Sunday, July 19, 2015

71 Responses to “Fitnah Tajsim” ( Ibnu Taimiyah) 19-July-2015 at 16:00

Untuk pendengki Ibnu Taimiyah silahkan baca responses terhadap tulisan “Fitnah Tajsim”. Mungkin yang ada dibenak anda terwakili didalamnya.

71 Responses to “Fitnah Tajsim”

Ibad_twSeptember 21, 2010 at 4:09 pm #
Alhamdulillah ustad, saya belum pernah membaca bantahan terhadap tuduhan mujassimah kepada ahlussunnah secara umum dan syaikhul islam secara khusus yang seringkas, sejelas, dan segamblang paparan antum….
Insya Allah bermanfaat untuk saya dan kaum muslimin…

yeopNovember 5, 2010 at 2:50 pm #
السلام عليكمشكر الله على هذا الجهد المبارك للدفاع عن أئمة السنة وأعلامهم, أسأل الله تعالى أن أن يثبتك وأيانا جميعا على سواء الصراط,,شكرا لك يا صاحب الموقع

JerussalemSeptember 23, 2010 at 1:14 pm #
alhamdulillah sekarang bisa lebih faham, dan hatiku setuju dengan hal ini :)

 DianthMarch 22, 2011 at 12:54 pm #
kata pak ustad :Tulisan dan nukilan Ibnu taimiyah juga menjadi bukti bahwa beliau bukanlah seorang mujassimah, Justeru ketika Asyairah membatasi bahwa jism itu adalah satu hal, ternyata ibnu taimiyah telah merinci dan menyikapi lafadz jism dari berbagai isu yang beredar tentang jism menurut berbagai firqah dan mengambil solusi yang wasath.
Kalau demikian menurut pak Ustad, bahwa Ibnu taymiyah bukanlah mujasimmah, maka ulama asyariyah bukan membatasi jisim tetapi menjelaskan apa itu jisim agar umat islam tidak terjebak kepemahaman mujjasimah, dan menurut saya itulah yang terbaik sehingga umat menjadi jelas dan mantap akidahnya menolak tajsim.

dobdobMay 6, 2011 at 9:03 am #
terbalik, saya tidak tahu darimana anda menemukan logika seperti itu dari tulisan saya, Asyáriyah jelas membatasi jism, Ibnu Taimiyahlah yang memberikan penjelasan tentang Jism lalu memilih jalan yang wasath. pembatasan makna Jism itulah yang membuat Asyariyah memutlakkan pengkafiran dan tuduhan Mujassimah kepada Ibnu Taimiyah dan orang-orang yang menyikapi isu Jism dengan flexible dan utuh. Pembatasn jism itu membuat mereka tidak mengenal itsbat dan tafwidh kaifiyah, mereka akan mengatakan Musyabbihah kepada orang yang melakukan Isbat,padahal dalam istbat itu ada tafwidul kaifiyah. lebih jauh lagi merekaa itu menafikan kaifiyah bagi Allah secara Mutlak, walaupun anehnya mereka menetapkan Allah bisa dilihat diakhirat nanti, padahal sesuatu yang bisa dilihat itu ber “kaifiyah”

DianthMay 6, 2011 at 2:56 pm #
Pembatasan jisim yang dilakukan Asy ariyah jelas untuk memperjelas mana akidah yang tajsim dan bukan, mana yang isbat mana yang bukan. Apa yang ditulis oleh Ibnu Taimiyah justru memberi peluang akidah tajsim, karena tidak menjelaskan secara pasti malah melarang membatasinya, sehingga terbukalah pemahaman tentang zat Allah sesuai pemahamannya tehadap mahluk. Siapa bilang melakukan isbat itu mujassimah ? Isbat tidak mesti dimaknai secara zhahir, seperti pemahaman kita terhadap mahluk, tapi tafwidh makna dan kaifiyatnya bila hakikat zhahirnya menyebabkan kita tasybih, karena hanya Allah yang tahu makna yang sebenarnya dari ayat sifat bila disandarkan kepadaNya.

dobdobMay 6, 2011 at 3:11 pm #
tunjukkan itsbat versi asyariyah mas? dan tunjukkan itsbat versi asyariyah yang makna hakikat zhahirnya menyebabkan tasybih begitu juga yang tidak menyebabkan tasybih!

DianthMay 6, 2011 at 4:01 pm #
Asy ariyah telah menetapkan semua sifat-sifat Allah sebagaimana disebutkan dalam Al Quran dan hadist termasuk asmaul husna. Adapun ayat-ayat sifat yang disandarkan kepada Allah yang makna zhahirnya menyebabkan tasybih maka maka Asy ariyah bersikap tafwidh dan takwil.
Ok, saya tunjukkan contohnya, biar jelas saya tunjukkan saja sifat-sifat yang menjadi pertanyaan salafi.
Asy ariyah menetapkan sifat Melihat dan sifat Mendengar.
Asy ariyah menolak sifat jisim ( dalam artian mempunyai bagian-bagian/anggota tubuh) pada Allah, berarah, bertempat dan berpindah-pindah.


dobdobMay 6, 2011 at 4:08 pm #
hmmm… anda mendengar dan Allah mendengar, apakah anda tidak khawatir Tasybih?
istiwa adalah kata kerja, kallama juga kata kerja, kenapa yang satu di takwil dan yang satu ditetapkan? keduanya juga bisa mengarahkan kepada Tasybih.
Asyairah menetapkan bahwa orang beriman akan berbicara kepada Allah di akhirat nanti dan melihatnya, sesuatu yang dapat dilihat dengan mata itu Jism, dan melihat itu pasti kearah tertentu, kenapa Asyairah tetapkan?
saya menyarankan agar anda membaca ulang artikel saya diatas, agar anda memahami cara-cara orang yang saya sepakati dalam menyikapi lafadz-lafadz yang dianggap bidáh oleh ibnu taimiyah tersebut ketika dikaitkan dengan Allah.

Abdul SyukurMarch 22, 2011 at 10:33 pm #
@ Mbak Dianth
Dari yang mbak Dianth pahami selama ini, Syaikh Ibnu Taimiyah termasuk Mujasimah bukan?
Kalau bukan, berarti setuju dengan paparan artikel diatas.
Kalau Iya, berarti bisa menjelaskan mengapa beliau dilabeli sebagai Mujasimah (khususnya oleh abusalafy cs/para penggemarnya yang konon merasa mengikuti pemahaman Imam Asy’ari)?
pertanyaan tambahan, apa saja sih ajaran Imam Asy’ari yang antum ketahui terkait Shifat Allah sehingga banyak yang menganggap “AJARAN BELIAU ISTIMEWA” padahal banyak nama besar Ulama Salaf dari Ashabul Hadits yang juga menjelaskan masalah Shifat Allah tapi “TIDAK DIANGGAP SEISTIMEWA” Imam Asy’ari sehingga untuk Imam Asy’ari dibuatkan istilah khusus yakni Asy’ariyah…contoh Ulama Salaf dari Ashabul Hadits antara lain:Imam Ahmad, Imam Malik, Imam Ishaq Bin Ruhawayh, Imam Ibnu Khuzaimah dll…(karena kenyataannya tidak ada dari Ulama Salaf ini yang diberikan penamaan khusus terkait dengan penjelasan Shifat Allah yang mereka sampaikan).
Silahkan dijelaskan

DianthMarch 26, 2011 at 7:01 pm #
@abdul syukur, saya laki-laki bukan perempuan. Saya tidak mengatakan syekh ibnu taymiah mujassimah, justru kelompok yg mengaku salafi yg sering menyandarkan pemahamannya yg cenderung tasybih kepada beliau, sehingga beliau juga dianggap cenderung tasybih. Kalau keistimewaan imam asy ari, tentu semua tahu tentang perannya membantah muktazilah dgn rumusan akidahnya yg merupakan perpaduan akal dan nash.

Abdul SyukurMarch 28, 2011 at 4:42 pm #
Terima kasih atas penjelasannya Mas Dian.
Karena blog ini dikhususkan membahas “Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah” maka kita fokus ke beliau dulu yah.
Bisakah antum buktikan pernyataan antum bahwa kelompok salafi yang cenderung tasybih pemahamannya menyandarkan pendapat pada Syaikh Ibnu Taimiyah sehingga Syaikh Ibnu Taimiyah pun dianggap cenderung Tasybih.
Silahkan dijelaskan
(Sederhananya begini, Salafi menjelaskan A, Syaikh Ibnu Taimiyah B…kemudian Salafi berkesimpulan Syaikh Ibnu Taimiyah menjelaskan A
Sehingga Syaikh Ibnu Taimiyah pun dianggap cendrung Tasybih)
Silahkan…

'AjamMarch 29, 2011 at 11:20 pm #
golongan asy’ari pasti menetapkan sifat mendengar dan melihat bagi Alloh. kalo dipikir2, tuduhan tajsim itu kembali pada mereka sendiri, karena jika mengikuti alur logika mereka, mendengar itu pasti butuh alat pendengaran yang disebut telinga dan melihat itu butuh alat penglihatan yang disebut mata.
jika mereka mengingkari kedua sifat ini, berarti mereka kufur.
jika mereka menetapkan kedua sifat ini, berarti tuduhan tajsim itu kembali pada mereka sendiri.


DianthApril 5, 2011 at 2:54 pm #
@abdul syukur
Anda sepertinya serius mau berdialog, maaf kalau saya terlambat dalam menomentari tanggapa anda.
Yang bisa saya tanggapi adalah bahwa kelompok yang mengaku salafi (dalan situs al manhaj): Kata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah: “Manhaj Salaf dan para Imam Ahlus Sunnah mereka mengimani Tauhid al-Asma’ wash Shifat dengan menetapkan apa-apa yang Allah telah tetapkan atas diri-Nya dan telah ditetapkan Rasul-Nya Shallallahu alaihi wa sallam untuk-Nya, tanpa tahrif[3] dan ta’thil[4] serta tanpa takyif[5] dan tamtsil[6]. Menetapkan tanpa tamtsil, menyucikan tanpa ta’thil, menetapkan semua Sifat-Sifat Allah dan menafikan persamaan Sifat-Sifat Allah dengan makhluk-Nya”

disini mereka mengatakan tahrif sama dengan takwil, sehingga takwil atas sifat Allah adalah terlarang, ini sesuai dengan kaidahnya :MENGAMBIL LAHIRIYAH AL-QUR’AN DAN AS-SUNNAH MERUPAKAN PRINSIP DASAR AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH (saya tidak tahu kata-kata ini diambil dari mana dan disandarkan kepada siapa)
Sedangkan kita tahu bahwa Ibnu Taimiyah telah menakwil kata “wajah” dengan “arah”.
Bahkan saya menemukan di situs salafi lainnya bahwa ibnu taimiyah mengatakan bahwa kita tidak boleh tawfid. Padahal kita ketahui sebagian besar salaf bersikap tawfid dalam ayat-ayat sifat yang mutasybihat.
Demikiaan saudaraku.

Abdul SyukurApril 5, 2011 at 6:09 pm #
@ Mas Dianth
Terima kasih atas penjelasannya, semoga anda senantiasa dalam lindungan Allah Ta’ala
Hal-hal yang ingin saya tanggapi dari tulisan antum:
1. Sebelumnya antum menyatakan:

justru kelompok yg mengaku salafi yg sering menyandarkan pemahamannya yg cenderung tasybih kepada beliau, sehingga beliau juga dianggap cenderung tasybih.
setelah saya tanyakan mana buktinya, sepertinya antum tidak membawakan bukti yang saya minta, lebih tepatnya apa yang antum tuliskan TIDAK NYAMBUNG
Hati-hati, pernyataan antum sebelumnya bisa masuk ke dalam Fitnah karena tidak ada buktinya, Takutlah pada Allah.
2. Mengenai yang antum anggap “Ibnu Taimiyah melakukan Ta’wil”….sepertinya ini masalah dasar yang ada pada pemahaman antum.
salah satu Obat yang mujarab adalah antum bertanya kepada Ust. dob dob (sebagai pemilik Blog yang mengkhususkan membahas “Amaliyah” Ibnu Taimiyah) apakah Ta’wil itu?…Apakah Ta’wilan Ibnu Taimiyah sama dengan Ta’wilan yang dilakukan pengikut Asy’ariyah? dll
Ust. dob dob sudah menjelaskan mengenai Ta’wilan Ibnu Taimiyah ini, kalau ada yang kurang jelas silahkan antum tanyakan supaya tidak ada yang samar-samar lagi.
Ibnu Taimiyah dan Ta’wil

Kesimpulan:
Dari penjelasan diatas dan praktek-praktek yang dilakukan Ibnu Taimiyah dalam banyak tulisannya maka jelaslah bahwa komentar-komentar beliau terkait sifat Allah hanyalah sebatas tafsiran yang berasal dari para pendahulu kaum muslimin dari kalangan salaf dan sahabat. Kalaupun dia menulis dengan kata takwil maka hal tersebut bermakna tafsir yang sangat berbeda dengan pemahaman Mutaakhirin yang memalingkan makna atau bahkan merubah (tahrif).
Tafsir-tafsir tersebut sama sekali tidak menodai akidah terhadap Sifat Allah berupa penetapan sifat sebagai mana datangnya dan sesuai dengan apa yang Allah sifatkan bagi diriNya tanpa tahrif ta’thil dan tamsil. Beliau banyak menjelaskan hal ini dalam kitab-kitabnya, maka ambillah pelajaran.
(Tips dari saya memahami artikel diatas, perhatikan baik-baik ayat/hadits yang dibawakan, dari situ akan bisa dipahami seperti apa Ta’wil pada ayat atau hadits dan Bagaimana Ta’wilan Salaf fan Ta’wilan Asy’ariyah)
3. Mengenai Tafwidh
Seperti apa Tafwidh yang antum pahami selama ini?
Seperti apa Tafwidh yang dilakukan oleh Salaf dari yang antum ketahui?
Sementara itu dulu dari saya semoga Allah Ta’ala memberikan kepahaman Agama yang benar bagi kita semua, amin

DianthApril 6, 2011 at 2:28 pm #
Mas Abdul Syukur, Apa yang saya tuliskan adalah sesuatu yang bersifat global, karena kelompok salafi memaknai lahiriyah nash juga didukung oleh pernyataan yang dinisbatkan kepada Ibnu Taimiyah seperti yang saya kutip. Hal inilah yang menyebabkan kelompok salafi menolak takwil bahkan ada yang menolak tawfidh dan mengharuskan memaknai nash ayat-ayat khabariyah tentang sifat-sifat Allah yang mutasybihat dengan menkan zhahir. Apakah saya harus mengutip satu-satu pernyataan yang disandarkan Ibnu taymiyah? Bagi saya cukup bahwa memaknai zhahir ayat-ayat sifat dan mutasyabihat adalah mengarah tajsim dan tasybih. Apa yang anda tulis tidak nyambung hanyalah kata lain bahwa anda tidak menganggap pemahaman salafi tajsim dan tasybih. Kalau begitu apakah tajsim dan tasybih menurut anda?
Masalah takwil, saya sudah memberikan tanggapan, justru saya ingin mengatakan seperti kata anda dan ustad dobdob: Hati-hati, pernyataan antum sebelumnya bisa masuk ke dalam Fitnah karena tidak ada buktinya, Takutlah pada Allah.
Bukankah menurut ustad, takwil kelompok asyari berbeda pengertiannya dengan salaf. Adakah buktinya? Justru para ulama Asy ari sangat hati-hati dalam melakukan takwil sehingga tidak terjadi tha’til dan mereka berusaha melakukan takwil sesuai kaidah dan contoh dari salaf, ajaibnya Ibnu taimiyah justru menurut ustad lebih sesuai dengan salaf. Bagi saya takwil para ulama islam salaf maupun asy ariyah adalah satu pemahaman.

Masalah tawfidh, justru saya yang ingin bertanya kepada anda apa itu tawfidh menurut anda sehingga ada kelompok salafi yang menentangnya? bagi saya memaknai nash ayat-ayat mutasyabihat secara zhahir bukanlah pemahaman salaf. Kaidah salaf adalah tawfidh dan takwil yang benar yang sesuai dengan keagungan Allah.
Demikian saudaraku

Abdul SyukurApril 8, 2011 at 5:20 pm #
@ Mas Dianth
1. Tidak perlu semua bukti antum bawakan disini, mulai dengan 1 dulu saja bawakan bukti sebagaimana yang antum sangkakan/tuduhkan sebelumnya.
Bisa kan?
2. Kalau antum bilang Ta’wil Salaf dan Asy’ariyah adalah sama, mestinya kan tidak usah mena’wil kalau Salaf Tidak Menta’wil
Atau kalau pun men Ta’wil, disamakan dengan kaidah yang Salaf lakukan, itu baru artinya sama
3. Tentang Tafwidh, bukankah antum yang pertama kali menggunakan kata “TAFWIDH” dengan menyatakan Ibnu Taimiyah melarang Tafwidh dan Ulama Salaf melakukan Tafwidh
karena itu saya bertanya, seperti apa Tafwidh yang antum ketahui, dan seperti apa Tafwidh nya Salaf yang antum ketahui?
Bisa kan?
Ini maksudnya supaya apa yang kita bicarakan jelas arahnya, jangan sampai sudah panjang lebar cerita ternyata beda pemahamannya
Semoga Allah senantiasa menolong kita semua.
———
@ Ust dob dob

Mungkin Ustadz, berkenan mengomentari apa yang dinyatakan oleh Mas Dianth, supaya saya juga bisa mengambil faidah dari tulisan Ustadz seperti sebelumnya.
Jazakallah

dobdobApril 8, 2011 at 5:59 pm #
hmmmm.. segera akh.. Insya Allah saya akan buat artikel tentang Tafwidh, bahan yang saya miliki sudah lengkap, tinggal menorehkankannya saja. Maklum kesibukan dan kemalasan berkolabolarasi menghalangi saya menulis.
silahkan buat mas dian untuk lebih meluangkan waktu membaca artikel fitnah Tajsim sekali lagi agar mengerti antara istbat dan Tajsim serta perbedaan keduanya

TommiApril 8, 2011 at 7:20 pm #
Sebagai bahan bacaan sebelum ustadz Dobdob menuangkan artikel tentang tafwidh :
Semoga akhi dianth mau meluangkan waktunya sejenak untuk membaca artikel di link yg saya bawakan.

DianthApril 19, 2011 at 10:15 am #
Mas Abdul syukur, apa yang disampaikan Mas Tomi, dengan link Abu Jauza itu sudah membuktikan perkataan saya, bahwa salafi atau kelompok salafi yang cenderung tasybih pemahamannya menyandarkan pendapat pada Syaikh Ibnu Taimiyah sehingga Syaikh Ibnu Taimiyah pun dianggap cenderung Tasybih. Bahkan link dalam blog itu lengkap dituliskan bahwa Ibnu Taymiyah menolak tawfidh dan menganggapnya bidah.

dobdobApril 19, 2011 at 10:52 am #
Salafy yang cenderung Tasbih itu dimana adanya sih? jangan-jangan belum sampai ilmu kepada anda pembeda dan persamaan antara istbat dan tasbih

Abdul SyukurApril 20, 2011 at 12:29 pm #
Mas Dianth, pertanyaan saya sederhana saja bawakan bukti seperti yang antum tuduhkan/sangkakan bahwa salafi yang cenderung tasybih pemahamannya menyandarkan pendapat pada Syaikh Ibnu Taimiyah sehingga Syaikh Ibnu Taimiyah pun dianggap cenderung Tasybih
Kalau antum merujuk pada linknya Abul Jauza, coba kutipkan bagian mananya yang antum tuduh demikian, supaya lebih fokus.
Ingat pesan Nabi, GAK BOLEH ASAL-ASALan, Hanya yang TIDAK PUNYA MALU yang BERBUAT ASAL-ASALan atau Sesukanya (Sifat Malu ini cabangnya Iman lho).
Bisa kan yah?
Kemudian, apa yang antum ketahui tentang TAFWIDH dan seperti apa TAFWIDH nya Ulama Salaf yang antum ketahui?
3 hal ini dulu aja…coba antum jelaskan dulu dari yang antum pahami.
Biar diskusi ini mengalir.
Mungkin ada benarnaya juga yang Ust.dob dob tuliskan jangan-jangan belum sampai ilmu kepada anda pembeda dan persamaan antara istbat dan tasbih.
Tapi sayangnya tulisan anda sudah mendahului ilmu anda.

DianthApril 25, 2011 at 4:46 pm #
Ingat pesan Nabi, GAK BOLEH ASAL-ASALan, Hanya yang TIDAK PUNYA MALU yang BERBUAT ASAL-ASALan atau Sesukanya (Sifat Malu ini cabangnya Iman lho).
Kok anda tuduh saya asal-asalan sih? kan sudah saya beritahukan dari awal salafi yg sering MENYANDARKAN pemahamannya yg cenderung tasybih kepada beliau. Saya tidak mengatakan bahwa salafi mengutip dari perkataan Ibnu Taimiyah,
seperti dalam link abul juzza tersebut, sang ustad menerangkan masalah ayat-ayat mutasyabihat tersebut dengan kaedahnya “Asal makna dari satu perkataan adalah hakekatnya, yaitu makna yang langsung bisa tertangkap dari pembicaraan”, “perlakukanlah ayat-ayat sifat sesuai dengan dhahir makna yang termuat di dalamnya, tanpa tafsir ke makna-makna selainnya atau menanyakan kaifiyah-nya” apa artinya ini kalau bukan cenderung tasybih dan tajsim, bukankah makna hakikat dari mata, tangan, kaki dsbnya secara hakikat adalah anggota tubuh ? lalu layakkah Allah mempunyai anggota tubuh. lalu beliau mengutip pernyataan Ibnu taimiyah untuk mendukung pernyataannya itu. Apakah perkataan Ibnu taimiyah adalah bermakna seperti itu ? Lalu mengapa pula mereka mengatakan ulama salaf mengartikannya secara zhahir juga, bukankah seperti kata Adz-Dzahabiy : mengisyaratkan makna ‘tanpa tafsiir’ sebagaimana dikatakan para salaf terhadap nash-nash sifat (Allah) adalah tanpa men-takyif-nya. Ia berkata :
هذه أحاديث صحاح، حملها أصحان الحديث والفقهاء بعضهم عن بعض، وهي عندنا حق لا نشك فيها، ولكن إذا قيل : كيف يضحك ؟ وكيف وضع قدمه ؟ قلنا : لا نفسر هذا، ولا سمعنا أحدًَا يفسره
“Ini adalah hadits-hadits shahih yang dibawakan oleh para ahli hadits dan fuqahaa’ sebagian mereka dari sebagian yang lain. Hal itu di sisi kami adalah benar, tidak ada keraguan padanya. Akan tetapi jika dikatakan : Bagaimana Allah tertawa ? dan bagaimana Allah meletakkan telapak kaki-Nya ? Kami katakan : Kami tidak menafsirkan ini, dan kami pun tidak pernah mendengar seorang pun (ulama) menafsirkannya” [Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 10/505]. Lalu apa arti ayat-ayat mutasyabihat yang hanya Allah lebih tahu takwilnya apabila dikatakan “bahkan maknanya dapat langsung diketahui sebagaimana orang yang berbicara mengetahui maksud dari pembicaraannya”. yang dimaksud oleh ustad adalah makna hakiki dari tanga, kaki, mata, wajah dsb, betul maknanya diketahui tetapi bukanlah makna dari kata tangan, kaki, wajah dsb, tapi makna atau maksud ayat itu secara keseluruhan, contohnya dalam hadist ada dikatakan bahwa bila kita mendekat kepada Allah sedepa, Dia akan mendekat sehasta, kita mendekatinya dengan berjalan, maka Allah akan mendekati kita dengan berlari, tentu kita paham maksudnya atau maknanya bahwa Allah ridho dan lebih dahulu dekat dengan kita daripada usaha kita agar bisa dekat kepadaNya, bukan makna sehasta, atau berlari.

Demikian, Salam.

pujiMay 2, 2011 at 5:22 am #
@Dianth
Saya tidak tahu apakah sauadara membaca keseluruhan maksud Abul-Jauzaa atau hanya sekilas untuk mencari bukti bahwa salafi melakukan “tasybih” saja dari sebagian nukilah Abul-Jauzaa. Sungguh aneh menurut saya kalau kesimpulannya seperti yang saudara maksud yaitu :

“Asal makna dari satu perkataan adalah hakekatnya, yaitu makna yang langsung bisa tertangkap dari pembicaraan”, “perlakukanlah ayat-ayat sifat sesuai dengan dhahir makna yang termuat di dalamnya, tanpa tafsir ke makna-makna selainnya atau menanyakan kaifiyah-nya” apa artinya ini kalau bukan cenderung tasybih dan tajsim, bukankah makna hakikat dari mata, tangan, kaki dsbnya secara hakikat adalah anggota tubuh ? lalu layakkah Allah mempunyai anggota tubuh.

Padahal sudah jelas sekali “makna” diketahui sedangkan kaifiyahnya tidak. Tapi bagi saya anda malah mencoba mereka-reka kaifiyahnya bagaimana ketika anda berbicara layakkah Allah mempunyai anggota tubuh ?. Jawaban itu sebenarnya berbalik lagi pada artikel apa itu jism ? Apakah ruh itu jism ? jika bukan maka sangat aneh melogikan “mata” Allah sebagai jism (penyerupaan terhadap makhluk yang notabene ruh saja sudah bukan termasuk jism. Penetapan sifat Allah seperti mata beserta maknanya tidak mesti harus berimplikasi pada penetapan jism sebagaimana kita tetapkan untuk semutan “mata manusia”. Jangankan mata Allah kalau anda ditanya bagaimana bentuk sayap malaikat saja saudara tidak akan tahu. Padahal mereka masih dalam tataran makhluk.
Saya dulu adalah seorang AsSyari sedikit banyak bisa memahami kaidah berpikir saudara. Bagi saya kaidahnya sederhana. Jangan pernah memebayangkan apalagi menyamakan sifat Allah dengan “arti” makna jika dilekatkan kepada manusia. Arti mata adalah mata dengan sifatnya melihat tapi tak perlu berimplikasi pada mata seperti manusia (maksud saya bentuk benda red, misal ada pupil dst). Inilah yang saya sebut makna hakiki. Sebab ketika anda membayangkan mata Allah seperti anggota tubuh manusia maka anda telah berusaha mendifinisikan kaifiyyah “mata” itu sendiri bukan apa yang dimaksud Abul-Jauzaa. Saya jamin anda tidak akan bisa mengetahui kafiyyahnya bagaimana.
Itulah yang saya pahami dari perkataan Abul Jauzaa.
Alangkah baiknya kalau saudara membaca artikel Abul_jauzaa secara keseluruhan agar memahami maksud :

dan banyak lagi bahan. Semoga saudara diberi keluasan waktu untuk mencari ilmu. Saya mohon ampun kepada Allah kalau dalam tulisan ini ada hal yang tidak sesesuai karena keterbatasan kemampuan saya untuk menerangkan

tommiMay 2, 2011 at 4:55 pm #
Wah wah jadi ribet ya? Hehehe…maksud saya membawakan link ustadz abul jauzaa adalah agar akhi dianth mengerti apa sih yg dimaksud tafwidh? Afwan akhi dianth sudah membaca belum link itu secara keseluruhan? Kok kesimpulan akhirnya bisa begitu? Mana pemahaman salafi yg cenderung tasybih yg disandarkan pada Ibnu Taimiyyah akhi?
Ini saya beri link lagi, moga2 dengan link ini akhi Dianth bisa lebih joss memahami apa itu tafwidh


Abdul SyukurMay 3, 2011 at 12:54 am #
Mas Dianth,
1. Terkait dengan ajakan saya supaya antum gak asal-asalan, kok saya jadi bingung memahami tulisan antum.
Tanggal 6 April 2011, antum tulis:
Apa yang saya tuliskan adalah sesuatu yang bersifat global, karena kelompok salafi memaknai lahiriyah nash juga didukung oleh pernyataan yang dinisbatkan kepada Ibnu Taimiyah seperti yang saya kutip.
Disini artinya antum menganggap Salafi yang pemahamannya cenderung Tasybih menisbatkan pemahamannya tersebut pada Ibnu Taimiyah.
itu sesuai dengan tulisan antum tanggal 26 March 2011:
justru kelompok yg mengaku salafi yg sering menyandarkan pemahamannya yg cenderung tasybih kepada beliau, sehingga beliau juga dianggap cenderung tasybih
Kan gak salah kalau saya memahaminya, salafi yang antum anggap tasybih bilang A, Ibnu Taimiyah bilang B, jadi artinya Ibnu Taimiyah bilang A
jadi tulisan antum yang ini:
Saya tidak mengatakan bahwa salafi mengutip dari perkataan Ibnu Taimiyah

Betul, dan saya juga gak minta bukti Salafi yang nukil pendapat Ibnu Taimiyah tapi yang saya minta bukti salafi bilang A, Ibnu Taimiyah bilang B, kesimpulan dari Salafi.. Ibnu Taimiyah bilang A…itu aja
dan sampai sekarang belum ada kan bukti yang antum tuduhkan? :)
2. Menurut saya penjelasan dari Pak Puji dan Mas Tommi cukup jelas untuk sedikit mengurai ketidak tahuan antum akan apa itu Tasybih dan Tafwidh, saya tambahin lagi deh.
Saat Allah kabarkan dia memiliki Sifat Mendengar dan Melihat kenapa gak antum pikirkan bahwa makna hakikat dari Mendengar dan Melihat adalah ada juga pada anggota tubuh (Makhluk)?
Sebaiknya, kalau Allah Tidak Khabarkan, Nabi Tidak ceritakan masalah Sifat Allah apakah berkaitan dengan Organ Tubuh atau tidak, mengapa antum harus mengait-ngaitkannya…ini namanya khayalan nakal.
Antum menolak Sifat Mata, Tangan, Kaki dsb karena menganggap itu cenderung Tasybih…pernah ndak antum sadar bahwa saat antum menolak sifat itu karena diawali dengan Tasybih dan Tajsim dalam pikiran antum.
Kalau Mata entah mata siapa yang langsung antum khayalkan, kalau Tangan entah tangan siapa yang antum khayalkan dst….karena sebelumnya berkhayal tentang Mata, Tangan, Kaki Makhluk (apakah itu manusia atau Kingkong atau lainnya) maka dianggap Sifat tersebut tidak layak bagi Allah akhirnya Sifat-sifat tersebut ditolak.
3. Mengenai kalimat “Tanpa Tafsir” dari Adz-Dzhahabi, coba antum perhatikan dan baca pelan-pelan…sebelumnya kan ada kalimat BagaimanaAllah tertawa ? dan bagaimana Allah meletakkan telapak kaki-Nya ? Kami katakan : Kami tidak menafsirkan ini, dan kami pun tidak pernah mendengar seorang pun (ulama) menafsirkannya”
jadi yang dimaksud adalah membicarakan Bagaimana/Kaifiyah nya…dan kan memang Ulama Salaf tidak membicarakan masalah Kaifiyahnya sebagaimana yang Imam Malik pesankan الكيف منه غير معقول
(Kaifiyahnya tidak dapat dicerna akal)

Antum udah tau cerita Imam Malik yang ngusir orang nanya Kaifiyah Istiwa nya Allah kan?
Semoga Allah memberikan hidayah bagi kita semua…amin

DianthMay 4, 2011 at 11:45 am #
@puji
+ Saya tidak tahu apakah sauadara membaca keseluruhan maksud Abul-Jauzaa atau hanya sekilas untuk mencari bukti bahwa salafi melakukan “tasybih” saja dari sebagian nukilah Abul-Jauzaa.
Dianth : saya membaca keseluruhannya.
+ Sungguh aneh menurut saya kalau kesimpulannya seperti yang saudara maksud yaitu :
“Asal makna dari satu perkataan adalah hakekatnya, yaitu makna yang langsung bisa tertangkap dari pembicaraan”, “perlakukanlah ayat-ayat sifat sesuai dengan dhahir makna yang termuat di dalamnya, tanpa tafsir ke makna-makna selainnya atau menanyakan kaifiyah-nya” apa artinya ini kalau bukan cenderung tasybih dan tajsim, bukankah makna hakikat dari mata, tangan, kaki dsbnya secara hakikat adalah anggota tubuh ? lalu layakkah Allah mempunyai anggota tubuh.
Padahal sudah jelas sekali “makna” diketahui sedangkan kaifiyahnya tidak. Tapi bagi saya anda malah mencoba mereka-reka kaifiyahnya bagaimana ketika anda berbicara layakkah Allah mempunyai anggota tubuh ?.
Dianth : Mas atau mbak, makna “diketahui” kok anda kasi tanda kutip ? kalau makna diketahui, maka apa makna kaki, tangan, wajah dsbnya kalau bukan anggota tubuh? apa makna hakikat dari mata? tentu organ/anggota tubuh untuk melihat bukan ? dst.
Saya tidak mereka-reka kafiyatnya, justru saya heran penjelasannya ustad menggiring orang untuk membayangkan kafiyatnya, tapi justru anda yang bilang saya mereka-reka. Apapun alasan yang menolak kafiyatnya, tetap saja makna hakiki semua itu adalah anggota tubuh (jisim)

+ Jawaban itu sebenarnya berbalik lagi pada artikel apa itu jism ? Apakah ruh itu jism ? jika bukan maka sangat aneh melogikan “mata” Allah sebagai jism (penyerupaan terhadap makhluk yang notabene ruh saja sudah bukan termasuk jism. Penetapan sifat Allah seperti mata beserta maknanya tidak mesti harus berimplikasi pada penetapan jism sebagaimana kita tetapkan untuk semutan “mata manusia”. Jangankan mata Allah kalau anda ditanya bagaimana bentuk sayap malaikat saja saudara tidak akan tahu. Padahal mereka masih dalam tataran makhluk.
Dianth : makna dengan kafiyat memang beda, tapi berhubungan toh. Ruh bukan jisim sehingga tidak dikatakan ruh punya anggota tubuh, Allah bukan ruh maupun jisim. Makna hakikat mata ya anggota tubuh (jisim) kalau ada makna mata yang bukan jisim berarti bukan makna hakikat yang dimaksud.
+ Saya dulu adalah seorang AsSyari sedikit banyak bisa memahami kaidah berpikir saudara. Bagi saya kaidahnya sederhana. Jangan pernah memebayangkan apalagi menyamakan sifat Allah dengan “arti” makna jika dilekatkan kepada manusia.
Dianth : perkataan anda bertentangan dengan penjelasan ustad abul jauzaa, coba baca lagi, kalau anda mengatakan tidak menyamakan sifat Allah “arti” makna jika dilekatkan kepada manusia, maka bukan makna hakikat yang dimaksud, karena makna hakikat yang dimaksud oleh ustad adalah makna yang kita pahami sebagai mata.
+ Arti mata adalah mata dengan sifatnya melihat tapi tak perlu berimplikasi pada mata seperti manusia (maksud saya bentuk benda red, misal ada pupil dst). Inilah yang saya sebut makna hakiki. Sebab ketika anda membayangkan mata Allah seperti anggota tubuh manusia maka anda telah berusaha mendifinisikan kaifiyyah “mata” itu sendiri bukan apa yang dimaksud Abul-Jauzaa. Saya jamin anda tidak akan bisa mengetahui kafiyyahnya bagaimana.
+ masalah kafiyat, semua kafiyat berbeda, jangankan mata manusia dengan mata mahluk lain, sesama manusiapun kafiyatnya bisa berbeda, lalu apa makna tidak serupanya Allah bila tidak serupa ini anda artikan kafiyatnya saja tetapi maknanya sama? Maha suci Allah dari membutuhkan mata untuk Melihat.
+ Itulah yang saya pahami dari perkataan Abul Jauzaa.
Alangkah baiknya kalau saudara membaca artikel Abul_jauzaa secara keseluruhan agar memahami maksud :

dan banyak lagi bahan. Semoga saudara diberi keluasan waktu untuk mencari ilmu. Saya mohon ampun kepada Allah kalau dalam tulisan ini ada hal yang tidak sesesuai karena keterbatasan kemampuan saya untuk menerangkan
Dianth : Semoga kita semua dapat memahami masalah sifat-sifat Allah ini dan terhindar dari kesesatan, semoga Allah memberikan kita semua pemahaman yang benar.

DianthMay 4, 2011 at 11:58 am #
@tommi
Wah wah jadi ribet ya? Hehehe…maksud saya membawakan link ustadz abul jauzaa adalah agar akhi dianth mengerti apa sih yg dimaksud tafwidh? Afwan akhi dianth sudah membaca belum link itu secara keseluruhan? Kok kesimpulan akhirnya bisa begitu?
Mana pemahaman salafi yg cenderung tasybih yg disandarkan pada Ibnu Taimiyyah akhi?

Ini saya beri link lagi, moga2 dengan link ini akhi Dianth bisa lebih joss memahami apa itu tafwidh

Dianth : sebenarnya tidak ribet, yang membuat ribet itu yang memaksakan orang memaknai zhahir nash, sehingga mau tak mau cenderung tasybih dan tajsim.
Link yang anda berikan sama saja isinya, menolak tawfidh dan menganggap salaf memaknai makna zhahir ayat-ayat mustasybihat.
Pertanyaan saya sederhana saja, kalau salaf memahami nash ini dengan makna hakikat, maka semua akan memahaminya dengan seragam, padahal kita ketahui salaf itu berbeda dalam memahami makna ayat-ayat tersebut, persamaan mereka adalah menolak tajsim, tasybih dan tha’til. Bukankah makna hakikat atau zhahir nash sesuatu yang mudah dipahami dan mudah pula diajarkan, lalu kenapa dari zaman salaf sampai kahalaf terjadi perbedaan dalam memahami ayat-ayat tersebut?

+Mana pemahaman salafi yg cenderung tasybih yg disandarkan pada Ibnu Taimiyyah akhi?
Penjelasan ustad-ustad salafi tentang ayat-ayat sifat cenderung tasybih dan tajsim (baca koment saya dengan puji) lalu dalam penjelasannya mereka tidak lupa mengutip perkataan Ibnu Taymiah sehingga seolah-olah perkataan Ibu taymiyah sesuai dengan yang dimaksud dalam penjelasan mereka.

DianthMay 4, 2011 at 12:28 pm #
@Abdul Syukur
+ Mas Dianth,
1. Terkait dengan ajakan saya supaya antum gak asal-asalan, kok saya jadi bingung memahami tulisan antum.
Tanggal 6 April 2011, antum tulis:
Apa yang saya tuliskan adalah sesuatu yang bersifat global, karena kelompok salafi memaknai lahiriyah nash juga didukung oleh pernyataan yang dinisbatkan kepada Ibnu Taimiyah seperti yang saya kutip.
Disini artinya antum menganggap Salafi yang pemahamannya cenderung Tasybih menisbatkan pemahamannya tersebut pada Ibnu Taimiyah.
itu sesuai dengan tulisan antum tanggal 26 March 2011:
justru kelompok yg mengaku salafi yg sering menyandarkan pemahamannya yg cenderung tasybih kepada beliau, sehingga beliau juga dianggap cenderung tasybih
Kan gak salah kalau saya memahaminya, salafi yang antum anggap tasybih bilang A, Ibnu Taimiyah bilang B, jadi artinya Ibnu Taimiyah bilang A
jadi tulisan antum yang ini:
Saya tidak mengatakan bahwa salafi mengutip dari perkataan Ibnu Taimiyah

Betul, dan saya juga gak minta bukti Salafi yang nukil pendapat Ibnu Taimiyah tapi yang saya minta bukti salafi bilang A, Ibnu Taimiyah bilang B, kesimpulan dari Salafi.. Ibnu Taimiyah bilang A…itu aja
dan sampai sekarang belum ada kan bukti yang antum tuduhkan?
Dianth : Biarlah saya perjelas lagi, dan hal ini tidak perlu dibahas berlarut-larut.
Saya bicara dalam sudut pandang Akidah asy ariyah (pahami perkataan orang dari sudut pandang yang berbeda, yang beranggapan bahwa penjelasan akidah salafi wahabi tentang sifat-sifat Allah mengandung unsur tasybih dan tajsim ( saya mengatakan cenderung tasybih dan tajsim), sehingga saya katakan cenderung tasybih dan tajsim. dalam penjelasannya itu, para ustad salafi menyertakan perkataan Ibnu Taymiyah untuk mendukung atau mengartikan perkataan Ibnu Taymiyah tersebut adalah sesuai dengan penjelasan mereka tentang ayat-ayat sifat. Maka perkataan Ibnu Taymiyah :Manhaj Salaf dan para Imam Ahlus Sunnah mereka mengimani Tauhid al-Asma’ wash Shifat dengan menetapkan apa-apa yang Allah telah tetapkan atas diri-Nya dan telah ditetapkan Rasul-Nya Shallallahu alaihi wa sallam untuk-Nya, tanpa tahrif[3] dan ta’thil[4] serta tanpa takyif[5] dan tamtsil[6]. Menetapkan tanpa tamtsil, menyucikan tanpa ta’thil, menetapkan semua Sifat-Sifat Allah dan menafikan persamaan Sifat-Sifat Allah dengan makhluk-Nya” adalah sesuai dengan penjelasan mereka tentang ayat-ayat mutasyabihat yang menurut sudut pandang Akidah asy ariyah adalah dalam istilah saya cenderung tasybih dan tajsim. Termasuk perkataan Ibnu taymiyah yang menolak tawfidh, sehingga oleh kelompok salafi makna ayat-ayat tersebut harus diartikan sesuai zhahir nash atau dengan istilah makna hakikat yang sekali lagi saya katakan ditinjau dari akidah asy ariyah ini adalah cenderung tajsim dan tasybih. Perhatikan sudut pandang orang yang bicara, jangan hanya sudut pandang anda saja. Ok kan….?
+ 2. Menurut saya penjelasan dari Pak Puji dan Mas Tommi cukup jelas untuk sedikit mengurai ketidak tahuan antum akan apa itu Tasybih dan Tafwidh, saya tambahin lagi deh.
Saat Allah kabarkan dia memiliki Sifat Mendengar dan Melihat kenapa gak antum pikirkan bahwa makna hakikat dari Mendengar dan Melihat adalah ada juga pada anggota tubuh (Makhluk)?
Dianth : Makna melihat dan mendengar itu memang bukan anggota tubuh, bedakan dengan mata dan tangan, kaki wajah dsb…sifat melihat dan mendengar ada pada mahluk, tapi melalui bantuan anggota tubuh, yang tanpanya kita tidak melihat dan mendengar, makna melihat dan mendengar berbeda dengan makna mata dan telinga.
+ Sebaiknya, kalau Allah Tidak Khabarkan, Nabi Tidak ceritakan masalah Sifat Allah apakah berkaitan dengan Organ Tubuh atau tidak, mengapa antum harus mengait-ngaitkannya…ini namanya khayalan nakal.
Dianth : saya tidak pernah mengkait-kaitkannya, tetapi penjelasan ustad-ustad salafi lah yang mengkait-kaitkannya. Coba anda perhatikan penjelasan seperti ini : manusia punya tangan, monyet juga punya tangan, tapi hakikat tangan manusia berbeda dengan tangan monyet. Anehkan ? masak istilah tangan tuhan dicontohkan seperti itu…. ?? itu artinya maknanya sama tapi bentuknya beda, kan lucu.
+Antum menolak Sifat Mata, Tangan, Kaki dsb karena menganggap itu cenderung Tasybih…pernah ndak antum sadar bahwa saat antum menolak sifat itu karena diawali dengan Tasybih dan Tajsim dalam pikiran antum.
Dianth : Anda salah pikir, yang kita tolak itu adalah makna Mata, Tangan, Kaki dsb secara hakikat sebagaimana yang kita pahami pada mahluk, maka mata, Tangan, Kaki dsb itu tidak bermakna sama dengan apa yang kita pahami sebagaimana mahluk yaitu alat atau anggota tubuh dengan fungsi tertentu. Sebab penjelasan harus dengan makna zhahir atau harus dimaknai secara hakikat adalah sama dengan yang kita pahami sebagaimana mahluk yaitu alat atau anggota tubuh dengan fungsi tertentu, kalau bukan seperti itu seharusnya istilahnya beda dong, lalu kenapa mengatakan Asy ari menolak atau tha’til.
+ Kalau Mata entah mata siapa yang langsung antum khayalkan, kalau Tangan entah tangan siapa yang antum khayalkan dst….karena sebelumnya berkhayal tentang Mata, Tangan, Kaki Makhluk (apakah itu manusia atau Kingkong atau lainnya) maka dianggap Sifat tersebut tidak layak bagi Allah akhirnya Sifat-sifat tersebut ditolak.
Dianth : Menghayal atau tidak menghayal, Maha suci Allah dari anggota tubuh dan tersusun dari bagian-bagian, karena anggota tubuh dan tersusun dari bagian-bagian itu adalah sifat mahluk yang tidak layak disandingkan pada Allah SWT.
+ 3. Mengenai kalimat “Tanpa Tafsir” dari Adz-Dzhahabi, coba antum perhatikan dan baca pelan-pelan…sebelumnya kan ada kalimat Bagaimana Allah tertawa ? dan bagaimana Allah meletakkan telapak kaki-Nya ? Kami katakan : Kami tidak menafsirkan ini, dan kami pun tidak pernah mendengar seorang pun (ulama) menafsirkannya”
jadi yang dimaksud adalah membicarakan Bagaimana/Kaifiyah nya…dan kan memang Ulama Salaf tidak membicarakan masalah Kaifiyahnya sebagaimana yang Imam Malik pesankan الكيف منه غير معقول
(Kaifiyahnya tidak dapat dicerna akal)

Dianth : inilah maknanya tawfidh, makanya tidak ada saya temukan mereka mengatakan bahwa harus dimaknai secara zhahir atau makna hakikat karena mereka menerimanya tanpa menetapkan makna zhahir atau makna hakikat sebagaimana yang kita ketahu pada mahluk.
+ Antum udah tau cerita Imam Malik yang ngusir orang nanya Kaifiyah Istiwa nya Allah kan?
Dianth : Saya tahu, oleh karena itu jangan memberikan penjelas tentang ayat-ayat sifat yang menjerumuskan orang ke arah tajsim dan tasybih. Sedangkan penjelasan agar memaknai secara zhahir tentulah membuat orang memahaminya sesuai dengan pemahaman akalnya yang terbentuk dari indranya tentang makna zhahir sebagaimana makna yang diketahuinya terhadap mahluk. Na ‘udzubillah.

pujiMay 4, 2011 at 1:16 pm #
@diant
قوله تعالى: (ثُمَّ اسْتَوى عَلَى الْعَرْشِ) هذه مسألة الاستواء، وللعلماء فيها كلام وإجراء. وقد بينا أقوال العلماء فيها في الكتاب (الأسنى في شرح أسماء الله الحسنى وصفاته العلى) وذكرنا فيها هناك أربعة عشر قولا. والأكثر من المتقدمين والمتأخرين أنه إذا وجب تنزيه الباري سبحانه عن الجهة والتحيز فمن ضرورة ذلك ولواحقه اللازمة عليه عند عامة العلماء المتقدمين وقادتهم من المتأخرين تنزيهه تبارك وتعالى عن الجهة، فليس بجهة فوق عندهم، لأنه يلزم من ذلك عندهم متى اختص بجهة أن يكون في مكان أو حيز، ويلزم على المكان والحيز الحركة والسكون للمتحيز، والتغير والحدوث. هذا قول المتكلمين. وقد كان السلف الأول رضي الله عنهم لا يقولون بنفي الجهة ولا ينطقون بذلك، بل نطقوا هم والكافة بإثباتها لله تعالى كما نطق كتابه وأخبرت رسله. ولم ينكر أحد من السلف الصالح أنه استوى على عرشه حقيقة. وخص العرش بذلك لأنه أعظم مخلوقاته، وإنما جهلوا كيفية الاستواء فإنه لا تعلم حقيقته.
(Tafsir Al-Qurthubi jilid 7 hal. 219 cetakan Dar Al-Kutub Al-Mishriyyah 1964)
Artinya:
Firman Allah: (ثُمَّ اسْتَوى عَلَى الْعَرْشِ) ini adalah masalah istiwa`. Para ulama mempunyai diskusi khusus dan uraian panjang lebar tentang ini. Kami sudah menjelaskannya dalam kitab “Al Asnaa fii syarh Asmaa` Allah Al Husna”, di sana kami menyebutkan ada empat belas pendapat. Pendapat kebanyakan dari kalangan mutaqaddimin dan muta`akhkhirin adalah bahwa Allah Allah harus dibersihkan dari arah dan penempatan ruang. Maka, semua konsekuensinya juga harus dihilangkan. Demikian pendapat para ulama mutaqaddimin dan para pentolan dari kalangan muta`khkhirin. Yaitu, membersihkan Allah dari sifat arah, sehingga Allah tidak berada di atas menurut mereka. Karena menurut mereka itu berkonsekuensi bahwa Allah bertempat atau menempati ruang. Kalau sudah menempati ruang berarti harus ada gerakan dan diam di tempat yang menaungi serta adanya perubahan dan hal-hal baru (evolusi). Ini adalah pendapat ulama mutakallimin.
Akan tetapi salaf al awwal (ulama salaf generasi pertama) –semoga Allah meridhai mereka- tidak pernah menafikan arah dan tidak pula membicarakannya. Justru mereka semua menetapkan itu semua bagi Allah sebagaimana disebutkan dalam kitab-Nya dan disampaikan oleh Rasul-Nya dan tidak ada seorangpun dari kalangan salafus shalih yang mengingkari bahwa Allah istiwa` (bersemayam) di atas arsy-Nya secara hakiki. Arsy dikhususkan untuk itu karena dia adalah makhluk Allah terbesar. Mereka hanya tidak tahu bagaimana kaifiyah (bentuk) istiwa` (bersemayam) itu, karena hal tersebut tidak diketahui bentuknya.”
Kemudian Al-Qurthubi juga berkata dalam kitabnya yang lain berjudul Al-Asna fii syarh Asma`il Allah Al-Husna juz 2 hal. 132[1] setelah menyebutkan adanya empat belas pendapat tentang makna istiwa dia berkata:
“Dan pendapat yang paling jelas adalah –meski aku tidak sependapat dan tidak memilihnya- adalah pendapat yang berlandaskan ayat dan hadits yang banyak bahwa Allah di atas Arsy-Nya sebagaimana yang diterangkan dalam Al-Kitab dan melalui lisan Nabi-Nya tanpa kaifiyah, terpisah dari semua makhluk-Nya. Ini adalah pendapat semua ulama salaf shalih berdasarkan riwayat orang-orang terpercaya sampai kepada mereka.”
Dari Kesimpulan diatas adalah bahwa aqidah AsSyari mengenai sifat Allah bukanlah Aqidah salaf akan tetapi baru muncul pada masa Imam Abu Hasan Al AsSyari yang pada pemahaman sebelumnya tidak ada. Saya kira penjelasan Imam Qurthubi itu (meskipun beliau lebih memilih Aqidah AsSyari saya kruang tahu alasannya) sudah termasuk menjelaskan tenatng makna Hakiki

pujiMay 4, 2011 at 6:36 pm #
@diant
Dianth : perkataan anda bertentangan dengan penjelasan ustad abul jauzaa, coba baca lagi, kalau anda mengatakan tidak menyamakan sifat Allah “arti” makna jika dilekatkan kepada manusia, maka bukan makna hakikat yang dimaksud, karena makna hakikat yang dimaksud oleh ustad adalah makna yang kita pahami sebagai mata.
nah berarti anda tidak paham maksud. saya mengatakan mata adalah mata sebagaimana bahasa arab dimana mata adalah untuk melihat. Yang saya maksud dilekatkan pada manusia adalah kaifiyahnya sebagaimana yang saya sebutkan. Artinya saya memahami mata ya mata, istiwa ya istiwa, kaki ya kaki. Tapi berbeda dengan anda saya tidak pernah menanyakan “bagaimana mata, bagaimanba kaki, dan bagaimana istiwa”. Terus terang kok sepertinya saya melihat anda begitu sepotong-sepotong memahami masalah ini dan hanya mencomot sebagian dari apa yang saya tuliskan kemudian mengambil ksimpulan. Bacalah total pastinya anda tahu yang saya maksudkan. yaitu
Mata adalah mata sebagaimana arti yang kita ketahui tapi tidak akan berimplikasi pada jism. Nah itulah perbedaan saudara dengan saya. Ketika berkaitan dengan sifat Allah ketika disebut mata maka anda pasti melekatkannya pada jism sedangkan saya tidak (karena anda menganggap kalau mata pasti ada jism sedangkan saya tidak). Ingat Allah itu tuhan bukan makhluk jadi jangan berpikir dengan membandingkan sifat tuhan dengan Makhluk, nggak bakal ketemu.
Coba deh antum baca aqidah Al Wasitiyyah ibnu Taimiyyah dan bandingkan dengan aqidah salafi. Samakah ?

tommiMay 5, 2011 at 9:30 am #
Skrg yg jadi pertanyaan, apakah akhi dianth mau atau tidak untuk meluangkan waktunya membaca aqidah washithiyahnya Ibnu Taimiyyah berikut syarohnya oleh Asy Syaikh Ibnu Utsaimin, sudah ada terjemahannya tuh diterbitkan oleh Darul Haq.
Dan saya ingin menambahkan mengenai tafwidh (yg mana akhi dianth selalu saja salah tulis menjadi tawfidh). Yg dimaksud salaf melakukan tafwidh itu hanyalah tafwidh kaifiyah, bukan tafwidh makna ya akhi. Spt misalnya, para sahabat memahami dan mengimani makna sifat Maha Melihat bagi Allah Ta’ala sesuai dengan makna ayat Al Qur’an yg turun pada mereka dan dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam, bukankah Al Qur’an turun dengan bahasa Arab yg mana mereka adalah kaum yg paling mengerti makna bahasa Arab dibanding org2 yg datang sesudahnya, tetapi bagaimana kaifiyahnya, mereka tawaqquf terhadap itu, mereka diam, mereka sepenuhnya pasrah pada Allah karena memang tidak adanya khabar dari Allah maupun dari Rasulullah yg sampai pada mereka mengenai kaifiyahnya. Jadi, mereka memahami istiwa, nuzul, wajah, kaki, tangan ya sebagaimana maknanya yg sampai pada mereka. Mereka tafwidh hanya pada kaifiyahnya saja. Saya kira riwayat2 atsar yg berhubungan dengan ini semua sudah ada pada linknya Abul jauzaa yg saya kasih, tp entah kenapa anda yg membuatnya menjadi ribet.
Lalu mengenai jism & tasybih, Al Imam Ishaq bin Rahawaih pernah berkata, “tasybih itu hanya terjadi apabila kau mengatakan, wajah Allah seperti wajahku, tangan Allah spt tanganku…” Apakah sulit memahami perkataan beliau ya akhi? jadi, mengimani dan memaknai secara zhohir itu tidaklah berkonsekuensi pada jism & tasybih dan lagi Allah Ta’ala telah berfirman “Laisa kamitslihii bi syai’un” (tidak ada sesuatu yg serupa denganNya). Oleh karena itu ketika anda membawakan perkataan ustadz salafi yg berkata, “manusia punya tangan, monyet juga punya tangan, tapi hakikat tangan manusia berbeda dengan tangan monyet.” Saya kira tidak ada yg salah dengan kalimat ini, ini hanyalah analogi ringan untuk menjelaskan pd manusia tetapi tidaklah menjelaskan kaifiyah dari tangan Allah Ta’ala. Diharapkan dari kalimat ini, bisa diambil faidah bahwa, sesama makhluk ciptaan Allah saja hakikatnya sudah beda kok maka bagaimana pula dengan Sang Maha Pencipta, lebih tidak ada yg serupa lg denganNya. Maha Suci Allah.
Saya kira memang inilah perbedaan mendasar dari manhaj asy’ariyah dengan manhaj salaf dalam masalah aqidah yg mana asy’ariyah menolak untuk memaknai secara zhohir karena khawatir terjatuh pada jism & tasybih, entah mereka lebih memilih melakukan ta’wil atau bagaimana saya tidak tahu. Sebaliknya manhaj salaf memakai metode klasik para salafus sholih yaitu mengimani dan memaknai secara zhohir dari apa yg mereka pahami dari sebuah ayat asma wa shifat.
Demikian yg bisa saya tuliskan dari apa yg saya pahami.

DianthMay 5, 2011 at 3:08 pm #
@Puji
Masalah penjelasan Imam Qhurtubi, saya meragukan terjemahannya seperti itu. Lagi pula Imam Qurthubi sendiri kata anda berakidah asy’ari, jadi kenapa Imam Qhurtubi tidak menempuh jalan salaf ? Jawabannya adalah bahwa akidah asy ariyah sama dengan jalan salaf, yaitu tidak menafsirkan ayat-ayat mutasyabihat seperti tangan, kaki, wajah, bersemayam yang disandarkan kepada Allah dengan makna hakiki atau zhahir ayat sebagaimana pemahaman akal kita terhadapnya.
saya kutip perkataan dari seorang bloggeer (sufimedan) yang lebih bisa menjelaskan pendapat saya :
Berbicara ayat istiwa’ berarti kita membicarakan bagian daripada ayat-ayat sifat. Yang benar, salaf itu: membiarkan ayat-ayat sifat sebagaimana datangnya tanpa menafsirkannya baik dengan mengambil makna hakiki (zhohir) maupun makna majazi (takwil). Inilah yang dimaksud dengan perkataan punggawa-punggawa salaf radhiyallahu anhum di bawah ini:
وقال الوليد بن مسلم : سألت الأوزاعي ومالك بن أنس وسفيان الثوري والليث بن سعد عن الأحاديث فيها الصفات ؟ فكلهم قالوا لي : أمروها كما جاءت بلا تفسير
“Dan Walid bin Muslim berkata: Aku bertanya kepada Auza’iy, Malik bin Anas, Sufyan Tsauri, Laits bin Sa’ad tentang hadits-hadits yang di dalamnya ada sifat-sifat Allah? Maka semuanya berkata kepadaku: “Biarkanlah ia sebagaimana ia datang tanpa tafsir.”
Tidak mentafsirkan ayat itu dengan tafsiran apapun. Ya biarkan saja. Lha wong ayatnya memang begitu adanya. Nda’ usah diperdalam maknanya apa! Nda’ usah ditakwil! Serahkan saja makna dan hakekat ayat itu kepada Allah Ta’ala. Allah yang tahu artinya apa. Tugas kita hanya mengimani dan mensucikan (tanzih) Allah dari segala sifat kekurangan (naqsh) dan penyerupaan (tasybih). Ini pula yang dimaksud dengan perkataan Imam Sufyan bin Uyainah radhiyallahu anhu:
كل ما وصف الله تعالى به نفسه فتفسيره تلاوته و السكوت عنه
“Setiap sesuatu yang Allah menyifati diri-Nya dengan sesuatu itu, maka tafsirannya adalah bacaannya (tilawahnya) dan diam daripada sesuatu itu.[5]
Sufyan bin Uyainah ingin memalingkan kita dari mencari makna zhohir dari ayat-ayat sifat dengan cukup melihat bacaannya saja——–> tafsiruhu tilawatuhu. Bacaannya adalah huruf-hurufnya, bukan maknanya——–> tafsiruhu ta’rifuhu. Tidak demikan bukan?
Dan kalau sudah dibaca ayat-ayat sifat, ya sudah selanjutnya diam saja. Resapi di dalam jiwa. Imani! Serahkan maknanya kepada Allah, titik.
Inilah manhaj salaf dalam memahami ayat-ayat sifat yang sering dikenal dengan istilah tafwidh.
Selanjutnya :
Puji :
nah berarti anda tidak paham maksud. saya mengatakan mata adalah mata sebagaimana bahasa arab dimana mata adalah untuk melihat. Yang saya maksud dilekatkan pada manusia adalah kaifiyahnya sebagaimana yang saya sebutkan. Artinya saya memahami mata ya mata, istiwa ya istiwa, kaki ya kaki. Tapi berbeda dengan anda saya tidak pernah menanyakan “bagaimana mata, bagaimanba kaki, dan bagaimana istiwa”. Terus terang kok sepertinya saya melihat anda begitu sepotong-sepotong memahami masalah ini dan hanya mencomot sebagian dari apa yang saya tuliskan kemudian mengambil ksimpulan. Bacalah total pastinya anda tahu yang saya maksudkan. yaitu
Mata adalah mata sebagaimana arti yang kita ketahui tapi tidak akan berimplikasi pada jism. Nah itulah perbedaan saudara dengan saya. Ketika berkaitan dengan sifat Allah ketika disebut mata maka anda pasti melekatkannya pada jism sedangkan saya tidak (karena anda menganggap kalau mata pasti ada jism sedangkan saya tidak). Ingat Allah itu tuhan bukan makhluk jadi jangan berpikir dengan membandingkan sifat tuhan dengan Makhluk, nggak bakal ketemu.
Dianth : “Mata adalah mata sebagaimana arti yang kita ketahui tapi tidak akan berimplikasi pada jism”.
Yang namanya mata SEBAGAIMANA ARTI YANG KITA KETAHUI itu tidak layak dinisbatkan kepada Allah, begitu juga tangan, kaki, wajah, dsb. Karena itu semua itu apabila dimaknai atau diartikan sebagaimana yang kita ketahui adalah alat atau bagian anggota tubuh (jisim) , sungguh aneh kalau ada yang mengatakan bahwa mata bukan anggota tubuh, kalau bukan berarti adalah ungkapan atau majas dan bukan makna hakiki, sebagaimana kaki langit, wajah ibu kota, dsb. Ini perkataan yang kontradiktif. Kalau hal ini dibenarkan maka maksudnya menjadi Allah punya tangan, punya kaki, punya wajah, bersemayam, turun, semua secara hakiki maka Allah jadi serupa mahluk karena semua itu secara hakiki adalah sifat mahluk. Maka maksud yang benar adalah tangan Allah adalah tangan menurut makna yang dikehendaki oleh Allah sesuai dengan keagungannNya bukan makna tangan sebagaimana yang kita pahami, artinya tidak dipahami sebagaimana yang kita pahami (secara zhahir atau hakikat bila disandangkan dengan mahluk)

Puji : Coba deh antum baca aqidah Al Wasitiyyah ibnu Taimiyyah dan bandingkan dengan aqidah salafi. Samakah ?
Dianth : Saya belum baca.

DianthMay 5, 2011 at 3:41 pm #
@Tomi
Skrg yg jadi pertanyaan, apakah akhi dianth mau atau tidak untuk meluangkan waktunya membaca aqidah washithiyahnya Ibnu Taimiyyah berikut syarohnya oleh Asy Syaikh Ibnu Utsaimin, sudah ada terjemahannya tuh diterbitkan oleh Darul Haq.
Dianth : Saya belum ada bukunya, setahu saya, ulama Asy ariyah menganggap Syaikh Ibnu Utsaimin berakidah (cenderung) tasybih dan tajsim. Nanti saya cari.
Tomi : Dan saya ingin menambahkan mengenai tafwidh (yg mana akhi dianth selalu saja salah tulis menjadi tawfidh).
Dianth : Ya, saya memang salah tulis, selanjutnya akan saya perbaiki.
Tomi : Yg dimaksud salaf melakukan tafwidh itu hanyalah tafwidh kaifiyah, bukan tafwidh makna ya akhi.
Dianth : Inilah perbedaan pemahaman antara Asy ariyah dan salafi terhadap tafwidh, Asy ariyah berpendapat tafwidh makna dan kafiyat (karena makna dan kafiyat itu berhubungan erat )
Tomi : Spt misalnya, para sahabat memahami dan mengimani makna sifat Maha Melihat bagi Allah Ta’ala sesuai dengan makna ayat Al Qur’an yg turun pada mereka dan dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam,
Dianth : Makna melihat dan mendengar tidak berhubungan dengan jisim, karena itu adalah sifat Allah yang disebutNya sebagai sifat, berbeda dengan mata dan telinga yang berhubungan dengan jisim karena bermakna alat atau anggota tubuh yang berfungsi untuk melihat dan mendengar. Maha suci Allah dari alat atau anggota tubuh untuk melihat dan mendengar.
Tomi : bukankah Al Qur’an turun dengan bahasa Arab yg mana mereka adalah kaum yg paling mengerti makna bahasa Arab dibanding org2 yg datang sesudahnya,
Dianth : Benar, oleh karena itu mereka beriman kepada ayat-ayat tersebut semuanya. Karena mereka juga memahami bahwa ayat-ayat Al Quran juga mengandung majas, ungkapan serta ayat-ayat muhkamat dan ayat-ayat mutasyabihat.
Tomi : tetapi bagaimana kaifiyahnya, mereka tawaqquf terhadap itu, mereka diam, mereka sepenuhnya pasrah pada Allah karena memang tidak adanya khabar dari Allah maupun dari Rasulullah yg sampai pada mereka mengenai kaifiyahnya. Jadi, mereka memahami istiwa, nuzul, wajah, kaki, tangan ya sebagaimana maknanya yg sampai pada mereka. Mereka tafwidh hanya pada kaifiyahnya saja. Saya kira riwayat2 atsar yg berhubungan dengan ini semua sudah ada pada linknya Abul jauzaa yg saya kasih, tp entah kenapa anda yg membuatnya menjadi ribet.
Dianth : Mereka memahami makna sesuai kaidah bahasa Arab yang sampai kepada mereka (termasuk kaidah takwil dan tafsir), tidak berarti semuanya ditafsirkan secara zhahir dan mereka beriman kepada semua yang diturunkan Allah.
Tomi : Lalu mengenai jism & tasybih, Al Imam Ishaq bin Rahawaih pernah berkata, “tasybih itu hanya terjadi apabila kau mengatakan, wajah Allah seperti wajahku, tangan Allah spt tanganku…” Apakah sulit memahami perkataan beliau ya akhi?
Dianth : perkataan ini juga bisa multi tafsir mas Tomi, karena maksud seperti itu apakah sama atau mirip atau serupa ? karena bila anda katakan bahwa Allah punya mata, punya telinga maka bisa pula diartikan orang wajah Allah serupa wajahku karena punya mata dan punya telinga serupa dengan wajahku yang punya mata dan punya telinga. Repotkan,,,,? ini kan tergantung pemahaman dan dasar keilmua orang itu dalam memahaminya.
Tomi : jadi, mengimani dan memaknai secara zhohir itu tidaklah berkonsekuensi pada jism & tasybih dan lagi Allah Ta’ala telah berfirman “Laisa kamitslihii bi syai’un” (tidak ada sesuatu yg serupa denganNya).
Dianth : Justru makna zhahir itu berkonsekuensi pada jisim dan tasybih karena makna zhahir yang kita pahami adalah jisim dan tasybih, kalau bukan jisim dan tasybih berarti bukan makna zhahir. dan lagi Allah Ta’ala telah berfirman “Laisa kamitslihii bi syai’un” (tidak ada sesuatu yg serupa denganNya), sehingga semua kata yang bermakna jisim dan tasybih seperti tangan, kaki, wajah dsb bila diartikan secara zhahir adalah tidak bermakna jisim dan tasybih bila disandarkan kepada Allah, artinya semua itu tidak bermakna zhahir.
Sekali lagi saya katakan bahwa secara zhahir (pemahaman kita ) semua itu adalaj jisim atau bentuk jisim.
Tomi : Oleh karena itu ketika anda membawakan perkataan ustadz salafi yg berkata, “manusia punya tangan, monyet juga punya tangan, tapi hakikat tangan manusia berbeda dengan tangan monyet.” Saya kira tidak ada yg salah dengan kalimat ini, ini hanyalah analogi ringan untuk menjelaskan pd manusia tetapi tidaklah menjelaskan kaifiyah dari tangan Allah Ta’ala.
Diharapkan dari kalimat ini, bisa diambil faidah bahwa, sesama makhluk ciptaan Allah saja hakikatnya sudah beda kok maka bagaimana pula dengan Sang Maha Pencipta, lebih tidak ada yg serupa lg denganNya. Maha Suci Allah.
Saya kira memang inilah perbedaan mendasar dari manhaj asy’ariyah dengan manhaj salaf dalam masalah aqidah yg mana asy’ariyah menolak untuk memaknai secara zhohir karena khawatir terjatuh pada jism & tasybih, entah mereka lebih memilih melakukan ta’wil atau bagaimana saya tidak tahu. Sebaliknya manhaj salaf memakai metode klasik para salafus sholih yaitu mengimani dan memaknai secara zhohir dari apa yg mereka pahami dari sebuah ayat asma wa shifat.
Demikian yg bisa saya tuliskan dari apa yg saya pahami.
Dianth : Coba anda renungkan lagi dalam-dalam :
mayoritas salaf lebih memilih untuk menyerahkan maknanya kepada Allah Ta’ala , inilah yang disebut dengan tafwidh karena:
وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ
“Tidak ada yang tahu takwilnya kecuali Allah” (Ali Imran:7)
Kenapa takwil, bukan makna? Karena maksud takwil di situ adalah makna, yaitu makna yang layak bagi Allah (tentulah ini hanya Allah saja yang tahu).
وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ
“Dan tidak ada yang tahu takwilnya kecuali Allah dan orang-orang yang rusukh ilmunya” (Ali Imran: 7)
Sebab tafsir belum tentu takwil tetapi takwil sudah pasti bagian daripada tafsir. Kalau alquran menggunakan lafazh tafsir maka akan terbuka peluang bagi manusia untuk mengartikan ayat-ayat mutasyabihat secara zhohir, itulah sebabnya kenapa alquran mengkhususkan menggunakan lafazh takwil; untuk menutup peluang kepada manusia daripada mencari arti ayat mustasyabihat secara zhohir. Maka penggunaan lafazh takwil pada ayat tersebut adalah sudah merupakan isyarat langsung dari Allah kepada orang-orang yang rusukh ilmunya untuk mencari takwilnya, bukan mencari tafsirnya secara umum yang mencakup makna zhohir. Itulah sebabnya takwil juga merupakan bagian daripada tafsir untuk memilah dan memilih makna yang sebenar daripada lafazh-lafazh yang udzur diartikan secara zhohir. Ini telah maklum dalam ilmu tafsir.
Demikian dari saya, salam hangat.

tommiMay 6, 2011 at 1:56 pm #
syukron jazakalloh terhadap  komentar saya mas dianth. Lebih kurangnya saya paham terhadap apa yg anda pahami mengenai tafwidh dan itulah pemahaman anda, saya hormati.
Untuk selanjutnya, mungkin saya mencukupkan diskusi ini karena toh apa yg saya ingin sampaikan selanjutnya sbnrnya sudah terwakili oleh komen mas abdul syukur dan mas puji, semoga Allah Ta’ala menjaga mereka berdua khususnya dan semua yg ada disini pada umumnya.
Bila ada komen saya yg menyinggung, mohon dimaafkan. Oh iya 1 lg mas dianth (hehehe ini beneran pertanyaan terakhir), jika berpulang pd diri anda sendiri terlepas dr berbagai pendapat ulama yg dijabarkan disini, didalam tauhid asma wa shifat, anda lebih memilih mana, melakukan takwil atau tafwidh?
Afwan.

DianthMay 6, 2011 at 4:04 pm #
Tomi : Bila ada komen saya yg menyinggung, mohon dimaafkan.
Tidak ada yang menyinggung, sama-sama aja. salam.
Tomi : Oh iya 1 lg mas dianth (hehehe ini beneran pertanyaan terakhir), jika berpulang pd diri anda sendiri terlepas dr berbagai pendapat ulama yg dijabarkan disini, didalam tauhid asma wa shifat, anda lebih memilih mana, melakukan takwil atau tafwidh?
Dianth : saya cenderung tafwidh tapi tidak menolak takwil ulama yang saya yakini keilnuan dan kebersihan hatinya.

pujiMay 5, 2011 at 4:21 pm #
@diant
Masalah penjelasan Imam Qhurtubi, saya meragukan terjemahannya seperti itu.
Jawaban Saya :
Sederhana saja, silakan check sendiri dalam kitab beliau, Saya tidak perlu menutup-nutupi apakah terjemahan dari saya benar atau tidak (^_^). Kitab tersebut bukan monopoli kaum salafi kok. Kalau ternyata terjemahan saya salah silakan dikoreksi

Diant :Saya belum baca.
Jawaban Saya : Ini kesalahan fatal, anda berusaha menggambarkan seolah-olah salafi “memaksakan diri” menyandarkan pada perkataan Ibnu Taimiyyah tapi sepertinya saudara sendiri belum membaca pendapat Ibnu Taimiyyah mengenai hal ini. Bukankah lebih baik saudara membaca dulu baru nanti berdiskusi lagi ?
Diant :
Lagi pula Imam Qurthubi sendiri kata anda berakidah asy’ari, jadi kenapa Imam Qhurtubi tidak menempuh jalan salaf ? Jawabannya adalah bahwa akidah asy ariyah sama dengan jalan salaf,

ini cuma “asumsi” saudara. Seperti saya kemukakan saya tidak mengetahui sebab kenapa Imam Qurthubi tidak menempuh pendapat salaf dalam hal ini. Tidak disebutkan dalam kitab beliau jadi saya juga tidak tahu. Karena tidak tahu saya katakan tidak tahu dan saya tidak ingin membuat asumsi.Bagi saya jawaban seperti saudara itu tidak ilmiah sama sekali. Saya menggunakan data fakta bukan asumsi

DianthMay 6, 2011 at 4:09 pm #
Bila benarpun Imam Qhurtubi mengatakan “tidak ada seorangpun dari kalangan salafus shalih yang mengingkari bahwa Allah istiwa` (bersemayam) di atas arsy-Nya secara hakiki” tidaklah bisa saya ambil pendapatnya secara mutlak, karena memang ada ulama salaf yang juga melakukan takwil terhadap ayat-ayat mutasyabihat seperti ini.
ini cuma “asumsi” saudara.
Ini bukan asumsi tetapi keyakinan saya dan mayoritas ulama serta umat islam.
Salam.

pujiMay 8, 2011 at 7:20 am #
baca dengan baik-baik saudara Dianth, yang saya sebut asumsi adalah perkastan saudara menegnai Imam Qurthubi yaitu :
“Lagi pula Imam Qurthubi sendiri kata anda berakidah asy’ari, jadi kenapa Imam Qhurtubi tidak menempuh jalan salaf ? Jawabannya adalah bahwa akidah asy ariyah sama dengan jalan salaf”
bukankah ini asumsi saudara. Kalau anda tidak mengakui ini hanya asumsi saudara maka bisa buktikan kepada saya bahwa Imam Qurthubi berbicara seperti yang sauadar akatakan ?
Bila benarpun Imam Qhurtubi mengatakan “tidak ada seorangpun dari kalangan salafus shalih yang mengingkari bahwa Allah istiwa` (bersemayam) di atas arsy-Nya secara hakiki” tidaklah bisa saya ambil pendapatnya secara mutlak, karena memang ada ulama salaf yang juga melakukan takwil terhadap ayat-ayat mutasyabihat seperti ini.
Lho anda itu aneh, kok kesannya terlalu membela diri. Seperti saya kemukakan bahwa Aqidah Imam Qurthubi dalam hal ini adalah AsSyari dengan kata lain Memaknai Sifat Allah secara hakiki adalah BUKAN pendapat Imam Qurthubi. Dalam penjelasan kitab beliau menjelaskan tentang pendapat-pendapat salah satuanya pendapat Ulama Salaf Al Awwal dan sekali lagi ITU BUKAN PENDAPAT AL QURTHUBI. Jadi seharusnya anda berkata (kalau mengakui perkataan Imam Qurthubi dalam tafisirnya) bahwa pendapat salaf Al Awwal belum tentu benar. bukankah begitu ?
tapi mungkin bisa saya beritahu , tapi sekali lagi ini “kemungkinan” lho ya kenapa Imam Qurthubi berpendapat demikian adalah para ulama AsSyari generasi awal menganggap bahwa itsbat itu lebih selamat (yang merupakan pendapat salaf Al Awwal) sedangkan takwil itu lebih hikmah (yang mrupakan pendapat AsSyairiyah), sekali lagi ini hanya kemungkinan. Bahkan ulama AsSyari seperti Al Baqillani sepengetahuan saya banyak melakukan itsbat dan tidak takwil
tidaklah bisa saya ambil pendapatnya secara mutlak
Perkataan anda ini sangat aneh sekali wong Imam Qurthubi tidak berpendapat seperti itu sejak awal khan ?. Dalam hal ini AL Qurthubi tidak sedang menjelaskan pendapat beliau tetapi menjelaskan pendapat Salaf Al Awwal (Salaf generasi Awal red)

pendapat Ibnu Baththaal, adalah pendapatnya, dan tidak mesti benar, banyak juga ulama yang menakwilkan makna tangan, banyak juga ulama yang tafwidh. Ibnu Baththaal juga tidak menjelaskan harus dimaknai ke makna zhahirnya kan?
Masak sih ? kalau begitu definisi saya pendapat saudara pun tidak mesti benar bukan. Kalau menurut anda apa maksud perkataan Ibnu Baththaal ?
lihat dan baca baik-baik “menunjukkan kekhususan Adam bahwasannya Allah telah menciptakannya dengan kedua tangan-Nya”. Ibnu Baththaal menyebut dengan kedua Tangan-Nya bukan cuma baginya tangan
coba lihat lagi keterangan Al-Lalika`i meriwayatkan dalam kitabnya Syarh I’tiqad Ahlis Sunnah dengan sanad sebagai berikut:
Muhammad bin Al-Muzhaffar Al-Muqri mengabarkan kepada kami, dia berkata, Al-Husain bin Muhammad bin Habsy Al-Muqri menceritakan kepada kami, dia berkata, Abu Muhammad Abdurrahman bin Abu Hatim menceritakan kepada kami, Aku bertanya kepada ayahku dan Abu Zur’ah tentang madzhab Ahlus Sunnah dalam hal pokok-pokok agama serta apa yang mereka ketahui mengenai pendapat para ulama di semua negeri dalam hal ini. Mereka menjawab, “Kami sudah mendapati para ulama di berbagai negeri seperti di Hijaz, Irak, Syam dan Yaman, di antara yang menjadi akidah mereka adalah…..”
Lalu disebutkanlah beberapa hal dan salah satunya, “Dan Allah berada di atas arsy-Nya terpisah dari makhluk sebagaimana yang Dia sifatkan sendiri dalam kitabnya dan berdasarkan lisan Rasul-Nya….”
(Lihat Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah oleh Al-Laki`iy, juz 1 hal. 176 – 177).
Kalau istiwa itu tanpa makna seperi saudara maksud dan hakiki maka perkataan Al-Lalika`i menjadi tidak ada artinya. Kalau sauadara berpendapat bahwa Al-Lalika`i belum tentu benar jawabannya iya, tapi anda juga belum tentu benar khan (^_^) ?
karena memang ada ulama salaf yang juga melakukan takwil terhadap ayat-ayat mutasyabihat seperti ini
Buktikan kepada saya ada ulama salaf Al Awwal yang melakukan itu ? Ingat Salaf Al Awwal sebelum munculnya AsSyairiyyah

DianthMay 15, 2011 at 2:49 pm #
Mas puji, kalau beliau Imam Qhurtubi benar mengatakan bahwa “tidak ada seorangpun dari kalangan salafus shalih yang mengingkari bahwa Allah istiwa` (bersemayam) di atas arsy-Nya secara hakiki” maka saya menolak ucapannya,karena menurut pemahaman saya dan para ulama asy ariyah yang bersanad kepada ulama salaf, Para sahabat dan salaf umat ini tidak memahami ayat-ayat mutasyabihat seperti ini dengan makna zhahir. Begitu juga dengan pendapat pendapat Ibnu Baththaal.
Adapun contoh takwil adalah seperti takwil Ibnu Abas terhadap makna kursi Allah dengan makna Ilmu Allah. Lihat juga artikel ustad dobdob tentang takwil.

Abdul SyukurJune 1, 2011 at 10:21 am #
Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu menafsirkan kursi dengan berkata:
الكُرْسيُّ مَوْضِعُ قَدَمَيْهِ
“Kursi adalah tempat kedua telapak kaki Allah.” (HR. al-Hakim no. 3116, di hukumi shahih oleh al-Hakim dan adz-Dzahabi)
Gimana mantab kan? :)

pujiJune 1, 2011 at 4:22 pm #
,karena menurut pemahaman saya dan para ulama asy ariyah yang bersanad kepada ulama salaf
Saya meminta bukti ucapan saudara ini. Karena kalau saya lihat kronologi perkataan Imam Qurthubi pemahaman As-Syari baru muncul pada masa Imam Abu hasan Al AsSyari dan tidak pada masa salaf awwal. kecuali saadara bisa membuktikan lain. Pemahaman tersebut muncul karena deadlock antara kaum salaf yang mengambil sikap itsbat dan mu’tazillah yang mendewakan akal.
Tapi saya kira jelas kok, apapun ulama yang mengatakan sebalik dari pendapat anda saya kira jawaban anda sudah saya ketahui yaitu “saya menolak”. Saya juga pun bisa menggunakan kaidah yang sama. Saya menolak pendapat As Syari karena itu bukanlah pendapat Salaf Al Awwal

DianthJune 7, 2011 at 11:17 am #
“Kursi adalah tempat kedua telapak kaki Allah.” bila dimaknai secara zhahir adalah bentuk kecenderungan tajsim yang sangat jelas.

hasanMay 10, 2011 at 5:32 am #
Ini bukan asumsi tetapi keyakinan saya dan mayoritas ulama serta umat islam.
Yang saya maksud adalah perkataan saudara “Lagi pula Imam Qurthubi sendiri kata anda berakidah asy’ari, jadi kenapa Imam Qhurtubi tidak menempuh jalan salaf ? Jawabannya adalah bahwa akidah asy ariyah sama dengan jalan salaf”. Jika ini bukan asumsi bisa buktikan kepada saya kalau Imam qurthubi mengatakannya atau ulama lain mengatakan Imam Qurthubi berkata seperti itu?
dijelaskan oleh Al-Imam Al-Baihaqi dalam kitabnya Al-Asma` wa Ash-Shifat juz 2 hal. 324 bahwa maksudnya adalah di atas langit, sama dengan firman Allah yang lain, {فسيحوا في الأرض} artinya berjalanlan di atas bumi, bukan dalam perut bumi.
Adakah perkataan Al Baihaqi kurang jelas ?
“Apakah kamu merasa aman terhadap (Allah) yang di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang?” (Qs. Al-Mulk : 16).

Siapa yang di langit itu? Imam Abu Ja’far Ath-Thabari menjawab, “Dia adalah Allah.” (Tafsir Ath-Thabari 23/513).
Akidah Ath-Thabari jelas dalam hal ini bahwa dia berkeyakinan Allah itu lebih tinggi di atas arys-Nya sebagaimana dia sebutkan ketika menafsirkan ayat keempat surah Al-Hadid: (وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَمَا كُنْتُمْ) (Dan dia bersama kalian di manapun kalian berada). Ibnu Jarir mengatakan,
يقول: وهو شاهد لكم أيها الناس أينما كنتم يعلمكم، ويعلم أعمالكم، ومتقلبكم ومثواكم، وهو على عرشه فوق سمواته السبع
“Maksudnya, Allah itu maha melihat apa yang kalian lakukan wahai manusia, Dia maha tahu perbuatan kalian, kemana kalian pergi dan di mana kalian menetap, tapi Dia sendiri di atas arsy-Nya yang berada di atas langit yang tujuh.”(Tafsir Ath-Thabari juz 23 hal. 169).
Adakah perkataan At-Thabari kurang jelas ?
Musa bin Ismail menceritakan kepada kami, Hammad –yakni Ibnu Salamah- menceritakan kepada kami, dari ‘Ashim, dari Zirr, dari Ibnu Mas’ud ra yang berkata, “Antara langit dunia dengan langit setelahnya ada jarak 500 tahun (perjalanan), antara setiap langit adalah 500 tahun. Antara langit ketujuh dengan kursi jaraknya 500 tahun, antara kursi dan air jaraknya 500 tahun, dan arsy ada di atas air sedangkan Allah di atas arys dan Dia maha mengetahui apa yang kalian lakukan.”(Ar-Radd ’ala Al-Jahmiyyah, hal. 46, nomor 81).
Sudah sangat terkenal perkataan Zainab bintu Jahsy yang berkata, ”Allah telah menikahkanku dari atas ketujuh langit-Nya.” (HR. Al-Bukhari dalam shahihnya, nomor 7420).
Sudah sangat terkenal pernyataan dari Abdullah bin Al Mubarak sang hafizh ulung ketika dia ditanya “Bagaimana kita mengetahui Tuhan kita?” Maka dia menjawab, “Di langit, tidak seperti kata Jahmiyyah bahwa dia berada di sini (bumi).” (As-Sunnah, juz 1, hal. 111, tahqiq: Al-Qahthani).
Kalau istiwa tidak diketahui maknanya,bukankah ucapan Mubarak akan sia-sia ?
Perkataan Ibnu Al-Mubarak ini juga dikeluarkan oleh Al-Baihaqi dalam kitab Al-Asma` wa Ash-Shifaat, juz 2 hal. 335 dengan sanad yang shahih sebagaimana dijelaskan panjang lebar sanadnya oleh muhaqqiq kitab, Abdullah bin Muhammad Al-Hasyidi.
akankah saudara akan mengatakan tak mengetahui makna istiwa alal arsy ?

DianthMay 15, 2011 at 2:39 pm #
akankah saudara akan mengatakan tak mengetahui makna istiwa alal arsy ?
Mas Hasan, Istiwa alal Arsy bukan berarti Allah bertempat di Arsy atau di atas langit dan mempunyai arah secara indrawi yaitu arah atas.
Imam asy-Syafi’i Muhammad ibn Idris (w 204 H), seorang ulama Salaf terkemuka perintis madzhab Syafi’i, berkata:
“Sesungguhnya Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat. Kemudian Dia menciptakan tempat, dan Dia tetap dengan sifat-sifat-Nya yang Azali sebelum Dia menciptakan tempat tanpa tempat. Tidak boleh bagi-Nya berubah, baik pada Dzat maupun pada sifat-sifat-Nya” (LIhat az-Zabidi, Ithâf as-Sâdah al-Muttaqîn…, j. 2, h. 24).
Bila ulama salaf mengucapkan perkataan Allah di atas langit atau Allah istiwa di atas arsy itu berarti para ulama salaf mengucapkan ucapan Al Quran, dan mereka mayoritas melakukan tafwidh atau takwil ijmali atas makna di atas langit dan istiwa di atas arsy. Mereka beriman kepadanya dan mereka memahami ayat-ayat itu sebagai ungkapan kemulian dan keagungan Allah bukan tempat dan arah bagi Allah secara indrawi atau fisik.

Abdul SyukurJune 1, 2011 at 10:18 am #
Mengenai perkataan Imam Syafi’i yang dikutip oleh Az-Zabidi, cobalah teliti dulu kebenaran kisah tersebut karena Imam Syafi’i dan Az-Zabidi terpaut jauh kehidupannya.
Ringkasnya, jelaskan Sanad perkataan Imam Syafi’i tersebut dalam kitab apa.
Jangan ASAL TULIS dan ASAL BANTAH aja, :)

pujiJune 1, 2011 at 7:25 pm #
Mas Hasan, Istiwa alal Arsy bukan berarti Allah bertempat di Arsy atau di atas langit dan mempunyai arah secara indrawi yaitu arah atas.
Kesimpulan saudara berbeda maksud dengan Imam Al baihaqi. Yang perlu saudara ketahui maksud atas dalam sifat Allah adalah tinggi dari semua makhluknya (artinya berada diluar makhluk, ruang dan tempat maupun waktu adalah ciptaan Allah juga maka tak mungkin Allah diliputi tempat maupun ruang). Akan tetapi makna atas sudah jelas khan ?
Lihatlah pembelaan Ibnu Hajar kepada Ibnu Taimiyyah sbb (kalau saudara sudah membaca al aqidah al wasitiyyah mestinya sudara tahu maksud perkataan Ibnu hajar khusunya mengenai tuduhan mujassimah kepada beliau) dengan perkataannya “Padahal karangan-karangan beliau penuh dengan bantahan dan berlepas diri kepada siapapun yang meyakini tajsim.”
nah jelas dari perkataan Ibnu hajar tidak menyebut Ibnu taimiyyah sebagai mijassim atau cenderung mujassim.
Sekarang kita pakai kaidah ilmiah saja saudara dianth. pertama apakah saudara sudah mempelajari Al Aiqdah Al Wasitiyyah. kalau sudah bagaimana kesimpulan saudara. Jika cenderung mujassim maka kesimpulan saudara tidaklah sama dengan Ibnu Hajar. Jika tidak mujassim lalu apa perbedaan pandangan salafi dengan ibnu taimiyyah dalam hal ini ? Jika saudara “bersedia” melakukan ini maka saya anggap saudara berusaha bersikap objectif dengan mempelajari dulu pendapat Ibnu taimiiyah kemudian dibandingkan dengan pendapat salafi. Bukankah begitu ?
Bila ulama salaf mengucapkan perkataan Allah di atas langit atau Allah istiwa di atas arsy itu berarti para ulama salaf mengucapkan ucapan Al Quran, dan mereka mayoritas melakukan tafwidh atau takwil ijmali atas makna di atas langit dan istiwa di atas arsy.
tak ada bukti mengenai pernyataan saudara ini. Maaf saya menolaknya karena jelas-jelas yang saya paparkan merupakan penjelasan lebih detail. Akankah penjelasan Imam baihaqi kurang jelas ? Apakah perkataan Mubarak tidak jelas ? Apakah perkataan At-Thabari tidak jelas. Bisakan saudara menjelaskan kesalahan pemahaman saya terhadap perkataan mereka ? tentunya dengan perkataan mereka yang lebih rinci bukan penjelasan umum.

pujiMay 5, 2011 at 4:34 pm #
@Diant
“Dan Walid bin Muslim berkata: Aku bertanya kepada Auza’iy, Malik bin Anas, Sufyan Tsauri, Laits bin Sa’ad tentang hadits-hadits yang di dalamnya ada sifat-sifat Allah? Maka semuanya berkata kepadaku: “Biarkanlah ia sebagaimana ia datang tanpa tafsir.”
Ucapan ini benar, akan tetapi saudara dan saya berbeda pemahaman. Ucapan seperti itu juga diucapkan oleh Imam Ahmad dan banyak ulama semisalnya. Tanpa tafsir saya pahami sebagai tidak boleh ditakwil (dialihkan artinya dari arti yang sebenarnya/ditafsirkan red). Dalam hal ini AsSyari melakukan takwil juga [ada dua pendapat satu menyerahkan makna dan yang satu takwil]
oleh karena itu Ibnu Baththaal berkata saat memberikan bantahan terhadap orang yang menta’wilkan sifat dua tangan dengan kekuasaan atau nikmat :
ويكفي في الرد على من زعم أنهما بمعنى القدرة أنهم أجمعوا على أن له قدرة واحدة في قول المثبتة ولا قدرة له في قول النفاة . . ويدل على أن اليدين ليستا بمعنى القدرة أن قوله تعالى لإبليس : { مَا مَنَعَكَ أَنْ تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ } [ سورة ص ، الآية : 75 ] إشارة إلى المعنى الذي أوجب السجود ، فلو كانت بمعنى القدرة لم يكن بين آدم وإبليس فرق لتشاركهما فيما خلق كل منهما به وهي قدرته ، ولقال إبليس : وأي فضيلة له عليَّ وأنا خلقتني بقدرتك ، كما خلقته بقدرتك فلما قال : { خَلَقْتَنِي مِنْ نَارٍ وَخَلَقْتَهُ مِنْ طِينٍ } [ سورة ص ، الآية : 76 ] دل على اختصاص آدم بأن الله خلقه بيديه قال : ولا جائز أن يراد باليدين النعمتان لاستحالة خلق المخلوق بمخلوق لأن النعم مخلوقة
“Cukuplah bantahan bagi orang yang berkata tangan Allah bermakna kekuasaan, bahwasannya mereka sepakat Allah mempunyai kekuasaan yang satu menurut pendapat yang menetapkan, dan tidak mempunyai kekuasaan menurut pendapat yang menafikkannya…. Dan hal yang menunjukkan Allah mempunyai dua tangan yang tidak bermakna kekuasaan adalah firman Allah ta’ala kepada Iblis : ‘Apa yang menghalangimu untuk bersujud kepada manusia yang Aku ciptakan dengan kedua tangan-Ku ?’ (QS. Shaad : 75); sebagai isyarat kepada makna yang mewajibkan syaithan untuk sujud (kepada Adam). Seandainya tangan itu bermakna kekuasaan, niscaya tidak akan ada bedanya antara Adam dan Iblis karena persamaan antara keduanya dalam penciptaan, yaitu karena kekuasaan-Nya. Dan niscaya Iblis akan berkata : ‘Kelebihan apa yang ia (Adam) punya di atas diriku padahal aku Engkau ciptakan dengan kekuasaan-Mu sebagaimana ia Engkau ciptakan dengan kekuasaan-Mu pula ?’. Ketika Iblis berkata : ‘Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan ia Engkau ciptakan dari tanah’ (QS. Shaad : 76) menunjukkan kekhususan Adam bahwasannya Allah telah menciptakannya dengan kedua tangan-Nya. Tidak boleh juga dikatakan dua tangan maknanya adalah dua nikmat, karena mustahil Allah menciptakan makhluk dengan makhluk – yaitu karena nikmat itu sendiri adalah makhluk”

Al-Ismaa’iliy juga menyatakannyanya dalam kitab ‘Aqiidah Ahlil-Hadiits, saat ia berkata :
وخلق آدم عليه السلام بيده ، ويداه مبسوطتان ينفق كيف يشاء بلا اعتقاد كيف يداه إذ لم ينطق كتاب الله تعالى فيه بكيف
“Allah menciptakan Adam ‘alaihis-salaam dengan tangan-Nya, dan kedua tangan-Nya terbuka memberikan (karunia kepada makhluk) sebagaimana yang Ia kehendaki, tanpa disertai keyakinan penentuan kaifiyah kedua tangan-Nya; yaitu ketika tidak ada penjelasan di dalam Kitabullah tentang kaifiyah tersebut”

[lihat blognya Abul Jauzaa]

DianthMay 6, 2011 at 3:39 pm #
pendapat Ibnu Baththaal, adalah pendapatnya, dan tidak mesti benar, banyak juga ulama yang menakwilkan makna tangan, banyak juga ulama yang tafwidh. Ibnu Baththaal juga tidak menjelaskan harus dimaknai ke makna zhahirnya kan?
Al-Ismaa’iliy ? saya kurang paham maksudnya, karena juga tidak menjelaskan harus dimaknai makna zhahir, “tanpa disertai keyakinan penentuan kaifiyah kedua tangan-Nya; yaitu ketika tidak ada penjelasan di dalam Kitabullah tentang kaifiyah tersebut” bukan berarti harus dimaknai zhahir kan, tapi jangan ditakwilkan atau tetapkan saja tangan Allah dan diam.

Abdul SyukurMay 5, 2011 at 5:27 pm #
@ Mas Dianth
Awalnya saya ingin bahas per point tapi saya rasa jadi agak bertele-tele, kita masuk kepada contoh yang lebih real saja untuk melihat pemahaman antum.
sejarah mencatat PERMUSUHAN SENGIT antara Ulama Salaf dengan JAHMIYAH
Ulama Salaf memahami Sifat-Sifat Allah secara Hakikat bukan Kiasan/Perumpamaan/Majaz.
Untuk Sifat Istiwa beberapa Salaf sampai memberikan penjelasan bahwa Allah Istiwa “Bi Dzatihi” (dengan Dzat nya) di atas Arsy
mereka antara lain:
– Harits Al-Muhasibi
– Abu Ja’far Ibnu Syaibah

Ada juga Ulama Salaf yang menambahkan kata “Bainun Min Khalqihi”(Terpisah dengan Makhluknya) antara lain:
– Abdullah Bin Mubarak (Guru Imam Bukhari)
– Abu Hatim Ar-Razi
– Abu Zur’ah

Untuk Sifat Tangan, Mata atau Wajah, seorang Tabi’in yakni Wahab Bin Munabih mengatakan:
Berkata Wahb bin Munabbih ketika ditanya oleh seorang tokoh sesat Ja’d bin Dirham tentang asma’ wa sifat: Celaka engkau wahai Ja’d karena permasalahan ini. Sungguh aku menduga engkau akan binasa. Wahai Ja’d, kalau saja Allah tidak mengkabarkan dalam kitab-Nya bahwa dia memiliki tangan, mata atau wajah, tentu kamipun tidak akan mengatakannya.Bertakwalah engkau kepada Allah!”(Aqidatus Salaf Ashhabul Hadits-Abu Isma’il Ash-Shabuni)
* Ja’ad Bin Dirham ini adalah pelopor JAHMIYAH
Sedangkan JAHMIYAH memahami Sifat Allah sebagai Kiasan/Perumpamaan/Majaz dengan kata lain TIDAK ADA/TIDAK MEMILIKI,.. jadi Allah Tidak memiliki Sifat Istiwa, Mata, Tangan, Wajah dll
Karena pemahaman Ulama Salaf yang seperti demikian maka mereka digelari oleh JAHMIYAH sebagai MUSYABIHAH (orang menyerupakan Allah dengan makhluknya)
Menurut antum yang sesat Ulama Salaf atau JAHMIYAH?
# (sekedar membantu analisa) Seandainya Ulama Salaf memahami Sifat Allah seperti JAHMIYAH, yakni Istiwa nya Allah adalah Kiasan/Perumpamaan, Demikian juga dengan Sifat Mata, Tangan, Wajah dll adalah Kiasan/Perumpamaan…maka Ulama Salaf telah tenggelam dalam KESALAH FAHAMAN yang KRONIS yakni Salah faham terhadap JAHMIYAH.
dan tidak tanggung-tanggung yang Salah Faham adalah JUMHUR Ulama Salaf seperti beberapa nama-nama diatas, Imam Ahmad, Imam Bukhari, Imam Tirmidzi dll
jadinya, Kisah permusuhan mereka adalah Dagelan konyol Ahli Ilmu…Mereka meributkan hal yang sebenarnya sama (mereka pahami) dengan JAHMIYAH:)
# Seandainya JAHMIYAH memahami Sifat Allah secara Hakikat bukan Kiasan/Perumpamaan maka mereka menjadi pengikut Ulama Salaf…dan Tidak ada yang namanya Firqoh JAHMIYAH. :)
OK mas Dianth, ditunggu komentar antum, silahkan
(Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani yang Ulama Khalaf pun memahami Istiwa nya diatas Arsy adalah Bi Dzatihi)

DianthMay 6, 2011 at 3:31 pm #
Abdulsyukur :sejarah mencatat PERMUSUHAN SENGIT antara Ulama Salaf dengan JAHMIYAH
Ulama Salaf memahami Sifat-Sifat Allah secara Hakikat bukan Kiasan/Perumpamaan/Majaz.
Dianth : Justru sejarah mencatat bahwa mayoritas ulama salaf tafwidh dan sebagian lagi menakwilnya dengan takwil yang sesuai dengan kaidah bahasa Arab
Abdulsyukur :
Untuk Sifat Istiwa beberapa Salaf sampai memberikan penjelasan bahwa Allah Istiwa “Bi Dzatihi” (dengan Dzat nya) di atas Arsy

Dianth : Justru ulama berbeda pendapat tentang makna istiwa, anda lihat sendiri tafsiran para ulama atas sifat istiwa.
Abdulsyukur : Untuk Sifat Tangan, Mata atau Wajah, seorang Tabi’in yakni Wahab Bin Munabih mengatakan:
Berkata Wahb bin Munabbih ketika ditanya oleh seorang tokoh sesat Ja’d bin Dirham tentang asma’ wa sifat: Celaka engkau wahai Ja’d karena permasalahan ini. Sungguh aku menduga engkau akan binasa. Wahai Ja’d, kalau saja Allah tidak mengkabarkan dalam kitab-Nya bahwa dia memiliki tangan, mata atau wajah, tentu kamipun tidak akan mengatakannya.Bertakwalah engkau kepada Allah!”(Aqidatus Salaf Ashhabul Hadits-Abu Isma’il Ash-Shabuni)
* Ja’ad Bin Dirham ini adalah pelopor JAHMIYAH
Sedangkan JAHMIYAH memahami Sifat Allah sebagai Kiasan/Perumpamaan/Majaz dengan kata lain TIDAK ADA/TIDAK MEMILIKI,.. jadi Allah Tidak memiliki Sifat Istiwa, Mata, Tangan, Wajah dll
Dianth : Ulama-ulama Asy ariyah menetapkan sifat-sifat Allah, Allah memiliki sifat-sifat sebagaimana yang disebut dalam Al Qur an dan hadist. Adapun ayat-ayat khabariyah yang disandarkan kepada Allah, telah dijelaskan ada 2 pendekatan yaitu tafwidh atau takwil ijmali seperti Ditanyakan kepada Imam Ahmad bin Hanbal masalah hadist sifat, ia berkata ”Nu’minu biha wa nushoddiq biha bilaa kaif wala makna” (Kita percaya dg hal itu, dan membenarkannya tanpa menanyakannya bagaimana, dan tanpa makna) dan takwil tafsili seperti tafsir Ibnu katsir atas kata ‘yadun': Tafsiran mereka “Kami menjadikan langit dengan (qudrat) kuasa kami”. ( Tafsir Ibnu Kathir Juz : 4 Mukasurat : 237 , sebagaimana takwil ulama salaf dan khalaf yang sesuai dengan kaidah bahasa Arab.
Abdulsyukur : Karena pemahaman Ulama Salaf yang seperti demikian maka mereka digelari oleh JAHMIYAH sebagai MUSYABIHAH (orang menyerupakan Allah dengan makhluknya)
Menurut antum yang sesat Ulama Salaf atau JAHMIYAH?
Dianth : yang sesat adalah yang tidak memahami permasalahan ini dengan benar. Karena ulama salaf bukan mujassimah dan mereka tidak memaknai ayat-ayat mutasyabihat secara zhahir.
Abdulsyukur : # (sekedar membantu analisa) Seandainya Ulama Salaf memahami Sifat Allah seperti JAHMIYAH, yakni Istiwa nya Allah adalah Kiasan/Perumpamaan, Demikian juga dengan Sifat Mata, Tangan, Wajah dll adalah Kiasan/Perumpamaan…maka Ulama Salaf telah tenggelam dalam KESALAH FAHAMAN yang KRONIS yakni Salah faham terhadap JAHMIYAH.
dan tidak tanggung-tanggung yang Salah Faham adalah JUMHUR Ulama Salaf seperti beberapa nama-nama diatas, Imam Ahmad, Imam Bukhari, Imam Tirmidzi dll
Dianth : sepertinya anda yang salah paham, Jahmiyah itu menolak sifat-sifat Allah seluruhnya, sedangkan ulama salaf menetapkan sifat-sifat Allah sebagaimana yang disampaikan di dalam Alquran dan hadist tanpa tasybih dan tajsim dan menolak atau meniadakan sifat-sifat yang merendahkanNya seperti sifat lupa, sakit, berjisim, berarah dan bertempat. dsb.
Abdulsyukur : (Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani yang Ulama Khalaf pun memahami Istiwa nya diatas Arsy adalah Bi Dzatihi)
Dianth : Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani berakidah sama dengan akidah salaf dan ahlussunah wal jamaah, yang menetapkan Allah ada tanpa tempat dan arah.
Demikian koment saya, semoga jelas.

Abdul SyukurMay 9, 2011 at 2:49 pm #
Dianth : Justru sejarah mencatat bahwa mayoritas ulama salaf tafwidh dan sebagian lagi menakwilnya dengan takwil yang sesuai dengan kaidah bahasa Arab
AS: Dari kemarin-marin antum tulis Tafwidh dan Tafwidh tapi belum menjelaskan tentang Tafwidh…
Apa sih yang antum pahami tentang Tafwidh?…coba dijelaskan dulu
Dan tolong berikan contoh seperti apa contoh Tafwidh dari Ulama salaf yang antum pahami
Silahkan dijelaskan
Dianth : Justru ulama berbeda pendapat tentang makna istiwa, anda lihat sendiri tafsiran para ulama atas sifat istiwa.
AS: Kan saya mengajak bahas Ulama Salaf,…Ingat Ulama Salaf…bawakan kesini perbedaan pendapat diantara Ulama Salaf dalam memahami Istiwa Allah….Ingat Ulama Salaf.
Dianth : Ulama-ulama Asy ariyah menetapkan sifat-sifat Allah, Allah memiliki sifat-sifat sebagaimana yang disebut dalam Al Qur an dan hadist. Adapun ayat-ayat khabariyah yang disandarkan kepada Allah, telah dijelaskan ada 2 pendekatan yaitu tafwidh atau takwil ijmali seperti Ditanyakan kepada Imam Ahmad bin Hanbal masalah hadist sifat, ia berkata ”Nu’minu biha wa nushoddiq biha bilaa kaif wala makna” (Kita percaya dg hal itu, dan membenarkannya tanpa menanyakannya bagaimana, dan tanpa makna) dan takwil tafsili seperti tafsir Ibnu katsir atas kata ‘yadun’: Tafsiran mereka “Kami menjadikan langit dengan (qudrat) kuasa kami”. ( Tafsir Ibnu Kathir Juz : 4 Mukasurat : 237 , sebagaimana takwil ulama salaf dan khalaf yang sesuai dengan kaidah bahasa Arab.
AS: Waduh, antum ini sepertinya mulai gak fokus nih…mana ada saya cerita Ulama Asy’ariyah..kan saya coba membatasi hanya Ulama Salaf dan JAHMIYAH…jadi, tolong gak usah bawa-bawa Ulama Asy’ariyah…mereka semua adalah Ulama Khalaf.
Mengenai Imam Ahmad, adapun mengenai perkataan beliau ”Nu’minu biha wa nushoddiq biha bilaa kaif wala makna” (Kita percaya dg hal itu, dan membenarkannya tanpa menanyakannya bagaimana, dan tanpa makna)
Dalam kitab Radd ‘alal-Jahmiyyah karya Imam Ahmad maka di situ insyaAllah antum akan mengetahui apa yang dimaui oleh Imam Ahmad (sebagaimana dinukil oleh Ibnu Qudamah) tentang kalimat walaa kaifa walaa ma’naa. Potongan kalimat walaa kaifa adalah untuk membantah golongan Musyabbihah/Mujassimah yang mengatakan bahwa turun-Nya Allah seperti turunnya makhluk. Adapun potongan kalimat kedua, walaa ma’naa adalah untuk membantah kaum Mu’aththilah yang menafikkan adanya sifat-sifat Allah dan kemudian memalingkannya kepada makna-makna yang bathil yang tidak sesuai dengan dhahir nash ! (penjelasan dari Abul Jauzaa)
Mengenai tulisan antum yang ini:
dan takwil tafsili seperti tafsir Ibnu katsir atas kata ‘yadun’: Tafsiran mereka “Kami menjadikan langit dengan (qudrat) kuasa kami”. ( Tafsir Ibnu Kathir Juz : 4 Mukasurat : 237)
Saya gak yaqin ayat yang ditafsirkan oleh Ibnu Katsir ada kata “Yadun”dan saya juga gak yaqin Ibnu Katsir menafsirkan “YADUN” dengan Qudrat/Kuasa
Coba bawakan ayat yang ditafsirkan Ibnu Katsir tersebut…biar gak asal-asalan mas, bisa kan?
selain itu, kenapa antum bawa nama Hafidz Ibnu Katsir beliau kan Ulama Khalaf…kita fokus kepada Ulama Salaf saja ya.
ada kisah menarik dari Imam Tirmidzi dalam kitab Sunan nya, mengenai pemahaman JAHMIYAH terhadap Shifat Tangan Allah (saya ringkas kisahnya):
…Para Ulama telah memberikan penjelasan terhadap hadits diatas dan hadits-hadits lain yang memuat sifat-Sifat Rabb dan Nuzulnya setiap malam ke langit dunia, mereka berkata, riwayat-riwayat tersebut semuanya shahih dan wajib di imani serta tidak boleh dipertanyakan bagaimana hakikat shifat tersebut.
Diriwayatkan dari Malik Bin Anas, Sufyan bin ‘Uyainah, Abdullah Bin Al-Mubarak mereka semuanya berkata tentang Shifat-Shifat Allah, Imanilah shifat-shifat tersebut sebagaimana telah driwayatkan tanpa mengatakan bagaimana hakikatnya, demikian lah perkataan para Ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah.
Adapun golongan JAHMIYAH, mereka mengingkari riwayat-riwayat tersebut bahkan mengatakan menetapkan Sifat untuk Allah merupakan TASYBIH (menyerupakan Allah dengan hambanya) kemudian mereka MENTA’WILKAN ayat-ayat yang memuat shifat-shifat Allah seperti TANGAN, PENDENGARAN, PENGLIHATAN dan menafsirkannya tidak seperti penafsiran para Ulama, mereka berkata: Sesungguhnya Allah Tidak Menciptakan Adam dengan Tangan-Nya dan arti dari Tangan adalah Kekuatan…..dst
Hadits No. 598, Kitab Zakat Bab Keutamaan Sedekah

Jadi dalam kisah diatas, JAHMIYAH itu mengingkari Shifat Tangan bagi Allah dan mereka mena’wilkan Tangan menjadi Kekuatan.
Tuh kan kelihatan bedanya Ulama Salaf dengan JAHMIYAH…seandainya Ulama Salaf memahami Shifat Allah sebagai Perumpamaan/Kiasan/Majaz maka mereka TIDAK AKAN BERBEDA dengan JAHMIYAH.
Dianth : yang sesat adalah yang tidak memahami permasalahan ini dengan benar. Karena ulama salaf bukan mujassimah dan mereka tidak memaknai ayat-ayat mutasyabihat secara zhahir.
AS: Kan saya tanya yang sesat Ulama Salaf atau JAHMIYAH?…jawabannya mana?
antum bisa bilang Ulama Salaf bukan Mujasimah tetapi antum tidak menyesatkan JAHMIYAH..kenapa?
Tidak Bertentangan dengan hawa nafsu antum kan?
Kalau gitu jelaskan makna dzhahir yang antum pahami? kalau ada ketentuan baku tentang makna dzhahir silahkan dibawakan
Dianth : sepertinya anda yang salah paham, Jahmiyah itu menolak sifat-sifat Allah seluruhnya, sedangkan ulama salaf menetapkan sifat-sifat Allah sebagaimana yang disampaikan di dalam Alquran dan hadist tanpa tasybih dan tajsim dan menolak atau meniadakan sifat-sifat yang merendahkanNya seperti sifat lupa, sakit, berjisim, berarah dan bertempat. dsb.
AS: Mas, mau menolak sebagian atau seluruh sifat Allah tetap aja sesat dan tetap saja itu lah ciri JAHMIYAH…kalau ada yang ngaku Ahlu Sunnah tetapi menerima sebagian Sifat Allah dan menolak sebagian Sifat Allah ini bukan Ahlu Sunnah.
O iya mas, saya gak mengajak bahas Sifat Lupa, Sakit, Jism dan Arah….yang saya ambil contoh adalah Sifat Istiwa, Tangan, Mata, Kaki dll….adakah Ulama Salaf yang menganggap Sifat tersebut adalah Perumpamaan/Kiasan/Majaz?…kalau ada berikan contohnya, supaya kelihatan hujjah antum itu berbobot dan tidak asal tulis…ayo lebih fokus lagi tulisannya.
Sedangkan JAHMIYAH menganggap Istiwa nya Allah diatas Arsy hanyalah perumpamaan/kiasan/majaz dan demikian juga dengan Sifat Tangan, Mata, Kaki dll Tidak Ada/Tidak Memiliki, sehingga mereka Mena’wilkan kan sifat-sifat tersebut (lihat kisah dari Imam Tirmizi diatas)
Dianth : Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani berakidah sama dengan akidah salaf dan ahlussunah wal jamaah, yang menetapkan Allah ada tanpa tempat dan arah.
AS: Ini bukti saya bahwa Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani menyatakan Allah Istiwa diatas Arsy dengan Dzatnya
Penjelasan dari Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani (w.561H) tentang Allah Istiwa Bi Dzatihi:
وينبغي إطلاق صفة الاستواء من غير تأويل ، وأنه استواء الذات على العرش لا على معنى القعود والمماسة كما قالت المجسمة والكرامية ، ولا على معنى العلو والرفعة كما قالت الأشعرية ، ولا معنى الاستيلاء والغلبة كما قالت المعتزلة ،
لأن الشرع لم يرد بذلك ولا نقل عن أحد من الصحابة والتابعين من السلف الصالح من أصحاب الحديث ذلك ، بل المنقول عنهم حمله على الإطلاق
Terjemahan ringkas:
Hendaklah diterima Sifat Istiwa secara mutlak tanpa Ta’wil
Dan sesungguhnya Dia beristiwa secara Zat di atas arasy
Dan bukan bermakna secara duduk dan bersentuhan sebagaimana dikatakan oleh mujassimah dan karamiyyah,
dan tidak bermakna ketinggian dan kemuliaan (maksudnya tanpa Zat-pent) seperti dikatakan oleh Asya’ariyyah,
tidak bermakna al-Istila’ (menguasai) dan mendominasi sebagaimana mu’tazilah,

karena syara’ tidak datang seperti itu,
Dan (takwilan) yang demikian tidak dinukil dari seorang pun dari kalangan para sahabat, Tabi‘in daripada kalangan orang-orang terdahulu yang salih (al-Salaf al-Salih) begitu juga dikalangan Ahl al-Hadis.
Sebaliknya yang diterima daripada mereka menunjukkan bahwa ia (Istiwa’) di fahami secara mutlak.

Kitab al Ghunyah Li Thalibi Thariqil Haq, hal 155
Bisa download di http://www.4shared.com/file/12010616…___1_-___.html
Nah sekarang mana bukti antum bahwa Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani menetapkan Allah ada tanpa tempat dan arah?…Silahkan dibawakan buktinya
Ingat, gak boleh asal-asalan ya…., pesan Nabi, cuma yang gak punya malu yang berbuat seenaknya/Asal-asalan…
Ditunggu buktinya mas

DianthMay 15, 2011 at 3:30 pm #
AS: Dari kemarin-marin antum tulis Tafwidh dan Tafwidh tapi belum menjelaskan tentang Tafwidh…
Apa sih yang antum pahami tentang Tafwidh?…coba dijelaskan dulu
Dan tolong berikan contoh seperti apa contoh Tafwidh dari Ulama salaf yang antum pahami
Silahkan dijelaskan
Dianth : coba anda baca koment saya dengan teman-teman yang lain. Tafwidh disini adalah takwil ijmali yaitu tidak memaknai zhahir ayat-ayat mutasyabihat seperti istiwa, tangan, kaki, wajah dsb dengan makna zhahir dan menyerahkan maknanya kepada Allah sesuai makna yang dikehendakinya sebagaimana firmanNya “Tidak ada yang tahu takwilnya kecuali Allah”(Ali Imran:7).
Contohnya adalah perkataan “Istiwa yang sesuai dengan keagunganNya”, “”tafsirnya adalah bacaannya”, “tanpa makna” dsb.

AS: Kan saya mengajak bahas Ulama Salaf,…Ingat Ulama Salaf…bawakan kesini perbedaan pendapat diantara Ulama Salaf dalam memahami Istiwa Allah….Ingat Ulama Salaf.
Dianth :Ulama salaf memahami istiwa bukan dengan makna zhahir tapi dengan tafwidh atau takwil ijmali.
AS:
dan takwil tafsili seperti tafsir Ibnu katsir atas kata ‘yadun’: Tafsiran mereka “Kami menjadikan langit dengan (qudrat) kuasa kami”. ( Tafsir Ibnu Kathir Juz : 4 Mukasurat : 237)

Saya gak yaqin ayat yang ditafsirkan oleh Ibnu Katsir ada kata “Yadun” dan saya juga gak yaqin Ibnu Katsir menafsirkan “YADUN” dengan Qudrat/Kuasa
Coba bawakan ayat yang ditafsirkan Ibnu Katsir tersebut…biar gak asal-asalan mas, bisa kan?
Dianth : Anda bisa baca Tafsir Ibnu Katsir Surat AdzDzaariyaat ayat 47
Makna Lafadz ا بِأَيْدٍ (dengan Tangan ) adalah kekuatan. Yang mengatakan seperti ini adalah Ibnu abbas, mujahid, qatadah, atsauri dan selainnya”

AS : ada kisah menarik dari Imam Tirmidzi dalam kitab Sunan nya, mengenai pemahaman JAHMIYAH terhadap Shifat Tangan Allah (saya ringkas kisahnya):
…Para Ulama telah memberikan penjelasan terhadap hadits diatas dan hadits-hadits lain yang memuat sifat-Sifat Rabb dan Nuzulnya setiap malam ke langit dunia, mereka berkata, riwayat-riwayat tersebut semuanya shahih dan wajib di imani serta tidak boleh dipertanyakan bagaimana hakikat shifat tersebut.
Diriwayatkan dari Malik Bin Anas, Sufyan bin ‘Uyainah, Abdullah Bin Al-Mubarak mereka semuanya berkata tentang Shifat-Shifat Allah, Imanilah shifat-shifat tersebut sebagaimana telah driwayatkan tanpa mengatakan bagaimana hakikatnya, demikian lah perkataan para Ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah.

Dianth : Benar semua harus diimani, tanpa boleh dipertanyakan bagaimana hakikat shifat tersebut.
Jadi bukan dimaknai zhahir seperti perkataan Ibnu Katsir :

Adapun golongan JAHMIYAH, mereka mengingkari riwayat-riwayat tersebut bahkan mengatakan menetapkan Sifat untuk Allah merupakan TASYBIH (menyerupakan Allah dengan hambanya) kemudian mereka MENTA’WILKAN ayat-ayat yang memuat shifat-shifat Allah seperti TANGAN, PENDENGARAN, PENGLIHATAN dan menafsirkannya tidak seperti penafsiran para Ulama, mereka berkata: Sesungguhnya Allah Tidak Menciptakan Adam dengan Tangan-Nya dan arti dari Tangan adalah Kekuatan…..dst
Hadits No. 598, Kitab Zakat Bab Keutamaan Sedekah

Dianth : Jahmiyah itu MENGINGKARI ayat-ayat tersebut, sedangkan salaf dan asy ariyah beriman kepadanya, fan jahmiyah menafsirkan tidak seperti tafsiran ulama, mereka melakukan tha’til yakni menghilangkan kata tangan dan tidak mengakui Adam diciptakan oleh TanganNya, sedangkan salaf dan asy ariyah tidak melakukan tha’til serta mengakui Adam diciptakan oleh TanganNya.
AS : Jadi dalam kisah diatas, JAHMIYAH itu mengingkari Shifat Tangan bagi Allah dan mereka mena’wilkan Tangan menjadi Kekuatan.
Dianth : Jahmiyah tidak menerima ayat-ayat tersebut, bukan masalah takwilnya.
AS : Tuh kan kelihatan bedanya Ulama Salaf dengan JAHMIYAH…seandainya Ulama Salaf memahami Shifat Allah sebagai Perumpamaan/Kiasan/Majaz maka mereka TIDAK AKAN BERBEDA dengan JAHMIYAH.
Dianth : perbedaan Salaf dengan Jahmiyah bukan masalah takwil tetapi beriman dan tidak beriman dengan ayat-ayat mutasyabihat tsb.
AS: Kan saya tanya yang sesat Ulama Salaf atau JAHMIYAH?…jawabannya mana?
Dianth : Jahmiyah sesat karena menolak ayat-ayat mutasyabihat.
AS : antum bisa bilang Ulama Salaf bukan Mujasimah tetapi antum tidak menyesatkan JAHMIYAH..kenapa?
Dianth : saya sudah katakan Jahmiyah sesat karena menolak ayat-ayat mutasyabihat tersebut.
AS :Tidak Bertentangan dengan hawa nafsu antum kan?
Dianth : Maksudnya ?
AS : Kalau gitu jelaskan makna dzhahir yang antum pahami? kalau ada ketentuan baku tentang makna dzhahir silahkan dibawakan
Dianth : lho, kan anda yang menetapkan makna zhahir, kok saya yang ditanya? masak ente tidak tahu makna zhahir, yaitu makan yang kita ketahui sebagaimana ada pada mahluk, seperti tangan maka makn zhahirnya adalah anggota tubuh yang menpunyai fungsi tertentu seperti memegang dsb, atau kaki yang makna zhahirnya adalah anggota tubuh bagian bawah, yang berfungsi untuk berjalan dsb.
AS: Mas, mau menolak sebagian atau seluruh sifat Allah tetap aja sesat dan tetap saja itu lah ciri JAHMIYAH…kalau ada yang ngaku Ahlu Sunnah tetapi menerima sebagian Sifat Allah dan menolak sebagian Sifat Allah ini bukan Ahlu Sunnah.
Dianth : Lalu apa maknaya Tanzih, bukankah Allah maha suci dari apa-apa yang mereka sifatkan, yaitu makna kekurangan pada Ilahi?
As : O iya mas, saya gak mengajak bahas Sifat Lupa, Sakit, Jism dan Arah….yang saya ambil contoh adalah Sifat Istiwa, Tangan, Mata, Kaki dll….adakah Ulama Salaf yang menganggap Sifat tersebut adalah Perumpamaan/Kiasan/Majaz?…kalau ada berikan contohnya, supaya kelihatan hujjah antum itu berbobot dan tidak asal tulis…ayo lebih fokus lagi tulisannya.
Dianth : kayaknya anda seperti orang yang sudah berbobot, ya ya ya… dari awal saja tidak paham dengan ucapan saya….?? contohnya aja tfsir Ibnu katsir, kalau ente nggak percaya juga nggak apa-apa…nanti kalau sempet saya kasi tau lagi, kalau anda punya akal yang sehat tentu sifat sakit, lupa, kaki, tangan, secara hakiki adalah tidak layak bagi Allah.
Dianth : Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani berakidah sama dengan akidah salaf dan ahlussunah wal jamaah, yang menetapkan Allah ada tanpa tempat dan arah.
AS: Ini bukti saya bahwa Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani menyatakan Allah Istiwa diatas Arsy dengan Dzatnya
Penjelasan dari Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani (w.561H) tentang Allah Istiwa Bi Dzatihi:
وينبغي إطلاق صفة الاستواء من غير تأويل ، وأنه استواء الذات على العرش لا على معنى القعود والمماسة كما قالت المجسمة والكرامية ، ولا على معنى العلو والرفعة كما قالت الأشعرية ، ولا معنى الاستيلاء والغلبة كما قالت المعتزلة ،
لأن الشرع لم يرد بذلك ولا نقل عن أحد من الصحابة والتابعين من السلف الصالح من أصحاب الحديث ذلك ، بل المنقول عنهم حمله على الإطلاق
Terjemahan ringkas:
Hendaklah diterima Sifat Istiwa secara mutlak tanpa Ta’wil
Dan sesungguhnya Dia beristiwa secara Zat di atas arasy
Dan bukan bermakna secara duduk dan bersentuhan sebagaimana dikatakan oleh mujassimah dan karamiyyah,
dan tidak bermakna ketinggian dan kemuliaan (maksudnya tanpa Zat-pent) seperti dikatakan oleh Asya’ariyyah,
tidak bermakna al-Istila’ (menguasai) dan mendominasi sebagaimana mu’tazilah,

karena syara’ tidak datang seperti itu,
Dan (takwilan) yang demikian tidak dinukil dari seorang pun dari kalangan para sahabat, Tabi‘in daripada kalangan orang-orang terdahulu yang salih (al-Salaf al-Salih) begitu juga dikalangan Ahl al-Hadis.
Sebaliknya yang diterima daripada mereka menunjukkan bahwa ia (Istiwa’) di fahami secara mutlak.

Kitab al Ghunyah Li Thalibi Thariqil Haq, hal 155
Nah sekarang mana bukti antum bahwa Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani menetapkan Allah ada tanpa tempat dan arah?…Silahkan dibawakan buktinya
Ingat, gak boleh asal-asalan ya…., pesan Nabi, cuma yang gak punya malu yang berbuat seenaknya/Asal-asalan…
Ditunggu buktinya mas
Dianth : copasan dari internet aja udah bangga… he he he, bilangin orang asal-asalan lagi… nggak apa-apa, maklum saya emang bukan “orang berbobot” kayak sampeyan.
Buktinya sudah jelas dan di depan mata bukan di dunia maya. Bahwa Mursyid tarekat sufi Qodiriyah yang bersanad ke Syekh Abdul Qodir Al Jailani beserta para sufi pengikut tarekat ini berkeyakinan Allah ada tanpa tempat dan arah.

Abdul SyukurJune 1, 2011 at 10:05 am #
Wah..wah saya baru buka lagi nih
OK Langsung saja,
Dianth : Anda bisa baca Tafsir Ibnu Katsir Surat AdzDzaariyaat ayat 47
Makna Lafadz ا بِأَيْدٍ (dengan Tangan ) adalah kekuatan. Yang mengatakan seperti ini adalah Ibnu abbas, mujahid, qatadah, atsauri dan selainnya”

AS: Tuh kan, ketahuan deh asal-asalannya…apa antum lupa apa yang antum tuliskan sebelum…ini saya copykan lagi, untuk mengembalikan ingatan antum:
dan takwil tafsili seperti tafsir Ibnu katsir atas kata ‘yadun’:Tafsiran mereka “Kami menjadikan langit dengan (qudrat) kuasa kami”. ( Tafsir Ibnu Kathir Juz : 4 Mukasurat : 237)
Sebelumnya bilang YADUN sekarang ganti بِأَيْدٍ …lain kali hati-hati ya kalau menukil, yang dibahas Ibnu Katsir Adz-Dzariyat:47, sedangkan yang dibahas Pak Puji Shad:75 dan saya juga sudah mengutip penjelasan dari Imam Tirmidzi terkait dengan penciptaan Adam.
Insya Allah saya tidak ada masalah dengan tafsir Adz-Dzariyat:47 karena memang Bi Ayyid = Kekuasaan
Buat antum coba bawakan tafsir Ulama Salaf mengenai Shad: 75 (saya sudah bawakan penjelasannya Imam Tirmidzi)…silahkan
Dianth : Jahmiyah itu MENGINGKARI ayat-ayat tersebut, sedangkan salaf dan asy ariyah beriman kepadanya, fan jahmiyah menafsirkan tidak seperti tafsiran ulama, mereka melakukan tha’til yakni menghilangkan kata tangan dan tidak mengakui Adam diciptakan oleh TanganNya, sedangkan salaf dan asy ariyah tidak melakukan tha’til serta mengakui Adam diciptakan oleh TanganNya.
AS: JAHMIYAH hanya mengingkari Sifat Allah mas, tidak sampai kepada mengingkari ayat, mereka mena’wilkan Sifat-Sifat Allah tersebut sesuai dengan nafsunya.
Contohnya Tangan = Kekuasaan
Dianth : Jahmiyah tidak menerima ayat-ayat tersebut, bukan masalah takwilnya.
AS: Kayaknya gak gitu deh, sudah jelas JAHMIYAH mena’wilkan Tangan menjadi Kekuasaan. Pena’wilan yang dilakukan JAHMIYAH dalam rangka Meniadakan Sifat Allah/Tidak Menerima Sifat Allah
Dianth : lho, kan anda yang menetapkan makna zhahir, kok saya yang ditanya? masak ente tidak tahu makna zhahir, yaitu makan yang kita ketahui sebagaimana ada pada mahluk, seperti tangan maka makn zhahirnya adalah anggota tubuh yang menpunyai fungsi tertentu seperti memegang dsb, atau kaki yang makna zhahirnya adalah anggota tubuh bagian bawah, yang berfungsi untuk berjalan dsb.
AS: Oh itu makna Zhahir yang antum maksud, kalau gitu pemahaman antum dan saya berbeda…Makna Zhahir yang saya maksud adalah Zhahir Ayat saja…gak repot mikirin apakah hal itu organ tubuh atau bukan dll karena Allah Tidak Memberitahukannya dan Nabi Tidak menjelaskannya….Tidak Ada satupun yang menyerupainya
Dianth : kayaknya anda seperti orang yang sudah berbobot, ya ya ya… dari awal saja tidak paham dengan ucapan saya….?? contohnya aja tfsir Ibnu katsir, kalau ente nggak percaya juga nggak apa-apa…nanti kalau sempet saya kasi tau lagi, kalau anda punya akal yang sehat tentu sifat sakit, lupa, kaki, tangan, secara hakiki adalah tidak layak bagi Allah.
AS: Itu diatas sudah saya jelaskan kesemrawutan tulisan antum yang menyatakan Ibnu Katsir bilang YADUN padahal Bi Ayyid..apa gak sadar kah?
Atau ASAL TULIS dan ASAL BUNYI bisa menjadi suatau kebaikan buat antum?
Jadi fokus pada Ulama Salaf, dan konsekuensinya bawakan penjelasan Ulama Salaf….Ibnu Katsir bukan Ulama Salaf mas, antum sudah tau kan?
Dianth : copasan dari internet aja udah bangga… he he he, bilangin orang asal-asalan lagi… nggak apa-apa, maklum saya emang bukan “orang berbobot” kayak sampeyan.
Buktinya sudah jelas dan di depan mata bukan di dunia maya. Bahwa Mursyid tarekat sufi Qodiriyah yang bersanad ke Syekh Abdul Qodir Al Jailani beserta para sufi pengikut tarekat ini berkeyakinan Allah ada tanpa tempat dan arah.
AS: Ya saya bangga karena punya bukti sesuai dengan Klaim saya…lalu Mana bukti Klaim antum?….GAK PUNYA YAH….Ya ampun….
kalau sebelumnya sudah NGOTOT MENGKLAIM bahwa Syaikh Al-Jilani menetapkan Allah Ada Tanpa Tempat dan Arah kemudian saat ditanya buktinya…gak bisa bawain bukti itu namanya ASAL-ASALAN, dan apakah antum tidak merasa sedang memfitnah Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani kah?….atau bagi antum Fitnah bisa mendatangkan keridhoan/Rahmat Allah sehingga antum Ikhlas memfitnah Syaikh Al-Jilani?
Hanya antum yang bisa menjelaskannya :)

DianthMay 8, 2011 at 8:31 pm #
@dobdob May 6, 2011 at 4:08 pm #
hmmm… anda mendengar dan Allah mendengar, apakah anda tidak khawatir Tasybih?
Dianth : saya tidak khawatir tasybih. Adapun sifat mendengar Allah adalah sifat wajib yang pasti ada pada tuhan, mustahil tuhan itu tuli, kalau tuhan tuli atau tidak mendengar berarti Dia mempunyai kekurangan dan pasti bukan Tuhan. kalau kita menisbatkan sifat mendengar, maka kita bisa memahaminya tanpa membayangkan wujud zat atau sebuah bentuk, berbeda bila menisbatkan kata telinga maka yang kita pahami atau terbayang dibenak kita adalah sebuah bentuk bentuk (telinga) yang merupakan anggota tubuh (jisim). kita bisa memahami dan menisbatkan makna sifat mendengar Allah yang tanpa batas (kita terjemahkan maha mendengar), dan kita tidaklah bisa memberikan hal tersebut kepada telinga, karena bagaimanapun kita meberikan sifat tak terbatas pada sebuah jisim, tetaplah yang namanya ANGGOTA atau BAGIAN itu mempunyai ukuran dan batasan, mustahil sifat dan wujud Alah terbatas atau mempunyai batas.
ustad:
istiwa adalah kata kerja, kallama juga kata kerja, kenapa yang satu di takwil dan yang satu ditetapkan? keduanya juga bisa mengarahkan kepada Tasybih.

Dianth : kata Istiwa secara hakiki memberikan sebuah makna yang tidak layak pada Allah yaitu posisi duduk, atau bersemayam, bagaimanapun kafiyatnya tetaplah duduk secara hakiki sebuah sifat yang tidak layak. Maka Asy ariyah menisbatkan sifat istiwa di atas Arsy adalah dengan tafwidh atau takwil. Sedangkan kallama bisa berarti tasybih bila kita menisbatkan mulut pada Allah, tatapi seperti sifat mendengar, maka penjelasan saya adalah seperti itu.
Ustad:
Asyairah menetapkan bahwa orang beriman akan berbicara kepada Allah di akhirat nanti dan melihatnya, sesuatu yang dapat dilihat dengan mata itu Jism, dan melihat itu pasti kearah tertentu, kenapa Asyairah tetapkan?

Dianth : Sesuatu yang bisa dilihat dengan mata itu jisim? kalau jisim adalah hal tersebut, maka Allah telah berfirman “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan.” [Al-An’aam: 103], karena Allah bukan jisim. Adapun di akherat, maka asy ariyah menetapkannya karena Allah Maha Melihat, Dia dapat melihat segala penglihatan, sehingga Dia bisa melihat diriNya sendiri, dengan begitu Dia bisa memperlihatkan diriNya pada mata manusia sebagaimana yang dikehendakiNya.
“dan melihat itu pasti kearah tertentu, kenapa Asyairah tetapkan?” . Allah telah mengatakan bahwa dimanapun kamu menghadap disitulah wajah Allah. Melihat pasti kearah tertentu, tapi apakah ada dalil bahwa semua orang menghadap ke arah yang sama? maka berdasarkan firman Allah, dimanapun orang itu menghadap, maka dia akan melihat Allah, itu arinya Allah tidak berada di arah tertentu, oleh karena itu asy ariyah menetapkan bahwa Allah tidak berarah, adapun bila dikatakan Allah ada di depan atau arah tertentu dari orang yang melihat, maka itu adalah arah yang subjektif, karena keterbatasan manusia dan sebatas apa yang diperlihatkan Allah kepada manusia. Sebagaimana akal kita tidak akan memahami Allah secara hakiki tetapi hanya sebatas apa yang telah Allah pahamkan kepada akal kita untuk mengenalnya dan memahaminya, begitu juga penglihatan kita kepadaNya sebatas apa yang telah tuhan perlihatkan kepada kita.
Demikian keterangan dari pemahaman saya, kata-kata saya mungkin kurang tertata baik atau ada tersalah kata, tapi saya rasa anda telah memahami garis besarnya tentang pemahaman saya.
Ustad :
“saya menyarankan agar anda membaca ulang artikel saya diatas, agar anda memahami cara-cara orang yang saya sepakati dalam menyikapi lafadz-lafadz yang dianggap bidáh oleh ibnu taimiyah tersebut ketika dikaitkan dengan Allah”.

Dianth : lafaz-lafaz itu bisa dianggap bidah, karena ulama salaf telah memahami Al Quran dengan baik dan mereka tidak perlu mambahasnya. Tapi zaman berganti, dan orang yang senang dengan kesyubhatan dan memperturutkan hawa nafsu telah menyerang dan menimbulkan fitnah dengan hal-hal baru yang dulu dianggap bidah, maka akhirnya manusia menjadi membahas dan mepertanyakannya, sudah sewajarnyalah ulama memberikan penjelasan yang semestinya maka hal ini bukan bidah, dan sebuah kebidahan itu akan terjadi bila kita membahas lafaz-lafaz yang dianggap bidah tersebut melebihi tujuan dan berlebih-lebihan sehingga terjadi fitnah dan kerancuan serta perdebatan yang tak kenal putus.
Bukankah hal itu yang dilakukan oleh para ulama (walaupun bisa jadi ulama kadang khilaf sehingga membahas hal ini terlalu jauh dan tidak semestinya).
Demikian,dan terima kasih.

dobdobMay 10, 2011 at 9:10 am #
Untuk mas dianth
Inilah masalah terbesar anda dan asyairah, anda mengatakan sempurna atau tidak sempurna berdasarkan logika dan atau membandingkannya dengan makhluk. kalau saya lebih condong untuk mengatakan Allah mendengar dan melihat karena memang Allah menetapkannya dan menafikan kesamaan dengan makhluknya. Inilah Rahasia ayat ” Tidak ada yang menyerupaiNya, Dia mendengar dan melihat” disatu sisi dia menafikan kesamaan dengan makhluknya, disisi lain dia menetapkan bahwa dia mendengar dan melihat, -suatu sifat yang juga dimiliki makhluknya-. Namun jelas dengan menafikan diawal kemudian menetapkan, bisa dipahami bahwa apa yang dia tetapkan itu berbeda dengan makhluqnya. dia mendengar tapi berbeda dengan mendengarnya Makhluk. begitu juga semua sifat baik Khobariyah Maupun fi’liyah, kita bisa katakan Allah itu bersamayam, tapi tidak sama dengan bersemayamnya Makhluk. terkadang Allah memberikan rincian terhadap sifatnya tersebut terkadang tidak. tapi dalil yang umum tetap berlaku bahwa Allah berbeda dengan makhluknya. Siapa anda yang menyatakan istiwa jika dimaknai sesuai Dzohirnya tanpa memberikan kaifiat adalah satu sifat yang tidak layak? gegabah sekali anda. siapa yang memastikan istiwa itu adalah posisi duduk seperti anda duduk? saya menyarankan anda membaca tulisan saya tentang makna Istiwa.
kalau anda katakan menetapkan telinga (saya menetapkan tangan, karena inilah yang Allah tetapkan, bukan telinga) akan membuat anda mempersonifikasikan dengan Jism manusia, maka inilah gunanya Allah menegaskan bahwa dia berbeda dengan makhluknya. inilah keringanan dari Allah dimana Dia memaafkan lintasan-lintasan hati. sangat aneh dimana anda mentolerir makna mendengar dengan alasan tidak membuat anda mempersonifikasikan dan atau membayangkan dengan makhluk sedangkan telinga bisa membuat anda demikian. padahal yang manusia ketahui dengan indra dan akalnya adalah mendengar dan berbicara itu sudah pasti berasal dari Jism. inilah Inkonsistensi Asyairah.
kalau ini cuma masalah kekhawatiran saja, maka cukuplah penegasan Allah bahwa Dia berbeda dengan makhlukNya. sebagaimana anda mensinyalir ada sesuatu yang bukan Jisim bisa mendengar, apa halangan anda untuk mengatakan adanya sesuatu yang bukan Jism bisa memiliki tangan? toh kita menyerahkan kaifiyat tangan yang Allah Maksud. tapi sikap saya jelas, bahwa saya tidak menetapkan atau menafikan Allah itu Jism. tergantung apa yang dimaksud Jism-lah jawaban saya.
yang aneh adalah kata-kata anda
Maka Asy ariyah menisbatkan sifat istiwa di atas Arsy adalah dengan tafwidh atau takwil
kenapa anda memaknai dengan “istiwa diatas”, padahal banyak ulama Asyairah mengartikan Menguasai bukan menguasai diatas.
sikap saya adalah menetapkan maknanya dan menyerahkan kaifiyatnya kepada Allah. Tafwidh dan takwil sebenarnya adalah hal yang amat berlawanan, cukup aneh bila bisa disatukan sebagai suatu sikap yang dianggap paling benar. Takwil adalah sikap yang seharusnya dilakukan karena mpengetahuan mendalam tantang sebuah substansi, oleh karena itu cuma orang-orang yang Rosih (mendalam) ilmunya yang bisa melakukan takwil sedangkan TAfwidh itu adalah kebalikannya, yaitu dilakukan karena sama sekali tidak mengetahui sebuah substansi. nah.. makna tafwidh yang diinginkan Asyairah dalam realitaslah yang membuat para Ulama mensinyalir masuk kedalam ta’thil (menghilangkan makna). hal ini karena mereka mengetahui makna dzohir semisal istiwa, yad, atau lainnya, namun karena logika mereka yang menolak itu maka mereka hilangkan atau tolak maknanya, lalu mereka serahkan makna sifat-sifat tersebut kepada Allah. adapun ketika mentakwil, mereka mengetahui maknanya, kemudian mereka tolak atau hilangkan, kemudian mereka Alihkan atau rubah kepada makna lain yang menurut mereka lebih sesuai, baik dengan kemungkinan bahasa atau dengan akal mereka. dari sini bisa dipahami bahwa tafwidh dan takwil melakukan proses yang sama namun melakukan kesimpulan yang berbeda dengan dengan tujuan yang sama yaitu tanzih yang sesuai akal. pertama mereka mengetahui maknanya, kemudian mereka melakukan penyerupaan/perbandingan dengan makhluk, kemudian mereka menolak atau menghilangkan maknanya. akhirnya mereka melakukan penyerahan atau mentakwil.
jadi jelas… kekurangan yang ada pada mereka adalah menjadikan akal dan perbandingan dengan makhluk sebagai landasan utama ketika berbicara tentang Allah. naudzubillah min Dzalik.

adapun perkataan anda:
“Sebagaimana akal kita tidak akan memahami Allah secara hakiki tetapi hanya sebatas apa yang telah Allah pahamkan kepada akal kita untuk mengenalnya dan memahaminya, begitu juga penglihatan kita kepadaNya sebatas apa yang telah tuhan perlihatkan kepada kita”.
saya sepakat, penglihatan kita terbatas, tapi yang jelas kita melihat Allah. tidak ada dalil kearah mana kita melihat, tapi yang jelas kearah Allah. apa hubungannya antara maha melihat dan memperlihatkan? sesuatu yang bisa dilihat itu Jism, anda tidak usah berlari dari kenyataan, jibril juga tak terlihat, bisa melihat, dan memperlihatkan dirinya, tapi toh anda juga tidak takut tasybih karena menetapkan Allah bisa dilihat.
SEbagaimana anda mentolerir bahwa Allah bisa dilihat yang jelas berkonsekwensi berjism berdasarkan logika anda, kenapa anda tidak menetapkan Allah itu memiliki tangan yang bisa membuat terlintas dipikiran manusia normal bahwa Allah berjism? sekali lagi ini kontradiktif. Maka cukuplah ketegasan Allah bahwa Dia berbeda dengan makhluknya ketika kita menetapkan Sifat-sifatnya. bisa dilihat dan memiliki tangan adalah sifat yang sama saja berkonsekwensi personifikasi dengan makhluk.
karena Akal kita terbatas, anda tidak diminta untuk menggambarkan sesuatu yang bisa dilihat tapi bukan Jism yang memiliki dari Jauhar dan Ardh disisi mutakallimin, bahkan pelaku penggambarannya adalah kafir atas apa yang telah kita sepakati. saya meyakinkan anda juga bahwa anda sama sekali tidak diminta untuk menggambarkan Allah yang memiliki tangan tapi bukan jism yang memiliki Jauhar dan ardh, karena pelaku penggambarannya juga kafir.
Semoga Allah memberikan anda pemahaman mendalam tentang menyikapi sifat-sifat Allah.
Saudaramu: dobdob


DianthMay 15, 2011 at 3:54 pm #
Untuk mas dianth
“Inilah masalah terbesar anda dan asyairah, anda mengatakan sempurna atau tidak sempurna berdasarkan logika dan atau membandingkannya dengan makhluk”.
Logika itu adalah penjelasan tafsir mas, jangan salah paham.
“kalau saya lebih condong untuk mengatakan Allah mendengar dan melihat karena memang Allah menetapkannya dan menafikan kesamaan dengan makhluknya. Inilah Rahasia ayat ” Tidak ada yang menyerupaiNya, Dia mendengar dan melihat” disatu sisi dia menafikan kesamaan dengan makhluknya, disisi lain dia menetapkan bahwa dia mendengar dan melihat, -suatu sifat yang juga dimiliki makhluknya-. Namun jelas dengan menafikan diawal kemudian menetapkan, bisa dipahami bahwa apa yang dia tetapkan itu berbeda dengan makhluqnya. dia mendengar tapi berbeda dengan mendengarnya Makhluk”.
Pendapat ini sama dengan pendapat asy ariyah.
” begitu juga semua sifat baik Khobariyah Maupun fi’liyah, kita bisa katakan Allah itu bersamayam, tapi tidak sama dengan bersemayamnya Makhluk”.
Mas bagi kami bersemayam secara zhahir, bagaimanapun bentuknya adalah tidak layak bagi Allah. Anda tentu akan mengatakan kami menetapkan layak tidak layak ini dengan akal.
“terkadang Allah memberikan rincian terhadap sifatnya tersebut terkadang tidak. tapi dalil yang umum tetap berlaku bahwa Allah berbeda dengan makhluknya. Siapa anda yang menyatakan istiwa jika dimaknai sesuai Dzohirnya tanpa memberikan kaifiat adalah satu sifat yang tidak layak? gegabah sekali anda. siapa yang memastikan istiwa itu adalah posisi duduk seperti anda duduk? saya menyarankan anda membaca tulisan saya tentang makna Istiwa”
yang saya maksud makna zhahir ini adalah makna duduk dan bersemayam secara zhahir, kalau anda tidak berkeyakinan seperti itu ya Alhamdulillah.
“kalau anda katakan menetapkan telinga (saya menetapkan tangan, karena inilah yang Allah tetapkan, bukan telinga) akan membuat anda mempersonifikasikan dengan Jism manusia, maka inilah gunanya Allah menegaskan bahwa dia berbeda dengan makhluknya. inilah keringanan dari Allah dimana Dia memaafkan lintasan-lintasan hati. sangat aneh dimana anda mentolerir makna mendengar dengan alasan tidak membuat anda mempersonifikasikan dan atau membayangkan dengan makhluk sedangkan telinga bisa membuat anda demikian. padahal yang manusia ketahui dengan indra dan akalnya adalah mendengar dan berbicara itu sudah pasti berasal dari Jism. inilah Inkonsistensi Asyairah.”
Apanya yang inkontensi, justru inilah kerancuan dari Akidah salafi wahabi, yaitu menganggap perbedaan Allah dengan mahluknya pada ayat khobariyah dan fi iliyah yang serupa dengan sifat jasmani mahluk adalah hanya perbedaan bentuk bukan perbedaan makna dan hakikatnya, sehingga Allah terkesan mempunyai bentuk dan anggota tubuh, padahal ini menunjukkan keterbatasan Allah.
“kalau ini cuma masalah kekhawatiran saja, maka cukuplah penegasan Allah bahwa Dia berbeda dengan makhlukNya. sebagaimana anda mensinyalir ada sesuatu yang bukan Jisim bisa mendengar, apa halangan anda untuk mengatakan adanya sesuatu yang bukan Jism bisa memiliki tangan? toh kita menyerahkan kaifiyat tangan yang Allah Maksud. tapi sikap saya jelas, bahwa saya tidak menetapkan atau menafikan Allah itu Jism. tergantung apa yang dimaksud Jism-lah jawaban saya”.
Ucapan anda jelas rancu, karena sifat mendengar itu bukan jisim, sedangkan tangan maknanya adalah jisim, bagaimana bisa dikatakan ada jjisim yang bukan jisim, ini kontradiktif bukan?
Jadi kalau yang dimaksud dengan jisim adalah anggota tubuh anda terima atau tidak ? kalau anda terima berarti anda tajsim dong ? kalau tidak berarti anda tidak memahami makna tangan, kaki, wajah dsbnya dengan makna hakikat.

“yang aneh adalah kata-kata anda”
Saya justru dengan anda yang melawankan tafwidh dengan takwil, mengapa tidak bisa disatukan ? memang berbeda, tetapi hakikatnya adalah sama-sama tidak mengambil makna zhahir, hanya yang satu tidak merincinya dan meyerahkan maknanya / takwilnya kepada Allah, sedangkan yang satu memperincinya dengan memberikan takwilnya. Adapun tha’til itu adalah bila kita menghilangkan kata atau tidak menerima kata yang merupakan sumber dari maknanya. Maka Asy ariyah tidaklah menolak Allah Istiwa di atas arsy, Adam diciptakan dengan tangaNya, tapi kami memahaminya berbeda dengan saudara-saudaraku salafi wahabi. Apakah anda menerima “surga di Telapak Kaki Ibu’? tentu kita semua menerimanya, dam kita tidaklah memahaminya secara zhahir bukan ? dan kita tidak melakukan tha’til bukan? karena kita tidak pernah merubah perkataan tersebut.
“jadi jelas… kekurangan yang ada pada mereka adalah menjadikan akal dan perbandingan dengan makhluk sebagai landasan utama ketika berbicara tentang Allah”. naudzubillah min Dzalik.
Jelas kami memahami semua itu berdasarkan dalil. adapun akal adalah penjelas dalil.
Masalah dalil dan akal ini dan selanjutnya akan saya bahas di lain waktu, maaf.

Abdul SyukurJune 1, 2011 at 10:13 am #
Surga di Telapak Kaki Ibu kok dibawa-bawa kepada Sifat Allah
Ini mau bicarain Sifat Allah atau Sifat Surga?… :)

DianthJune 7, 2011 at 11:07 am #
Maksudnya untuk menjelaskan perbedaan tha’til pada bahasa dengan yang tidak… gito lho mas.

pujiJune 1, 2011 at 7:30 pm #
pakah anda menerima “surga di Telapak Kaki Ibu’? tentu kita semua menerimanya, dam kita tidaklah memahaminya secara zhahir bukan ? dan kita tidak melakukan tha’til bukan? karena kita tidak pernah merubah perkataan tersebut.
Maaf saudara sudah ngelantur menurut saya. Kita berbicara mengenai sifat Allah dan dan ungkapan saudara ini tidak termasuk cakupan di dalamnya. Mohon fokus pada masalah ya. bagi saya yang selalu menekankan kaidah ilmiah sikap memaksakan “dalil” seperti diatas merupakan catatan besar saya kepada anda. Mohon jangan diulangi

ArasyMay 16, 2011 at 5:13 pm #
Saya heran sekali dengan orang-orang yang mudah mengatakan Mujasimah kepada saya, karena saya mengimani ayat-ayat segala sifat Allah yang memang Allah sendiri yang menyifatkan bagi-Nya dalam Al-Qur’an ataupun hadits shahih, misalnya soal Istiwa, tangan, mata, mendengar, melihat, cahaya, dan lainnya. Tapi mereka yang bangganya menyatakan Allah itu ada tanpa tempat. Padahal kalau mau menggunakan logika bahasa, kata “ada” itu juga bisa dikatakan mujasimah. soalnya, saya pun ada, saya makhluk, Allah ada, Allah makhluk? Jelas sekali mereka pasti mencari-cari alasan. Hahaha, mereka itu tidak punya pendirian dan keimanan yang kuat. Para sahabat tidak ada yang seperti mereka yang mudah mengatakan Mujasimah, sebab mereka memang sudah tahu bahwa apa-apa, semisal tangan, mata, dan lainnya yang ada dalam Al-Qur’an, bukan sama dengan makhluk, kan ada ayat yang menyatakan bahwa Allah itu tidak serupa dengan ciptaanNya. Maka, mereka menerima segala sifat-Nya dalam Al-Qur’an dengan diam, yakni menetapkannya, tidak menambah-nambah, dan tidak menanyakan kaifiyah dari sifat-sifat tersebut. Jadi, santai saja ketika Ibnu Mas’ud tertawa yang ternyata rasulpun tertawa sebab Rabb-Nya tertawa. Sebab sifat tertawanya bukan seperti makhluk. Sahabat tidak parsial dalam memahami Al-Qur’an. Emangnya, ayat Al-Qur’an cuma [QS112:4] dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia”.
Mereka berlagak mengerti. Padahal mah kebelinger.
kalau kata upin ipin, kasihan, kasihan, kasihan.

DianthJune 7, 2011 at 11:15 am #
saya juga mengimani ayat-ayat segala sifat Allah yang memang Allah sendiri yang menyifatkan bagi-Nya dalam Al-Qur’an ataupun hadits shahih, misalnya soal Istiwa, tangan, mata, mendengar, melihat, cahaya, dan lainnya.
Dalam hal ini para ulama telah menjelaskan bahwa sifat-sifat yang membawa indikasi kepada tajsim harus ditakwil dengan takwil ijmali/tafwidh atau takwil tafsili.
“Tapi mereka yang bangganya menyatakan Allah itu ada tanpa tempat. Padahal kalau mau menggunakan logika bahasa, kata “ada” itu juga bisa dikatakan mujasimah. soalnya, saya pun ada, saya makhluk, Allah ada, Allah makhluk?”
Yang dimasksud mujasimmah disini adalah makna anggota tubuh dan bagian-bagiannya yang berindikasi memahami zat Allah padahal Zat Allah tidak sama dengan zat mahluk.
Sifat Ada itu bukan jisim, tapi sifat maknawi.
Maka Zat Allah bukanlah seperti zat yang diciptakan olehNya.
“Tidaklah ada yang serupa denganNya sesuatu apapun”,
Ini adalah tanzih, dan yang tanzih adalah zatNya, maka Zat Allah berbeda dengan zat mahluk.
oleh karena itu Allah bukan jisim, bukan materi, atau apapun juga yang merupakan zat mahluk.

Maka Zat Allah bukanlah seperti zat yang diciptakan olehNya.
Bukankah kita tidak bisa memahami Zat Allah, bahkan dilarang untuk memikirkannya. Maka segala yang disandarkan kepada Zat Allah, seperti kaki, tangan, wajah bukanlah untuk kita pahami pada Zat Allah sebagaimana kita memahami zat mahluk (bukankah bila kita mengatakan Allah punya kaki, punya tangan, punya wajah maka kita telah memahami Zat Allah sebagaimana zat mahluk? kalau Zat Allah tidak bisa kita pikirkan dan pahami, maka mengapa kita memberikan sifat-sifat zat mahluk sebagaimana yang kita ketahui kepada Allah ?), tetapi sebagai ujian buat keimanan kita.

“Dan sesungguhnya Allah itu satu bukan dari segi hitungan, tapi dari segi bahwa tidak ada sekutu bagi-Nya. Dia tidak melahirkan dan tidak dilahirkan, tidak ada suatu apapun yang meyerupai-Nya. Dia bukan benda, dan tidak disifati dengan sifat-sifat benda. Dia tidak memiliki batasan (tidak memiliki bentuk; artinya bukan benda), Dia tidak memiliki keserupaan, Dia tidak ada yang dapat menentang-Nya, Dia tidak ada yang sama dengan-Nya, Dia tidak menyerupai suatu apapun dari makhluk-Nya, dan tidak ada suatu apapun dari makhluk-Nya yang menyerupainya”
Lihat al-Fiqh al-Akbar dengan Syarh-nya karya Mulla ‘Ali al-Qari’, h. 30-31
Ini adalah ucapan Imam hanafi tentang zat Allah. maka resapilah.

dan Ia Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. (QS.Asy Syura : 11).
Ini adalah sifat maknawi. ini adalah bentuk tasybih. maka sifat-sifat maknawi Allah serupa sifat-sifat maknawi manusia namun tidaklah sama. maka kita menetapkan sifat ini, yang telah ditetapkan Allah sebagai sifatNya.
Dan sifat-sifat seperti ini sebagaimana asmaul husna, nama-namaNya, justru kita dianjurkan untuk mempelajari dan memahaminya.


dobdobJune 9, 2011 at 10:54 am #
Yang dimasksud mujasimmah disini adalah makna anggota tubuh dan bagian-bagiannya yang berindikasi memahami zat Allah padahal Zat Allah tidak sama dengan zat mahluk.
komentar dan diskusi kita sudah kemana-mana, tapi ternyata jelas bahwa yang anda maksud Mujassimah adalah anggota tubuh, inilah yang perlu anda baca lagi tentang bagaimana ibnu Taimiyah berpandangan luas seputar apa yang dimaksud dengan Jism serta cara beliau menyikapinya dalam artikel diatas
Selanjutnya saya tidak akan melakukan approval terhadap koment yang tidak terkait langsung dengan artikel diatas. karena yang disampaikan oleh masing-masing pihak sudah cukup. Terimakasih atas partisipasi aktif mas Dianth dan peserta yang lain.

hamba yg dho'ifJune 1, 2011 at 11:24 am #
Simpelnya sih begini saja akh. Apakah para sahabat ada yg mengatakan, “Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah…?”
Percuma debat melemparkan pendapat ulama ini dan itu, ga akan kelar2. Kita kembalikan saja pada pendapat sahabat.

jalalJune 3, 2011 at 3:11 am #
@hamba yg dho’if: siapakah sahabat yg anda maksud tsb? mohon ditulis riwayat dan sumber rujukannya. jazakallah.

DianthJune 7, 2011 at 11:06 am #
Bukan sahabat Mas, tetapi Al Qur an dan Sunnah.
“… Ingatlah, bahwa sesungguhnya DIA maha meliputi segala sesuatu” (QS 41:54)
“Dan Kepunyaannya Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap disitulah wajah Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui” (QS 2:115)
“Dan apabila hamba-hambaku bertanya kepadamu tentang Aku maka (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat …” (QS 2 : 186)
“… Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya” (QS 50:16)
“Allah bersamamu dimanapun kamu berada …” (QS Al-Hadid : 4)
Rasulullah bersabda: “Allah ada pada azal (Ada tanpa permulaan) dan belum ada sesuatupun selain-Nya”. (H.R. al-Bukhari, al-Bayhaqi dan Ibn al-Jarud)
Makna hadits ini bahwa Allah ada pada azal (keberadaan tanpa permulaan), tidak ada sesuatu (selain-Nya) bersama-Nya. Pada azal belum ada angin, cahaya, kegelapan, ‘arsy, langit, manusia, jin, malaikat, waktu, tempat dan arah. Maka berarti Allah ada sebelum terciptanya tempat dan arah, maka Ia tidak membutuhkan kepada keduanya dan Ia tidak berubah dari semula, yakni tetap ada tanpa tempat dan arah, karena berubah adalah ciri dari sesuatu yang baru (makhluk).

DianthJune 7, 2011 at 10:58 am #
Wah wah pada rame…
susah saya jawab semuanya.
@AbdulSyukur
“Dianth : Anda bisa baca Tafsir Ibnu Katsir Surat AdzDzaariyaat ayat 47
Makna Lafadz ا بِأَيْدٍ (dengan Tangan ) adalah kekuatan. Yang mengatakan seperti ini adalah Ibnu abbas, mujahid, qatadah, atsauri dan selainnya”

AS:
Sebelumnya bilang YADUN sekarang ganti بِأَيْدٍ …lain kali hati-hati ya kalau menukil, yang dibahas Ibnu Katsir Adz-Dzariyat:47, sedangkan yang dibahas Pak Puji Shad:75 dan saya juga sudah mengutip penjelasan dari Imam Tirmidzi terkait dengan penciptaan Adam.

Insya Allah saya tidak ada masalah dengan tafsir Adz-Dzariyat:47 karena memang Bi Ayyid = Kekuasaan
Buat antum coba bawakan tafsir Ulama Salaf mengenai Shad: 75 (saya sudah bawakan penjelasannya Imam Tirmidzi)…silahkan
Kata Dianth : wah saya saya salah nukil seharusnya memang bukan ‘yadun’ yang ditafsirkan oleh Ibnu Abbas, tapi kata bi ayyid, Adz-Dzariyat:47. secara zhahir artinya adalah tangan juga kan?
As-Shahrastani di dalam kitab Milal Wa Nihal:
إن الأئمة مالكا والشافعي وأحمد قالوا : من حرك يده عند قراءة قوله تعالى ( لما خلقت بيدي ) وأشار بإصبعه عند رواية قلب المؤمن بين أصابع الرحنالحديث وجب قطع يده وقطع أصبعه
Sesungguhnya imam-imam, Malik, Syafie dan Ahmad berkata : Sesiapa yang menggerakkan tangannya ketika membaca firman Allah Ta’ala (ayat 75 surah mujadilah) dan mengisyaratkan jarinya ketika membaca riwayat “Hati manusia di antara jari-jari Allah”- Al-Hadis, wajib dipotong tangan dan jarinya. (Di naqalkan daripada kitab syarah jauharatul tauhid bagi Imam Al-Bajuri mukasurat 166).
Ada riwayat ini menunjukkan bahwa kata tangan dan jari tidak bisa ditafsirkan secara hakiki kepada Allah sebagaimana pemahaman zhahir kita terhadap tangan dan jari, sebab pemahaman zhahir kita adalah berdasrkan pemahaman akal kita yang memahaminya berdasarkan apa yang ada pada mahluk.

adapun penjelasan dari Imam Tirmidzi terkait dengan penciptaan Adam. tidak menjelaskan bahwa Imam memaknainya dengan makna zhahir yang berarti Allah mempunyai tangan,
“riwayat-riwayat tersebut semuanya shahih dan wajib di imani serta tidak boleh dipertanyakan bagaimana hakikat shifat tersebut”.
“sebagaimana telah driwayatkan tanpa mengatakan bagaimana hakikatnya, demikian lah perkataan para Ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah”.

Ini semua adalah bentuk takwil ijmali atau tafwidh, kenapa anda memahaminya sebagai harus diartikan kepada makna zhahir?
“kemudian mereka MENTA’WILKAN ayat-ayat yang memuat shifat-shifat Allah seperti TANGAN, PENDENGARAN, PENGLIHATAN dan menafsirkannya tidak seperti penafsiran para Ulama, mereka berkata: Sesungguhnya Allah Tidak Menciptakan Adam dengan Tangan-Nya dan arti dari Tangan adalah Kekuatan”
Asy ariyah tidak menakwilkan pendengaran dan penglihatan, tapi menakwilkan kata tangan.
Asy ariyah beriman dan menetapkan sebagaimana datangnya ayat Al Quran yaitu Adam diciptakan oleh kedua TanganNya, namun asy ariyah memberikan penjelasan/tafsir dengan menakwilnya.
Adapun pengingkaran Imam Tirmizi ini adalah karena jahmiyah melakukan tha’til kepada bahasa Al Qur’an dan mengingkari kalimat yang dipakai oleh Allah dalam Al Qur’ an, lalu menggantinya langsung kepada makna yang dikehendakinya.

AS: Oh itu makna Zhahir yang antum maksud, kalau gitu pemahaman antum dan saya berbeda…Makna Zhahir yang saya maksud adalah Zhahir Ayat saja…gak repot mikirin apakah hal itu organ tubuh atau bukan dll karena Allah Tidak Memberitahukannya dan Nabi Tidak menjelaskannya….Tidak Ada satupun yang menyerupainya
Dianth : perkataan anda tidak sesuai kenyataan, nyatanya golongan anda menjelaskan bahwa “manusia punya tangan, monyet punya tangan, hakikat tangan monyet beda dengan tangan manusi, apalagi tangan Allah”. Ini adalah sebuah pikiran untuk membedakan bentuk, dan anda telah memberikan kafiyatnya kepada Allah. Lagi pula anda menerima kursi Allah tempat untuk menyandarkan kaki Allah. Yang jelas kalau anda bermaksud begitu, anda bersikap tafwidh… tapi sepertinya tidak, karena anda memahami tangan sebagaimana yang anda pahami selama ini, kalau maksud tangan adalah bukan yang anda pahami ini barulah tafwidh.
AS: JAHMIYAH hanya mengingkari Sifat Allah mas, tidak sampai kepada mengingkari ayat, mereka mena’wilkan Sifat-Sifat Allah tersebut sesuai dengan nafsunya.
Contohnya Tangan = Kekuasaan
Dianth: Kata-kata ‘Sesungguhnya Allah Tidak Menciptakan Adam dengan Tangan-Nya’ itu adalah bentuk tha’til pada bahasa berbeda dengan Asy ariyah yang tetap mengatakan Allah Menciptakan Adam dengan Tangan-Nya sebagaimana datangnya ayat.
AS: Kayaknya gak gitu deh, sudah jelas JAHMIYAH mena’wilkan Tangan menjadi Kekuasaan. Pena’wilan yang dilakukan JAHMIYAH dalam rangka Meniadakan Sifat Allah/Tidak Menerima Sifat Allah
Dianth : Asy ariyah besa mas dengan jahmiyah, Pena’wilan yang dilakukan Asy ariyah dalam rangka tanzih dan meniadakan tajsim pada Allah.
AS :Jadi fokus pada Ulama Salaf, dan konsekuensinya bawakan penjelasan Ulama Salaf…
Dianth : saya sudah jelaskan penjelasan ulama salaf yang anda nukil yaitu Imam Tirmizi.
AS: Ya saya bangga karena punya bukti sesuai dengan Klaim saya…lalu Mana bukti Klaim antum?….GAK PUNYA YAH….Ya ampun….
kalau sebelumnya sudah NGOTOT MENGKLAIM bahwa Syaikh Al-Jilani menetapkan Allah Ada Tanpa Tempat dan Arah kemudian saat ditanya buktinya…gak bisa bawain bukti itu namanya ASAL-ASALAN, dan apakah antum tidak merasa sedang memfitnah Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani kah?….atau bagi antum Fitnah bisa mendatangkan keridhoan/Rahmat Allah sehingga antum Ikhlas memfitnah Syaikh Al-Jilani?
Hanya antum yang bisa menjelaskannya :)
Dianth : Siapa yang fitnah mas….? pikiran antum hanya kotor nya aja pada kelompok diluar antum… istighfar mas.
Penjelasan saya adalah tentang sanad. dan sanad adalah bukti shahih. Adapun penjelasan Syekh Abdul Qodir itu tidak menunjukkan makna zhahir bagi saya, hanya beliau menolak takwil Asy ariyah, ini adalah masalah ijtihad semata-mata.
“Hendaklah diterima Sifat Istiwa secara mutlak tanpa Ta’wil”
“Dan sesungguhnya Dia beristiwa secara Zat di atas arasy
Dan bukan bermakna secara duduk dan bersentuhan”

‘Sebaliknya yang diterima daripada mereka menunjukkan bahwa ia (Istiwa’) di fahami secara mutlak”.
Syekh mengingkari takwil, tapi tidak menetapkan arah dan tajsim. adapun kalimat secara Zat di atas arasy adalah perkataan yang perlu penjelasan lebih lanjut.
Adapun kaum seperti Syekh, sebagaimana kita ketahui berkeyakinan Allah ada tanpa tempat dan arah.

Ini adalah perbedaan pendapat.
Lalu mengapa pula anda melarang saya berpendapat dengan pendapat khalaf ? bukankah anda melarang saya berpendapat dengan pendapat khalaf ? sebenarnya yang asal-asalan siapa sih. ini namanya tidak konsisten.
sebagaimana tidak konsistennya kelompok antum yang mencela takwil asy ariyah pada sifat-sifat wajah, tangan, turun, bersemayam dll, tapi mereka sendiri melakukan takwil pada ayat
“Bahawasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka.” (al-Fath 48: 10)

juga
“ingatlah, bahwa sesungguhnya Dia meliputi segala sesuatu.” (Al Fushilat:54 )
Maka sesungguhnya meskipun ulama salaf dan khalaf berbeda persepsi dan pandangan dalam masalah ini maka dalam masalah takwil ini tidak ada yabg berhak mengklaim sebagai kelompoknya adalah jalan kebenaran, sedangkan kelompok lainnya adalah sesat dan menyimpang.
Adapun masalah tasybih dan tajsim, sebagaimana riwayat yang antum nukilkan pula dan ayat tentang ayat-ayat mutasyabihat, maka jelaslah bahwa sifat-sifat Allah yang berindikasi tajsim harus ditakwil dengan takwil ijmali atau takwil tafsili. Sedangkan sifat-sifat maknawi maka kita tetapkan sebagaimana yang kita pahami.
Maka Zat Allah bukanlah seperti zat yang diciptakan olehNya.
“Tidaklah ada yang serupa denganNya sesuatu apapun”,
Ini adalah tanzih, dan yang tanzih adalah zatNya, maka Zat Allah berbeda dengan zat mahluk.
oleh karena itu Allah bukan jisim, bukan materi, atau apapun juga yang merupakan zat mahluk.

Maka Zat Allah bukanlah seperti zat yang diciptakan olehNya.
Bukankah kita tidak bisa memahami Zat Allah, bahkan dilarang untuk memikirkannya. Maka segala yang disandarkan kepada Zat Allah, seperti kaki, tangan, wajah bukanlah untuk kita pahami pada Zat Allah sebagaimana kita memahami zat mahluk (bukankah bila kita mengatakan Allah punya kaki, punya tangan, punya wajah maka kita telah memahami Zat Allah sebagaimana zat mahluk? kalau Zat Allah tidak bisa kita pikirkan dan pahami, maka mengapa kita memberikan sifat-sifat zat mahluk sebagaimana yang kita ketahui kepada Allah ?), tetapi sebagai ujian buat keimanan kita.

“Dan sesungguhnya Allah itu satu bukan dari segi hitungan, tapi dari segi bahwa tidak ada sekutu bagi-Nya. Dia tidak melahirkan dan tidak dilahirkan, tidak ada suatu apapun yang meyerupai-Nya. Dia bukan benda, dan tidak disifati dengan sifat-sifat benda. Dia tidak memiliki batasan (tidak memiliki bentuk; artinya bukan benda), Dia tidak memiliki keserupaan, Dia tidak ada yang dapat menentang-Nya, Dia tidak ada yang sama dengan-Nya, Dia tidak menyerupai suatu apapun dari makhluk-Nya, dan tidak ada suatu apapun dari makhluk-Nya yang menyerupainya”
Lihat al-Fiqh al-Akbar dengan Syarh-nya karya Mulla ‘Ali al-Qari’, h. 30-31
Ini adalah ucapan Imam hanafi tentang zat Allah. maka resapilah.

dan Ia Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. (QS.Asy Syura : 11).
Ini adalah sifat maknawi. ini adalah bentuk tasybih. maka sifat-sifat maknawi Allah serupa sifat-sifat maknawi manusia namun tidaklah sama. maka kita menetapkan sifat ini, yang telah ditetapkan Allah sebagai sifatNya.
Dan sifat-sifat seperti ini sebagaimana asmaul husna, nama-namaNya, justru kita dianjurkan untuk mempelajari dan memahaminya.


Abu BakrJune 26, 2011 at 2:41 am #
dobdob: “Siapa anda yang menyatakan istiwa jika dimaknai sesuai Dzohirnya tanpa memberikan kaifiat adalah satu sifat yang tidak layak? gegabah sekali anda. siapa yang memastikan istiwa itu adalah posisi duduk seperti anda duduk? saya menyarankan anda membaca tulisan saya tentang makna Istiwa.”
Saya kira orang-orang Kullabi dari zaman dahulu hingga sekarang (kecuali yang dirahmati Allah) selalu dan akan selalu beranggapan bahwa setiap apa yang diucapkan oleh “Wahhabi” adalah bermakna dhahir yang mana imbasnya mereka akan selalu berpikiran bahwa setiap pembahasan Asma wa Shifat yang dilakukan “Wahhabi” akan selalu masuk ranah tajsim, padahal merekalah yang melakukan tajsim dengan mengatakan bahwa bersemayam = duduk, hanya saja mereka bingung lalu mengarahkan telunjuknya kepada “Wahhabi”.
Lebih baik sebenarnya orang-orang Asy’ari Maturidi menyelidiki satu-satunya riwayat yang menyatakan “Allah ada tanpa tempat” yang terdapat pada kitab karya Abu Manshur al-Baghdadi yang berjudul al-Farq Bayn al-Firaq yang mana riwayat itu disandarkan kepada al-Imam ‘Aliy ibn Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu… apakah riwayat tersebut ada sanadnya ataukah hanya “Katanya”
Hadanallah Wa Iyyakum.

AbdullahJanuary 11, 2012 at 2:34 pm #
PARA PENGINGKAR SIFAT MENUDUH AHLUS SUNNAH DENGAN SEBUTAN MUSYABBIHAH/MUJASSIMAH
Abu Hatim Ar-Razi berkata: Tanda ahli bid’ah adalah mencela ahli atsar. Dan tanda Jahmiyyah adalah menggelari ahli sunnah dengan MUSYABBIHAH (menyerupakan Allah dengan makhluk-pen). [Syarh Ushul I’tiqad Ahli Sunnah wal Jama’ah Al-Lalikai 1/204, Dzammul Kalam al-Harawi 4/390, dan Aqidah Ashabul Hadits oleh Abu Utsman Ismail Ashabuni]

……
yang langsung ke point aja akh….ini kan kaya blog dalam blog..

AntoJanuary 16, 2012 at 1:54 pm #
Imam Ahmad bin Hanbal telah menepis dan membongkar kerusakan faham yg mengatakan Allah ada di mana-mana dalam kitabnya “Ar-Rad ‘ala Al-Jahmiyyah” hal. 53, beliau mengatakan: “Apabila engkau ingin mengetahui kedustaan kaum Jahmiyyah tatkala mengatakan bahwa Allah dimana-mana dan tidak berada di satu tempat, maka katakanlah padanya: “Bukankah dahulu hanya Allah saja dan tidak ada sesuatu lainnya?” Dia akan menjawab: “Benar” Lalu katakanlah padanya lagi: “Tatkala Allah menciptakan sesuatu, apakah Dia menciptakannya pada diri-Nya ataukah diluar dari diri-Nya?” Jawaban dia tidak akan keluar dari tiga hal:
1. Apabila dia menyangka bahwa Allah menciptakan makhluk pada diri-Nya, maka ini merupakan kekufuran karena dia telah menganggap bahwa Jin, manusia, syetan dan iblis pada diri Allah!
2. Apabila dia mengatakan: Allah menciptakan mereka di luar diri-Nya kemudian Allah masuk pada mereka, maka ini juga kekufuran karena dia menganggap bahwa Allah berada di setiap tempat yang menjijikkan dan kotor!
3. Apabila dia mengatakan: Allah menciptakan mereka di luar dari diri-Nya kemudian Allah tidak masuk pada mereka, maka ini adalah pendapat Ahlus Sunnah wal Jama’ah”.

Muqaddimah Mukhtasar Al-‘Uluw hal. 70-71 Adz-Dzahabi :
I. Apabila yang maksud “tempat” adalah yang tersirat dalam benak fikiran kita yaitu setiap yang meliputi dan membatasi seperti langit, bumi, kursi, arsy dan sebagainya maka benar hal itu mustahil bagi Allah karena Allah tidak mungkin dibatasi dan diliputi oleh makhluk, bahkan Dia lebih besar dan agung, bahkan kursi-Nya saja meliputi langit dan bumi. Allah berfirman:
Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha Suci Tuhan dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan. (QS. Az-Zumar: 67).
Dan telah shahih dalam Bukhari (6519) dan Muslim (7050) dari Nabi bahwa beliau bersabda:
Allah menggenggam bumi dan melipat langit dengan tangan kanan-Nya kemudian berfirman: “Saya adalah Raja, manakah raja-raja bumi?”
II. Adapun apabila maksud “tempat” adalah sesuatu yang tidak meliputi yakni di luar alam semesta, maka Allah di luar alam semesta sebagaimana keberadaan-Nya sebelum menciptakan makhluk.
Jadi, Allah di tempat yang bermakna kedua ini bukan makna pertama


muslimmuwahhidmujahidMay 29, 2015 at 9:12 pm #
Subhaanaka Allahumma wa bihamdika astaghfiruka wa atuubu ilaiik,,,