman dahulu hingga sekarang
(kecuali yang dirahmati Allah) selalu dan akan selalu beranggapan bahwa setiap
apa yang diucapkan oleh “Wahhabi” adalah bermakna dhahir yang mana imbasnya
mereka akan selalu berpikiran bahwa setiap pembahasan Asma wa Shifat yang
dilakukan “Wahhabi” akan selalu masuk ranah tajsim, padahal merekalah yang
melakukan tajsim dengan mengatakan bahwa bersemayam = duduk, hanya saja mereka
bingung lalu mengarahkan telunjuknya kepada “Wahhabi”.
Lebih baik sebenarnya orang-orang Asy’ari Maturidi menyelidiki
satu-satunya riwayat yang menyatakan “Allah ada tanpa tempat” yang terdapat
pada kitab karya Abu Manshur al-Baghdadi yang berjudul al-Farq Bayn al-Firaq
yang mana riwayat itu disandarkan kepada al-Imam ‘Aliy ibn Abi Thalib
radhiyallahu ‘anhu… apakah riwayat tersebut ada sanadnya ataukah hanya
“Katanya”
Hadanallah Wa Iyyakum.
PARA PENGINGKAR SIFAT MENUDUH AHLUS SUNNAH DENGAN SEBUTAN
MUSYABBIHAH/MUJASSIMAH
Abu Hatim Ar-Razi berkata: Tanda ahli bid’ah adalah mencela ahli atsar. Dan
tanda Jahmiyyah adalah menggelari ahli sunnah dengan MUSYABBIHAH (menyerupakan
Allah dengan makhluk-pen). [Syarh Ushul I’tiqad Ahli Sunnah wal Jama’ah
Al-Lalikai 1/204, Dzammul Kalam al-Harawi 4/390, dan Aqidah Ashabul Hadits oleh
Abu Utsman Ismail Ashabuni]
……
yang langsung ke point aja akh….ini kan kaya blog dalam blog..
Imam Ahmad bin Hanbal telah menepis dan membongkar kerusakan
faham yg mengatakan Allah ada di mana-mana dalam kitabnya “Ar-Rad ‘ala
Al-Jahmiyyah” hal. 53, beliau mengatakan: “Apabila engkau ingin mengetahui
kedustaan kaum Jahmiyyah tatkala mengatakan bahwa Allah dimana-mana dan tidak
berada di satu tempat, maka katakanlah padanya: “Bukankah dahulu hanya Allah
saja dan tidak ada sesuatu lainnya?” Dia akan menjawab: “Benar” Lalu katakanlah
padanya lagi: “Tatkala Allah menciptakan sesuatu, apakah Dia menciptakannya
pada diri-Nya ataukah diluar dari diri-Nya?” Jawaban dia tidak akan keluar dari
tiga hal:
1. Apabila dia menyangka bahwa Allah menciptakan makhluk pada diri-Nya, maka
ini merupakan kekufuran karena dia telah menganggap bahwa Jin, manusia, syetan
dan iblis pada diri Allah!
2. Apabila dia mengatakan: Allah menciptakan mereka di luar diri-Nya kemudian
Allah masuk pada mereka, maka ini juga kekufuran karena dia menganggap bahwa
Allah berada di setiap tempat yang menjijikkan dan kotor!
3. Apabila dia mengatakan: Allah menciptakan mereka di luar dari diri-Nya
kemudian Allah tidak masuk pada mereka, maka ini adalah pendapat Ahlus Sunnah
wal Jama’ah”.
Muqaddimah Mukhtasar Al-‘Uluw hal. 70-71 Adz-Dzahabi :
I. Apabila yang maksud “tempat” adalah yang tersirat dalam benak fikiran kita
yaitu setiap yang meliputi dan membatasi seperti langit, bumi, kursi, arsy dan
sebagainya maka benar hal itu mustahil bagi Allah karena Allah tidak mungkin
dibatasi dan diliputi oleh makhluk, bahkan Dia lebih besar dan agung, bahkan
kursi-Nya saja meliputi langit dan bumi. Allah berfirman:
Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya padahal
bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan
tangan kanan-Nya. Maha Suci Tuhan dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka
persekutukan. (QS. Az-Zumar: 67).
Dan telah shahih dalam Bukhari (6519) dan Muslim (7050) dari Nabi bahwa beliau
bersabda:
Allah menggenggam bumi dan melipat langit dengan tangan kanan-Nya kemudian
berfirman: “Saya adalah Raja, manakah raja-raja bumi?”
II. Adapun apabila maksud “tempat” adalah sesuatu yang tidak meliputi yakni di
luar alam semesta, maka Allah di luar alam semesta sebagaimana keberadaan-Nya
sebelum menciptakan makhluk.
Jadi, Allah di tempat yang bermakna kedua ini bukan makna pertama
muslimmuwahhidmujahidMay 29,
2015 at 9:12 pm #
Subhaanaka Allahumma wa bihamdika astaghfiruka wa atuubu
ilaiik,,,