Oleh
Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, MA
Penindasan dan kehinaan yang diderita oleh umat Islam saat ini,
menjadikan sebagian umat Islam menyerukan agar diadakan konsolidasi antar semua
aliran yang ada. Hanya saja, seruan tersebut sering kali kurang direncanakan
dengan baik, sehingga tidak menghasilkan apapun. Di antara upaya konsolidasi
dan merapatkan barisan yang terbukti tidak efektif ialah upaya merapatkan
barisan Ahlus Sunnah dengan sekte Syi’ah, dengan menutup mata dari berbagai
penyelewengan sekte Syi’ah. Konsolidasi semacam ini bukannya memperkuat barisan
umat Islam, namun bahkan sebaliknya, meruntuhkan seluruh keberhasilan yang
telah dicapai umat Islam selama ini. Karena itu, melalui tulisan ringkas ini,
saya ingin sedikit menyibak tabir yang menyelimuti sekte Syi’ah. Dengan
harapan, kita semua dapat menilai, benarkah Ahlus sunnah memerlukan konsolidasi
dengan mereka?
PANDANGAN AKIDAH AHLUS SUNNAH & KEYAKINAN SYI’AH TENTANG
ALLAH AZZA WA JALLA
Sebagai seorang Muslim, Anda pasti beriman bahwa sesembahan Anda hanyalah Allah
Azza wa Jalla. Dialah Pencipta langit dan bumi beserta seluruh isinya, dan Dia
pula yang mengatur semuanya. Demikianlah keyakinan umat Islam secara umum dan
syari’at dalam al-Qur’ân:
اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَمِنَ الْأَرْضِ
مِثْلَهُنَّ يَتَنَزَّلُ الْأَمْرُ بَيْنَهُنَّ لِتَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ عَلَىٰ
كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ وَأَنَّ اللَّهَ قَدْ أَحَاطَ بِكُلِّ شَيْءٍ عِلْمًا
Allah-lah yang menciptakan tujuh langit, dan bumi seperti itu pula. Perintah
Allah terus-menerus berlaku di antara alam langit dan alam bumi, agar kamu
mengetahui bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu dan sesungguhnya Allah
ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu. [at-Thalâq/65:12]
Umat Islam meyakini bahwa Allah Azza wa Jalla telah menentukan
takdir seluruh makhluk-Nya, sehingga tidak ada satu kejadian pun kecuali atas
kehendak-Nya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كَتَبَ آللَّهُ مَقَا دِيْرَ الْخَلاََ ئِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ
السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ بِخَمْسِيْنَ أَلْفَ سَنَةِ – قَلَ – وَعَرْ ِثهُ عَلىَ
الْمَاءِ
Allah telah menuliskan takdir seluruh makhluk lima puluh ribu
tahun sebelum Dia menciptakan langit dan bumi, dan ‘Arsy-Nya berada di atas
air. [HR. Muslim]
Pada suatu hari, Sahabat Ubâdah bin Shâmit Radhiyallahu ‘anhu
memberikan petuah kepada putranya dengan mengatakan:
يَا بُنًىَّ إنَّكَ لَنْ تَجِدَ طَعْمَ اْلإِيْمَانِ حَتَّى
تَعْلَمَ أَنَّ مَا لأَصَا بَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَكَ، وَمَا أَخْطَأَكَ لَمْ
يَكُنْ لِيُصِيبَكَ سَمِعْتُ رَسُو لَ اللَّهُ صَلىَاللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَم
يَقُلُ : (إِنَّ أَوَّلَ مَا خَلَقَ آللَّهُ الْقَلَمَ، فَقَالَ لَهُ اكيُبْ،
قَالَ:رَبِّ وَمَاذَا أَكْتُبُ؟ قاَلَ:اكتُبْ مَقَا دِيْرَ كُلَّ شَىْءِ حَتَّى
تَقُومَ السَّا عَةُ) يَا بُنَىَّ إِنِّى سَمِعْتُ رَسُو لَ اللَّهُ صَلىَاللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَم يَقُلُ (مَنْ مَاتَ عَلَى غَيْرِ هَذَا فَلَيْسَ مِنِّي)
Wahai anakku!, sesungguhnya engkau tidak akan dapat merasakan
manisnya iman hingga engkau percaya bahwa sesuatu yang (ditakdirkan) menimpamu,
tidak mungkin meleset darimu. Sebaliknya, sesuatu yang ditakdirkan luput
darimu, tidak mungkin menimpamu. Aku mendengar Rasulullâh bersabda,
“Sesungguhnya pertama kali Allah menciptakan al-Qalam (Pena), Ia berfirman
kepadanya, “Tulislah”. Mendengar perintah itu, al-Qalam berkata, “wahai Rabbku,
apa yang harus aku tulis? Allah berfirman, “Tulislah takdir segala sesuatu
hingga Kiamat tiba”. (Lalu Sahabat Ubâdah bin Shâmit melanjutkan petuahnya
dengan berkata), “Wahai anakku! aku telah mendengar Rasulullâh bersabda,”Barang
siapa mati di atas keyakinan menyelisihi keyakinan ini, maka ia tidak termasuk
dari golonganku”. [HR. Abu Dâwud]
Demikianlah sekelumit tentang akidah umat Islam tentang Allah
Azza wa Jalla. Akan tetapi, tahukah Anda apa ideologi sekte Syi’ah ? Simaklah
ideologi mereka dari riwayat yang termaktub dalam kitab terpercaya mereka,
yaitu Al-Kâfi karya al-Kulaini :
Abu Hâsyim al-Ja’fari menuturkan, “Pada suatu hari aku
berkunjung ke rumah Abul Hasan (Ali bin Muhammad-pen) ‘alaihissalâm sepeninggal
putranya Abu Ja’far (Muhammad-pen). Kala itu aku berencana mengatakan, “Seakan
kejadian yang menimpa Abu Ja’far dan Abu Muhammad (al-Hasan bin Ali ) pada saat
ini serupa dengan yang dialami oleh Abul Hasan Mûsa dan Ismâîl putra Ja’far bin
Muhammad ‘alaihimussalâm. Kisah keduanya (Ali dan Muhammad bin Muhammad) serupa
dengan kisah keduanya (Mûsa dan Ismâîl bin Ja’far), dikarenakan Abu Muhammad
al-Murji menjadi imam sepeninggal Abu Ja’far ‘alaihissalâm. Tiba-tiba Abul
Hasan menatapku sebelum aku sempat mengucapkan sepatah katapun, lalu ia
berkata, “Benar, wahai Abu Hâsyim, Allah memiliki pendapat baru tentang Abu
Muhammad sepeninggal Abu Ja’far yang sebelumnya tidak Dia ketahui. Sebagaimana
sebelumnya muncul pendapat baru pada Mûsa (bin Ja’far) sepeninggal Ismâîl (bin
Ja’far) suatu pendapat baru yang selaras dengan keadaannya. Kejadian ini
sebagaimana yang terbetik dalam jiwamu, walaupun orang-orang yang sesat tidak
menyukainya.” [1]
Demikianlah Saudaraku! sekte Syi’ah meyakini adanya perubahan
pada pengetahuan dan kehendak Allah Azza wa Jalla, sehingga dia berubah
pendapat dan keinginan karena terjadi sesuatu yang di luar pengetahuan dan
kehendak-Nya.
Menurut hemat Anda, mungkinkah seorang Muslim memiliki keyakini
semacam ini?!
NABI MUHAMMAD VERSI AHLUS SUNNAH & SYI’AH
Saudaraku! Anda pasti mengetahui bahwa syarat utama untuk menjadi seorang
Muslim ialah mengucapkan dua kalimat syahadat. Ikrar bahwa sesembahan Anda
hanya Allah Azza wa Jalla dan Muhammad bin ‘Abdillâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam adalah utusan Allah Azza wa Jalla. Dan di antara konsekuensi dari
persaksian bahwa beliau adalah utusan Allah Azza wa Jalla ialah meyakini bahwa
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyampaikan seluruh wahyu Allah
Azza wa Jalla kepada umatnya.
Oleh karena itu, pada saat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
berkhutbah di Padang Arafah, beliau bertanya tentang hal ini kepada para
Sahabat:
أَنْتُمْ تُسْأَلُونَ عَنِّى فَمَا أَنْتُمْ قَائِلُونَ؟
Kalian pasti akan ditanya tentang aku, maka apa yang akan kalian
katakan? Simaklah jawaban umat Islam yang menghadiri khutbah beliau ini:
قَالُوا : نَِْشْهَدُ أَنَّكَ قَدْ بَلَغْتَ وَأَدَّيْتَ وَنَصَحْتَ
فَقَالَ بإِصْبَعِهِ السَّبَّابَةِ يَرْ فَعُهَا إِلَى السَّمَاءِ وَيَنْكُتُهَا
إِلَى النَّاسِ : (اللَّهُمَّ اشْهَدِ اللَّهُمَّ اشْهَدْ) ثَلاَثَ مَرَّاتِ رواه
مسلم
Para Sahabat menjawab, “Kami bersaksi bahwa engkau telah
menyampaikan, menunaikan dan mengemban risâlah dengan sempurna tanpa ada
sedikit pun campuran. Lalu beliau mengisyaratkan dengan telunjuknya ke arah
langit lalu menunjuk ke arah para Sahabat seraya berdoa, “Ya Allah,
persaksikanlah, Ya Allah persaksikanlah (sebanyak tiga kali).” [HR.Muslim]
Saya yakin, Anda dan juga seluruh umat Islam di seantero dunia
pun demikian, bersaksi bahwa beliau telah sepenuhnya menunaikan amanah,
menegakkan agama dan menyampaikan seluruh wahyu Allah Azza wa Jalla kepada
umatnya.
Akan tetapi, tahukah Anda, apa kira-kira sikap dan keyakinan
sekte Syi’ah? Anda ingin tahu? Temukan jawabannya pada pengakuan tokoh
revolusioner mereka, yaitu al-Khomaini berikut ini:
لَقَدْ أَثبَتْنَا فِى بِدَايَةِ هَدِاالْحَد ِيْثِ بِأَنَّ
النَّبِيِّ أحْجَمَ عَنِ التَّطَرُّقِ إِلَى اْلإِمَامَةِ فِيْ الْقُرْآنِِ،
لِخَشيَتِهِ أَنْ يُصَا بَ الْقُرآبُ بِا لتَّحْرِيْفِ، أَوْ أَنْ تَشْتَدَّ
الْخِلاَفَاتُ بَيْنَ الْمُسْلِمِيْنَ، فَيُؤَثِّرُ ذَلِكَ عَلَى اْلإِسْلاَمِ
Telah kami buktikan pada awal pembahasan ini, bahwa Nabi menahan
diri dari membicarakan masalah imâmah (kepemimpinan) dalam al-Qur’ân; [2]
karena beliau khawatir al-Qur’ân akan diselewengkan, atau timbul perselisihan
yang sengit di tengah-tengah kaum Muslimin, sehingga hal itu berakibat buruk
bagi masa depan agama Islam.” [3]
Al-Khomaini belum merasa cukup dengan menuduh Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam merasa gentar untuk menyampaikan ayat-ayat imâmah kepada
umatnya. Lebih jauh, dengan tanpa merasa bersalah, al-Khomaini menuduh Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai penyebab terjadinya seluruh perpecahan
dan peperangan yang terjadi di tengah-tengah umat Islam sepeninggal beliau:
وَوَاضِحٌ بِأَنَّ النَّبِيَّ لَوْ كَانَ قَدْ بَلَغَ بِأَمْرِ
اْلإِمَامَةِ طَبَقًا لِِمَا أَمَرَ بِهِ اللَّهُ، وَبَذَلَ الْمَسَا عِيَ فِيْ
هَذَا الْمَجَالِ، لَمَا نَشَبَتْ فِيْ اْلبُلدَانِ اْلإِسْلاَمِيَّةِ كُلُّ
هَذِهِ اْلإِخْتِلاَفَاتِ وَالْمُشَا حَنَاتِ وَالْمَعَارِكِ، وَلَمَا ظَهَرَتْ
ثَمَّةَ خِلاَفَاتٌ فِيْ أُصُوْلِ الدِّيْنِ وَفُرُوْ عِهِ
Sangat jelas bahwa andai Nabi telah menyampaikanperihal imâmah (kepemimpinan),
sebagaimana yang diperintahkan Allah kepadanya, dan ia benar-benar mengerahkan
segala upayanya dalam urusan ini, niscaya tidak akan pernah terjadi berbagai
perselisihan,persengketaan dan peperangan ini di seluruh belahan negeri Islam.
Sebagaimana di sana tidak akan muncul perselisihan dalam hal ushûl (prinsip)
dan juga cabang furû’ (cabang) agama.” [4]
Mungkin Anda berkata, “Ah ini hanya salah tulis al-Khomaini
saja, dan tidak mewakili ideologi kaum Syi’ah.”
Tunggu sejenak Saudara! Coba Anda bandingkan ucapan al-Khomaini
di atas dengan dua riwayat berikut:
Al-Kulaini meriwayatkan bahwa Imam Abu ‘Abdillâh Ja’far
Ash-Shâdiq, menyatakan:
لَوْ لاَ نَحْنُ مَا عُبِدَ آللَّهُ
Andai bukan karena kami, niscaya Allah tidak akan pernah
diibadahi. [5]
Mufti sekte Syi’ah pada abad ke-11 H, yang bernama al-Majlisi
menambahkan riwayat di atas menjadi:
لَوْ لاَ هُمْ، مَا عُرِفَ آللَّهُ وَلاَ يَدْرِيْ كَيْفَ يَعْبُدُ
الرَّ حْمَنَ
Andai bukan karena para imam, niscaya Allah tidak akan dikenal,
dan tidak akan ada yang tahu bagaimana beribadah kepada Ar-Rahmân (Allah). [6]
Apa perasaan dan pendapat Anda setelah membaca dua riwayat yang
termaktub dalam dua referensi terpercaya umat Syi’ah ini?
Berdasarkan kedua riwayat ini, kira-kira apa peranan dan jasa
Nabi Muhammad menurut sekte Syi’ah? Mereka meyakini bahwa hingga sepeninggal
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, umat manusia belum juga mengetahui
bagaimana harus beribadah kepada Allah Azza wa Jalla. Kalaulah bukan karena
jasa para imam umat Syi’ah, maka tidak ada manusia yang bisa shalat, puasa,
zakat, haji dan lainnya. Saudaraku! sebagai seorang Mukmin, dapatkah batin Anda
menerima tuduhan keji sekte Syi’ah ini kepada Nabi Anda?
Coba sekali lagi Anda bandingkan kedua riwayat ini dengan ucapan
al-Khomaini di atas. Al-Khumaini beranggapan bahwa Nabi Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam sumber petaka yang menimpa umat ini. Berbagai persengketaan,
pertumpahan darah dan perselisihan yang terjadi di tengah-tengah umat berawal
dari kegagalan beliau dalam menyampaikan wahyu Allah Azza wa Jalla, terutama
yang berkaitan dengan “alimâmah” (kepemimpinan).
Perkenankan saya bertanya, “Menurut hemat Anda, apakah kedua
riwayat dan juga ucapan al-Khomaini di atas mencerminkan syahadat “Muhammad
Rasulullâh” ? Sebagai seorang Muslim yang bersaksi bahwa Muhammad bin `Abdullâh
adalah Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, apa perasaan Anda membaca
kedua riwayat dan ucapan al-Khomaini di atas ? Kuasakah Anda untuk menutup mata
dan telinga dari fakta ini, lalu Anda bergandengan tangan dengan orang-orang
yang meyakini demikian itu tentang Nabi Anda?
SAHABAT DALAM AKIDAH AHLU SUNNAH & KEBENCIAN SYI’AH
Saudaraku, bila Anda mencermati sejarah para nabi dan umatnya, niscaya Anda
dapatkan bahwa Sahabat setiap nabi adalah orang-orang pilihan dan generasi
terbaik dari umat nabi tersebut. Kesimpulan Anda ini benar adanya dan selaras
dengan sabda Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
مَا مِنْ نَبِيِّ بَعَثَهُ اللَّهُ فِى أُمَّةٍ قَبْلِى إِلاَّ
كَانَ لَهُ مِنْ أُمَّتِهِ حَوَارِيُّونَ وَأَصْحَابٌ يَأْ خُذُونَ بِسُنَّيِهِ
وَيَقْتَدُونَ بِأَمْرِهِ ثُمَّ إِنَّهَا تَخْلُفُ مِنْ بَعدِ هِمْ خُلُو فٌ يَقُو
لُنَ مَا لاَ يَفْعَلُونَ وَيَفَعَلُونَ مَا لاَ يُؤْ مَرُو نَ
Tidaklah ada seorang nabi pun yang diutus kepada suatu umat
sebelumku, kecuali ia memiliki para pendamping dan sahabat setia, yang
senantiasa mengikuti ajarannya dan berpedoman dengan perintahnya. Sepeninggal
mereka, datanglah suatu generasi yang biasa mengatakan sesuatu yang tidak
mereka perbuat, serta melakukan sesuatu yang tidak diperintahkan. [HR. Muslim]
Demikian pula halnya dengan Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, Sahabat beliau adalah generasi terbaik dari umat Islam. Allah Azza wa
Jalla berfirman:
كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ
بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ ۗ وَلَوْ
آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُم ۚ مِّنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ
وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ
Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh
kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar serta beriman kepada
Allah.[Ali Imrân/3:110]
Saya yakin, Anda pun meyakini bahwa generasi pertama dari umat
Islam yaitu para Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah generasi
terbaik dari umat Islam. Bukankah demikian, Saudaraku !
Akan tetapi, tahukah Anda, siapakah Sahabat Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam di mata umat Syi’ah? Anda ingin tahu, silahkan simak
riwayat-riwayat mereka berikut:
عَنْ سُديْرٍ عَنْ أَبِيْ جَعْفَرٍ عَلَيْهِ السَّلاَمُ قَالَ :
كَانَ النَّاسُ أَهْلَ رِدَّةٍ بَعْدَ النَّبِيِّ صَلَّى ا للَّهُ عَلَيْهِ
وَألِهِ سَنَةً، إِلاَّ ثَلاَثَةٌ : فَقُلْتُ : وَ مَنْ الثَّلاَثَةُ ؟ فَقَالَ :
الْمِقْدَادُ بْنُ اْللأَسْوَدُ وَ أَبُوْ ذَرٍّ الْغِفَارِيْ وَ سَلْمَانَ الْفَا
رِسِيُّ، وَقَالَ : هَؤُلاَءِ الَّذِيْنِ دَارَتْ عَلَيْهِمُ الرَّحَى وَأَبَؤْا
أَنْ يُبَا يِعُوْا حَتَّى جَاؤُوْا بِأَمِيْرِ الْمُؤْ مِنِيْنَ مُكرَهًا فَبَا
يَعَ
Dari Sudair, ia meriwayatkan dari Abu Ja’far (Muhammad bin Ali
bin al-Husain) ‘alaihissalâm, “Dahulu sepeninggal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam seluruh manusia murtad selama satu tahun, kecuali tiga orang. As-Sudair
pun bertanya, “Siapakah ketiga orang tersebut?”dia menjawab, al-Miqdâd bin
al-Aswad, Abu Dzar al-Ghifâri, dan Salmân al-Fârisi, lalu beliau berkata,
“Mereka itulah orang-orang yang tetap kokoh dengan pendiriannya dan enggan
untuk membaiat (Abu Bakar As-Shiddîq-pen) hingga didatangkan Amirul Mukminin
(Ali bin Abi Thâlib) alaihissalâm dalam keadaan terpaksa, lalu beliaupun
berbaiat. [7]
Syaikh Mufîd (wafat tahun 413 H) juga meriwayatkan dari Abu
Ja’far (Muhammad bin Ali bin al-Husain) ‘alaihissalâm:
اِرْ تَدَّ النَّا سُ بَعْدَ النَّبِيِّ صَلَّى ا للَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَم وَآلِهِ إِلاَّ ثَلاَثَةُ نَفَرٍ : الْمِقْدَادُ بْنُ اْللأَسْوَدُ وَ
أَبُوْ ذَرٍّ الْغِفَارِيْ وَ سَلْمَانَ الْفَا رِسِيُّ، ثُمَّ إِنَّ النَّا سَ
عَرَفُوْا وَلَحِقُوْا بَعْدُ
Seluruh manusia menjadi murtad sepeninggal Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam kecuali tiga orang, al-Miqdâd bin al-Aswad, Abu Dzar
al-Ghifâri, dan Salmân al-Fârisi. Kemudian setelah itu manusia mulai menyadari,
dan kembali masuk Islam.” [8]
Dalam riwayat lain, mereka menambah jumlah yang tetap
mempertahankan keislamannya menjadi empat orang:
Mereka meriwayatkan dari Abu Ja’far, bahwa ia berkata:
إِنَّ رَسُوْ لَاللََّهِ صَلَّى ا للَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ لَمَّا
قُبِضَ، صَارَالنَّاسُ كُلُّهُمْ أَهْلَ جَا هِلِيَّةٍ إِلاَّ أَرْبَعَةُ :
عَلِيٌّ والْمِقْدَادُ وَسَلْمَانُ وَأَبُوْذَرٍّ
Sesungguhnya tatkala Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
meninggal dunia,seluruh manusia kembali kepada kehidupan jahiliyah,kecuali
empat orang saja: yaitu Ali, al-Miqdâd, Salmân dan Abu Dzar.” [9]
Saudaraku! Apa perasaan Anda tatkala membaca beberapa contoh
riwayat yang termaktub dalam kitabkitab terpercaya agama Syi’ah di atas?
Saya yakin, batin Anda menjerit, keimanan Anda menjadi berkobar
ketika membaca riwayat-riwayat itu? Betapa tidak, para Sahabat Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam dinyatakan telah murtad, kecuali tiga orang saja.
Saudaraku! Coba tenangkan perasaan Anda, lalu baca kembali
dengan seksama riwayat-riwayat di atas.
Tidakkah Anda mendapatkan hal yang aneh pada kedua riwayat
tersebut ? Pada riwayat tersebut dinyatakan bahwa yang tetap berpegang teguh
dengan keimanan dan keislamannya hanya ada tiga orang. Dan pada riwayat lainnya
dijelaskan maksud dari ketiga orang tersebut, yaitu: Al-Miqdâd bin al-Aswad,
Abu Dzar al-Ghifâri, dan Salmân al-Fârisi.
Bila demikian adanya, lalu bagaimana halnya dengan Ali bin Abi
Thâlib, Fâtimah binti Rasulullâh dan kedua putranya, yaitu al-Hasan dan
al-Husain ? Mungkinkah mereka termasuk yang murtad, karena yang dinyatakan
tetap berpegang dengan keislamannya hanyalah tiga, dan mereka semua tidak
termasuk dari ketiga orang tersebut ?
Demikianlah Saudaraku ! Umat Syi’ah mempropagandakan sebagai
para pencinta Ahlul Bait dan pembela mereka. Akan tetapi, faktanya, mereka
menghinakan Ahlul Bait, bahkan menganggap mereka telah murtad dari Islam. Bila
Anda tidak percaya, silahkan buktikan dan datangkan satu riwayat saja yang
menyebutkan bahwa Ahlul Bait tidak termasuk yang murtad sepeninggal Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saya yakin Anda tidak akan menemukan riwayat
tersebut, walau Anda membaca seluruh kitab Syi’ah.
Apa yang saya paparkan di atas, menjadi alasan bagi Imam ‘Amir
bin Syurahil asy-Sya’bi untuk berkata tentang sekte Syi’ah, “Kaum Yahudi dan
Nasrani memiliki satu kelebihan bila dibandingkan dengan agama Syi’ah. Bila
dikatakan kepada kaum Yahudi, “Siapakah orang terbaik dari penganut agamamu?
Niscaya mereka menjawab, “Tentu para Sahabat Nabi Mûsa. Dan bila dikatakan
kepada kaum Nasrani, “Siapakah orang terbaik dari penganut agamamu? Niscaya
mereka menjawab, “Tentu para Sahabat sekaligus pengikut setia Nabi ‘Isa. Akan
tetapi, bila dikatakan kepada agama Râfidhah (Syi’ah), “Siapa orang terjelek
dari penganut agamamu? Niscaya mereka menjawab, “Tentu para Sahabat sekaligus
pengikut setia Nabi Muhammad.”
Saudaraku! Mungkin Anda bertanya-tanya, “Mengapa para pengikut
agama Syi’ah begitu membenci para Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
terutama ketiga Khulafâ’ur Râsyidin yaitu Abu Bakar, Umar dan Utsmân?
Saudaraku! Benarkah Anda merasa penasaran ingin mengetahui biang kebencian
mereka kepada para Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam? Obatilah rasa
penasaran Anda dengan jawaban seorang pakar yang telah kenyang dengan
pengalaman dalam menghadapi para penganut Syi’ah. Tokoh tersebut adalah Abu
Zur’ah ar-Râzi rahimahullah. Beliau menyampaikan hasil studi dan pengalaman
beliau pada ucapannya berikut, “Bila engkau dapatkan seseorang mencela seorang
Sahabat Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ketahuilah bahwa ia
adalah orang zindîq (kafir yang menampakkan keislaman). Alasannya, karena kami
meyakini bahwa Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pasti benar, dan al-Qur’ân
juga pasti benar. Sedangkan yang menyampaikan al-Qur’ân dan Sunnah Rasulullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah para Sahabat. Dengan demikian,
sesungguhnya orang yang mencela para saksi (perawi) kami (yaitu para Sahabat),
hendak menggugurkan al-Qur’ân dan Sunnah. Karena itu, merekalah yang lebih
layak untuk dicela.” [Riwayat al-Khathîb al-Baghdâdi didalam kitab Al-Kifâyah
Fî ‘Ilmir Riwâyah]
AHLUL BAIT MENURUT AKIDAH ISLAM DAN DONGENG SYI’AH
Ahlul Bait atau karib kerabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki
kedudukan dan keutamaan yang begitu besar. Wasiat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam berikut, cukuplah sebagai bukti akan keutamaan dan kemulian mereka :
(أَمَّا بَعْدُ، أَلاَ أَيُهَا النَّا سُ، فَإِنَّمَا أَنَا
بَشَرُ، يُوْشِكُ أَنْ يَأْتِىَ رَسُوْلُ رَبِّى فَأُجِيْبَ، وَأَنَا تَارِكُ
فِيكُمْ ثَقَلَيْنِ أَوَّ لُهُمَا كِتَابُ اللَّهِ فِيهِ الْهُدَى وَالنُّوْرُ،
فَهُدُوْابِكِتَابِ اللَّهِ وَاسْتَمْسِكُوابِهِ) فَحَثَّ عَلَى كِتِابِ اللّهِ
وَرَغَّبَ فِيْهِ، ثُمَّ قَالَ : (وَأَهْلُ بَيْتِيْ، أُذَكِّرُ كُمُ اللَّهِ فِى
أَهْلِ بَيتِيْ، أُذَكِّرُ كُمُ اللَّهِ فِى أَهْلِ بَيتِي، أُذَكِّرُ كُمُ
اللَّهِ فِى أَهْلِ بَيتِي
Amma ba’du, ketahulilah wahai umat manusia, sesungguhnya aku
adalah manusia biasa, tidak berapa lama lagi akan datang utusan Allah, dan aku
pun memenuhi panggilan-Nya. Aku tinggalkan di tengahtengah kalian dua hal
besar; pada hal pertama terdapat petunjuk dan cahaya. Hendaknya engkau semua
mengamalkan kitab Allah dan berpegang teguh dengannya.” Selanjutnya beliau
menganjurkan umatnya untuk berpegang teguh dengan Kitâbullâh. Selanjutnya
beliau berkata: (Dan juga Ahlu Baiti (keluargaku), aku mengingatkan kalian agar
takut kepada Allah dalam memperlakukan keluargaku, aku mengingatkan kalian agar
takut kepada Allah dalam memperlakukan keluargaku, dan aku mengingatkan kalian
agar takut kepada Allah dalam memperlakukan keluargaku.” [HR. Muslim].
Tidak heran bila Ahlus Sunnah senantiasa mencintai, menghormati
dan mengagungkan karib kerabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagai
buktinya, banyak dari mereka yang menamakan putra-putri mereka dengan nama-nama
Ahlul Bait. Bukan hanya itu, Ahlus Sunnah senantiasa membaca shalawat, baik
bacaan shalawat ketika duduk tahiyat dalam shalat maupun di luar shalat untuk
Ahlul Bait. Bukankah demikian Saudaraku? Tidakkah ini cukup sebagai bukti bahwa
umat Islam mencintai Ahlul Bait?
Tidak heran bila Imam As-Syâfi’i rahimahullah berkata:
إِنَّ كَانَ رَفْضاً حُبُّ آلِ مُحَّمَدش فَلْيَشْهَدِ
الشَّقَلاَنِ أَنِّي رَافِضِي
Andai kecintaan kepada keluarga Nabi Muhammad disebut Râfidhah,
Hendaklah seluruh jin dan manusia bersaksi bahwa aku adalah seorang Râfidhah.
Akan tetapi, benarkan ajaran Râfidhah atau Syi’ah hanya sebatas
mencintai Ahlul Bait? Untuk menjawab pertanyan ini, simaklah riwayat-riwayat
yang mereka imani berikut:
Al-Kulaini dalam kitabnya Al-Kâfi meriwayatkan dari Abu
‘Abdillâh Ja’far Ash-Shadîq :
أَمَا عَلِمْتَ أَنَّ الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةَ لِْلإِمَامِ،
يَضَعُهَا حَيْثَ يَشَاءُ، وَيَدْ فَعُهَا إِلَى مَنْ يَشَاءُ
Tidakkah engkau sadar, bahwa dunia dan akhirat adalah milik sang
imam, sehingga ia bebas meletakkannya sesuai dengan kehendaknya dan
menyerahkannya kepada orang yang ia kehendaki?
Belum cukup hebat, sehingga mereka masih merasa perlu untuk
merekayasa riwayat berikut dari Sahabat Ali:
نَهْنُ خَزَّانُ اللَّهِ فِي أَرْضِهِ وَسَمَا ئِهِ، وَأَنَا أُ
حْيِيْ وَأَنَا اُمِيتُ، وَأَنَا حٍَيٌّ لاَ أَمُوْ تُ
Kami adalah para penjaga (kekayaan dan ilmu Allah di bumi dan di
langit, akulah yang menghidupkan dan akulah yang mematikan, serta aku
senantiasa hidup dan tidak akan pernah mati. [10]
Karena kedudukan imam dalam syariat Syi’ah, tidak heran bila
tokoh revolusioner mereka pada abad ini, yaitu Ayatullâh al-Khomaini dengan
tanpa rasa sungkan menyatakan:
إِنَّ تَعَالِيْمَ اْلأَئِمَّهةِ كَتَعَا لِيْمِ القُرْآنِ،
لاَتَخُصُجِيْلاً خَا صاً وَإِنََّمَا هِيَ تَعَا لِيْمُ لِلْجَمِيْعِ فِيْ كُلِّ
عَصْرٍ وَمِصْرَ وَإِلَى يَوْمِ اْلقِيَامَةِ، يَجِبُ تَنْفِيْذُهَا وَاتِّبَا
عُهَا
Sesungguhnya ajaran para imam sama halnya dengan ajaran
al-Qur’ân, tidak diperuntukkan khusus bagi generasi tertentu. Ajaran para imam
adalah ajaran yang berlaku untuk semua, di setiap masa, negeri dan hingga hari
kiamat, wajib diterapkan dan dijadikan panutan.” [11]
Saudaraku! Dari sedikit penuturan di atas, mungkin Anda
bertanya-tanya, bila demikian kedudukan seorang imam dalam syari’at Syi’ah,
apakah mereka telah menobatkan mereka sebagai tuhan mereka?
Untuk mengobati rasa penasaran Anda, berikut ini saya sebutkan
beberapa nama tokoh terkemuka Syi’ah yang dengan membaca namanya, Anda dapat
mengetahui jawaban pertanyaan Anda:
• Abdul Husain bin Ali (wafat tahun 1286 H), ia adalah seorang
tokoh terkemuka agama Syi’ah pada zamannya, sampai-sampai dijuluki dengan
Syaikhul ‘Irâqain (Syaikh kedua Irak/ Irak & Iran).
• ‘Abdul Husain al-Amini at-Tabrizi (1390 H), penulis buku Al-Ghadir.
• ‘Abdul Husain Syarafuddîn al-Musâwi al ‘Amili (1377H), penulis buku Abu
Hurairah, kitab Kalimatun Haulaar Riwâyah, Kitab An Nash wa Al Ijtihâd,
Al-Murâja’ât, & kitab Al-Fushûll Muhimmah. [12]
• ‘Abdul Husain bin al-Qâshim bin Shâleh al-Hilly (wafat tahun 1375 H).
• ‘Abduz Zahrâ’ (Hamba az-Zahra’/Fatimah) al-Husain, penulis kitab Mashâdiru
Nahjil Balâghah wa Asâniduhu.
Saudaraku! Inilah ideologi yang oleh para penganut Syi’ah
disebut dengan kecintaan kepada Ahlul Bait. Kultus, ekstrim dalam memuja mereka
dengan menyematkan sebagian sifat-sifat Allah k kepada mereka. Coba Anda
bandingkan para imam dalam ajaran Syi’ah dengan sabda Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa salalm tentang dirinya sendiri berikut ini:
(لاَتُطْرُوْنِي كَمَا اَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ،
فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ، فَقُولُوْا عَبْدُ اللّّهِ وَرَسُوْ لُهُ)
Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku, sebagaimana
yang pernah dilakukan oleh kaum Nasrani kepada‘Isa bin Maryam. Sesungguhnya aku
hanyalah seorang hamba, maka katakanlah :” Hamba Allah dan Utusan-Nya.”
[Muttafaqun ‘alaih]
Demikianlah syariat yang diajarkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam dalam memuji dan mencintai; cinta dan pujian tanpa berlebih-lebihan.
Selanjutnya, kembali kepada Anda, meneladani Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
ataukah mempercayai sekte Syi’ah.
Setelah membaca penjelasan singkat ini, mungkin Anda menjadi
penasaran dan bertanya, “Sebenarnya, apa sikap para tokoh yang dianggap sebagai
imam-imam sekte Syi’ah. Mungkinkah mereka merestui kultus dan berbagai ideologi
sekte Syi’ah ini?
Saudaraku! Untuk menjawab pertanyaan Anda ini, saya mengajak
Saudara untuk bersama-sama membaca pernyataan mereka yang termaktub dalam
berbagai referensi terpercaya sekte Syi’ah.
Sahabat Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu ‘anhu menggambarkan
perihal orang-orang Syi’ah dalam ucapannya berikut:
يَا أَشْبَاهَ الرِّجَالِ وَلاَ رِجَالَ، حُلُوْم اْلأَطْفَالِ
وَعُقُولَ رَبَّتِ الْحِجَِالِ، لَوَدِدْتُ أَنِّيْ لَمْ أَرَكُمْ وَلَمْ
أَعْرِفْكُمْ مَعْرِفَةً، وَاللَّهِ جُرْتُ نَدَمًا وَأَعْقَبْتُ ذَمًا،
قَاتَلَكُمُ اللَُّهُ، لَقَدْ مَلَأْتُمْ قَلبِيْ قَيْحًا وَشَحَنْتُمْ صَدْرِيْ
غَيْظًا وَجَرَ عْتُمُوْنِيْ نَغِبالْتِهمَامَ أَنْفَاسًا وَأَفْسَدْتُمْ عَلَيَّ
رَأْيِيْ بِالْعِصْيَانِ وَالْخِذْلاَنِ
Wahai orang-orang yang berpenampilan lelaki, akan tetapi tidak
ada seorang pun yang berjiwa lelaki,berperilaku kekanak-kanakan, berpikiran
layaknya kaum wanita. Sungguh, aku berangan-angan Andai aku tidak pernah
menyaksikan, dan tidak mengenal kalian sama sekali. Sungguh demi Allah, aku
telah dirundung penyesalan, dan memikul celaan. Semoga Allah membinasakan
kalian, sungguh kalian telah memenuhi hatiku dengan kebencian, membanjiri
dadaku dengan kemarahan. Kalian juga telah memaksaku untuk menanggung
kegundahan, menghancurkan kecerdasanku dengan perilaku kalian yang senantiasa
membangkang dan berkhianat.” [13]
Abu Ja’far Muhammad bin Ali al-Bâqir (imam sekte Syi’ah ke-5)
lebih tegas lagi menggambarkan tentang sekte Syi’ah dengan mengatakan:
لَوْ كَنَ النَا سُ كُلُهُمْ لَنَا شِيْعَةَ، لَكَانَ ثَلاَثَةُ
أَربَا عِهِمْ لَنَا شُكَّا كًا، وَالرُّبْعُ الآخِرْ أَحْمَقُ
Andai seluruh manusia menjadi penganut syi’ah, niscaya tiga
perempat dari mereka adalah orang-orang yang hobi menghunus pedang terhadap
kami, dan sisanya adalah orang-orang dungu. [14]
Semoga tulisan sederhana ini bermanfaat bagi kita, dan semoga
Allah Azza wa Jalla senantiasa menghidupkan kita berdasarkan sunnah Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Wallâhu ‘alam bis shawâb.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XIII/1431H/2010M.
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858197]
_______
Footnote
[1]. Al-Kâfi oleh al-Kulaini 1/327
[2]. Aneh bin ajaib, al-Khomaini meyakini bahwa Nabi n memiliki kebebasan untuk
menyembunyikan masalah al-Imâmah
dari umatnya. Anggapan ini nyata-nyata bertentangan dengan firman Allah Azza wa
Jalla berikut:
يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنزِلَ إِلَيْكَ مِن
رَّبِّكَ ۖ وَإِن لَّمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ ۚ وَاللَّهُ
يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ
Hai Rasul, sampaikan apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu.
Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak
menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia.
Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.”
[al-Mâidah/5:67]
[3]. Kasyful Asrâr oleh al-Khomaini 149.
[4]. Idem 155.
[5]. Al-Kâfi oleh al-Kulaini 1/144
[6]. Bihârul Anwâr 35/29.
[7]. Bihârul Anwâr oleh al-Majlisy 22/351 & Tafsir Nur Ats-Tsaqalain, karya
Abdu Ali bin Jum’ah al- ‘Arusy al-Huwaizi 1/396.
[8]. Al-Ikhtishâsh, karya Asy-Syaikh Mufîd hlm. 6.
[9]. Tafsir Al ‘Ayyasyi 1/199, karya An-Nadhir Muhammad bin Mas’ûd
as-Samarqandi (wafat th: 320 H), Bihârul Anwâr 22/333
karya Al-Majlisi, (wafat th. 1111 H).
[10]. Idem 39/347.
[11]. Al-Hukûmah al-Islâmiyyah oleh Ayatullâh al-Khomaini 113.
[12]. Sungguh mengherankan, Bapak Prof, Dr. M. Quraish Shihâb yang disebut ahli
tafsir Indonesia, tidak merasa terusik dari nama semacam ini. Bahkan beliau
menjadikan karya tokoh Syi’ah ini sebagai salah satu referensi utama dalam
bukubuku beliau. Beliau tidak terpanggil untuk mengomentari atau mengingatkan
para pembaca tulisan beliau tentang kesalahan penamaan semacam ini. Sebagai
contoh, silahkan baca buku beliau yang berjudul Sunnah-Syiah, bergandengan
tangan! Mungkinkah?, hlm. 119.
[13]. Nahjul Balaghah (ensiklopedia khutbah-khutbah Imam Ali bin Abi Thalib)
1/70 & Al Kafi 5/6, karya Al Kulaini wafat thn 329 H.
[14]. Al Ghaibah hal: 268, karya Muhammad bin Ibrahim An Nu’maani wafat thn:
380 H, Ikhtiyaar Ma’rifatir Rijaal, 2/460, karya As Syeikh At Thusi wafat thn
460 H, Bihaarul Anwaar 46/251, karya Muhammad Baqir Al Majlisi wafat thn : 1111
H, & Mu’jam Rijalil Hadits 3/251, karya As Sayyid Abul Qasim Al Musawi Al
Khu’i, wafat thn: 1413 H.
Disalin dari artikel almanhaj.or.id untuk Blog Abu Abdurrohman